Paparan Topik | Hari Pers Sedunia

Sejarah Hari Pers Sedunia

Kebebasan pers merupakan bagian dari kebebasan menyatakan pendapat sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Namun, tragedi yang menimpa pekerja pers tetap saja terjadi hingga saat ini.

KOMPAS/KHAERUDIN

Puluhan wartawan di Kota Medan, Sumatera Utara, berunjuk rasa memperingati Hari Pers Internasional, Rabu (3/5/2006). Dalam aksi itu mereka antara lain menuntut dihentikannya kekerasan terhadap dunia pers dan jaminan keamanan terhadap wartawan dalam melakukan pekerjaannya.

Hari Kebebasan Pers Sedunia (World Press Freedom Day)

Deklarasi : 3 Mei 1991

Dasar Deklarasi : Hasil Seminar Windhoek

Waktu dan Tempat Penyelenggaraan :
29 April – 3 Mei 1991, di Kota Windhoek, Republik Namibia, Afrika Selatan

Penyelenggara :
UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization)
bekerjasama dengan UNDP (United Nations Development Programme)

Tema : “Promoting an Independent and Pluralistic African Media”
(Mendukung Pers Afrika Yang Pluralistik dan Independen).

Dukungan Organisasi :
12 organisasi agensi internasional, di antaranya The International Federation of Journalists, Friedrich Ebert Stiftung, dan The World Association of Newspapers.

Peserta :
63 peserta dari 38 negara

Tema Perayaan 30 Tahun Deklarasi Windhoek 2021 :
“Promoting Information as a Public Good”
(Informasi Sebagai Kebaikan Publik)

Hari Pers Sedunia yang diperingati setiap tanggal 3 Mei masih mencatat beragam kasus kekerasan yang menimpa awak media, terutama jurnalis. Sejarah Hari Kebebasan Pers Dunia, atau World Press Freedom Day (WPFD), juga berawal dari situasi yang sulit di sejumlah negara di Afrika yang pernah mengalami politik apartheid.

Apartheid adalah kebijakan politik rasial yang pernah diberlakukan di Afrika Selatan sekitar akhir tahun 1940-an. Dalam kebijakan itu ada pemisahan hak dan kewajiban antara ras kulit putih dan kulit hitam yang disahkan melalui undang-undang.  Awal Mei 1994 kebijakan ini berakhir lewat pemilu yang dimenangkan Nelson Mandela sebagai presiden pertama Afrika Selatan.

Perpecahan sistem apartheid sudah berlangsung di tahun 1990-an. Pada 29 April hingga 3 Mei 1991 UNESCO mengadakan Seminar Windhoek di Namibia, Afrika Selatan, dengan dukungan UNDP dan 12 organisasi internasional. Tema utama seminar Windhoek di Namibia, Afrika Selatan adalah peran media yang pluralistik, bebas dan independen di tengah berbagai tekanan dan kekerasan politik apartheid yang dialami pekerja pers di Afrika.  Seminar ini juga menegaskan pers Afrika yang independen dan plural.

Sejarah Hari Kebebasan Pers Sedunia pada awalnya dideklarasikan oleh Sidang Umum PBB pada tahun 1993 menyusul rekomendasi yang diadopsi pada sesi ke-26 Konferensi Umum UNESCO pada tahun 1991. Pada halaman ke-29 dari rekomendasi tersebut disebutkan rencana memromosikan kebebasan sedunia. Akhirnya pada 3 Mei 1991 dinyatakan sebagai Hari Kebebasan Pers sekaligus Deklarasi Windhoek.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Direktur Jendral Unesco Irina Bokova memberikan sambutan dalam acara Pembukaan World Press Freedom Day 2017 yang digelar di Jakarta Convention Center, Jakarta, Rabu (3/5)

Deklarasi Windhoek

Isi pernyataan dalam Deklarasi Windhoek sebagai berikut:

  1. Pers yang independen dan plural adalah penting dalam proses demokrasi dan perkembangan ekonomi sebuah negara.
  2. Pers yang independen berarti bebas dari kontrol pemerintah, kekuatan politik dan ekonomi, maupun aspek lain yang terkait dengan produksi dan penyebaran koran, majalah, dan jenis penerbitan lainnya.
  3. Pers yang plural berarti, tidak ada lagi monopoli terhadap keberadaan sejumlah penerbitan, sehingga semuanya bisa merefleksikan kebebasan berpendapat dalam masyarakat.
  4. Semakin banyaknya negara di Afrika yang menjalankan sistem multi partai menjadikan kehidupan pers lebih independen dan plural.
  5. Demokrasi dan kebebasan informasi dan berekspresi merupakan hal yang mendasar dalam pemenuhan aspirasi masyarakat.
  6. Kebebasan pers juga mengingatkan bahwa masih banyak penggiat pers, baik wartawan, editor, hingga percetakan yang menjadi korban represi.
  7. Majelis Umum PBB harus memasukkan agenda tentang sensor yang selama ini merupakan pelanggaran berat (grave violation) terhadap hak asasi manusia.
  8. Sejumlah negara di Afrika harus turut menjamin kebebasan pers dan kebebasan berkumpul maupun berorganisasi.
  9. Mendorong dan konsolidasi, termasuk melawan tindakan negatif, terhadap koran-koran dan penerbitan non pemerintah sebagai refleksi atas kebebasan berpendapat di masyarakat.
  10. Jaminan kebebasan berlaku bagi asosiasi, serikat pekerja, maupun organisasi editor dan penerbit pers di seluruh negara-negara bagian di Afrika.
  11. Seluruh undang-undang tentang media dan pekerja media di negara-negara di Afrika harus menjamin kebebasan pers.
  12. Semua tokoh pers yang dipenjara oleh pemerintah Afrika harus dibebaskan secepatnya. Begitu juga bagi pers asing, yang sebelumnya dilarang masuk, dibebaskan untuk datang dan melakukan tugas profesionalnya.
  13. Harus ada dukungan kerjasama yang baik antarpenerbit di wilayah Afrika Utara maupun Selatan.
  14. Segera mengidentifikasi segala hal yang mendukung profesionalisme bisnis pers.

KOMPAS/YOVITA ARIKA

Tangkapan layar Konferensi Kebebasan Pers Dunia 2020 yang diselenggarakan secara virtual pada Rabu (9/12/2020). Tampak Menteri Luar Negeri Belanda Stef Blok (kiri) dalam diskusi panel pada hari pertama Konferensi Kebebasan Pers Dunia 2020.

Kekerasan terhadap Jurnalis

Kasus terakhir adalah terbunuhnya dua jurnalis dari Spanyol, David Beriain dan juru kamera Roberto Fraile. Berdasarkan rilis rsf.org pada 27 April 2021, keduanya  tewas ketika konvoi yang mereka ikuti diserang oleh kelompok bersenjata di timur Burkina Faso, Afrika Barat.

Dikabarkan surat kabar Spanyol El Pais, Beriain tengah dalam perjalanan ditemani oleh juru kamera Roberto Fraile di dekat Taman Nasional Arli. Rombongan itu kemudian diserang oleh orang-orang bersenjata yang datang dengan dua truk dan belasan sepeda motor.

El Pais menambahkan, Beriáin dan Fraile keluar dari salah satu truk konvoi untuk menerbangkan drone untuk mengambil foto udara ketika serangan dimulai. Keduanya kehilangan nyawa, begitu pula direktur lembaga nirlaba Fundación Chungeta Wildlife Rory Young yang berasal dari Irlandia.

Reporters Without Borders (RSF) juga mencatat sejumlah kasus yang sama untuk Indonesia. Salah satunya adalah mantan pemimpin redaksi Banjarhits Diananta Putera Sumedi. Agustus tahun lalu, Sumedi dinyatakan bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Kotabaru, Kalimantan Selatan(Kalsel). Liputannya tentang kasus perampasan tanah dinilai melanggar Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan diganjar dengan hukuman penjara tiga bulan 15 hari. Tetapi setelah beberapa hari ditahan, Sumedi dibebaskan pada 17 Agustus 2020.

Data Aliansi Jurnalis Independen (AJI)  menyebutkan jurnalis Kompas.com, Nibras Nada Nailufar, misalnya, dihalang-halangi saat meliput aksi penolakan revisi UU KPK dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada 2019. Ponsel miliknya akan direbut oknum aparat saat mendokumentasikan demonstrasi. Tindakan ini dilaporkan Nibras ke Polda Metro Jaya tetapi dipersulit. Laporan diterima Oktober 2019 dan baru ada perkembangan tahun lalu.

LBH Pers mencatat, 460 kasus mengancam kebebasan pers di Indonesia terjadi pada 2015-2020. Bahkan, kasus pada 2020 meningkat 30 persen dibandingkan tahun sebelumnya dengan total 117 kasus. Pada 2019, tindakan yang mengancam kebebasan pers 79 kasus. Ancaman kebebasan pers itu antara lain penganiayaan, teror, perampasan alat kerja, intimidasi, kriminalisasi, penyerangan kantor media, serangan siber, dan gugatan perdata. (“Ancaman Kebebasan Pers Tak Kunjung Surut, Kompas”, 3/5/2021)

Masalah kebebasan pers juga selalu menjadi pantauan utama RSF. Setiap tahun organisasi ini melakukan pengukuran berupa indeks kebebasan pers di 180 negara. Indeks ini bisa menjadi cermin kesulitan masyarakat dalam mengakses informasi maupun kendala yang masih dihadapi dalam peliputan berita.

Kendala tersebut dinilai semakin menguat terutama di saat pandemi Covid-19. Sejumlah negara di Asia misalnya, dinilai masih banyak menghalangi kebebasan pers dalam akses informasi tentang wabah tersebut. Menurut RSF, setidaknya ada sepuluh negara yang melakukannya, seperti China, Thailand, Filipina, Indonesia, Vietnam, Kamboja, Malaysia, Hong Kong, Myanmar, dan Korea Utara.

Hasil survei Indeks Kebebasan Pers Dunia 2021 oleh Reporters without Borders (RSF) menunjukkan, 73 negara memblokir dan 59 negara lainnya menghalangi akses wartawan untuk mendapatkan informasi. Sebanyak 132 negara atau 73 persen dari 180 negara yang disurvei ini dikategorikan memiliki lingkungan sangat buruk, buruk, atau bermasalah untuk kebebasan pers. (Kebebasan Pers Memburuk di Masa Pandemi, Kompas, 23/4/2021)

Indeks Kebebasan Pers

Data Indeks Kebebasan Pers (IKP) Dunia 2021 dari Reporters without Borders menunjukkan, skor kebebasan pers di Indonesia 37,40 atau peringkat ke-113 di dunia. Peringkat Indonesia tertinggal jauh dari Timor Leste yang ada di urutan ke-71.  Sebelumnya pada 2020, skor indeks kebebasan Pers Indonesia adalah 36,82 atau berada di urutan ke-119 dari total 180 negara.

Lebih lanjut, Hasil survei Indeks Kebebasan Pers Dunia 2021 oleh Reporters without Borders (RSF) menunjukkan, 73 negara memblokir dan 59 negara lainnya menghalangi akses wartawan untuk mendapatkan informasi. Sebanyak 132 negara atau 73 persen dari 180 negara yang disurvei ini dikategorikan memiliki lingkungan sangat buruk, buruk, atau bermasalah untuk kebebasan pers. (Kebebasan Pers Memburuk di Masa Pandemi, Kompas, 23/4/2021)

Indeks Kebebasan Pers Indonesia 2014-2021

Tahun

Index

Kebebasan Pers

Skor

2014

131 40.22

2015

138 40.75

2016

130 41.72

2017

124 39.93

2018

124

39.68

2019

124

36.77

2020

119 36.82

2021

113

37.40

Indeks Kebebasan Pers Dunia 2021

Ranking

Negara Skor

1

Norwegia 6.72

2

Finlandia 6.99

3

Swedia 7.24

4

Denemark 8.57

5

Kosta Rika 8.76

6

Belanda 9.67

7

Jamaika 9.96

8

Selandia Baru 10.04

9

Portugal 10.11

10

Swis 10.55

Sumber: rsf.org

Kasus Pembunuhan Jurnalis Indonesia yang Tak Terselesaikan

Kasus Nama, tempat Waktu
1 Fuad Muhammad Syarifuddin (Udin) Jurnalis Harian Bernas Yogyakarta 16 Agustus 1996
2 Naimullah Jurnalis Harian Sinar Pagi, Kalimantan Barat 25 Juli 1997
3 Agus Mulyawan Jurnalis Asia Press, di Timor Timur 25 September 1999
4 Muhammad Jamaluddin Jurnalis Kamera TVRI,  di Nanggroe Aceh Darussalam 17 Juni 2003
5 Ersa Siregar Jurnalis RCTI, di Nanggroe Aceh Darussalam 29 Desember 2003
6 Herliyanto Jurnalis Tabloid Delta Pos Sidoarjo, di Jawa Timur 29 April 2006
7 Adriansyah Matra’is Wibisono Jurnalis TV lokal di Merauke, Papua 29 Juli 2010
8 Alfred Mirulewan Jurnalis Tabloid Pelangi, di Maluku 18 Desember 2010

Sumber : wpfd.aji.or.id

UU Pers

World Press Freedom Day kini memasuki usia ke-30. Selain kebebasan pers, seperti dinyatakan dalam laman https://kniu.kemdikbud.go.id, hari tersebut juga menjadi penting untuk menyuarakan perlindungan media dari ancaman atas kebebasan mereka, termasuk mengenang para jurnalis yang tewas selama bertugas.

Di Indonesia, payung hukum pers terdapat dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) yang mencabut wewenang pemerintah untuk menyensor dan memberedel pers.

Disebutkan dalam Pasal 1 UU 40/1999 tentang Pers: “Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.”

Selanjutnya dalam Pasal 4 UU 40/1999 disebutkan:

  1. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
  2. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
  3. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
  4. Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.

Namun, menurut Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, profesi jurnalis masih menjadi profesi yang terancam di Indonesia. Setidaknya ini terlihat dari tahun 1996 hingga sekarang, sedikitnya ada delapan kasus pembunuhan jurnalis yang tak jelas kelanjutannya. Kebebasan pers masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dan organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, namun bagi jurnalis kebebasan pers justru menjadi adrenalin dan kekuatan untuk terus meliput dan memberitakan. Selamat Hari Pers Sedunia. (LITBANG KOMPAS)