KOMPAS/AGUS SUSANTO
Jemaah haji mengelilingi Kabah untuk menjalankan tawaf wada (perpisahan) di Masjidil Haram, Mekkah, Arab Saudi, Senin (3/7/2023). Tawaf wada adalah amalan terakhir yang dilakukan jemaah haji sebelum meninggalkan Mekkah sekaligus berpamitan dengan Kabah.
Fakta Singkat
- Indonesia mengirimkan misi haji ke Mekkah pada 1948 dan mendapat sambutan hangat dari Raja Arab Saudi. Bendera Merah Putih pertama kali dikibarkan di Arafah.
- Pada 1951 pemerintah menghentikan keterlibatan pihak swasta dalam penyelenggaraan ibadah haji dan mengambil alih seluruh penyelenggaraan haji oleh pemerintah.
- Pada era musim haji dekade 1950-an, sudah dikenal pembagian kuota haji masing-masing daerah.
- Pada masa Orde Baru penyelenggaraan haji sepenuhnya menjadi tanggungjawab pemerintah dan dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah.
Berdasarkan data Badan Pengelola Keuangan Haji, calon jemaah haji di Indonesia harus menunggu antrean hingga puluhan tahun. Daftar tunggu haji atau waiting list haji Indonesia jika mendaftar tahun 2023 ini antara 11 tahun sampai 47 tahun atau rata-rata sekitar 20 tahun untuk bisa berhaji.
Sejumlah persiapan diantaranya penyiapan petugas kesehatan haji, penyiapan sarana dan prasarana, pemeriksaan kesehatan jemaah haji, penyiapan pengadaan vaksin untuk jemaah dan petugas haji, pembentukan klinik di setiap pemondokan dan sarana penunjang kesehatan lainnya.
Terkait keberangkatan dan kepulangan jemaah haji, Pemerintah Indonesia menyiapkan 13 embarkasi atau bandar udara termasuk pesawat udara yang akan mengangkut jemaah ke Arab Saudi.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Jemaah berusaha memegang pintu Kabah setelah melakukan tawaf atau berdoa sambil mengelilingi Kabah di area Masjidil Haram, Mekkah, Arab Saudi, Rabu (14/6/2023) dini hari. Tawaf menjadi bagian dari amalan umrah yang juga dilakoni jemaah sambil menunggu waktu haji.
Sejarah
Orang-orang Indonesia sudah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekkah al-Mukarramah semenjak berabad-abad silam. Jalur maritim Kepulauan Nusantara, Teluk Persia, dan Laut Merah telah dikenal sejak dahulu.
Sejak dibukanya Terusan Suez tahun 1869, waktu ditempuh dari Indonesia ke Jeddah mengunakan kapal uap menjadi lebih cepat dan lebih murah, serta relatif menguntungkan dari segi keamanan pelayaran. Sebelum ada kapal uap, perjalanan jemaah haji Indonesia untuk sampai ke Jeddah mengarungi lautan dilakukan dengan kapal layar dan membutuhkan waktu berbulan-bulan.
Berdasarkan catatan sejarah, pemerintah kolonial Hindia Belanda menerbitkan ordonansi (regulasi) mengenai perjalanan haji. Dalam ordonansi haji tahun 1859, Pemerintah Hindia Belanda menetapkan persyaratan berangkat haji harus mempunyai cukup uang untuk membiayai perjalanan ke Mekkah.
Persyaratan itu dibuktikan dengan jaminan dari Bupati setempat bahwa calon haji yang akan memperoleh paspor/pas jalan, memiliki uang untuk membiayai perjalanan, dan kebutuhan hidup keluarga yang ditinggalkannya. Perkembangan lebih lanjut ordonansi haji menjadi alat pemerintah kolonial untuk memantau aktivitas keagamaan masyarakat lokal.
Pada masa pergerakan, perbaikan perjalanan haji pertama kali diperjuangkan oleh umat Islam Indonesia melalui Muhammadiyah. K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) membentuk Bagian Penolong Haji pada 1921. PB Muhammadiyah mengirim utusan ke Arab Saudi dan memberikan saran-saran perbaikan kepada pihak yang berwenang.
Bagian Penolong Haji membentuk Komite Perbaikan Perjalanan Haji Indonesia beranggotakan para ulama dan kaum cendekia. Kongres Muhammadiyah di Bukittinggi Minangkabau tahun 1930 merekomendasikan agar mengadakan pelayaran sendiri untuk pengangkutan jemaah haji Indonesia.
Selama masa pendudukan Jepang dan masa revolusi kemerdekaan sejak 17 Agustus 1945, tidak ada kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk menunaikan ibadah haji. Kendala utamanya adalah tidak ada sarana transportasi massal dan faktor keamanan dalam perjalanan. Rakyat saat itu sedang berjuang melawan Belanda yang hendak kembali menduduki tanah air Indonesia.
KOMPAS/ADI PRINANTYO
Suasana salat Subuh di Masjid Nabawi, Madinah, Arab Saudi, Sabtu (15/7/2023) pagi. Masjid ini salah satu masjid penting bagi muslimin dan muslimat sedunia, seiring syafaat Nabi Muhammad SAW bagi yang salat di masjid Nabawi.
Pada masa revolusi kemerdekaan, K.H. Hasjim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama) mengeluarkan fatwa tidak wajib haji bagi orang Indonesia saat itu. Kemudian Kementerian Agama menyiarkan fatwa K.H. Hasyim Asy’ari kepada seluruh penduduk dan umat Islam Indonesia. Penghentian perjalanan haji itu sekaligus sebagai boikot terhadap Belanda yang saat itu menguasai armada pelayaran yang digunakan untuk mengangkut calon jemaah haji.
Dalam masa revolusi kemerdekaan, pemerintah Indonesia sempat mengirim dua kali misi haji ke Arab Saudi yang diikuti beberapa orang. Misi Haji I tahun 1948 merupakan perutusan resmi haji Indonesia yang pertama sesudah Perang Dunia Kedua. Kemudian Misi Haji II dilakukan pada tahun 1949.
Sementara pada musim haji tahun 1950 atau setelah pengakuan kedaulatan, Pemerintah memberangkatkan jemaah haji menggunakan sarana transportasi kapal laut dengan kuota 10.000 orang, sementara yang terisi kurang lebih 9.907 jemaah haji. Pada musim haji tersebut yang meninggal di Tanah Suci sekitar 3 persen dari total jemaah.
Pada era Orde lama, animo umat Islam yang menunaikan ibadah haji tidak pernah surut, bahkan cenderung meningkat walaupun biaya yang ditetapkan oleh pemerintah selalu meningkat setiap tahunnya.
Jemaah haji saat itu yang mencapai puluhan ribu orang diberangkatkan dengan kapal laut yang membutuhkan waktu lebih dari satu bulan. Hanya sebagian kecil atau sekitar 2 persen yang menggunakan pesawat terbang yang ongkosnya dua kali lipat. Penyelenggaraan haji menggunakan transportasi udara dimulai tahun 1953.
Perjalanan haji dengan kapal laut dari Pelabuhan Tanjung Priok menuju Pelabuhan Jeddah memakan waktu selama 16 hari atau 32 hari pulang-pergi, 48 hari di Mekkah dan 8 hari di Madinah sehingga total waktu perjalanan haji selama 3 bulan. Sementara jika mengunakan transportasi haji dengan pesawat udara waktu lebih singkat kurang dari 1 bulan.
Mulai tahun 1966, penguasa Orde Baru membenahi berbagai sistem penyelenggaraan negara. Salah satu yang dibenahi adalah lembaga penyelenggara haji dengan dibentuknya Direktur Jenderal Urusan Haji di bawah Departemen Agama. Direktorat itu mengurusi penyelenggaraan haji, termasuk besarnya biaya dan sistem manajerialnya. Pada tahun 1970, pemerintah menjalin hubungan kerja sama dengan Arab Saudi terkait penyelenggaraan haji.
Dalam rangka mengefisienkan pelaksanaan penyelenggaraan haji, mulai tahun 1970 pemerintah tidak lagi menetapkan biaya haji dengan kapal laut karena moda transportasi itu mulai ditinggalkan jemaah haji dan dinilai tidak efisien, selain banyak persoalan perjalanan haji lewat laut. ONH pun tak lagi ditetapkan oleh Menteri Agama, tetapi langsung oleh presiden.
Pada tahun 1985, pemerintah memberi peluang swasta turut serta dalam penyelenggaraan urusan haji, khususnya untuk pelayanan eksklusif yang dikenal dengan nama program ONH Plus.
Satu tahun berselang Pemerintah Arab Saudi menetapkan kuota haji seiring tingginya animo umat Islam di dunia yang menunaikan ibadah haji. Kuota haji mengacu pada Kesepakatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Organisasi Konferensi Islam (OKI) tahun 1986 di Amman, Jordania, yaitu 1:1.000. Artinya, dari 1.000 warga muslim di suatu negara mendapat jatah ibadah haji sebanyak 1 orang. Mengacu pada perhitungan itu, Indonesia mendapat kuota terbanyak.
KOMPAS/ILHAM KHOIRI
Para jemaah haji Indonesia sedang melempar jumrah Aqabah di Mina, Arab Saudi, Sabtu (9/7/2022) sore waktu setempat. Melempar jumrah menjadi simbol jemaah mengutuk setan dan membuang keburukan.
Kebijakan Haji
Kebijakan penanganan urusan haji oleh Pemerintah pada masa Orde Lama dilakukan oleh Menteri Agama RI Wahid Hasjim. Ia memperbaiki penanganan urusan haji dengan menetapkan kebijakan bahwa pelaksanaan ibadah haji sepenuhnya ditangani pemerintah, yakni oleh Bagian Urusan Haji dari Kementerian Agama.
Dalam pelaksanaannya, bagian ini bekerjasama dengan Yayasan Perjalanan Haji Indonesia (PHI). Selain pemerintah, PHI adalah satu-satunya lembaga yang mengurus masalah haji. Kebijakan ini dimaksudkan untuk memudahkan penyelenggaraan ibadah haji dan juga menyelamatkan calon jemaah dari penipuan pihak-pihak tertentu yang ingin mengeksploitasi mereka.
Perbaikan perjalanan haji meliputi dua dimensi yaitu keagamaan dan kenegaraan. Kerja Sama Kementerian Agama dengan PHI dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Serikat (RIS) K.H.A. Wahid Hasjim tanggal 6 Februari 1950 dan Surat Edaran Menteri Agama RI K.H. Faqih Usman di Yogyakarta Nomor AIII/1/648 tanggal 9 Februari 1950 serta Keputusan Dewan Menteri RIS dalam rapat tanggal 8 Februari 1950.
Selanjutnya keluar Instruksi Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 1958 memperkuat kerja sama Kementerian Agama dengan PHI dengan adanya klausul bahwa penyelenggaraan perjalanan jemaah haji oleh Menteri Agama diserahkan kepada Yayasan Perjalanan Haji Indonesia (PHI).
Pada era perhajian dekade 1950-an sudah dikenal pembagian kuota haji masing-masing daerah. Kementerian Agama juga mengeluarkan ketentuan bagi pegawai negeri yang hendak pergi beribadah haji mendapat prioritas dengan syarat-syarat tertentu dan berhak mendapat cuti besar selama tiga bulan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 26 Tahun 1955.
Pemerintah kemudian mengembangkan struktur organisasi Urusan Haji di Kementerian Agama. Dalam Kabinet Dwikora II tahun 1965 dibentuk Departemen Urusan Haji. Menteri Urusan Haji berada dalam lingkup koordinasi Menteri Koordinator Urusan Agama. Departemen Urusan Haji telah meletakkan dasar-dasar dan prinsip pelaksanaan penyelenggaraan urusan haji secara modern dalam segala bidang pekerjaan dan tugas-tugasnya.
Pada masa Orde Baru penyelenggaraan haji sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah dan dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah mulai dari tingkat pusat sampai tingkat daerah seluruh Indonesia. Perubahan kebijakan itu dimulai dengan terbit Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1969 tanggal 7 Maret 1969 dan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 1969 yang mengatur penyelenggaraan haji sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah tanpa melibatkan pihak swasta.
Kementerian Agama kemudian melakukan restrukturisasi organisasi yang menangani urusan haji dengan membentuk Direktorat Jenderal Urusan Haji. Direktorat Jenderal Urusan Haji dalam perkembangannya pernah digabung dengan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.
Sejak tahun 2010 direktorat itu kembali dipisah menjadi Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah.
Kebijakan urusan haji selanjutnya dilakukan dengan membuat kebijakan strategis pengembangan Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) dan membentuk Dana Abadi Umat (DAU) pada 1993. Dana Abadi Umat diperoleh dari efisiensi biaya penyelenggaraan ibadah haji. Untuk penataan manajemen keuangan haji, Kementerian Agama waktu itu mendatangkan konsultan yang berpengalaman di bidang perbankan.
Pada masa reformasi, penyelenggaraan haji di Indonesia memasuki era baru. Pemerintah menjamin layanan yang lebih berkualitas dengan keluarnya UU No 17/1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Undang-Undang menegaskan bahwa penyelenggaraan ibadah haji adalah rangkaian kegiatan pengelolaan pelaksanaan ibadah haji yang meliputi pembinaan, pelayanan, dan perlindungan jemaah haji.
Dalam praktiknya, beberapa kasus muncul terkait profesionalisme pelayanan publik musim haji seperti pada tahun 2004 sekitar 30.000 orang gagal menunaikan ibadah haji dan sekitar 200 ribu jemaah haji Indonesia kelaparan akibat katering yang ditunjuk Kementerian Agama gagal menyediakan makanan dan minuman pada 2006.
Imbas dari kejadian itu, manajemen haji pun kemudian dirombak dengan merevisi UU No. 17/1999. Revisi yang menghasilkan UU No 13/2008 itu kembali menegaskan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, masih menjadi operator penyelenggaraan ibadah haji Indonesia.
Sejak itu, penyelenggaraan ibadah haji relatif membaik, apalagi setelah ditetapkannya UU Nomor 34/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Salah satu mandat UU adalah membentuk Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
Badan tersebut mulai mengelola keuangan haji sejak 2017. Dana haji yang dikelola itu terdiri dari dana setoran biaya penyelenggaraan ibadah haji, dana efisiensi penyelenggaraan haji, dana abadi umat, dan nilai manfaat. Dana ini dikuasai oleh negara untuk penyelenggaraan ibadah haji serta program kegiatan untuk kemaslahatan umat Islam.
Kronologi kebijakan haji Indonesia
Setelah kemerdekaan RI, pemerintah Indonesia menata kebijakan haji di Indonesia:
- 1948: Indonesia mengirimkan misi haji ke Mekkah dan mendapat sambutan hangat dari Raja Arab Saudi. Tahun itu, Bendera Merah Putih pertama kali dikibarkan di Arafah.
- 1951: Keppres Nomor 53 Tahun 1951, menghentikan keterlibatan pihak swasta dalam penyelenggaraan ibadah haji dan mengambil alih seluruh penyelenggaraan haji oleh pemerintah.
- 1952: Dibentuk perusahaan pelayaran PT. Pelayaran Muslim sebagai satu-satunya Panitia Haji dan diberlakukan sistem quotum (kuota) serta pertama kali diberlakukan transportasi haji udara.
- 1959: Menteri Agama mengeluarkan SK Menteri Agama Nomor 3170 tanggal 6 Februari 1950 dan Surat Edaran Menteri Agama di Yogyakarta Nomor A.III/648 tanggal 9 Februari 1959 yang menyatakan bahwa satu-satunya badan yang ditunjuk secara resmi untuk menyelenggarakan perjalanan haji adalah Yayasan Penyelenggaraan Haji Indonesia (YPHI).
- 1960: Keluarnya perturan pertama tentang penyelenggaraan ibadah haji melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1960 Tentang Penyelenggaraan Urusan Haji. Terbentuk untuk yang pertama kalinya, Panitia Negara Urusan Haji (PANUHAD).
- 1962: PANUHAD berubah menjadi PPPH (Panitia Pemberangkatan dan Pemulngan Haji). PPPH dibubarkan pada tahun 1964 dan kewenangan penyelenggaraan haji diambil alih oleh pemerintah melalui Dirjen urusan Haji (DUHA).
- 1965: Dikeluarkan Kepres Nomor 122 Tahun 1964 tentang Penyelenggaraan Urusan Haji. PT. Arafat pada tanggal 1 Desember 1964 yang bergerak di bidang pelayaran dan khusus melayani perjalanan haji (laut) hanya mampu memberangkatkan 15.000 jemaah melalui laut.
- 1969: Dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1969, Pemerintah mengambil alih semua proses penyelenggaraan perjalanan haji. Hal ini disebabkan banyaknya calon jemaah haji yang gagal diberangkatkan oleh orang-orang atau badan-badan swasta, bahkan calon-calon yang mengadakan kegiatan usaha penyelenggaraan perjalanan haji.
- 1979: Keputusan Menteri Perhubungan No. SK-72/OT.001/Phb-79, memutuskan untuk meniadakan pengangkutan jemaah haji dengan kapal laut dan menetapkan penyelenggaraan angkutan haji dilaksanakan dengan pesawat udara.
- 1985: Pemerintah kembali mengikutsertakan pihak swasta dalam penyelenggaraan haji.
- 1999: Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Produk hukum berbentuk UU tentang haji yang pertama ini memandatkan tugas pelayanan, pembinaan, dan perlindungan bagi jemaah haji kepada Pemerintah. Kuota haji kemudian terbagi menjadi 2, yakni Haji Reguler dan Haji Khusus.
- 2001: Terbitnya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Badan Pengelola Dana Abadi Umat sebagai salah satu mandat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999.
- 2008: Penyempurnaan kembali Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Pendaftaran dilakukan sepanjang tahun melalui SISKOHAT dengan prinsip first come first served.
- 2014: Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji yang salah satu mandatnya adalah membentuk Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH)
- 2015: Implementasi total pelaksanaan pilot project e-hajj yang ditetapkan otoritas Arab Saudi
Sumber: Kementerian Agama RI
KOMPAS/ADI PRINANTYO
Suasana pintu keluar Masjidil Haram di Mekkah, Arab Saudi, Rabu (7/6/2023) malam. Tingginya kedatangan jemaah dari berbagai belahan dunia ke Arab Saudi di setiap musim haji, membuat pengelolaan ibadah haji dituntut makin profesional. Kontribusi para mukimin di Mekkah dan sekitarnya tergolong signifikan dalam pembenahan kualitas ini.
Jumlah Jemaah haji
Setiap musim haji, Pemerintah Kerajaan Arab Saudi menentukan jumlah Jemaah yang berkunjung ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Sebelum pandemi Covid-19 tak kurang dari 2,5 juta ummat Islam seluruh dunia menunaikan ibadah haji, namun setelah pandemi jumlah pengunjung dibatasi.
Tahun 2021 atau pada masa pandemi covid-19, total 58.745 jemaah yang menunaikan ibadah haji. Pelaksanaan ibadah haji tahun 2021 hanya dibatasi untuk warga negara dan penduduk dalam Kerajaan Arab Saudi. Aturan ini diberlakukan mengingat masih dalam situasi pandemi COVID-19.
Kemudian, musim 2022, meski pandemi belum berakhir, kunjungan jemaah haji dibuka kembali meski terbatas. Total Jemaah mencapai 926.062 orang, 64,4 persen atau 781.409 jemaah berasal dari luar Arab Saudi. Sementara itu, jemaah dalam negeri mencapai 15,6 persen, sebanyak 144.653 orang
Setelah pandemi berakhir, jemaah yang menunaikan ibadah haji di musim haji 2023 kembali normal atau sesuai dengan kuota sebelum pandemi. Menurut catatan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi jumlah jemaah haji 2023 mencapai 1.845.045 orang. Dari jumlah tersebut, 1.660.915 jemaah berasal dari luar Kerajaan dan 184.130 lainnya merupakan jemaah dalam negeri.
10 Negara dengan Kuota Haji Terbanyak 2023
No |
Nama |
Jemaah Haji |
1 |
Indonesia |
221.000 |
2 |
Pakistan |
179.210 |
3 |
India |
175.025 |
4 |
Bangladesh |
127.198 |
5 |
Nigeria |
95.000 |
6 |
Iran |
87.550 |
7 |
Turki |
79.000 |
8 |
Mesir |
78.000 |
9 |
Aljazair |
41.300 |
10 |
Sudan |
32.000 |
Sumber: Pemerintah Arab Saudi
Tercatat, 346.214 jemaah atau 21 persen berasal dari negara-negara Arab dan 1.056.317 jemaah dari (63,5 persen) berasal dari negara-negara Asia. Adapun jemaah dari negara-negara Afrika mencapai 221.863 orang atau 13,4 persen. Sementara jemaah dari Eropa, Amerika, Australia, dan negara-negara mencapai 36.521 orang atau sekitar 2,1 persen dari total jemaah haji 2023.
Jika ditelisik lebih jauh, terdapat 10 negara yang mendapat alokasi kuota terbesar musim haji 2023. Indonesia mendapat kuota haji terbanyak di dunia pada 2023. Tercatat, kuota haji RI mencapai 221.000 jemaah. Sebagai negara dengan populasi penduduk yang menganut agama Islam terbesar di dunia, Indonesia secara konsisten selalu menerima kuota haji terbesar di dunia.
Kemudian Pakistan yang menempati peringkat kedua negara dengan kuota haji terbanyak 2023, yaitu sebanyak 179.210 orang. India dan Bangladesh di urutan berikutnya dengan jumlah kuota masing-masing 175.025 orang dan 127.198 orang.
Perkembangan Jemaah haji Indonesia
Tahun |
Jemaah Indonesia |
2007 |
188.569 |
2008 |
191.823 |
2009 |
189.358 |
2010 |
196.206 |
2011 |
199.849 |
2012 |
192.291 |
2013 |
154.546 |
2014 |
154.467 |
2015 |
154.455 |
2016 |
154.441 |
2017 |
203.070 |
2018 |
203.350 |
2019 |
221.000 |
2020 |
pandemi Covid-19 |
2021 |
pandemi Covid-19 |
2022 |
100.051 |
2023 |
229.000 |
Sumber: BPS dan Kemenag,
*Pada 2020-2021 pandemi Covid-19
Indonesia yang memperoleh Kuota haji terbesar, yakni 221.000 orang terdiri dari 203.320 untuk haji reguler, 17.680 untuk haji khusus, dan 4.200 kuota untuk petugas. Sementara tahun sebelumnya, Indonesia mendapatkan kuota haji 100.051 orang. Sebanyak 92.825 anggota jemaah di antaranya adalah haji reguler, 7.226 anggota jemaah haji khusus, dan 1.901 petugas.
Pada musim haji 2024 mendatang, kuota haji Indonesia masih sama seperti tahun 2023, yakni mencapai 221.000 jemaah. Jemaah haji 2024 akan diberangkatkan ke Tanah Suci mulai 9 Mei 2024 yang menjadi patokan awal kedatangan jemaah haji di Arab Saudi.
KOMPAS/ADI PRINANTYO
Mohammad Adnan (kanan), pembimbing ibadah haji, menjelaskan tata cara ibadah haji dalam bimbingan manasik haji untuk Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) 2023, di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, Rabu (12/4/2023) lalu. Sebanyak 1.234 anggota PPIH menjalani pelatihan Bimbingan Teknis selama 10 hari, berakhir pada Minggu (16/4/2023).
Ongkos Naik Haji (ONH)
Ongkos naik haji ditetapkan oleh Kementerian Agama (Kemenag) setelah mendapatkan persetujuan dari Komisi VIII DPR yang membidangi agama, sosial, dan kebencanaan.
Tahun 2023, ongkos naik haji atau Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 1444 H sebesar Rp 90,05 juta. Rinciannya, Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) alias biaya yang ditanggung jemaah haji sebesar Rp 49,81 juta atau 55,3 persen dari total BPIH. Sementara Nilai Manfaat yang ditanggung oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) adalah sebesar Rp 40,23 juta atau 44,7 persen dari total BPIH.
Biaya perjalanan ibadah haji (BPIH) itu meliputi biaya penerbangan, biaya akomodasi di Mekkah dan Madinah, biaya hidup (living cost), biaya visa, biaya protokol kesehatan, dan volume makan tiga kali per hari selama jemaah berada di Mekkah maupun Madinah.
Selanjutnya Pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 7 Tahun 2023 tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1444 Hijriah/2023 Masehi yang Bersumber dari Biaya Perjalanan Ibadah Haji dan Nilai Manfaat. Peraturan ini ditandatangani Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) pada tanggal 6 April 2023.
Jika ditelisik lebih jauh, sejak tahun 2022, BPIH meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal itu terkait dengan kenaikan biaya masyair atau prosesi ibadah haji dari pemerintah Arab Saudi. Biaya ini meliputi jasa pelayanan fasilitas tenda, kamar mandi, serta kasur bagi jemaah haji saat beribadah di Arafah, Mina, dan Muzdalifah selama empat hari.
Pada tahun-tahun sebelumnya biaya masyair sekitar 1.800 riyal atau sekitar Rp 7,2 juta (kurs Rp 4.015). Biaya masyair itu naik drastis menjadi 5.656 riyal atau Rp 22,7 juta sejak musim haji 2022.
Untuk kasus penyelenggaraan ibadah haji tahun 2022, pemerintah Indonesia harus menanggung beban lebih besar untuk jemaah haji karena biaya Masyair yang naik dua kali lipat. Untuk setiap jemaah haji mendapatkan subsidi Rp 63 juta nilai manfaat dari total Rp 98 juta nilai riil (biaya haji tanpa subsidi). Sementara jemaah hanya membayar Rp 35 juta, yang terdiri dari setoran awal Rp 25 juta dan biaya pelunasan rata-rata senilai Rp 10 juta.
Subsidi ibadah ke Tanah Suci itu dibayarkan tidak dari dana APBN, melainkan diambil dari hasil investasi pengelolaan dana haji yang mencapai lebih dari Rp 143 triliun.
Tidak hanya masyair, akomodasi di Mekkah dan Madinah juga meningkat signifikan. Pada 2022, akomodasi Mekkah yang dibebankan ke jemaah hanya sebesar Rp 2,7 juta. Tahun 2023 akomodasi meningkat menjadi Rp 18,8 juta. Kenaikan biaya akomodasi itu berdampak terhadap naiknya ongkos naik haji (ONH) yang ditanggung jemaah dari Rp 39,9 juta pada tahun 2022, menjadi Rp 49,8 juta pada tahun 2023. (LITBANG KOMPAS)
- Embarkasi Aceh sebesar Rp 44.364.357,26
- Embarkasi Medan sebesar Rp 45.201.652,26
- Embarkasi Batam sebesar Rp 47.429.308,26
- Embarkasi Padang sebesar Rp 46.044.850,26
- Embarkasi Palembang sebesar Rp 48.005.008,26
- Embarkasi Jakarta (Pondok Gede) sebesar Rp 51.338.008,26
- Embarkasi Jakarta (Bekasi) sebesar Rp 51.338.008,26
- Embarkasi Solo sebesar Rp 49.893.981,26
- Embarkasi Surabaya sebesar Rp 55.928.458,26
- Embarkasi Balikpapan sebesar Rp 50.792.201,26
- Embarkasi Banjarmasin sebesar Rp 50.753.057,26
- Embarkasi Makassar sebesar Rp 52.182.703,26
- Embarkasi Lombok sebesar Rp 51.268.349,26
- Embarkasi Kertajati sebesar Rp 52.837.858,26
- Embarkasi Aceh sebesar Rp 84.602.294,26
- Embarkasi Medan sebesar Rp 85.439.589,26
- Embarkasi Batam sebesar Rp 87.667.245,26
- Embarkasi Padang sebesar Rp 86.282.787,26
- Embarkasi Palembang sebesar Rp 88.242.945,26
- Embarkasi Jakarta (Pondok Gede) sebesar Rp 91.575.945,26
- Embarkasi Jakarta (Bekasi) sebesar Rp 91.575.945,26
- Embarkasi Solo sebesar Rp 90.131.918,26
- Embarkasi Surabaya sebesar Rp 96.166.395,26
- Embarkasi Balikpapan sebesar Rp 91.030.138,26
- Embarkasi Banjarmasin sebesar Rp 90.990 .994,26
- Embarkasi Makassar sebesar Rp 92.420.640,26
- Embarkasi Lombok sebesar Rp 91.506.286,26
- Embarkasi Kertajati sebesar Rp 93.075.795,26
- 2014: 40.030.000
- 2015: 37.490.000
- 2016: 34.600.000
- 2017: 34.890.000
- 2018: 35.240.000
- 2019: 35.240.000
- 2020: pandemi Covid-19
- 2021: pandemi Covid-19
- 2022: 39.890.000
- 2023: 49.812.700
Sumber: Kementerian Agama RI
- Bandara Internasional Iskandar Muda Banda Aceh (BTJ) untuk wilayah Provinsi Aceh.
- Bandara Internasional Kualanamu Internasional Airport Medan (KNO) untuk wilayah Provinsi Sumatera Utara.
- Bandara Internasional Hang Nadim Batam (BTH) untuk wilayah Provinsi Riau, Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Kalimantan, Provinsi Jambi.
- Bandara Internasional Minangkabau Internasional Airport Padang (PDG) untuk wilayah Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Bengkulu.
- Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang (PLM) untuk wilayah Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Bangka Belitung.
- Bandara Soekarno Hatta Internasional Airport (CGK) untuk wilayah Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Banten, dan Provinsi Lampung. Sebagian Wilayah Provinsi Jawa Barat, meliputi Kab. Bandung, Kab. Bandung Barat, Kab. Bekasi, Kab. Bogor, Kab. Ciamis, Kab. Garut, Kab. Karawang, Kab. Pangandaran, Kab. Purwakarta, Kab. Sukabumi, Kab. Cianjur, Kab. Tasikmalaya, Kota Bandung, Kota Banjar, Kota Bekasi, Kota Bogor, Kota Cimahi, Kota Depok, Kota Sukabumi, dan Kota Tasikmalaya.
- Bandara Internasional Adisumarmo Solo (SOC) untuk Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
- Bandara Internasional Juanda Surabaya (SUB) untuk Provinsi Jawa Timur, Provinsi Bali, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur.
- Bandara Internasional Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan Balikpapan (BPN) untuk wilayah Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Utara, Provinsi Sulawesi Tengah dan Provinsi Sulawesi Utara.
- Bandara Internasional Syamsudin Noor Banjarmasin (BDJ) untuk wilayah Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Kalimantan Tengah.
- Bandara Internasional Hasanuddin Makassar (UPG) untuk wilayah Provinsi Sulawesi Selatan,Provinsi Sulawesi Barat, Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi Gorontalo, Provinsi Maluku, Provinsi Maluku Utara, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
- Bandara Internasional Lombok (LOP) untuk Provinsi Nusa Tenggara Barat.
- Bandara Internasional Kertajati (KJT) untuk sebagian wilayah Provinsi Jawa Barat meliputi Kabupaten Majalengka, Kabupaten Cirebon, Kota Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Subang dan Kabupaten Sumedang.
Referensi
- Abdurrahman, Emsoe Dhani (ed.). 2016. Hadji tempoe doeloe: kisah klasik berangkat haji zaman dahulu. Bandung: Penerbit MCM.
- Sulastomo (fw.). 2001. Catatan ringan ibadah haji wartawan. Jakarta: Penerbit Penerbit Buku Kompas.
- SP, Bambang (ed.), Oetama, Jakob (fw.). 2005. Pergilah selagi muda: catatan ringan ibadah haji wartawan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
- https://www.kemenag.go.id/
- http://haji.kemenag.go.id/v4/
- https://nasional.kompas.com/read/2023/02/15/19145801/dpr-pemerintah-sepakati-biaya-haji-2023-per-jemaah-sebesar-rp-498-juta
- https://www.kompas.id/baca/humaniora/2022/12/19/pelaksanaan-ibadah-haji-2022-sangat-memuaskan
- https://www.kompas.id/baca/opini/2023/01/26/mencermati-biaya-haji