Paparan Topik | Ibu Kota Baru

Perpindahan Ibu Kota Negara (IKN): Belajar dari Brasil

Pemindahan Ibu Kota Negara bertujuan untuk menekan kesenjangan perekonomian Jawa dan Luar Jawa. Belajar dari Brasil, pemindahan ibu kota perlu juga mewaspadai kemungkinan munculnya kesenjangan baru.

KOMPAS/SUCIPTO (CIP)

Sejumlah pejabat berfoto bersama di titik nol IKN Nusantara di kawasan PT ITCI Hutani Manunggal, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Rabu (16/2/2022). Kunjungan itu dihadiri Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, Ketua DPR RI Puan Maharani, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, Wakil Gubernur Kaltim Hadi Mulyadi, dan Mendagri Tito Karnavian.

Fakta Singkat

Tujuan dan Alasan Pemindahan Ibu Kota Negara

INDONESIA:

  • Menjadi kota ‘berkelanjutan’
  • Penggerak ekonomi dan pemerataan kesejahteraan
  • Simbol persatuan nasional
  • Permasalahan urban Jakarta

BRASIL:

  • Pembangunan wilayah interior Brasil
  • Pusat Pemerintahan di tengah wilayah Brasil
  • Menjauh dari persoalan urban Rio de Janeiro
  • Membangun kota idaman yang modern
  • Lapangan pekerjaan baru

Panitia Khusus Pemindahan Ibu Kota Brasil dibentuk tahun 1946.

Peresmian Ibu Kota Brasil, Brasilia pada tahun 1960.

Ide tentang pemindahan ibu kota negara sudah lama digaungkan oleh Pemerintah sejak Presiden Joko Widodo, setidaknya pertama kali terdengar oleh publik pada tahun April 2017, dalam suatu amanat untuk mengkaji kemungkinan hal itu kepada Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang Brodjonegoro. Ide tersebut kemudian mulai mendapat dukungan serius pada rapat kabinet terbatas 29 April 2019. Pada pada 18 Januari 2022, Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa nama “Nusantara” akan menjadi nama dari ibu kota baru tersebut.

Gagasan yang sebenarnya sudah ada sejak zaman Presiden Soekarno tersebut kini hendak diwujudkan di sebuah lahan seluas 180 hektare di Kalimantan Timur, tepatnya di wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, dengan biaya sekitar 32 miliar dollar AS atau 501 triliun rupiah. (Sumber lain menyebutkan biaya pembangunan sekitar 466 triliun rupiah) Sumber pendanaannya sebesar 54,6 persen berasal dari skema Kerja Sama Pemerintah Badan Usaha (KPBU/Public-Private Partnership), 19,2 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan sisanya 26,2 persen dari pihak swasta.

Dasar hukum bagi pembangunan ibu kota baru ini – Rancangan Undang-undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) telah disusun oleh Panitia Khusus RUU IKN dan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada Rapat Paripurna DPR 18 Januari 2022. Pada 15 Februari 2022, RUU tersebut disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU 3/2022).

Pembangunan IKN diperkirakan akan berlangsung selama 15–20 tahun, tetapi Pemerintah mengupayakan pemindahan ibu kota berlangsung pada 2024 agar Presiden Joko Widodo dapat merayakan upacara kemerdekaan RI yang ke-79 di IKN Nusantara.

KOMPAS/ALIF ICHWAN (AIC)

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono memberikan selamat dan apresiasi kepada tim pemenang sayembara ibu kota baru. Desain Nagara Rimba Nusa memenangkan sayembara ibu kota negara (IKN) baru di Kalimantan Timur yang diumumkan di Auditorium Kantor PUPR, Jakarta, Senin (23/12/2019).

Pemindahan Ibu Kota Negara Lain

Indonesia akan menjadi negara ketiga di Asia Tenggara yang memindahkan ibu kotanya. Malaysia memindahkan pusat administrasi pemerintahannya dari Kuala Lumpur ke Putrajaya pada tahun 1993. Kendati demikian, ibu kota negara Malaysia tetaplah Kuala Lumpur, mengingat bahwa bentuk negara Malaysia adalah monarki konstitusional dengan kepala negaranya saat ini adalah Raja Yang di-Pertuan Agong Sultan Muhammad V (sejak 2016). Yang dipindahkan oleh Malaysia adalah kantor Perdana Menterinya beserta jajaran kementeriannya. Selain Malaysia, Myanmar adalah negara kedua di Asia Tenggara yang memindahkan ibu kotanya. Myanmar menetapkan keputusan pemindahan itu pada tahun 2005 dari Yangon ke Naypyidaw dan mulai membangun kota baru tersebut dari nol pada tahun 2006.

Dalam sejarah terdapat banyak negara lain yang telah memindahkan ibu kotanya. Masing-masing dengan alasan dan latar belakang ekonomi sosial serta politik yang berbeda. Secara umum, alasan pemindahan ibu kota dapat dibedakan ke dalam empat kategori.

Pertama, untuk menciptakan kota yang lebih netral secara politik dan ekonomi. Kedua, masalah lingkungan. Ketiga, kemerdekaan. Keempat, penyatuan dua entitas politik atau unifikasi. Suatu negara dapat memiliki lebih dari satu kategori alasan dalam pengalaman pemindahan ibu kotanya. Alasan dan latar belakang yang berbeda memberikan tantangan yang berbeda pula dalam upaya pembangunan ibu kota baru dan pencapaian tujuan yang lebih besar darinya sebagaimana direncanakan.

Tabel: Daftar Negara yang Memindahkan Ibu Kota

Negara Tahun Ibu Kota Lama Ibu Kota Baru
Brasil 1956 Rio de Janeiro Brasilia
Maruritania 1957 Saint Louis (Senegal) Nouakchott
Pakistan 1959 Karachi Islamabad
Botswana 1961 Mafeking Gaberone
Libya 1963 Benghazi Tripoli
Malawi 1965 Zomba Liliongwe
Belize 1970 Belize City Belmopan
Tanzania 1973 Bar es Salaam Dodoma
Nigeria 1975 Lagos Abuja
Pantai Gading 1983 Abidjan Yamoussoukro
Jerman 1991 Bonn Berlin
Kazakhstan 1997 Almaty Astana

Sumber: Mubaroq dan Solikin, 2019, dengan beberapa koreksi.

Jerman memindahkan ibu kotanya dari Bonn yang pada waktu itu merupakan ibu kota dari Jerman Barat ke Berlin pada tahun 1991. Pada waktu itu, Parlemen Jerman, Bundestag, mengambil keputusan ini sebagai bagian dari upaya reunifikasi antara Jerman Barat dan Jerman Timur. Berlin terletak di ujung Timur Jerman, sementara Bonn terletak di ujung Barat Jerman. Pengalaman Jerman pertama-tama adalah pemindahan ibu kota dengan alasan unifikasi.

Pengalaman serupa dimiliki oleh Australia yang didirikan sebagai negara persemakmuran Inggris pada 1901. Dua kota besar yang saling berkompetisi untuk menjadi ibu kota adalah Sydney dan Melbourne. Konstitusi Australia waktu itu mengatur bahwa pusat pemerintahan akan berada sementara di Melbourne sampai dipilihnya ibu kota baru. Pada 1908, melalui the Seat of Government Bill, Australia menetapkan Canberra (waktu itu bernama Yass-Canberra) karena letaknya yang strategis di tengah-tengah antara Sydney dan Melbourne. Pengalaman Australia ini merupakan contoh pengalaman pemindahan ibu kota dengan alasan menciptakan kota yang lebih netral secara politik dan ekonomi, sekaligus pengalaman pemindahan ibu kota setelah kemerdekaan.

Lebih jauh ke belakang, pada tahun 1790 Amerika Serikat melalui keputusan the Residence Act of July 16, 1790 menetapkan ibu kota barunya. Alasannya kurang lebih mencakup tiga hal sekaligus: unifikasi, kemerdekaan, dan penciptaan kota yang lebih netral secara politik dan ekonomi. Hal ini terjadi usai Deklarasi Kemerdekaan pada 4 Juli 1776 oleh tiga belas bekas koloni Inggris di Amerika Utara yang menyatakan diri merdeka dari Kerajaan Inggris dan Perang Revolusi Amerika (1775–1783) setelahnya.

Dalam keputusan tersebut, Presiden George Washington memindahkan ibu kota Amerika Serikat dari New York pertama-tama ke Philadelphia di Pennsylvania, lalu berpindah lagi lebih ke selatan ke suatu daerah di alur Sungai Potomac di wilayah Maryland dan Virginia, yang kini dikenal sebagai Washington DC. Pemindahan ini dimaksudkan agar pusat Pemerintahan Federal berada di tengah-tengah di antara koloni-koloni daerah Utara yang berkonflik dengan koloni-koloni daerah Selatan. Hal ini terjadi sebelum Perang Sipil Amerika Serikat yang pecah pada tahun 1861–1865.

KOMPAS/PRIYOMBODO (PRI)

Foto udara ruas jalan tol Balikpapan-Samarinda di gerbang tol Samboja, Sungai Merdeka, Samboja, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur, Selasa (9/3/2021). Ruas tol yang telah beroperasi penuh sejak tahun 2020 ini nantinya menjadi infrastruktur pendukung bagi rencana pembangunan ibu kota negara baru di Kalimantan Timur.

Mencari perbandingan yang tepat

Berbagai pemindahan ibu kota di atas didasarkan atas alasan yang beragam. Sebagai pembanding, diperlukan contoh pemindahan ibu kota negara lain dengan tujuan yang kurang lebih sama. Selain itu, perbandingan juga perlu mempertimbangkan jarak tahun agar tidak terlalu jauh ke belakang.

Dalam UU 3/2022 Pasal 2  disebutkan bahwa IKN Nusantara memiliki visi sebagai kota dunia dan dibangun dengan tiga tujuan. Pertama, menjadi kota berkelanjutan di dunia. Kedua, menjadi penggerak ekonomi Indonesia di masa depan. Ketiga, menjadi simbol identitas nasional yang merepresentasikan keberagaman bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemindahan IKN dilakukan demi mengurangi kesenjangan ekonomi di Jawa dan luar Jawa. Selain itu, Jakarta dianggap tidak lagi dapat mengemban peran sebagai Ibu Kota Negara. Hal itu diakibatkan oleh pesatnya pertambahan penduduk yang tidak terkendali, penurunan kondisi dan fungsi lingkungan, dan tingkat kenyamanan hidup yang semakin menurun. Oleh karena itu, pemindahan Ibu Kota Negara ke luar Jawa diharapkan dapat mendorong percepatan pengurangan kesenjangan dan peningkatan pertumbuhan perekonomian daerah di luar Jawa, terutama Kawasan Timur Indonesia.

Melihat alasannya, dua contoh pengalaman pemindahan ibu kota di Asia Tenggara tidak tepat dijadikan pembanding. Contoh Malaysia tidak persis dapat dijadikan perbandingan mengingat perpindahan dari Kuala Lumpur ke Putrajaya secara geografis dekat (dua puluh kilometer), tidak membangun kota dari nol, dan hanya memindahkan pusat administrasi pemerintahan alih-alih pusat kenegaraan (hal serupa dibuat oleh Korea Selatan dengan memindahkan pusat administrasi dari Seoul ke Sejong). Mantan wakil presiden RI, M. Jusuf Kalla menyebutkan bahwa pengalaman Malaysia itu seperti memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Jonggol. Pengalaman Indonesia akan lebih kompleks mengingat semuanya mesti serba baru, termasuk Istana Negara.

Sementara itu, meski contoh Myanmar adalah contoh pembangunan ibu kota dari nol di masa modern, contoh Myanmar ini memiliki latar belakang politik yang jauh berbeda. Perpindahan ibu kota Myanmar dari Yangon ke Naypyidaw diputuskan pada 2001 dan dieksekusi pada 2005 oleh pemimpin junta militer Myanmar waktu itu, Than Shwe. Alasan yang disampaikan oleh Pemerintah Myanmar waktu itu adalah kemacetan dan kepadatan penduduk di Yangon, tetapi alasan lain yang juga melatarbelakanginya adalah upaya junta militer untuk mengamankan kekuasaan politiknya dari gerakan oposisi militer yang banyak mengadakan demonstrasi di Yangon. Konteks politik ini tidak sesuai dengan kasus perpindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke Kalimantan Timur.

Contoh Jerman, Australia, dan Amerika Serikat di atas yang berlatarkan momentum kemerdekaan, politik unifikasi dan pencarian tempat netral secara politis juga tidak cocok untuk Indonesia, sekalipun dalam arti tertentu Indonesia pun memindahkan ibu kota ke Kalimantan yang terletak di tengah-tengah wilayah Indonesia. Pemindahan ibu kota Indonesia lebih dimaksudkan sebagai bagian dari upaya pemerataan ekonomi alih-alih unifikasi politis.

Perbandingan yang kiranya cocok dibuat adalah perbandingan dengan pengalaman pemindahan ibu kota yang dibuat oleh Brasil pada tahun 1960. Brasil memindahkan ibu kotanya dari Rio de Janeiro di ujung Timur, suatu kota pelabuhan yang berbatasan dengan Atlantik Selatan, ke tengah-tengah Brasil, yakni di sebuah area yang belum berkembang sama sekali waktu itu yang kini dikenal sebagai Brasilia.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN (HAS)

Ketua DPR Puan Maharani (dua dari kanan) didampingi Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad (dua dari kiri) melakukan konferensi pers bersama Menteri Sekretaris Negara Pratikno (kanan) dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (29/9/2021). DPR menerima Surat Presiden tentang Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) dari Presiden Joko Widodo yang diantarkan Mensesneg dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas.

Pengalaman pemindahan Ibu Kota Brasil

Ketika keputusan pemindahan ibu kota Brasil diambil dan dimulai dengan pembentukan panitia studi khusus pemindahan ibu kota pada tahun 1946, Brasil memiliki tiga wilayah yang menjadi pusat kepadatan penduduk dan perkembangan ekonomi. Ketiganya merupakan wilayah yang berkembang seiring dengan pergantian komoditas utama ekonomi Brasil.

Wilayah pertama, Timur Laut, yang berpusat di Kota Salvador adalah wilayah yang paling awal berkembang pada tahun 1532–1700. Pada masa itu Brasil masih berada di bawah Pemerintahan Kolonial Portugis dan wilayah Timur Laut Brasil menjadi tempat produksi komoditas gula. Wilayah kedua berada di Tenggara Brasil, di sekitar bekas ibu kota Brasil, Rio de Janeiro. Wilayah ini berkembang pada tahun 1700–1800 sebagai pusat komoditas tambang emas. Wilayah ketiga adalah São Paulo yang berkembang pada tahun 1850-1930 sebagai wilayah komoditas kopi.

Kota Salvador adalah ibu kota pertama Brasil sebagai koloni Portugis, yang pada tahun 1763 dipindahkan ke Rio de Janeiro. Kemudian pada tahun 1822, Dom Pedro I mendeklarasikan kemerdekaan Brasil dan Rio de Janeiro waktu itu tetap menjadi ibu kota Brasil. Kota Rio de Janeiro yang berbatasan langsung dengan Samudera Atlantik Selatan menjadi kota yang makmur berkat konektivitasnya sebagai kota pelabuhan. Selebihnya, bentangan luas wilayah Brasil di bagian Tengah dan Barat  yang dikenal sebagai bagian interior Brasil sebagian besar masih merupakan wilayah hutan yang tidak tersentuh, kecuali oleh para pengelana yang disebut sebagai bandeiras.

Pada tahun 1891 Brasil memiliki konstitusi baru dan dalam konstitusi tersebutlah terdapat mandat pemindahan ibu kota. Konstitusi 1891 mengamanatkan agar ibu kota dipindahkan dari Rio de Janeiro ke suatu lokasi yang terletak di pusat Brasil. Pemerintah Brasil waktu itu lalu memutuskan suatu kawasan di Selatan wilayah Golânia sebagai tempat ibu kota Brasil, yang sempat hendak dinamai Vera Cruz dan kini bernama Brasilia.

Wilayah Golânia bersama dengan wilayah-wilayah lain yang termasuk dalam wilayah interior Brasil atau daerah sertões (pedalaman) pada masa itu dipandang sebagai wilayah yang penuh misteri dan penuh kekuatan alam liar, tempat hanya orang-orang yang tangguh yang dapat bertahan hidup. Namun pada saat yang sama, wilayah tersebut juga dipandang sebagai wilayah yang menyimpan harta kekayaan terpendam, yang dapat membuat seorang penjelajah kaya raya. Ketika Konstitusi 1891 diadopsi, Pemerintah Brasil memang tengah mempromosikan kebijakan Marcha Para Oeste (bergerak ke Barat) dengan maksud untuk menggali potensi perkembangan di wilayah Tengah dan Barat Brasil.

Dalam arus kebijakan publik yang hendak mengembangkan wilayah interior Brasil tersebut, Pemerintah Brasil memiliki lima alasan khusus untuk pemindahan ibu kotanya. Pertama, pada masa itu tengah berkembang semangat nasionalisme Brasil dan keinginan untuk pemindahkan pusat pemerintahan Brasil ke daerah yang lebih dalam dari teritori Brasil. Kota Rio de Janeiro terlalu terekspos dunia luar karena letaknya sebagai kota pelabuhan sejak masa kolonial Portugis.  

Alasan kedua adalah pertimbangan bahwa Pemerintah Federal Brasil di Rio de Janeiro terlalu banyak diganggu oleh persoalan-persoalan urban Kota Rio sendiri sehingga kesulitan untuk dapat memperhatikan persoalan pengembangan daerah-daerah lain di Brasil. Kota Rio waktu itu sudah dianggap terlalu padat, terlalu kosmopolitan, terlalu sedikit tanah yang masih tersedia untuk pembangunan, banyak mengalami kelangkaan sumber daya seperti air, listrik, juga makanan, bahkan dinilai terlalu menarik kunjungan wisatawan. Pemindahan ibu kota ke interior Brasil diharapkan dapat memberikan kelegaan bagi Pemerintah Federal untuk dapat mengurus lebih baik seluruh wilayah Brasil. Masalah serupa, kendati dalam skala dan tentu jenis yang berbeda karena perbedaan zaman kini dialami oleh Indonesia di Jakarta.

Ketiga, Pemerintah Brasil menginginkan suatu “kota idaman”. Para insinyur dan arsitek tata kota di Brasil pada waktu itu pun membayangkan suatu kota dengan lapangan-lapangan yang luas, gedung-gedung yang modern dan tinggi menjulang, kota-kota satelit yang rumpun di sekitarnya, serta masyarakat yang bahagia tinggal di dalam ibu kota tersebut. Pengalaman Australia membangun Canberra dan Amerika Serikat membangun Washington DC merupakan rujukan mereka waktu itu. Impian ini terdengar senada dengan harapan Pemerintah Indonesia saat ini untuk membangun smart city dan sesuai dengan prinsip sustainable development – dua konsep yang belum ada pada paruh abad ke-20 waktu Brasil memindahkan ibu kotanya.

Pertimbangan keempat adalah alasan keuntungan ekonomi yang dapat diperoleh dengan pembangunan ibu kota baru. Proyek pembangunan ibu kota baru di harapkan dapat menciptakan banyak lapangan kerja baru bagi para insinyur, arsitek, pedagang, juga para buruh pekerja.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Hujan yang mengguyur saat perjalanan menuju lokasi calon ibu kota negara baru di kawasan konsesi hak pengusahaan hutan (HPH) PT ITCI, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, membuat jalan tanah yang berkelok-kelok dan berkontur naik turun licin dan hanya bisa dilewati oleh mobil bergardan ganda, Selasa (17/12/2019). Kondisi itu membuat mobil yang ditumpangi Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung tidak bisa melanjutkan ke titik lokasi yang ditinjau oleh Presiden Joko Widodo.

Mewaspadai kesenjangan baru

Kota Brasilia yang desainnya dirancang oleh arsitek utama Oscar Niemeyer tersebut akhirnya diresmikan pada 21 April 1960. Desain urban Niemeyer yang modernis bahkan futuristik tersebut dicatat sebagai warisan dunia oleh UNESCO pada tahun 1987. Bila dilihat dari udara, Kota Brasilia terlihat seperti sebuah pesawat terbang. Sisi-sisi sayap kanan dan kiri kota merupakan tempat tinggal para birokrat Brasil, sementara kepala pesawat tempat kokpit berada merupakan letak pusat-pusat kantor pemerintahan.

Kendati dari segi arsiteksi Brasilia mendapatkan pujian dan menuai kekaguman, kota ini menghadapi banyak permasalahan. Permasalahan pertama terletak pada desain kotanya sendiri. Setiap wilayah di Brasilia telah dizonasi secara ketat menjadi wilayah khusus seperti perkantoran, rumah, dan komersial. Desain urban modern yang mencampurkan beberapa fungsi sekaligus sebagai suatu lingkungan yang padu tidak terjadi di Brasilia. Ricky Burdett, profesor bidang studi urban di London School of Economics mengomentari bahwa Brasilia memang didesain kaku. Ada tempat untuk bekerja dan ada tempat untuk tinggal. “Tidak ada kehidupan jalanan di sana. Brasilia tidak punya kompleksitas laiknya kota yang sewajarnya. Ia lebih mirip seperti kompleks perkantoran untuk pemerintah. Orang-orang akan pergi pada Kamis malam ke São Paulo atau Rio untuk mencari hiburan,” tutur Profesor Burdett.

Tujuan Pemerintah Brasil untuk memindahkan kepadatan penduduk ke interior Brasil, khususnya ke ibu kota barunya itu dapat dikatakan “sangat berhasil”. Desain awal Brasilia merancang tempat domisili bagi 500 ribu orang. Kota ini kini dihuni lebih dari 2,5 juta orang. Bersamaan dengan kepadatan penduduk tersebut, permasalahan urban kota Rio de Janiero yang waktu itu hendak diselesaikan dengan pemindahan ibu kota ke Brasilia kini menjadi masalah urban di Brasilia sendiri.

Masalah ketiga berkaitan dengan upaya Pemerintah Brasil untuk mendukung pengembangan ekonomi yang setara. Pemindahan ibu kota Brasil waktu itu diharapankan dapat membawa pemerataan kemakmuran bagi masyarakat di daerah interior Brasil. Niemeyer yang adalah seorang simpatisan gerakan komunisme untuk kesetaraan ekonomi dalam desain kotanya merancang Brasilia agar menjadi rumah bagi orang kaya dan orang miskin yang disebut sebagai favelas. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.

Pendapatan rata-rata perbulan di Kota Brasilia saat ini memang dapat dikatakan spektakuler, sekitar 13.000 Real Brasil, sekitar 3.000 dollar AS atau 40 juta rupiah. Namun, kesenjangan ekonomi sangat mencolok. Pendapatan terendah di sana sekitar 1.700 BRL dan tertinggi sekitar 57.000 BRL. Demografi Brasilia menunjukkan bahwa alih-alih menjadi katalis kemajuan ekonomi yang egaliter, Brasilia menjadi cermin bagi kesenjangan ekonomi yang terjadi di seantero Brasil. Kota ini bahkan tercatat sebagai salah satu kota dengan kesenjangan ekonomi-sosial tertinggi di dunia.

Pengalaman pemindahan ibu kota Brasil dari Rio de Janiero ke Brasilia memiliki maksud dan konteks yang kurang lebih sama dan dapat dijadikan pembelajaran bagi Indonesia. Permasalahan yang dihadapi kota Brasilia menunjukkan bahwa pemindahan ibu kota memerlukan perencanaan yang betul matang agar tujuan besar dari pemindahan ibu kota dapat dicapai: mempercepat pengurangan kesenjangan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah luar Jawa. ***

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Presiden Joko Widodo bersama Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor meninjau lokasi calon ibu kota negara di kawasan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Selasa (17/12/2019). Presiden berharap pemindahan ibu kota tidak sekadar memindahkan fisik kantor atau gedung pemerintahan dari Jakarta. Menurutnya, dengan pindahnya ibu kota, diharapkan ada sebuah transformasi budaya kerja, sistem kerja, dan pola pikir bangsa.

Referensi

Internet
Buku dan Laporan Khusus