KOMPAS/JB SURATNO
Suasana memperingati 100 tahun meninggalnya filsuf Friedrich Nietzsche “Si Pembunuh Tuhan”, Jumat (8/12/2000), digelar diskusi bertema “Kritik dan Relevansi Pemikiran Nietzsche” di Bentara Budaya Jakarta (BBJ). Dipandu Dr Karlina Leksono-Supeli, diskusi yang materinya dari edisi khusus Majalah Basis (November-Desember 2000) menampilkan pembicara Dr Bernhard Kieser (kanan), Dr Haryatmoko, dan Dr Sindhunata (kiri).
Fakta Singkat
Sejarah dan tokoh Stoikisme:
- Dicetuskan oleh Zeno
- Tokohnya, antara lain, Zeno, Seneca, Epitectus, Marcus Aurelius
Beberapa pokok pikiran Stoikisme:
- Bebas dari emosi negatif
- Hidup selaras dengan Alam
- Dikotomi kendali
- Hidup dengan kebajikan/berkeutamaan
Penerapan dalam hidup sehari-hari:
- Akui bahwa semua emosi datang dari dalam diri
- Melatih dikotomi kendali
- Gunakan waktu sebaik mungkin
- Fokus saat menghadapi gangguan
Stoikisme atau biasa disebut juga dengan Stoa, kembali menarik perhatian masyarakat urban. Bahkan, ajaran Stoik banyak dipraktikkan oleh manusia metropolis sampai para petinggi Google, Apple, dan banyak perusahaan raksasa lainnya.
Dalam tulisan berjudul “Why Is Silicon Valley So Obsessed With the Virtue of Suffering” di New York Times, Nellie Bowles mengisahkan bahwa para petinggi Silicon Valley (lembah silikon) menjalani hari-harinya dengan melakukan ha-hal yang tidak biasa. Mereka melakukan kegiatan seperti duduk di kursi yang tidak nyaman, melakukan meditasi berhari-hari, tidak makan sampai kelaparan, bahkan mandi di pagi hari yang sangat dingin.
Mereka mencoba tidak terganggu dari hal-hal eksternal. Praktik ini bahkan sudah menjadi semacam gaya hidup. Rutinitas dan hidup harian yang penuh tuntutan membuat mereka terlena. Karenanya, mereka membawa rasa sakit itu supaya tetap ‘terusik’ dan berefleksi.
Pilihan mereka pada ajaran Stoikisme itu bukan semata-mata karena aliran filsafat ini sedang naik daun dan digemari anak-anak muda. Namun bagi mereka, ajaran Stoa bisa menampilkan wajah kematian sebagai hal yang ada di luar kendali mereka. Hidup ini hanya “dipinjamkan”, sewaktu-waktu bisa diminta kembali.
Di Indonesia, Stoikisme tampaknya belum begitu dikenal. Namun demikian, dalam beberapa tahun terakhir, ajaran Stoikisme itu mulai menarik berbagai kalangan di tanah air.
Hal itu dibuktikan dengan larisnya buku karya Henry Manampiring yang berjudul Filosofi Teras yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas. Buku ini menjadi salah satu buku “mega best seller” dan telah dibaca oleh banyak orang sejak pertama kali diterbitkan pada 2018. Buku lainnya yang mengulas tentang Stoikisme adalah Ataraxia: Bahagia Menurut Stoikisme yang ditulis oleh A. Setyo Wibowo (2019).
Baca juga: Belajar Filsafat ala Milenial
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Manusia dan Budaya menjadi salah satu tema sesi diskusi tematis dalam Simposium Internasional Filsafat Indonesia di Jakarta, Jumat (19/9/2014). Tema Manusia dan Budaya menghadirkan panelis antara lain Toeti Heraty, Haidar Bagir dan Mudji Sutrisno dengan moderator Karlina Supelli.
Sejarah dan tokoh Stoikisme
Merunut sejarahnya, Stoikisme didirikan di Athena oleh pedagang Fenisia Zeno dari Citium sekitar abad ke-3 sebelum Masehi. Awalnya disebut Zenonisme kemudian dikenal menjadi Stoikisme karena Zeno dan para pengikutnya bertemu di Stoa Poikilê, atau Beranda Berlukis.
Pada masa itu, Zeno mulai menerima murid-murid di akademi yang ia rintis dengan mengobrol biasa di teras pendopo yang letaknya sedikit jauh dari keramaian pasar. Cara mengajar dan bagaimana ia menempatkan akademinya inilah yang menyebabkan aliran filsafat ini disebut dengan Stoik. Penyebutan nama dengan istilah Stoik lebih merujuk pada bundaran tiang penopang yang menyangga teras.
Dalam Kamus Filsafat Cambridge, tokoh dan pandangan Stoa dapat dibagi menjadi tiga periode, yakni Stoa Awal yang terdiri dari Zeno (334–262 SM), Chrisipus (280–206 SM), dan Cleanthes (332–231 SM). Kemudian, Stoa Perantara dikembangkan oleh Panaetius dari Rhodes (185–112 SM) dan Posidonius dari Apamae (135–51 SM). Terakhir, Stoa Akhir (Stoa Romawi) dikembangkan oleh Lucius Annaeus Seneca—lebih dikenal dengan nama Seneca (1–65 M), Epictetus (55–135 M), dan Marcus Aurelius (121–180 M).
Stoikisme kemudian meredup pada awal abad ke-4, ketika kekaisaran Romawi mengadopsi agama Kristen sebagai agama resmi negara. Namun, pada abad ke-21, aliran filsafat ini kembali populer di dunia barat dengan terbitnya banyak buku dan presentasi yang diperkenalkan kembali ke publik, seperti karya-karya dari William Irvine, Tim Ferris, Ryan Holiday, dan Massimo Pigliucci.
Terdapat tiga tokoh/filsuf yang menggunakan filosofi Stoikisme dalam kesehariannya, yakni Seneca, Epictetus, dan Marcus Aurelius. Ketiga tokoh tersebut menyebarkan aliran Stoikisme dalam lingkungan masing-masing.
Seneca lahir di Cordoba, Spanyol, kira-kira pada tahun ke-4 sebelum Masehi. Ia dikenal sebagai pejabat publik pada masanya. Ia pernah bekerja di Pemerintahan Romawi Kuno sebagai penasihat Kaisar Romawi. Ia dikenal pula sebagai seorang penulis drama Romawi pada Zaman Perak sastra Latin.
Karya prosa Seneca mencakup selusin esai dan 124 surat yang membahas masalah moral. Tulisan-tulisan ini merupakan salah satu bahan utama terpenting bagi Stoikisme. Ia terkenal pula karena dramanya, seperti Medea, Thyestes, dan Phaedra.
Salah satu kontribusi Seneca terhadap filsafat adalah pada aliran Stoikisme. Tulisannya menjadi perhatian sejak era Renaisans dan seterusnya bagi para penulis seperti Michel de Montaigne. Dalam buku Who is Seneca? yang diterbitkan Daily Stoic, Seneca digambarkan sebagai “Stoik yang paling menarik di dunia”.
Seneca menulis sejumlah buku tentang Stoikisme dan sebagian besar tentang etika, dengan satu karya tentang dunia fisik (Naturales Quaestiones). Tulisan Seneca dibangun di atas tulisan-tulisan Stoa sebelumnya.
Epictetus dikenal sebagai seorang filsuf Stoikisme Yunani. Ia dilahirkan sebagai budak di Hierapolis, Frigia (sekarang Pamukkale, Turki) dan tinggal di Roma sampai pembuangannya. Ia pergi ke Nicopolis di barat laut Yunani selama sisa hidupnya dan mengajarkan filsafat Stoikisme di sana. Ajarannya ditulis dan diterbitkan oleh muridnya Arrian dalam bukunya Discourses and Enchiridion.
Marcus Aurelius hidup pada abad ke-2 Masehi. Ia dikenal sebagai Kaisar Romawi sekaligus filsuf. Ia sibuk beraktivitas sebagai pemimpin politik dan peperangan. Dia adalah penguasa terakhir yang dikenal dengan sebutan “Lima Kaisar yang Baik”—istilah yang diciptakan sekitar 13 abad kemudian oleh Niccolò Machiavelli, dan kaisar terakhir dari Pax Romana (27 SM — 180 M).
Marcus Aurelius dikenal sebagai kaisar-filsuf karena sifat kontemplatif dan pemerintahannya yang didorong oleh akal. Ia menulis buku berjudul The Meditations yang berisi catatan hidupnya. Pada tahun 2002, bukunya yang berisi 12 volume, bahkan menjadi buku yang paling banyak dibaca di dunia.
Dalam buku Marcus Aurelius: A Biography (1993), Anthony Birley menyebut bahwa Marcus Aurelius mendapat ajaran tentang Stoikisme dari beberapa kawan dekatnya yang juga merupakan penjabat negara Romawi kuno. Aurelius lalu mencoba menerapkan konstitusi yang dibuat berdasarkan kebebasan berpendapat dan kesetaraan.
Baca juga: Nathanael Pribady Menepis Stigma Filsafat
KOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Diskusi Filsafat di Jakarta (13/02/2019)
Beberapa pokok ajaran Stoikisme
Ajaran filosofi Stoikisme sangat beragam. Namun demikian, secara umum, ada tiga hal yang menjadi pembahasan aliran filsafat ini, yakni logika yang terbagi menjadi dua, yaitu retorika dan dialektika; fisika; serta etika.
Dalam buku Ataraxia: Bahagia Menurut Stoikisme yang ditulis oleh A. Setyo Wibowo (2019) disebutkan, Stoikisme menawarkan pandangan dunia yang lengkap (fisika) dengan etika (pilihan hidup yang baik), teologi (soal keyakinan akan keilahian), dan logika (utamanya dalam kajian berbahasa).
Pandangan mencolok mengenai etika adalah tentang bagaimana manusia memilih sikap hidup dengan menekankan apatheia (a=tidak, pathos=menderita), yang berarti bebas dari penderitaan. Sikap tersebut adalah cerminan dari kemampuan nalar manusia dan kemampuan tertinggi dari semua aspek hidup.
Bagi kaum Stoa, bahagia secara sederhana dapat diartikan sebagai bebas dari emosi atau segala rasa perasaan yang mengganggu. Orang Yunani menyebutnya pathos, yang berarti menderita sesuatu. Dalam pemikiran Stoa, pathos (atau passion dalam bahasa Inggris) adalah emosi negatif.
Emosi negatif berbeda dengan hasrat yang oleh kaum Stoa dianggap sebagai alamiah dan netral. Hasrat adalah impuls atau dorongan meraih tertentu. Hasrat selalu mengandung di dalamnya aktivitas representasi terhadap objek yang dihasrati. Bagi kaum Stoa, emosi negatif didefinsikan sebagai hasrat yang eksesif. Misalnya, saat menghendaki sesuatu yang jelas-jelas tidak masuk akal, seperti menghasrati supaya tidak tua.
Emosi-emosi negatif itu berasal dari manusia sendiri dan hanya manusialah yang bisa mengendalikannya sendiri. Ketika bisa mengendalikan apa yang dinamakan emosi negatif tersebut, kita bisa mencapai kebahagiaan.
Di dalam filosofi Stoikisme, semua hal yang terjadi dalam kehidupan manusia itu bersifat netral. Tidak ada yang berperan positif atau negatif, tidak ada hal buruk atau baik. Hal yang bisa menjadikan hal-hal tersebut menjadi positif atau negatif, baik atau buruk, adalah interpretasi dan persepsi terhadap hal-hal itu.
Para filsuf Stoik menganggap kebahagiaan itu bukan untuk dikejar. Mereka lebih fokus pada cara bagaimana dapat mengurangi emosi negatif, mulai dari marah, sedih, stres, dan galau. Dengan memperbaiki nalar tersebut, maka akan lebih mampu mengendalikan perilaku dalam menghadapi emosi. Ketakutan untuk menghadapi situasi yang tidak diharapkan sebenarnya lebih besar dibandingkan dengan akibat yang akan muncul dari peristiwa tersebut.
Stoikisme menawarkan cara hidup yang menjamin adanya makna dalam hidup, sehingga bisa mencapai ketenangan dan harga diri, serta senantiasa berguna bagi masyarakat pada kehidupannya, dalam kondisi eksternal apa pun.
Di mata Stoa, kebahagiaan dapat diraih dengan mencapai hidup berkeutamaan (life of virtue), yang diperoleh dengan prinsip “hidup selaras dengan Alam”. Keluar dari keselarasan dengan alam adalah pangkal ketidakbahagiaan.
Menurut pandangan Stoik, Sang Pencipta menata alam semesta ini dengan begitu rasional sehingga persoalan apapun yang terjadi, mereka menanggapinya dengan bijaksana. Oleh karena itu, kaum Stoa perlu memahami karakter alam semesta untuk menentukan cara hidup.
Hidup selaras dengan alam artinya harus sebaik-baiknya menggunakan nalar karena itulah yang membedakan manusia dengan binatang. Kaum Stoa juga menyakini bahwa segala sesuatu di Alam ini saling terkait, termasuk di dalamnya segala peristiwa yang terjadi di dalam hidup. Melawan atau mengingkari apa yang telah terjadi, artinya keluar dari keselarasan dengan alam.
Menurut Stoikisme, jalan menuju kebahagiaan didasarkan pada beberapa prinsip. Pertama, kemampuan dalam melihat diri sendiri, dunia, dan manusia lain secara objektif, serta kemampuan untuk menerima sifat mereka apa adanya.
Kedua, disiplin untuk mencegah diri sendiri dikendalikan oleh keinginan untuk bahagia atau takut terhadap rasa sakit dan juga penderitaan.
Ketiga, mampu membedakan hal mana yang dapat kita kendalikan dan tidak dapat kita kendalikan. Konsep ini juga mengajarkan bahwa apa yang ada di dalam kendali hanyalah pikiran, persepsi, keyakinan, dan tindakan kita sendiri.
Seorang Stoik hendaknya mampu tidak terpengaruh oleh hal-hal yang tidak mampu dikendalikan dan hidup terfokus pada sesuatu yang dapat dikendalikan. Hal ini bertujuan agar manusia dapat hidup bahagia dengan terbebas dari emosi-emosi negatif yang dapat merusak serta menghancurkan kebahagiaan manusia itu sendiri.
Stoikisme mengungkapkan bahwa kebijakan atau kebijaksanaan merupakan sebuah kebahagiaan dan penilaian yang harus didasarkan pada perilaku, bukan kata-kata. Kita tidak bisa mengendalikan apapun yang terjadi jika itu berasal dari luar diri atau bersifat eksternal. Kita hanya bisa mengendalikan diri kita dan bagaimana cara kita merespon hal-hal yang terjadi di sekitar kita.
Para Stoa mengungkapkan bahwa perasaan takut atau cemburu muncul dari penilaian yang tidak tepat dari orang-orang pada umumnya. Namun, bagi orang-orang yang bijak, yaitu mereka yang sudah mencapai kesempurnaan dalam hal moral serta intelektual, hal tersebut tidak akan dialami.
Kaum Stoa adalah orang-orang yang berusaha melihat masalah dengan rasional dan memahami bahwa sebuah persoalan muncul karena adanya sebab-akibat. Mereka tidak pernah mengandaikan untuk tatanan masyarakat yang ideal.
Mereka menyadari bahwa kita memang tidak bisa mengendalikan masalah datangnya seperti apa. Namun, yang bisa dikendalikan adalah diri kita saat dihadapkan sebuah masalah. Dengan begitu, tidak perlu ada beban pikiran yang dalam saat menghadapi masalah.
Selain mengajarkan tentang pengendalian diri, Stoikisme juga mengajarkan pentingnya penerimaan terhadap dua sisi kehidupan. Menanamkan rasa toleransi terhadap hal positif dan negatif yang datang dalam kehidupan akan mampu menyeimbangkan diri manusia sehingga terbebas dari segala hal yang menjauhinya dari kebahagiaan.
Pada akhirnya, tujuan utama dari filosofi Stoikisme adalah hidup dengan emosi negatif yang terkendali, dan hidup dengan kebajikan, serta bagaimana kita hidup sebaik-baiknya seperti seharusnya kita menjadi manusia.
Baca juga: UGM Akui Keilmuan Filsafat Wayang
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Franz Magnis-Suseno (kiri), bersama budayawan Jaya Suprana berbicara dalam konferensi pers menjelang Simposium Internasional Filsafat Indonesia (SIFI), di Jakarta, Selasa (16/9/14). SIFI digelar pada 19-20 September 2014 di Gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta.
Penerapan Stoikisme dalam hidup sehari-hari
Filsafat Stoikisme merupakan sebuah jalan hidup, way of life, yang masih tetap relevan untuk zaman sekarang. Karena itu, Stoikisme memiliki panduan praktis yang dapat diterapkan dalam cara berpikir. Seperti dikutip dari Daily Stoic dan berdasarkan buku Filosofi Teras, terdapat beberapa cara menerapkan Stoikisme yang bisa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Pertama, mengakui bahwa semua emosi datang dari dalam diri. Pada dasarnya, semua emosi yang dirasakan oleh seseorang berasal dari dalam diri sendiri. Namun, kebanyakan orang berpikir bahwa emosi yang mereka rasakan berasal dari hal-hal eksternal, seperti pekerjaan, kegiatan sekolah, dan lain-lain.
Menempatkan kesalahan dan tanggung jawab pada objek eksternal memang mudah dilakukan. Alhasil, orang-orang cenderung melakukan itu daripada memahami bahwa semua konflik dimulai secara internal, yaitu dari dalam pikiran. Karena itu, jujur dan mengakui pada diri sendiri bahwa semua emosi datang dari apa yang dipikirkan dan dirasakan, bukan berasal dari faktor luar, dapat membuat hidup lebih bahagia.
Kedua, melatih dikotomi kendali. Dikotomi kendali merupakan cara memisahkan hal-hal apa saja yang bisa dikendalikan dan yang tidak bisa dikendalikan. Mau tidak mau, pasti ada sesuatu yang tidak di bawah kendali kita. Bahkan, yang kita kendalikan terbilang jauh lebih sedikit dari apa yang tidak dapat dikendalikan.
Seseorang semestinya sadar bahwa ada banyak hal yang tidak bisa diubah. Karenanya, dengan menyadari hal itu, mereka dapat mengendalikan emosi. Dengan melatih dikotomi kendali, seseorang tidak hanya akan lebih tenang dan bahagia, tetapi juga terhindar dari emosi yang tidak perlu.
Ketiga, menggunakan waktu sebaik mungkin. Stoikisme mengajarkan bahwa waktu adalah aset terbesar manusia. Tidak seperti harta benda, waktu tidak akan pernah bisa diulang kembali. Karena itu, manusia harus berusaha untuk menggunakan waktunya sebaik mungkin.
Orang-orang yang menyia-nyiakan waktu untuk hal-hal kecil atau hiburan akan menemukan bahwa mereka tidak memiliki apa pun untuk ditunjukkan pada akhirnya. Kebiasaan menunda-nunda juga akan kembali menghantui keesokan harinya.
Keempat, tetap fokus saat menghadapi gangguan. Banyak hal yang dapat mengganggu fokus seseorang. Ketika seseorang dihadapkan dengan begitu banyak pilihan, orang tersebut akan teralihkan dengan fokus yang harus dikerjakan. Karena itu, perlu menekankan tindakan yang bertujuan.
Menjalani kehidupan sebaik-baiknya, menghayati setiap momen, dan menyadari bahwa kehidupan adalah sebuah anugerah yang tak ternilai merupakan cara agar manusia dapat menikmati hidup. Hidup yang demikian akan menjauhkan manusia seperti kecemasan dan ketakutan. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- “Buku: Melatih Batin, Mengendalikan Hidup * Tinjauan Buku: Filosofi Teras”, Kompas, 2 Maret 2019, hlm. 20
- “Analisis Budaya: Filosofi Kegairahan”, Kompas, 19 Desember 2020, hlm. 01, 15
- “Covid-19 dan ”Pembalikan Radikal”, Kompas, 19 Agustus 2021, hlm. 06
- Manampiring, Henry. 2022. Filosofi Teras. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
- Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta: Kanisius
- Magnis-Suseno, Franz. 1997. 13 Tokoh Etika. Yogyakarta: Kanisius.
- Pandiangan, Paulinus. Buku Kecil Filsafat Stoikisme. Diakses dari https://paulinus.net/
- Wattimena, Reza A. A. “Antara Keutamaan dan Kepastian Adam Smith dan Filsafat Stoa”. Melintas, Vol. 23, No. 2 (2007), 213-237.
- Ted-Ed . (2017, Juni 19). The Philosophy of Stoicism – Massimo Pigliucci. (video) Youtube. https://www.youtube.com/watch?v=R9OCA6UFE-0&t=93s
- What Is Stoicism? A Definition & 9 Stoic Exercises To Get You Started Stoic Exercises, Wisdom, and More, diakses dari https://dailystoic.com/
- Menerapkan Stoikisme, Demi Hilangkan Stres Menjalani Kehidupan, diakses dari laman https://nationalgeographic.grid.id/