Paparan Topik

Memaknai Hari Solidaritas Hijab Internasional

Hari Solidaritas Hijab Internasional atau International Hijab Solidarity Day telah diperingati sejak 4 September 2004. Momen ini merupakan respon atas sikap diskriminasi yang dialami wanita muslimah di berbagai negara kawasan Eropa. Pada awalnya, International Hijab Solidarity Day (IHSD) diprakarsai oleh para pemeluk Islam di empat negara, yakni Perancis, Jerman, Tunisia, dan Turki.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Pawai rimpu yang diikuti warga memeriahkan Festival Pesona Tambora 2016 di Doro Ncanga, Dompu, Nusa Tenggara Barat, Jumat (15/4/2016). Rimpu merupakan penutup kepala (hijab) tradisional suku Mbojo, suku asli Kabupaten Dompu dan Bima. Hijab tersebut berupa sarung berbahan kain tenun nggoli, tenun khas Mbojo, yang bermotif kotak-kotak dengan paduan dua warna atau lebih.

Fakta Singkat

  • International Hijab Solidarity Day dirayakan setiap 4 September sebagai bentuk protes atas pelarangan hijab di publik area. Tujuannya membangun solidaritas sebagai bentuk dukungan pada penggunaan hijab
  • World Hijab Day dimulai pada 1 Februari 2013 sebagai bentuk dukungan moral pada perempuan berhijab dan mengajak orang baik muslim atau non-muslim di dunia untuk mencoba menggunakan hijab pada 1 Februari.
  • Kampanye #JOYinHIJAB dan “Beauty is in Diversity as Freedom is in Hijab” adalah dukungan moral bagi perempuan berhijab di Twitter, tetapi kemudian dihapus dari Twitter oleh otoritas pemerintah setempat.
  • Di Indonesia 24 dari 34 provinsi membuat aturan mengenakan hijab di sekolah akibatnya siswa non-muslim pun wajib mengenakan jilbab.
  • Januari 2022 keluar Peraturan Menteri yang melarang pemaksaan jilbab bagi siswa non-muslim.

Perancis sudah mulai memberlakukan larangan penggunaan pakaian keagamaan ataupun simbol-simbol agama di sekolah, tempat kerja bahkan ruang publik sejak awal 2000. Diskriminasi pun terjadi di London, bahkan Tunisia menghukum dan memenjarakan perempuan berhijab.

Hal itu menimbulkan gelombang protes mayarakat pada pemerintah, hingga akhirnya dilaksanakan konferensi di London, Inggris pada 4 September 2004. Konferensi ini dihadiri oleh 300 peserta dari 35 negara dan lebih dari 102 organisasi internasional, bahkan seorang cendekiawan muslim yang berasal dari Mesir, yakni Syeikh Yusuf Al-Qardawi dan Prof. Tariq turut serta di sana.

Tujuan IHSD ini adalah mendukung perempuan berhijab dan menolak diskriminasi yang ternyata mendapat dukungan luas terutama dari negara negara muslim. Indonesia turut memberi dukungan dengan ikut merayakan IHSD ini.

Melarang pemakaian simbol agama dalam ruang publik telah menghilangkan hak personal untuk menjalankan keyakinan agamanya. Hal itu bahkan terjadi di ruang pendidikan tinggi seperti universitas bahkan kegiatan yang bersifat internasional.

Seorang mahasiswi bahkan harus melepaskan hijabnya agar diterima lingkungannya di salah satu universitas ternama di Amerika. Mahasiswa progam doktoral tersebut merasa tidak diterima oleh sivitas akademik dengan baik, seperti dosen yang enggan berbicara dengannya. Bahkan, fotonya pun dihapus ketika menghadiri seminar internasional, penggunaan jilbab bahkan dianggap sebuah ketertinggalan budaya.

KOMPAS/MYRNA RATNA

Sejumlah perempuan yang menggunakan hijab sedang berkerumun di pelataran Notre Dame, Paris (14/2/2005). Pemerintah Perancis sejak September 2004 memberlakukan peraturan yang melarang murid perempuan di sekolah lanjutan negeri menggunakan hijab di lingkungan sekolah.

Tekanan Makin Besar

Gerakan mendukung kebebasan menggunakan simbol agama semakin kuat setelah kematian tragis seorang imigran Jerman Marwa El-Sherbini. Marwa adalah Wanita keturunan Mesir yang menjadi Apoteker  di Jerman, ia bersama suami menjadi imigran sejak tahun 2005.

Kasus bermula dari Marwa El-Sherbini menggugaat Axel seorang pemuda asal Rusia yang menyebutnya teroris karena ia berjilbab. Marwa kemudian mengajukan gugatan hukum, saat proses persidangan di Dresden, Jerman secara tiba-tiba Axel menikam Marwa hingga tewas pada 1 Juli 2009. Axel kemudian dipenjara karena membunuh Marwa.

Peristiwa ini tentu saja sangat mengejutkan masyarakat Eropa dan Mesir,  peristiwa ini makin menegaskan bahwa diskriminasi sangat kuat hingga mendorong semangat yang lebih besar lagi untuk menyuarakan kebebasan menggunakan pakaian sesuai keyakinan agama. Kematian Marwa justru membuatnya dianggap martir bagi Gerakan IHSD. Ia menjadi simbol gerakan dan selalu dikenang dalam setiap peringatan IHSD di Eropa.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Koleksi busana muslim Elzatta pada Indonesia Fashion Week 2015 di Jakarta. (27/2/2015).

Tekanan demi tekanan terus dirasakan perempuan muslim di berbagai negara di Eropa. Hal itu justru membangun kesadaran akan pentingnya menghargai keyakinan individu. Oleh karena itu, pada 1 Februari 2013 muncullah gerakan World Hijab Day atau Hari Hijab Dunia.

Gerakan ini dimotori oleh Nazma Khan warga kota New York yang mengajak pada perempuan muslim maupun non-muslim untuk mencoba menggunakan hijab selama satu hari. Nazma Khan adalah imigran Amerika asal Bangladesh yang sejak kecil sudah mendapat tekanan dari masyarakat terlebih di sekolah. Peristiwa pemboman 11 September 2001 membuat hidupnya semakin tertekan akibat diskriminasi, baik di sekolah maupun di lingkungan tempat tinggalnya, Bronx, New York.

Gerakan Hari Hijab Dunia dilakukan untuk membangun simpati dan memahami pilihan perempuan yang menggunakan hijab, diharapkan tidak ada lagi kontroversi yang menyerangnya. Gerakan World Hijab Day ini  diikuti oleh 190 negara setiap tahunnya dan telah mendapatkan dukungan dari kalangan pendidikan, politisi dan selebriti dunia. Tidak kurang media  Amerika seperti New York Times, BBC, CNN, Al Jazeera, dan Huffington Post.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Koleksi hijab dan busana muslim skala usaha kecil dan menengah (UKM) turut meramaikan pameran Indonesia Fashion Week 2015 di Jakarta Convention Center yang berlangsung dari 26 Februari 2015 hingga 1 Maret 2015.

Tahun 2017, Gubernur New York secara resmi menyambut baik gerakan WHD ini, disusul Parlemen Skotlandia dan beberapa politisi di dalamnya memberi dukungan pada gerakan ini. Pada 2018, World Hijab Day menjadi lembaga organisasi non-profit yang memiliki misi untuk  melawan diskriminasi perempuan muslim melalui pendidikan dan kepedulian. Kemudian, Nazma Khan mendirikan International Muslim History Month untuk melawan Islamopobia di seluruh dunia, gerakan ini didukung oleh Senat New York pada Mei 2021.

Akan tetapi penolakan pada penggunaan pakaian yang menonjolkan identitas keagamaan semakin besar. Court of Justice of the European Union (CJEU) di Jerman pada 15 Juli 2021 sudah secara resmi sudah memberikan izin untuk membatasi pakaian religiositas atau atribut agama di ruang publik, tempat kerja dan sekolah.

Ketetapan itu dikeluarkan karena ada permintaan dari jaksa di Jerman yang meminta agar diberikan izin untuk memecat dua orang pekerja perempuan yang memakai penutup kepala. Satu perempuan yang bekerja di supermarket dan satu lagi yang bekerja mengurus anak-anak berkebutuhan khusus.

Akhirnya, Pengadilan Uni Eropa  mengeluarkan ketetapan yang membolehkan pekerja dipecat dari tempat kerjanya karena dianggap menggunakan simbol agama. Ketetapan itu melarang seseorang bekerja dengan menggunakan ekspresi politik, pandangan hidup, serta agama. Orang dianggap harus netral, tidak membawa penegasan identitas agama, dan Jerman telah menegaskan hal itu.

Ini artinya perempuan muslim tidak lagi diizinkan untuk masuk kantor ataupun pergi sekolah dengan berhijab atau mengenakan kerudung. Keputusan ini secara resmi menandai bahwa Jerman telah resmi menjadi negara yang melarang publik berkerudung atau berhijab di ruang publik dan ruang formal seperti lembaga pendidikan dan perkantoran. Secara legal seorang wanita berhijab boleh dikeluarkan dari tempatnya bekerja jika ia menolak melepaskan hijabnya di ruang publik.

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

Pembukaan Indonesia Fashion Week 2015, di Jakarta, Kamis (26/2/2015). Lebih dari 500 perancang dari Indonesia, Jepang, Korea memamerkan rancangan busananya selama empat hari.

Perancis dan Jerman telah menjadi negara yang melarang kebebasan ekspresi beragama. Karena alasan penggunaan hijab berbeda secara norma dibandingkan dengan penggunaan kippah bagi Yahudi dan turban bagi orang Sikh, keduanya tak dilarang.

Kippah menjadi bagian dari identitas Yahudi, sama halnya dengan Turban yang menjadi identitas kebesaran bagi kaum Sikh. Jika tanpa turban atau kippah, tidak ada sanksi dalam agama mereka. Lain halnya dengan penggunaan jilbab yang menjadi perintah sekaligus menunjukkan ketaatan seorang hamba pada Sang Pencipta.

Hal itu mendorong terbentuknya Forum of European Muslim Youth and Student Organizations (FEMYSO) yang memperjuangkan kebebasan dan menghargai keyakinan agama seseorang. FEMYSO kemudian menginisiasi Gerakan #JOYinHIJAB yang disebarkan melalui Twitter mengajak semua orang untuk menghargai perbedaan dalam konsep kecantikan dan bersifat inklusif.

FEMYSO menggaungkan kampanye “Beauty is in Diversity as Freedom is in Hijab” di Twitter. Gerakan ini merupakan aksi online untuk mengajak orang bersimpati pada perempuan berhijab. Namun, kelompok EU (Uni Eropa) melarang gerakan yang digaungkan lewat ruang online tersebut. Aktivis FEMYSO melihat pelarangan itu  sebagai perbuatan melawan penghargaan hak asasi manusia, karena menjalankan keyakinan agama merupakan hak paling asasi.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Sudut di salah satu outlet ritel fashion Uniqlo di Jakarta yang memajang busana muslim desain Hana Tajima (5/11/2015).

Kebebasan Ekspresi Beragama

Kebebasan menjalankan keyakinan agama ternyata berbeda pada setiap negara, termasuk Indonesia yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Menjalankan agama dan keyakinan di Indonesia dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945, hingga tidak boleh ada paksaan dalam menjalankan keyakinan tersebut.

Akan tetapi, ketika keran otonomi daerah mulai dibuka, terjadi benturan aturan undang-undang. Dalam dua dekade terakhir, terbit aturan daerah yang mewajibkan penggunaan atribut keagamaan tertentu dengan sanksi menyertai jika tidak dipatuhi. Akibat aturan tersebut, banyak anak dan perempuan yang menghadapi tekanan sosial serta ancaman sanksi jika tidak mengikuti aturan tersebut.

Pada tahun 2001, tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Indramayu dan Tasikmalaya, Jawa Barat, kemudian Tanah Datar, Sumatera Barat membuat aturan menggunakan pakaian muslim dan mengenakan tutup kepala (jilbab) di sekolah. Peraturan ini berlaku di 24 dari 34 provinsi dan membuat banyak perempuan dan anak merasa tertekan karena paksaan untuk mengikuti aturan tersebut.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG

Iis (kiri) siswi SMP di Kota Dompu, Nusa Tenggara Barat, mencoba Rimpu, hijab tradisional yang menggunakan kain tenun khas Sumbawa, yang akan dia gunakan saat pawai pembukaan Tambora Menyapa Dunia, Selasa (31/3/2015). Berbagai kegiatan dilakukan untuk menyambut 200 tahun letusan Gunung Tambora, antara lain pawai dengan pakaian adat, festival budaya, hingga puncak perayaan di Doro Ncanga, kaki Gunung Tambora, 11 April 2015.

Pada November 2020, viral kasus perdebatan seorang ayah dengan pihak sekolah SMKN 2 Padang perihal aturan berjilbab. Siswa yang beragama non-muslim dipaksa harus mengikuti aturan pemerintah kota Padang bahwa siswa perempuan harus menggunakan jilbab. Saat itu ada siswa non-muslim tidak menggunakan jilbab di sekolah hingga orang tuanya dipanggil. Sekolah melakukan pemaksaan dengan ada dalih aturan sekolah, hal ini sangat disayangkan karena seharusnya aturan di sekolah menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebangsaan.

Instruksi Wali Kota Padang Nomor 451.422/Binsos-III/2005 pada poin kesepuluh menyebutkan, murid/siswa SD/MI, SLTP/MTs, dan SLTA/SMK/MA se-Kota Padang diwajibkan berpakaian muslim/muslimah yang beragama Islam dan bagi non-Muslim dianjurkan menyesuaikan pakaian (memakai baju kurung bagi perempuan dan memakai celana panjang bagi laki-laki). Instruksi inilah yang dijadikan dasar pemaksaan seluruh siswa perempuan di sekolah negeri di kota tersebut harus memakai jilbab.

Peristiwa itu kemudian memunculkan polemik hingga akhirnya keluarlah SKB Tiga Menteri. Pada Februari 2021 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama menerbitkan SKB tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. SKB Tiga Menteri ini dikeluarkan karena kasus pemaksaan jilbab bagi siswa non-muslim di SMK 2 Padang.

Setelah keluar peraturan Instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bahwa tidak boleh ada pemaksaan penggunaan jilbab terutama bagi siswa non-muslim, hingga Januari 2021 siswa non-muslim di Kota Padang tidak lagi menggunakan jilbab di sekolah.

Belum lama ini, pada Agustus 2022 ,Pemerintah Daerah DI Yogyakarta membebastugaskan kepala sekolah dan tiga guru di SMA Negeri 1 Banguntapan, Bantul. Pembebastugasan tersebut berkait dengan dugaan pemaksaan pemakaian jilbab di sekolah tersebut yang membuat siswa merasa tertekan.

Peristiwa di SMA Negeri 1 Banguntapan, Bantul itu terjadi ketika ada seorang siswi kelas 10 yang ditegur karena tidak menggunakan jilbab. Siswa tersebut dipanggil dan ditanya oleh tiga gurunya dan ditanya alasan tidak memakai jilbab. Interogasi tersebut berlangsung cukup lama hingga siswa merasa dipojokkan, dia bahkan sempat dipakaikan jilbab oleh gurunya.

Setelah itu siswa tersebut meminta izin pergi ke toilet dan ia menangis hingga satu jam. Siswa tersebut baru keluar dari toilet setelah diketuk gurunya dan ia keluar toilet dalam kondisi lemas hingga akhirnya dibawa ke UKS. Setelah pulang siswa tersebut mengurung diri dalam kamarnya dan tidak mau bicara dengan orang tua bahkan tidak pergi ke sekolah.

Kejadian itu kemudian dilaporkan pada Aktivis Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Yogyakarta (AMPPY) dan membawa persoalan itu ke sejumlah pihak, Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Dikpora DIY), Ombudsman Republik Indonesia (ORI) DIY, serta Komisi Perlindungan Anak (KPAID) Kota Yogyakarta.

Pemerintah DIY melihat kasus tersebut sebagai pelanggaran disiplin pegawai hingga kepala sekolah dan tiga guru tersebut harus menjalani pemeriksaan, diduga ada peristiwa pemaksaan penggunaan kerudung. Dinas Dikpora DIY bersama Badan Diklat DIY akan memberikan pembinaan pada para kepala sekolah dan guru agar peristiwa tersebut tidak terulang lagi. Sementara siswa tersebut tetap dapat melanjutkan pendidikan di sana dan tetap difasilitasi jika ingin pindah ke sekolah lain.

KOMPAS/SOELASTRI SOEKIRNO

Mahasiswi Universitas Indonesia bernama Misyka (blus putih hijab biru) dengan kawan-kawannya sedang mengambil foto untuk tugas kuliah di M Bloc Space Jakarta Selatan pada Jumat (18/6/2021).

Human Right Watch mewawancarai lebih dari 100 orang yang pernah mengalami pelecehan dan konsekuensi jangka panjang karena menolak menggunakan atribusi keagamaan tertentu dalam hal ini pengunaan jilbab yang harus disesuaikan dengan syariat Islam. Dalam beberapa kasus, peraturan itu menimbulkan keresahan anak murid bahkan orang tua karena harus ikut menanggung risiko.

Dalam menghadapi persoalan kewajiban jilbab di sekolah, pelaksanaannya dapat dikembalikan pada murid dan keluarga masing-masing. Hal demikian membuat kemandirian murid dalam memilih model seragam dapat dianggap sebagai bagian dari latihan mengekspresikan kemerdekannya.

Indonesia sangat mendukung kebebasan ekspresi beragama, maka menjalankan keyakinan agama tentu saja dijamin oleh undang-undang. Hal inilah yang seharusnya menjadi panutan dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, sehingga tidak ada pelecehan atas nama kebebasan ekspresi. Selain itu, tentunya tidak ada pemaksaan atas nama peraturan yang justru menafikan hak asasi manusia dan kemanusiaan. (LITBANG KOMPAS)