Kronologi

Sejarah Hari Kehakiman Nasional

Kekuasaan kehakiman di Indonesia terbelenggu sejak era Demokrasi Terpimpin hingga Orde Baru. Aturan-aturan terkait profesi hakim baru muncul setelah era reformasi. Pada Maret 2012 muncul PP Nomor 94/2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim. PP ini menjadi dasar 1 Maret diperingati sebagai Hari Kehakiman Nasional.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Hakim Konstitusi Aswanto (kiri) dan Wahiduddin Adams mengucapkan sumpah di hadapan Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta (21/3/2019). Aswanto dan Wahiduddin Adams kembali menjabat sebagai hakim konstitusi periode 2019-2024.

Sesuai dengan UUD 1945 Bab IX pasal 24-25, kekuasaan Kehakiman (Mahkamah Agung dan Badan-badan Kehakiman) ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Oleh karena itu harus ada jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim.

Jaminan kekuasaan hakim ini kemudian diatur dalam UU Nomor 19 tahun 1948, pasal 3, tentang kebebasan kekuasaan kehakiman. Dalam pasal tersebut disebutkan para hakim merdeka dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman dan hanya tunduk pada undang-undang. Pada masa itu belum banyak yang menuliskan hak-hak seorang hakim, hanya dituliskan tanggung jawab seorang hakim.

Meski telah diatur, kekuasaan kehakiman di Indonesia dibatasi sejak era Demokrasi Terpimpin hingga Orde Baru. Aturan-aturan terkait profesi hakim baru muncul setelah era reformasi. Puncaknya, pada Maret 2012 muncul PP Nomor 94/2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang ditetapkan 29 Oktober 2012. Sejak itu, tanggal 1 Maret 2012 diperingati sebagai hari kehakiman.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (kiri) dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh bersiap untuk mengucapkan sumpah hakim konstitusi di hadapan Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta (7/1/2020). Daniel merupakan hakim konstitusi dari unsur Presiden yang menggantikan hakim MK I Dewa Gede Palguna yang habis masa jabatannya pada Selasa kemarin. Sementara itu, Suhartoyo merupakan hakim konstitusi yang kembali diusulkan Mahkamah Agung untuk jabatan periode kedua.

September 1951

Sutadji, S.H. dan Soebijono, S.H. selaku Ketua dan Hakim pada Pengadilan Negeri Malang membentuk ikatan hakim yang berkedudukan di Surabaya dan Jawa Tengah.

September 1952

Para Hakim wilayah Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur mengadakan rapat di Surabaya. Dalam pertemuan tersebut diputuskan membentuk organisasi para hakim yang bersifat nasional. Soerjadi, SH., diberi mandat untuk membentuk Pengurus Besar serta merencanakan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) IKATAN HAKIM.

20 Maret 1953

Konsep AD/ART berhasil disusun dan dikirimkan kepada para Hakim untuk dimintai pendapatnya. Hingga tenggat waktu penyampaian pendapat berakhir, tidak ada usul dan saran perubahan. Konsep tersebut disahkan sebagai AD/ART dan tanggal 20 Maret menjadi tonggak sejarah lahirnya Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI).

1959-1965

Pada era Demokrasi terpimpin Presiden Soekarno, hukum berfungsi sebagai alat pengayoman dalam negara RI berdasar Pancasila dan Manipol/Usdek menuju masyarakat sosialis Indonesia. Kekuasaan kehakiman terbelah: teknis yudisial di tangan MA sedang administrasi, organisasi, dan finansial di tangan pemerintah. Presiden bisa campur tangan demi kepentingan revolusi, keamanan negara dan bangsa, serta kepentingan masyarakat yang mendesak (Psl 19 UU No 19/ 1964).

1965-1970

Memasuki era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, terjadi proses koreksi atas berbagai penyimpangan, kendati kekuasaan kehakiman tetap belum merdeka. Pada masa ini dikeluarkan Tap MPRS XIX/MPRS/1966 tentang peninjauan kembali produk legislatif yang tak sesuai dengan UUD 1945.

1970-1998

Kekuasaan kehakiman tetap belum merdeka. Teknis yudisial berada di bawah MA, sedang organisasi, finansial, dan administrasi berada di eksekutif. Seleksi hakim agung melalui rapim DPR.

1998-1999

Pada masa transisi dari Orde Baru ke era reformasi, Presiden BJ Habibie menerbitkan UU No 35/1999 tanggal 31 Agustus 1999. UU tersebut menyebutkan “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dan oleh karena itu untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang mandiri dan terlepas dari kekuasaan pemerintah dipandang perlu melaksanakan pemisahan yang tegas antara yudikatif dan eksekutif”. Pada masa ini Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dilaksanakan secara bertahap, paling lama lima tahun (hingga 2004), kecuali Peradilan Agama.

1999-2006

Memasuki era reformasi sejumlah aturan baru yang mengatur profesi kehakiman muncul. Seleksi hakim agung melalui uji kelayakan dan kepatutan di DPR. Untuk hakim nonkarier (akademisi) masuk ke Mahkamah Agung. Pada Perubahan Ketiga UUD 1945 disebutkan, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden (Psl 24A). Ketua dan Wakil Ketua MA dipilih dari dan oleh hakim agung (Psl 24A5).

Maret 2012

Lahirnya PP Nomor 94/2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang berawal dari pergerakan hakim untuk mendapatkan pengakuan profesi kehakiman. Pada 26 Maret 2012, Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi, mengatakan Mahkamah Agung telah mengusulkan kenaikan gaji hakim sejak 2010 kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, usulan itu belum direspons oleh pemerintah. Tuntutan kenaikan gaji hakim diserukan oleh hakim di daerah. Bahkan, mereka juga menyerukan untuk mogok sidang.

29 Oktober 2012

PP Nomor 94/2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim ditetapkan. PP ini menjadi dasar ditetapkannya 1 Maret sebagai Hari Kehakiman.

Referensi

Arsip Kompas
  • “Reformasi Peradilan: Ide Revolusioner yang Memicu Resistensi”, KOMPAS, 17 Januari 2006, hal. 5.
Buku
  • Saleh, Wantjik.1976. Kehakiman dan Peradilan. Jakarta: Simbur Cahaya