Kronologi | Hari Pahlawan

Radio Pemberontakan: Suara Propaganda Pertempuran Surabaya

“Merdeka atau mati!”, suara Bung Tomo berkumandang di radio-radio yang membakar semangat Arek Surabaya melawan gempuran mempertahankan kemerdekaan. Kata-kata itu menjadi kekuatan yang mampu merepotkan pasukan Sekutu.

IPPHOS

Bung Tomo tampak berapi-api memberikan semangat kepada massa pada rapat umum di Bandung (15/9/1955).

Surabaya masih diliputi oleh semangat revolusioner untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Peristiwa di Hotel Oranje, penyobekan warna biru pada bendera Belanda yang kemudian meninggalkan warna merah-putih masih membekas dalam ingatan Sutomo yang lebih di kenal Bung Tomo pada pertempuran November 1945.

Namun, kebanggaan Bung Tomo sirna begitu cepat. Penyebabnya adalah ketika kedatangannya ke Jakarta untuk menemui Presiden Soekarno, ia malah menemui bendera Belanda bebas berkibar di jalanan. Hal ini membuatnya kecewa setelah sebulan sebelumnya ia dengan gagah berani bersama arek Surabaya melawan Belanda.

Faktor inilah yang membuat Sutomo mendirikan Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI). Organisasi ini memiliki pola pergerakan yang cenderung memberontak tanpa mengikuti komando terpusat di Jakarta. Untuk melancarkan manuver perlawanan, Bung Tomo mendirikan Radio Pemberontakan sebagai corong untuk membakar semangat melawan penjajahan.

Suara Sutomo yang tegas dan lantang menyerupai Bung Karno selalu ditunggu-tunggu oleh Arek Surabaya. Terbukti lewat suaranya di Radio Pemberontakan mampu membawa pengaruh yang besar dalam menggerakkan pertempuran 10 November 1945.

 

Awal Oktober 1945


Sutomo pergi ke Jakarta untuk menemui Soekarno. Ia meminta persetujuan untuk mendirikan radio perjuangan yang akan disiarkan di seluruh Indonesia. Namun, Menteri Penerangan, Amir Sjarifuddin, menolaknya dan menyarankan untuk mendirikan stasiun radio Voice of the Indonesian Revolt yang memberitakan kemerdekaan Indonesia di luar negeri.

10 Oktober 1945


Bung Tomo kecewa usulannya untuk mendirikan radio ditolak oleh pemerintah pusat. Kekecewaannya kian memuncak ketika melihat bendera Belanda bebas berkibar di Jakarta. Ia pun memutuskan langsung kembali ke Surabaya.

12 Oktober 1945


Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) dibentuk dan diketuai oleh Sutomo. Organisasi ini menerima seluruh lapisan masyarakat, tidak hanya pemuda saja. Pola pergerakan BPRI bersifat ekstremis karena lebih suka bertindak langsung tanpa komando dari pusat. Sutomo juga membentuk Radio Pemberontakan sebagai corong BPRI untuk menyebarkan semangat revolusi.

Bung Tomo, Pejuang Kemerdekaan (10/11/1945).
IPPHOS


13 Oktober 1945


Siaran Radio Pemberontakan pertama kali mengudara dengan Sutomo sendiri sebagai penyiar. Ia mengabarkan tentang pembentukan BPRI di Surabaya. Banyak orang terkesan dengan suara Bung Tomo yang dinilainya mirip dengan gaya Soekarno. Maka tidak mengherankan banyak yang tertarik untuk bergabung dengan BPRI.

15 Oktober 1945


Radio Pemberontakan mengumumkan kepada orang-orang asing di Surabaya yang memiliki jiwa revolusi Indonesia untuk membantu penyiaran dalam bahasa Inggris. Hal ini dilakukan untuk membantu menyerukan semangat melawan penjajahan kepada dunia internasional. K’tut Tantri, seorang perempuan Amerika Skotlandia, secara sukarela menjadi penyiar.

19 Oktober 1945


Pemancar Radio Pemberontakan yang tersambung dengan Radio Republik Indonesia Surabaya mulai menyiarkan pidato-pidato Sutomo tanpa persetujuan dari pemerintah pusat. Isi pidato Sutomo kemudian dapat diperdengarkan secara luas mulai dari Malang, Solo, dan Yogyakarta.

22 Oktober 1945


Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh KH Hasyim Ashari di Kampung Peneleh, Surabaya, diadaptasi oleh Bung Tomo dalam pidato-pidatonya di Radio Pemberontakan. Ia mengajak kepada seluruh kaum santri untuk turun ke medan perang berperang jihad melawan penjajahan.

25 Oktober 1945


Pasukan Sekutu mendarat di Surabaya. Di dalam pasukan itu juga terdapat Nederlandsche Indische Civil Administration (NICA) yang bertugas untuk menguasai kembali wilayah-wilayah Indonesia di bawah pemerintahan Belanda.

28-29 Oktober 1945


Pasukan Inggris mengepung Surabaya dengan menduduki pos-pos strategis. Misi mereka merebut senjata yang dikuasai oleh para pejuang. Pertempuran pun pecah setelah pemuda dan rakyat Surabaya menolak menyerahkan senjatanya.

30 Oktober 1945


Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby tewas tertembak pada pertempuran antara pasukan Inggris dengan rakyat Surabaya. Peristiwa ini memicu kontak senjata tanpa henti di antara kedua pihak. Soekarno-Hatta ditemani Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin kemudian mendatangi markas Radio Pemberontakan. Mereka menyerukan gencatan senjata antara pasukan Inggris dengan rakyat Surabaya.

9 November 1945


Sutomo memberikan komando kepada seluruh lapisan kekuatan di Surabaya untuk mengangkat senjata melawan Sekutu. Pidatonya disiarkan oleh Radio Pemberontakan dengan salah satu seruannya, “Merdeka atau Mati!”. Seruan ini merupakan respons atas ultimatum Mayor Jenderal Mansergh, Panglima Divisi Infanteri India Kelima, melalui selebaran yang disebarkan dari udara.

Seorang wanita berkebangsaan Amerika yang lama bermukim di Bali dan dikenal dengan nama Ktut Tantri mengobarkan semangat juang arek Surabaya melalui corong radio peristiwa Surabaya, November 1945 yang dipancarkan hingga keluar negri (9/11/1945). IPPHOS


10-12 November 1945


K’tut Tantri, penyiar Radio Pemberontakan, menyindir Inggris saat Sekutu menghujani Surabaya dengan bom. Dalam bahasa Inggris, Tantri megatakan bahwa apabila pasukan Sekutu terus menjatuhkan bom ke Surabaya yang mengakibatkan terbunuhnya perempuan dan anak-anak, maka hal tersebut merupakan lembaran paling gelap dalam sejarah Inggris.

14 November 1945


Sutomo, pemimpin BPRI, melalui siaran Radio Pemberontakan menyatakan rasa terima kasihnya kepada para pejuang Surabaya yang telah gugur melawan pasukan Sekutu. Ia juga meminta  para kyai dan alim ulama untuk memberikan semangat kepada rakyat Surabaya karena pasukan Sekutu semakin gencar membombardir Surabaya.

18 November 1945


Bung Tomo kembali berbicara melalui siaran Radio Pemberontakan untuk meningkatkan semangat rakyat Surabaya. Sutomo mengingatkan untuk berhati-hati terhadap mata-mata musuh yang telah mengacaukan pasukan pejuang. Ia dengan berani menyerukan kepada seluruh rakyat Surabaya untuk membakar rumah-rumah mereka yang diduga sebagai mata-mata musuh.

30 November 1945


Sekutu berhasil menguasai Surabaya setelah melancarkan serangan bertubi-tubi. Statiun Radio Pemberontakan juga tak luput dari sergapan musuh. Para penyiar radio pun berusaha untuk menyelamatkan pemancar radio. Mula-mula dibawanya ke Bangil hingga akhirnya sampai ke Malang.

Desember 1947


Selama Agresi Militer Belanda, Radio Pemberontakan kerap kali dipergunakan oleh Tentara Nasional Indonesia untuk berkoordinasi. Namun, lambat laun Radio Pemberontakan dan BPRI tidak lagi menjalankan fungsinya seperti saat di Surabaya. Hal ini lebih disebabkan karena pola pergerakan revolusi yang dibuat pemerintahan Indonesia

19 Desember 1948


Pemancar Radio Pemberontakan terkadang masih dapat didengarkan dengan nama Radio Gerilya. Siaran ini diselenggarakan oleh Brigade Mobil polisi Jawa Timur yang dipimpin oleh M. Jasin di daerah Gunung Wilis. Pada akhirnya, pemancar tersebut dipergunakan sebagai pemancar perhubungan oleh Pusat Kepolisian Republik Indonesia.

Referensi

Arsip Kompas
  • “Melihat Pertempuran Surabaya: Hari Ini 45 Tahun Yang Lalu”. KOMPAS, 11 November 1990 hal. 1.
  • “Ktut Tantri, Penulis “Revolusi di Nusa Damai””. KOMPAS, 5 Juli 1992 hal. 2.
  • “Malam Nostalgia 10 November 1945-1994. Mengenang Pejuang Bung Tomo”. KOMPAS, 20 Desember 1994 hal. 20.
  • “Bung Tomo dan Pekik Merdeka”. KOMPAS, 3 Juni 1995 hal. 1.
  • “Saksi Bisu Sejarah Itu Pun Telantar”. KOMPAS, 17 November 2003 hal. 31.
  • “Peristiwa-Peristiwa Seputar 10 November”. KOMPAS, 10 November 2019 hal. D.
Buku

Penulis
Martinus Danang
Editor
Rendra Sanjaya