KOMPAS/EDDY HASBY
Deretan gedung perkantoran dan apartemen di kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta (16/2/2021).
Hari Arsitektur Nasional setiap tanggal 18 Maret merupakan wujud apresiasi atas jasa para arsitek negeri yang telah menghasilkan karya dalam perjalanan membangun bangsa. Wajah arsitektur Indonesia yang ada saat ini mengandung pengaruh dari berbagai unsur budaya mulai dari budaya lokal, India, China, Timur Tengah, hingga Eropa.
Selama berabad-abad, beragam unsur-unsur budaya melebur menjadi satu menjadi berbagai gaya dan bentuk arsitektur. Selain budaya, aspek politik juga turut mempengaruhi wujud arsitektur di Indonesia saat ini. Tekanan arus globalisasi, modernisasi, dan internasionalisasi membangkitkan pemikiran regionalisme arsitektur Indonesia sebagai jalan untuk mencari keaslian dan jati diri bangsa.
10.000 SM-200 M
Arsitektur Vernakular
Ragam sistem budaya dari suku-suku kecil yang tersebar di wilayah Nusantara Indonesia membentuk variasi tradisi arsitektural tradisional (vernakular) dan langgam bangunan yang unik sesuai dengan konteks lokalnya masing-masing. Karakter fisik yang dominan dalam tradisi arsitektural vernakular di Indonesia adalah ragam bentuk atap, konstruksi, dan material yang terintegrasi indah dengan sistem kepercayaan (simbolisasi dan ritual) dan semangat komunalisme.
Bangunan yang paling sering dibangun adalah rumah (uma) yang dipakai sebagai tempat tinggal, gudang beras atau lumbung, serta berbagai jenis tempat penyimpanan dan bangunan umum (balai, bale) yang digunakan sebagai pusat komunitas di mana ritual, upacara, atau pertemuan warga diselengarakan. Tradisi arsitektur vernakular ini terus diwariskan dari generasi ke generasi.
Tradisi vernakular di Indonesia mempunyai keserupaan asal muasal dari tradisi pembangunan kuno, terutama pada tradisi arsitektur Austronesia yang mendiami daerah pantai dan sungai-sungai China Selatan dan Vietnam Utara kurang lebih 4000 tahun SM. Sekitar 2000 SM, kelompok migran tersebut mencapai Kepulauan Sulawesi dan Indonesia Timur dan mencapai bagian barat Indonesia kurang lebih pada 1000 SM. Kesamaan arsitektural Autronesia ini tercermin pada properti dan bentuk morfologis struktur dasarnya.
Secara umum bentuk morfologi bangunan tradisional di Indonesia dipengaruhi oleh konsep budaya yang kental dan dikaitkan dengan tubuh manusia yang terdiri dari kepala, badan, kaki. Hal tersebut seperti terlihat pada bentuk rumah tradisional di Pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara Timur. Bentuk panggung yang banyak dijumpai pada rumah adat tradisional juga demi menyesuaikan dengan iklim tropis lembab.
200-1500 M
Pada kurun waktu ini mulai terjalin hubungan perdagangan antara pedagang Indonesia dengan India. Dampaknya pengetahuan tentang agama Hindu-Budha mulai masuk ke Nusantara. Proses peleburan antara pengaruh Hinduisme dan Buddhisme berlanjut sampai ke zaman Klasik awal (600-900 M).
Arsitektur Hindu-Buddha
Pada zaman klasik pertengahan (900-1250 M) konsep arsitektur berteknologi bata dan batu mulai diterapkan pada berbagai candi. Hal ini terlihat pada candi-candi atau kuil yang dibangun oleh Kerajaan Sriwijaya di Sumatera dan Majapahit di Jawa.
Tradisi arsitektur Hindu-Buddha ini kemudian berpengaruh pada arsitektur vernakular, terlihat pada rumah dan beberapa macam konstruksi di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara yang dibangun di atas fondasi batu. Pada periode ini juga pola kosmologi dan gagasan kota sebagai entitas sosial budaya dan politik mulai diterapkan. Pola ini dilestarikan pada struktur kota pedalaman Jawa yang berpusat pada keraton.
1500 M
Pada zaman proto-modern ini arus migrasi para pedagang Islam dari selatan China, India, Arab, dan Persia mulai terjadi. Dampaknya mulai berkembang kota-kota pelabuhan di sepanjang pesisir nusantara. Pada tahapan lebih lanjut pengaruh China dan Islam ini membentuk budaya bermukim yang lebih “modern”. Permukiman kosmopolit padat tumbuh berdampingan dengan bertoleransi dan berbaur. Tempat-tempat ini menjadi pusat penting perkembangan politik, ekonomi, dan kebudayaan mulai abad ke-15.
Arsitektur China
Warisan China secara mendasar ikut membentuk arsitektur Cina yang diterapkan dalam bangunan di wilayah pecinan. Kendati pengaruh arsitektur China pada arsitektur vernakular Indonesia dinilai terbatas pada adopsi teknik konstruksi saja, namun arsitektur China turut memperkenalkan banyak kemajuan kepada kehidupan lokal di antaranya lewat benda dan tipologi elemen rumah seperti rumah-toko, loteng, hingga perabot rumah.
Arsitektur Islam
Sumbangan besar Islam bagi budaya arsitektur Indonesia adalah pemunculan tipologi masjid yang dirintis mulai abad ke-14 dan ke-15. Pada awal proses, perkembangan Islam tidak secara signifikan memperkenalkan tradisi arsitektur yang sama sekali baru, tetapi mengandung adaptasi dengan tradisi arsitektur yang telah ada yakni vernakular dan Hindu-Buddha. Contohnya Masjid besar di Kota Demak dan Kudus. Pada perkembangan selanjutnya arsitektur masjid lebih banyak mengadopsi bentuk dari Timur Tengah, seperti atap kubah bawang dan ornamen ala Eropa.
1600-1950an
Arsitektur Kolonial
Sejak akhir abad ke-15 Masehi, Kepulauan Indonesia menjadi tujuan para pedagang dari Eropa dalam rangka pencarian rempah-rempah. Ekspansi kultural Eropa (Portugis, Spanyol, Inggris, Perancis, dan Belanda) mulai diadaptasikan di dalam bangunan bagi penyimpanan barang dagagan dan pertahanan militer yang menjadi tipologi arsitektur baru. Di abad kesembilan belas, setelah penggabungan teritori kepulauan Indonesia di bawah kontrol imperium Belanda, arsitektur kolonial digunakan untuk mempertahankan kekuasaan kolonial. Ciri-ciri gaya kolonial terlihat dengan dengan penggunaan pilar-pilar yang bagian atasnya bergaya romawi.
Pada awal abad ke-20, seiring dengan dicanangkannya Politik Etis akibat buruknya kualitas kota-kota di Indonesia, Belanda mengadakan pembaruan besar di bidang sarana dan prasarana kota. Hasilnya, banyak dibangun rumah tinggal maupun bangunan publik yang dirancang dengan lebih memperhatikan kondisi iklim tropis Indonesia yang panas dan lembab dan kondisi sosial ekonomi masyarakat saat itu. Rumah model seperti ini dikenal dengan nama rumah landhuiz, yaitu hasil perkembangan rumah tradisional Hindu-Jawa yang diubah dengan penggunaan teknik, material batu, besi, dan genteng atau seng. Arsitek landhuizen yang terkenal saat itu antara lain Wolff Schoemaker, DW Berrety, dan Cardeel.
Arsitektur Indis
Pada perkembangan selanjutnya pemerintah Belanda membuat peraturan dalam membangun gedung perkantoran dan rumah kedinasan yang disebut Indische Huizen atau Indo Europeesche Bouwkunst al. Dari segi politis, pengertian arsitektur Indis juga dimaksud untuk membedakan dengan bangunan tradisional yang lebih dahulu telah eksis, bahkan oleh Pemerintah Belanda bentuk bangunan Indis dikukuhkan sebagai gaya yang harus ditaati, sebagai simbol kekuasaan, status sosial, dan kebesaran penguasa saat itu. Dari sini berkembanglah apa yang disebut sebagai Arsitektur Indis, yaitu merupakan asimilasi atau campuran dari unsur-unsur budaya Barat terutama Belanda dengan budaya Indonesia khususnya dari Jawa. Setidaknya terdapat tiga arsitek yang telah berhasil merintis wacana dan memadukan langgam arsitektur Barat dengan bentuk arsitektur lokal yakni Herman Th. Karsten, Henry Maclaine Pont, dan Charles P. Wolff-Schoemaker.
Arsitektur Art Deco
Seiring dengan perkembangan kota yang modern, lambat laun gaya Indis ditinggalkan dan berubah menjadi bangunan-bangunan baru yang bergaya art deco sebagai gaya internasional. Gaya art deco ini lahir pada tahun 1920-an dan berkembang secara mencolok di Perancis. Gaya art deco mulai diterapkan di Indonesia oleh para arsitek bermahzab modernis. Gaya art deco mudah diterima di Indonesia karena banyak mengandung hiasan dan ukiran yang sebelumnya banyak terdapat pada candi-candi dan rumah-rumah tradisional di Indonesia. Beberapa bangunan bergaya art deco yang ada di Indonesia seperti Gedung Megaria di Jakarta, Gedung Savoy Homann, Gedung preanger, dan Villa Isola di Bandung.
Rumah bergaya art deco di Koridor Bandoeng Tempo Dooloe menjadi hunian muktahir yang dikembangkan Kota Baru Parahyangan (26/4/2013). Di Koridor ini kenangan pada kejayaan Bandung tahun 1930-an dihadirkan kembali.
(KOMPAS/ CORNELIUS HELMY HERLAMBANG)
Arsitektur Jengki
Pasca Kemerdekaan Indonesia, Soekarno berkeyakinan bahwa Indonesia perlu menunjukkan diri pada dunia bahwa negara ini sejajar dan modern. Untuk itu, pada tahun 1950, mulai dibuka pendidikan arsitektur negeri pertama di Indonesia di departemen Bangunan Fakultas Teknik Universitas Indonesia di Bandung yang dipelopori oleh Jacob Thijsse, M Susilo, dan F. Silaban. Departemen ini selanjutnya menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB).
Mulai munculnya para ahli bangunan dan lulusan pertama arsitek Indonesia melahirkan sebuah gaya arsitektur yang dikenal dengan nama arsitektur jengki. Penampilannya yang unik menjadikannya berbeda dengan arsitektur kolonial Belanda sebelumnya. Menurut morfologi kata, istilah “jengki” mungkin berasal dari kata Yankee, yaitu sebutan untuk orang-orang New England yang tinggal di bagian Utara Amerika Serikat. Karakter arsitektur jengki ditandai salah satunya dengan kehadiran atap pelana. Tidak seperti rumah tinggal pada umumnya, atap pelana pada rumah bergaya jengki memiliki perbedaan tinggi atap. Biasanya kemiringan atap yang terbentuk tidak kurang dari 35 derajat.
1960-kini
Arsitektur Era Demokrasi Terpimpin
Memasuki masa Demokrasi Terpimpin dominasi kekuasaan Soekarno mempengaruhi konsep arsitektur di Indonesia dalam rangka menemukan kembali jati diri arsitektur di awal masa kemerdekaan. Soekarno ingin mengangkat Indonesia sejajar dengan negara-negara barat yang maju dengan cara modernisasi di segala aspek kehidupan, terutama pada aspek fisiknya, melalui arsitekturnya seperti terlihat pada pembangunan hotel, perkantoran, pusat perbelanjaan, masjid, monumen, jembatan layang, hingga tempat rekreasi.
Pemikiran arsitektur sebagaimana yang digariskan oleh Bung Karno tersebut didukung oleh para arsitek Indonesia baik lulusan luar negeri maupun lulusan dalam negeri yang mempunyai keinginan melaksanakan gagasan-gagasan baru beserta ideologinya untuk menginternasionalkan yang lokal. Ada dua orang arsitek yang menonjol pada masa itu, yaitu Friedrich Silaban dan Sujudi.
Arsitektur Era Orde Baru
Selepas krisis politik dan ekonomi pada akhir dasawarsa 1960, berbagai identitas pascamodern ala era Orde Baru bermunculan dengan mengadopsi tren arsitektur kontemporer dari berbagai belahan dunia, khususnya Amerika. Arsitektur bergaya “korporasi “dari beton, baja, dan kaca ini mendominasi bangunan di kota-kota besar. Pembangunan yang berpatokan pada internasionalisme dan universalisme arsitektur modern justru terkesan menghilangkan jati diri bangsa.
Keresahan terhadap hilangnya jati diri arsitektur Indonesia Baru direspon oleh sekelompok pendidik arsitektur pada tahun 1981 dengan mengadakan kongres-kongres nasional untuk menemukan norma-norma dan bentuk-bentuk ’Arsitektur Indonesia’. Munculah sebuah konsep yang dinamakan sebagai regionalisme arsitektur Indonesia yakni pendekatan perancangan arsitektur sebagai jalan untuk pembentukan citra dan jati diri bangsa. Beberapa nama arsitek yang fokus terhadap konsep ini antara lain Gunawan Tjahyono, Yuswadi Salya, Budi A Sukada, J.B. Mangunwijaya, Josef Prijotomo, Eko Budihardjo, Han Awal, dan Robi Sularto.
Arsitektur Nusantara
Menguatnya politik identitas di Indonesia pascareformasi membuat beberapa arsitek mengemukakan pemahaman dan pemikirannya terkait dengan arsitektur Indonesia sebagai arsitektur nusantara, sebuah frasa baru untuk dapat lebih mengenali akar budayanya. Mereka yang terlibat dalam pergulatan dengan perkembangan arsitektur dalam ranah epistimologis ini adalah Mangunwijaya, Prijotomo, Pangarsa. Ketiganya tokoh yang mewakili periode yang berbeda tetapi konsisten dalam pemikiran dan penelitiannya.
Hingga kini perdebatan seputar arsitektur nusantara masih berlangsung di kalangan para arsitek. Derasnya arus urbanisasi dan modernisasi serta isu lingkungan dan sosial budaya menjadi tantangan besar yang harus dihadapi dalam pencarian jati diri arsitektur bangsa.
Referensi
“Keabadian Gaya Art Deco”, KOMPAS, 3 Juni 2001, Hal. 15
“Arsitektur “Indis” Tinggal Kenangan”, KOMPAS, 14 Oktober 2001, hal. 15
“Sejarah yang Terlupakan”, KOMPAS, 17 Febuari 2002, hal. 15
“Refleksi Historis Budaya Arsitektur di Indonesia”, KOMPAS, 29 Desember 2002, hal.15
“Indonesia di Sebuah Masa Peralihan”, KOMPAS, 15 September 2018, hal. 21
- Darmiwati, T. Ratna. (2012). Perkembangan Arsitektur di Indonesia. Putra Media Nusantara: Surabaya.
- Hidayatun, Maria I. (2018). Jatidiri Arsitektur Indonesia: Regionalisme dalam Konsep Bhinneka Tunggal Ika: Yogyakarta.
- Nas, Peter J.M. (2009). Masa Lalu dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
- Sumalyo, Yulianto. (1995). Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.
- Martokusumo, Widjaja. (2007). Arsitektur Kontemporer Indonesia, Perjalanan Menuju Pencerahan. Jurnal Kajian Arsitektur Moderen: Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Provinsi Banten.
- Wardiningsih, Sitti. (2015). Arsitektur Nusantara Mempengaruhi Bentuk Bangunan yang Berkembang di Indonesia. Jurnal Arsitektur SCALE, Volume 2 No. 2.
Penulis
Arief Nurrachman
Editor
Inggra Parandaru