KOMPAS/RIZA FATHONI
Anak-anak di bawah umur mengamen di persimpangan lampu merah di kawasan Gelora, Jakarta Pusat, Selasa (19/11/2019). Sejumlah anak-anak telah lama menjadi korban eksploitasi kaum dewasa untuk bekerja hingga larut malam dengan mengamen hingga berjualan di pinggir jalan. Perlu penanganan secara menyeluruh dari sejumlah pemangku kepentingan untuk mengatasi fenomena ini.
Jakarta sebagai kota megapolitan memang tetap akan menjadi gula yang menggiurkan bagi para pengadu nasib. Namun, mereka yang terkendala dengan pendidikan dan ketrampilan yang kurang memadai akan kesulitan dalam mencari pekerjaan di ibu kota, terlebih tekanan ekonomi di tengah ketidakpastian pandemi. Hal ini berdampak bagi para pengadu nasib, sehingga mereka terpaksa mencari jalan lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Salah satu pilihan pekerjaan yang tidak membutuhkan keterampilan dan pendidikan khusus adalah menjadi pekerja jalanan, di antaranya menjadi badut, ondel-ondel jalanan, manusia “silver”, pemusik jalanan, dan pengamen jalanan. Sejatinya tujuan dari pekerja jalanan salah satunya adalah untuk menghibur para warga yang ditemui di lampu merah dan kemudian mereka mendapatkan imbalan atas atraksi mereka.
Pekerja jalanan seperti badut jalanan menjadi fenomena yang marak akhir-akhir ini. Beragam variasi pakaian dan dandanan mulai dari menggunakan kostum boneka besar, bertopeng, sampai merias tebal wajah memang semakin jamak ditemui dalam keseharian.
Pekerja badut jalanan tidak jauh berbeda dengan umumnya pengamen jalanan dan pemusik jalanan lainnya. Jika pengamen dan pemusik jalanan selama ini identik dengan mereka yang bernyanyi dan bermain alat musik, badut jalanan memiliki cara berbeda untuk menjajakan hiburannya kepada masyarakat. Hiburan yang dijajakan mulai dari bernyanyi, berjoget, sampai beragam gerakan yang mengundang gelak tawa.
Selain badut jalanan ada pengamen kostum jalanan lainnya, seperti manusia ”silver” dan ondel-ondel jalanan. Manusia “silver” adalah orang-orang yang mengecat dirinya atau mewarnai seluruh tubuh mereka dengan pewarna zat aktif silver atau yang biasa kita sebut perak.
Keberadaan badut jalanan, ondel-ondel jalanan, manusia “silver”, pemusik jalanan, dan pengamen jalanan memang kian mudah ditemui saat kondisi krisis pandemi covid-19. Dalam situasi serba sulit, pekerja jalanan seolah menjadi pilihan untuk mencari penghidupan. Latar belakang pekerja jalanan ini di antaranya disebabkan karena kehilangan pekerjaan dan tekanan ekonomi yang kompleks akibat gelombang Covid-19 yang tak terkendali. Hal ini membuat orang seperti tak lagi punya banyak pilihan untuk bertahan. Termasuk pula para pengamen yang lebih dulu eksis, beberapa terbawa tren ikut beralih model ngamen.
Pemprov DKI Jakarta berusaha merealisasi penanganan masalah sosial, hal ini berdasarkan pada Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Perda ini secara tegas melarang berbagai aktivitas jalanan di antaranya adalah pengemis, pengamen, hingga pedagang asongan. Upaya penertiban ruang publik tersebut, secara tidak langsung berdampak bagi mereka pekerja jalanan. Sanksi bagi pelanggar perda tersebut adalah hukuman penjara 10 sampai 60 hari dan denda Rp 100.000 hingga paling besar Rp 20.000.000.
Pemprov DKI Jakarta telah melakukan beberapa upaya penertiban dengan melakukan razia para pekerja jalanan, pengamen, pengemis, gelandangan, dan sebagainya, kemudian ditampung di panti sosial. Mereka diberi pendidikan ketrampilan selama enam bulan agar bisa berkarya mandiri yang lebih baik. Bagi yang terjaring razia namun bukan penduduk Jakarta, mereka akan dipulangkan ke daerah asalnya. Namun, upaya penertiban tersebut belum sepenuhnya terselesaikan. Masih dijumpai para pekerja jalanan di ibu kota sampai saat ini.
KOMPAS/INGKI RINALDI
Pemusik kelompok kesenian Kencono Wulung, Kamis (2/7), tengah beraksi di salah satu sisi Jalan Raya Pos Pengumben, Jakarta Barat.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Ade bersama istri dan dua anaknya bermain ketipung menyanyikan barzanji di Kelurahan Cikoko, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan, Minggu (1/4/2007). Ade, asal Banten, biasa keliling Jakarta untuk mencari nafkah dengan membawa seluruh keluarganya.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Remaja menggendong anak balita sembari mengamen dengan berbaju badut, di kawasan Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, di tengah kemacetan lalu lintas pada jam pulang kerja, Kamis (7/4/2022). Kemiskinan membawa anak-anak turun ke jalan mencari tambahan penghasilan untuk menopang kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Rudi mengenakan pakaian badut menghibur warga di Cipinang Muara, Jatinegara, Jakarta Timur, Jumat (2/10/2020). Dengan bantuan telepon seluler untuk memutar lagu dan kerincingan, ia mengamen keliling kampung untuk mengumpulkan Rp 100.000 per hari. Sebelum mengamen di jalanan, pria asal Lampung ini ditinggal pergi mandor proyeknya pada akhir Mei 2020 dan hanya dibayar separuh upahnya.
KOMPAS/WISNU WARDHANA DHANY
Manusia badut yang mengamen di seputaran Pasar Tanah Abang dan Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (16/6/2022). Bagi sebagian orang, kemiskinan telah lama membelenggu dan menjadi badut merupakan pilihan paling realistis untuk bertahan hidup di Ibu Kota.
KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARA
Pengamen ondel-ondel di Warakas, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Senin (18/11/2019) malam.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Kelompok seni ondel-ondel mengamen menyusuri jalanan di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (5/3/2013). Kesenian asli Betawi ini semakin terpinggirkan dan sejumlah kelompok pemainnya bertahan hidup dengan mengamen keliling.
KOMPAS/AGUIDO ADRI
Seorang pejalan kaki yang melintas Jalan Asia Afrika, memasukan uang ke kotak milik Rizal Saputra (24), manusia silver, Senin (18/5/2020).
KOMPAS/AGUIDO ADRI
Demi memenuhi kebutuhan harian dan membeli susu anak, Riko Pratama (21), manusia silver, rela bekerja dari pukul 13.00 hingga pukul 22.00, Senin (18/5/2020).
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Mencari Lokasi Strategis.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Siti (55), seorang janda lima anak, sedang membersihkan kaca mobil dengan kemoceng di persimpangan Jalan Ciliwung Atas, Jakarta Timur, Selasa (5/7/2005). Ia mampu memperoleh sekitar Rp 30.000 per hari untuk menyambung hidup dan membiayai tiga anaknya yang maish duduk di bangku sekolah.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Pandemi Covid-19 yang melanda tanah air tidak membuat Ade (56) patah semangat menjajakan koran. Setiap pagi hingga siang, ia mengecer koran kepada pengendara yang melintas di perempatan Gaplek, Tangerang Selatan, Banten, akhir Maret 2020. Ade telah menjadi loper koran sejak 20 tahun lalu.