KOMPAS/ADHI KUSUMAPUTRA
Hotel Indonesia Kempinski, Senin (23/2/2009).
Hotel menjadi alternatif tempat menginap saat melakukan perjalanan atau bepergian ke luar kota. Ketika kita tidak memiliki keluarga maupun sanak saudara di kota atau wilayah yang dikunjungi, sering kali hotel menjadi pilihan untuk menginap.
Eksistensi hotel sangat berkaitan erat dengan kegiatan pariwisata, bahkan keberadaannya sudah ada di berbagai kota. Di setiap kota besar di Indonesia, berdiri hotel-hotel tua yang umurnya melebihi usia republik ini. Bangunan tersebut bahkan tetap kokoh dan cukup eksis dan beroperasional sampai saat ini.
Istilah “hotel” berasal dari bahasa Perancis, yakni hôtel yang berarti rumah besar, istana. Kata ini diambil dari bahasa Latin abad pertengahan, hospitale, yang berarti penginapan, lalu berubah menjadi hostel.
Hotel-hotel peninggalan kolonial Belanda di Indonesia masih eksis dan tingkat okupasinya masih terbilang tinggi hingga saat ini. Hotel tersebut masih beroperasional dan terawat, baik bangunan maupun interiornya.
Keunikan bangunan dan interior hotel zaman Belanda merupakan daya tarik pengunjung. Seiring perkembangan, hotel peninggalan kolonial saat ini dilengkapi dengan fasiltas yang modern. Adanya keunikan interior khas era kolonial Belanda menjadi kenangan para pengunjung sehingga menumbuhkan rasa ingin kembali lagi.
Salah satu hotel tersebut adalah Hotel Indonesia yang dikelola oleh grup Kempinski dan namanya disesuaikan menjadi Hotel Indonesia Kempinski. Hotel ini diresmikan pada tanggal 5 Agustus 1962 oleh Presiden RI Pertama, Soekarno untuk menyambut Asian Games IV tahun 1962. Hotel Indonesia, yang dibangun di pusat Jakarta menempati lahan seluas 25.082 meter persegi, dirancang oleh arsitek asal Amerika Serikat Abel Sorensen dan istrinya, Wendy.
Kemudian, ada Hotel Salak The Heritage, yang bangunan dua lantai paling depannya saja yang merupakan bangunan cagar budaya dari keseluruhan bangunan hotel itu saat ini. Hotel ini dibangun ketika Gubernur Jenderal Belanda yang memerintah saat itu adalah Charles Ferdinand Pahud (1856–1861). Hotel ini dekat sekali dengan kantor dan kediaman resmi sang gubernur jenderal dan diberi nama Dibbets Hotel.
Pemilik hotel ini adalah sebuah perusahaan bernama NV America dan pemegang sahamnya orang-orang Belanda, salah satunya EA Dibbets. Hotel ini mengalami pergantian atau perubahan nama menjadi Bellevue Dibbets, kemudian berganti nama menjadi Hotel Salak The Heritage pada 1948.
Peristiwa bersejarah pernah terjadi di hotel ini. Pada 1955, hotel ini menjadi saksi atas berkumpulnya perwakilan lima negara membahas persiapan pertemuan negara-negara nonblok yang terkenal dengan sebutan Konferensi Asia Afrika di Bandung. Mereka adalah delegasi dari Indonesia, India, Pakistan, Burma (Myanmar), dan Ceylon (Sri Lanka) yang melaksanakan pra-KAA di Istana Bogor.
Ada juga Hotel Niagara di Lawang, Jawa Timur, yang didesain oleh seorang arsitek Brazil setelah tahun 1910 amat menampilkan wajah art nouveau. Lantai terasonya berhiaskan ornamen indah yang berbentuk juluran bunga sebuah bentuk yang amat khas art nouveau dan di beberapa tempat dibubuhi tulisan Welcome atau Salve.
Selanjutnya, ada Hotel Majapahit Mandarin Oriental yang dicat dengan warna oranye pekat, menyesuaikan namanya, yakni Hotel Oranje. Walau kini menyandang nama baru (diganti tahun 1996), Hotel Majapahit tetap memelihara sejarahnya. Hotel Oranje pertama kali didirikan pada tahun 1910 dengan gaya colonial art nouveau. Arsiteknya, J Afprey, orang Belanda. Pendirinya, Lucas Martin Sarkies, berasal dari keluarga Sarkies yang terkenal sebagai pemilik kerajaan hotel di Asia.
Pada pertengahan Perang Dunia II (1942), Hotel Oranje diambil alih penjajah Jepang dan dijadikan barak militer dan kamp tahanan, sementara untuk perempuan dan anak-anak yang akan dipindahkan ke Jawa Tengah. Nama hotel pun diganti menjadi Hotel Yamato. Nama ini hanya bertahan tiga setengah tahun, saat penjajahan Jepang. Kamar-kamar yang mempunyai nilai sejarah adalah kamar Merdeka nomor 33 dan kamar Sarkies nomor 44. Kamar Merdeka adalah kamar yang ditempati Residen Belanda saat terjadi perobekan bendera Belanda.
Berikutnya adalah Hotel Omni Batavia di Jalan Kali Besar Barat No. 46, Jakarta Barat. PT Wahana Anda Mari, anak perusahaan Grup Tamara, membangun Hotel Omni Batavia dengan biaya sekitar Rp 100 miliar.
Hotel Omni Batavia berlantai sembilan yang diresmikan 28 September 1995 ini memiliki tingkat hunian 51 persen dari jumlah 338 kamar yang ada. Hotel dengan arsitek tempo dulu yang dulunya merupakan gudang itu kini banyak dikunjungi wisatawan mancanegara dari Korea, Jepang, Singapura dan Malaysia, serta dari Belanda dan Jerman. Hotel Omni Batavia yang dibangun dengan biaya 60 juta dollar AS (sekitar Rp 1i0 milyar) ini memperlihatkan nostalgia sejarah Betawi dan ciri-ciri arsitektur Betawi.
Selain itu, ada Hotel Savoy Homaan, yang merupakan hotel berbintang tiga di Bandung yang dibangun oleh Homaan tahun 1973. Hotel Savoy Homann memiliki sejarah yang demikian panjang. Di bangunan bergaya art deco inilah para negarawan peserta Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 menginap.
Sedangkan Hotel The Hermitage Jakarta didirikan tahun 1923 dan berfungsi sebagai gedung kantor perusahaan telekomunikasi Belanda. Gedung ini sempat beberapa kali berubah fungsi menjadi kantor kementerian pendidikan nasional, kampus universitas swasta, dan juga sempat kosong beberapa tahun.
KOMPAS/RATIH P SUDARSONO
Hotel Salak The Heritage di Kota Bogor.
KOMPAS/NINIK F ROMANA
Para peserta Plesiran Tempo Doeloe asyik mengabadikan bangunan kuno Hotel Niagara di Lawang, Malang (04/09/2005).
KOMPAS/JULIAN SIHOMBING
Gambar Hotel Oranje dan gedung Percetakan Van Dorp di daerah Tunjungan.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Hotel Majapahit Surabaya
KOMPAS/HARRY SURJADI
Hotel Majapahit.
KOMPAS/ROBERT ADHI KUSUMAPUTRA
Hotel Omni Batavia, sebuah bangunan peninggalan Belanda, di daerah Kota, Jakarta Barat, Mei 1996.
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
Peserta Konferensi Asia-Afrika akan menginap di Hotel Savoy Homann Bandung dan hari Minggu (24/4/2005) ini akan melakukan History Walk dari hotel tersebut berjalan kaki menuju Gedung Merdeka Bandung, persis seperti yang dilakukan delegasi pada KAA tahun 1955.
KOMPAS/HER SUGANDA
Baik dari depan, maupun dari sisi timur, bangunan Grand Hotel Preanger dengan gaya arsitektur art deco yang dirancang Prof CP Wolff Schoemaker tetap menarik hingga kini.