Paparan Topik | Bencana

Fenomena Banjir di Jakarta

Jakarta diprediksi akan terus menghadapi ancaman banjir. Meskipun tren fenomena kejadian banjir di Jakarta menunjukkan penurunan, pemerintah dan masyarakat perlu tetap waspada terhadap bencana banjir yang bisa terjadi secara periodik.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Puluhan kendaraan terjebak banjir luapan Sungai Ciliwung yang menerjang kawasan Jalan MH Thamrin dan Bundaran Hotel Indonesia di Jakarta, Kamis (17/1/2013). Tertutupnya akses jalan tersebut membuat warga yang akan melintas dievakuasi menggunakan perahu karet dan truk menuju tempat yang aman. Banjir yang menerjang berbagai kawasan membuat Jakarta lumpuh dan dinyatakan dalam kondisi darurat bencana.

 

Fakta Singkat

  • Banjir di Jakarta tercatat telah terjadi sejak 1621 dalam masa kekuasaan pemerintah kolonial Belanda.
  • Banjir terbesar pertama di Jakarta terjadi pada 1918.
  • Musibah banjir dengan kerugian terbesar terjadi pada 2013, total kerugian mencapai Rp 20 triliun.
  • Pada 2014, jumlah jiwa terdampak banjir di Jakarta mengalami penurunan hingga hampir satu juta jiwa.
  • Penurunan jumlah jiwa terdampak banjir secara konstan mengalami penurunan signifikan sejak 2013 hingga 2019.
  • Situasi banjir di Jakarta disebabkan oleh faktor alamiah dan faktor manusia/penduduk.
  • Faktor alamiah banjir di Jakarta meliputi kondisi DAS, topografi permukaan tanah yang rendah dan seperti cekungan, serta rob.
  • Faktor manusia terhadap banjir di Jakarta disebabkan oleh penyalagunaan fungsi ruang dan penyedotan air tanah secara berlebih.

Dalam artikel pada buku Sudah Senja di Jakarta: Ideologi, Kebijakan Publik, Politik dan Ruang Ibu Kota, Hikmat Budiman menulis, banjir telah menjadi suatu kesatuan historis bagi kota Jakarta dan penduduk di dalamnya. Risiko bencana banjir telah konsisten menghantui sejak masa kolonial, ketika Jakarta masih bernama Batavia.

Pada masa itu, para pejabat kolonial Belanda telah dipusingkan dengan ide-ide menyalurkan air dari hulu di Bogor ke laut Jawa. Kepusingan tersebut nyatanya bertahan setelah sekian abad, bahkan setelah Jakarta telah berdaulat dan dipegang oleh para pejabat Indonesia sendiri. Bencana yang terus terjadi, akhirnya menjadi sebuah “rutinitas” tahunan.

Alhasil, sebagian besar warga Jakarta bahkan telah mampu menerima secara terbuka akan situasi tersebut. Banjir yang terutinkan tiap tahun diterima sebagai konsekuensi penduduk untuk bertahan dan berjuang di megapolitan Jakarta. Hanya saja, para penduduk ini masih tetap mengharapkan agar pemerintah berwenang setidak-tidaknya dapat memberikan peringatan dini agar mereka dapat bersiap.

Kecenderungan banjir yang menjadi rutinitas tahunan berkaitan erat dengan kondisi topografi wilayah Jakarta yang seperti mangkok. Lahannya curam di wilayah hulu, dengan kawasan hilir yang lebih rendah dari permukaan laut. Ditambah pula dengan curah hujan yang tinggi. Hal-hal tersebut menjadi beberapa penyebab utama alamiah terjadinya banjir.

Seiring berjalannya waktu, penyebab utama banjir justru lantas mengalami pergeseran. Tak semata alam, ulah manusia Jakarta kian memainkan peran besar dalam terjadinya banjir Jakarta. Kurangnya pelestarian lingkungan di jalur sungai Ciliwung adalah salah satu persoalan yang kerap disoroti.

Dengan kondisi demikian, banjir diproyeksikkan akan terus terjadi di Jakarta. Situasi tersebut bertahan meski pihak berwenang telah berusaha menangani banjir sejak abad ke-16 (era kolonial) sampai sekarang.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Kawasan Bundaran Hotel Indonesia,Jakarta, terendam banjir luapan Saluran Kanal Barat, Kamis (17/1/2013). Foto aerial diambil dari ruangan salah satu gedung di kawasan itu.

Situasi Tren Banjir di Jakarta

Dengan penyebab yang beragam, bencana banjir dan penduduk di kota Jakarta menjadi saling terkait. Berabad-abad perkembangan kota yang memegang status Ibu Kota Negara selalu dihantui ancaman banjir. Hal demikian ditunjukkan dengan telah tercatatnya banjir pertama kali di Jakarta pada tahun 1621. Banjir tersebut melanda dalam masa penguasaan kolonialisme Belanda.

Catatan historis juga menunjukkan, banjir parah di Jakarta telah tercatat pertama kali pada 1918. Pada waktu tersebut, Jakarta diguyur hujan selama 22 hari, sejak bulan Januari hingga Februari. Akhirnya pada 4 Februari, daerah Weltevreden (kini daerah Lapangan Banteng) tergenang banjir.

Tak hanya itu, wilayah pemukiman seperti Tanah Tinggi, Kampung Lima, Kemayoran Belakang, Glodok, dan daerah sekitarnya juga turut tenggelam. Tinggi air bahkan mencapai 1,5 meter di beberapa titik.

Dalam konteks Jakarta modern, banjir parah seperti tahun 1918 juga terjadi beberapa kali dalam selang waktu yang kian rutin. Pada 2013, tepatnya pada 15-21 Januari, Jakarta pun mengalami musibah banjir besar yang memberikan kerugian terbesar dalam sejarah kota tersebut.

Serupa dengan banjir 1918, musibah banjir ini diakibatkan oleh tingginya intensitas hujan. Sejak akhir Desember pada tahun sebelumnya, Jakarta rutin diguyur dengan intensitas tinggi. Situasi demikian diperparah dengan sistem drainase yang buruk dan jebolnya sejumlah tanggul. Dampaknya, sebanyak 33.500 warga harus diungsikan dengan korban jiwa mencapai 20 orang. Diperkirakan, kerugian dari musibah banjir 2013 ini mencapai Rp 20 triliun.

Dalam konteks waktu beberapa tahun terakhir, situasi banjir di Jakarta belakangan tampak lebih terkendali. Hal ini ditunjukkan oleh data-data numerik mengenai dampak banjir di Jakarta. Tren kuantitatif menunjukkan penurunan dampak banjir yang signifikan sejak tahun 2014 dalam masa pemerintahan Gurbenur Basuki Tjahja Purnama. Tren pengendalian banjir di Jakarta konsisten menunjukkan peningkatan pada masa Gunernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

Sumber: BPBD DKI Jakarta

Dua tahun terakhir tren pengendalian banjir mengalami penurunan. Setelah menunjukkan capaian yang baik pada 2019, hari pertama di tahun 2020 segera dibuka dengan bencana banjir. Bencana banjir tersebut datang selang beberapa jam dari penyelenggaraan meriah Tahun Baru 2020 oleh pemerintah Provinsi Jakarta.

Pada 2022, bahkan banjir menyebabkan tiga siswa Madrasah Tsanawiyah Negeri atau MTsN 19 Jakarta tewas tertimpa tembok roboh dan tiga lainnya terluka. Kejadian tersebut terjadi di Kelurahan Pondok Labu, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan pada Oktober 2022. Robohnya tembok taman sekolah ini diduga karena saluran air meluap saat hujan deras (Kompas, 7/10/2022, 3 Siswa Tewas Tertimpa Tembok).

Dengan situasi yang demikian, meski tulisan Hikmat Budiman menyampaikan bahwa rutinitas banjir tahunan telah dapat diterima oleh sekelompok penduduk Jakarta, namun kehadiran ancamannya masih menjadi satu hal yang meresahkan. Hal ini terungkap dari Jajak Pendapat yang dilakukan oleh Litbang Kompas kepada 512 responden warga Jakarta pada 11-13 Oktober 2022.

Jajak pendapat tersebut dilakukan untuk mengukur tingkat kepuasan warga terhadap kondisi tahun ini dan harapan untuk tahun 2023. Hasilnya, kondisi sosial dan perkotaan Jakarta menjadi penyebab kekhawatiran terbesar kedua (20,3 persen) di penghujung tahun dalam menjalani keseharian. Kondisi yang dimaksud meliputi macet, kriminalitas, dan banjir.

Untuk itu, warga Jakarta meletakkan harapan besar soal masalah banjir untuk waktu mendatang, khususnya pada 2023. Lebih dari seperempat responden (25,9 persen) memilih tidak lagi terjadi banjir besar sebagai harapan utama. Mereka menilai, kehadiran banjir dapat menghambat aktivitas sehari-hari hingga mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.

Situasi Jakarta demikian secara siginifikan berdampak pada kelompok akar rumput, terutama masyarakat pada kelas ekonomi bawah. Banjir kerap mengancam mereka yang tinggal di perkampungan padat penduduk dan permukiman di bantaran sungai. Hasilnya, hampir setengah (45,8 persen) dari responden kelompok kelas ekonomi bawah mengaku tidak puas dengan kehidupan dan pemerintahan Jakarta (Kompas, 18/12/2022, Kekhawatiran dan Asa Warga Jakarta).

KOMPAS/DUDY SUDIBYO  

Daerah sekitar bundaran Hotel Indonesia, Rabu (19/1/1977) tergenang banjir yang terjadi di Jalan Jenderal Sudirman dan MH Thamrin mengakibatkan kendaraan terjebak di tengah jalan.

Penyebab Banjir Jakarta

Dalam menilik penyebab banjir, situasi kota Jakarta dihadapkan pada dua faktor sekaligus. Keduanya adalah faktor alam dan faktor manusia. Faktor yang pertama disebutkan berkaitan dengan kondisi alamiah bawaan Jakarta, dimana kecenderungan banjir itu sendiri telah hadir sejak Jakarta sendiri masih disebut Batavia.

Pada dasarnya, topografi alam Jakarta membuka kemungkinan untuk banjir. Kondisi topografi demikian dapat dilihat dengan menilik secara detail Daerah Aliran Sungai (DAS) di Jakarta, pada titik hulu maupun hilir.

Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS)

  • Topografi wilayah DAS hulu curam
  • Mayoritas sungai berhulu di Bodetabek
  • Curah hujan tinggi ketika musim penghujan
  • Beberapa situ di wilayah hulu dalam kondisi rusak

Hilir DAS

  • 40 persen wilayah Jakarta ada di dataran banjir 13 sungai
  • Adanya pasang air laut di waktu-waktu tertentu
  • Curah hujan tinggi
  • Kapasitas sungai kecil, bisa karena sedimentasi, penumpukan sampah, dan permukiman di bantaran sungai

Rob/Pasang Air Laut

Selain soal sumber-sumber air dan aliran yang berada di daratan, permasalahan banjir juga muncul dari ancaman air laut. Situasi tanah di Jakarta, secara khusus bagian utara, mengalami dampak langsung dari permasalahan penurunan ketinggian muka tanah sekaligus kenaikan tinggi air laut. Hal yang disebutkan terakhir sendiri muncul karena perubahan iklim.

Selain faktor alam, kehadiran manusia dan perilakunya di kota Jakarta turut menjadi penyumbang besar bagi terjadinya banjir. Termasuk dalam faktor ini antara lain:

  1. Banyak penyalahgunaan fungsi ruang di Bodetabek, yakni alih fungsi lahan non terbangun (utk resapan air) menjadi terbangun.
  2. Produk hukum yang membatasi perkembangan di Bopunjur banyak dilanggar. Misalnya, Keppres 114 tahun 1999 yang menetapkan Bogor, Puncak, Cianjur (Bopunjur) sebagai kawasan konservasi.
  3. Berkurangnya kawasan resapan air sehingga menyebabkan peningkatan run off (air larian) yang semakin cepat mengisi air permukaan di hilir. Ujungnya potensi banjir meningkat ketika ada sedimentasi dan penumpukan sampah.
  4. Penurunan muka tanah karena penyedotan air tanah secara berlebihan. Penurunan muka tanah di utara mengakibatkan potensi rob tinggi.
  5. Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Jakarta terus menyusut sehingga tidak ada recharge area.
  6. Kondisi situ, danau, dan polder banyak yang rusak karena tak terawat malah beralih fungsi jadi lahan terbangun.
  7. Pada beberapa bagian sungai, bantaran sungainya digunakan untuk permukiman sehingga menambah sempit aliran sungai.
  8. Penataan ruang kacau karena menyerahkan mekanismenya pada pasar (swasta).
  9. Sistem tata guna lahan belum mengintegrasikan sistem tata air. Padahal, jika sistem tata air dan tata ruang terintegrasi, peruntukan lahan di wilayah banjir akan menyesuaikan dengan potensi banjir. Penyesuaian paling ekstrim adalah pelarangan tata guna lahan di sekitar kanal, bantaran sungai, atau daerah resapan air.
  10. Drainase yang ada masih konvensional, membuang secepat-cepatnya seluruh air hujan yang jatuh ke badan air dan mengalirkannya ke laut. Hal ini menyebabkan penurunan kecepatan air untuk meresap ke dalam tanah berkurang.
  11. Prasarana utilitas (aaluran drainase) untuk pengendali banjir tidak terintegrasi antara saluran primer-sekunder-tersier. Ada juga yang tertumpuk sampah.
  12. Penanganan/pencegahan banjir masih terkesan berorientasi proyek dan tambal sulam dan tak terkoordinasi.
  13. Reklamasi pantai di wilayah utara mengganggu jalannya air dari muara-muara sungai.
  14. Sistem pembuangan sampah yang buruk, menyebabkan aliran air kerap diisi oleh polusi sampah.

Selain karena hal-hal di atas, potensi banjir di Jakarta juga kerap terjadi karena kiriman alokasi air dalam jumlah besar dari daerah lebih tinggi, sehingga biasa disebut sebagai banjir kiriman. Dengan berada di wilayah dataran rendah dan memiliki 13 aliran sungai, Jakarta menjadi lebih rentan terhadap risiko banjir. Apalagi bila hujan besar terjadi di hulu sungai, seperti daerah Bogor, Jawa Barat.

Jumlah air dalam jumlah besar lantas akan terbawa melalui aliran sungai ke Jakarta sebelum akhirnya lepas ke laut. Situasi demikian akan membuat sungai yang bermuara di Jakarta meluap dan mengakibatkan banjir. Pada saat kondisi tertentu kapasitas aliran sungai di Jakarta tersebut tidak cukup menampung air, sehingga terjadi limpasan di beberapa bantaran sungai di Jakarta.

Selain banjir kiriman dengan hujan di hulu, hujan lokal pun juga dengan intensitas tinggi dan durasi yang lama juga mudah menimbulkan banjir. Hujan dengan kondisi demikian di wilayah Jakarta mampu mengisi salurah-saluran air dan daerah cekung. Jika tidak mampu lagi tertampung, air akan meluap hingga menyebabkan banjir.

Dimensi drainase kota Jakarta sendiri dirancang untuk menampung debit air dengan curah hujan maksimal 120 mm/hari. Dampaknya, beberapa hujan besar ekstrem yang terjadi di Jakarta membuat kapasitas tersebut terlampaui. Contohnya pada banjir pada awal Januari 2020 lalu, dimana curah hujan Jakarta mencapai 377 mm/hari, menjadi yang tertinggi selama 24 tahun terakhir.

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

Warga membantu warga lain yang terjebak banjir di halte bus Trans Jakarta di Latuharari, Jakarta, menuju tempat yang lebih aman, Kamis (17/1/2013). Curah hujan tinggi mengakibatkan dinding sungai Banjir Kanal Barat jebol sehingga air membanjiri ruas jalan Latuharhari, Dukuh Atas hingga Bundaran Hotel Indonesia.

Upaya Pemerintah Provinsi Jakarta

Dalam usaha demikian, Pemprov Jakarta mengusahakan untuk meninggalkan berbagai program yang berorientasi pada betonisasi. Upaya-upaya lain pun dilakukan secara masif di lima wilayah kota administrasi. Kegiatan seperti gerebek lumpur di DAS dilakukan untuk mengurangi pendangkalan dengan mengerahkan alat berat berskala hingga tiga kali lipat dari kapasitas biasanya.

Artikel Kompas (11/10/2022, Soal Penanganan Banjir di DKI Jakarta) merangkum upaya-upaya strategis pemerintah Jakarta dalam melakukan penanggulangan banjir. Secara keseluruhan, terdapat tujuh upaya penanggulangan oleh pemerintah Jakarta, yakni:

  1. Mengintensifkan pengerukan selokan, kali, situ, dan waduk (Gerebek Lumpur)
  • Naturalisasi sungai dan waduk sesuai Pergub Nomor 31 Tahun 2019.
  • Naturalisasi prasarana dan sarana sumber daya air di Kanal Banjir Barat segmen
  • Shangrilla-Karet, Kali Ciliwung Lama Segmen Jl Krapu, Waduk Rambutan, Waduk Cimanggis, dan Waduk Sunter Selatan.
  • Berkolaborasi dengan Kementerian PUPR membangun tanggul 12,66 km di pantai utara.
  1. Membuat kolam olakan
  • Terdapat 11 titik kolam olakan yang telah dibangun, masing-masing sepanjang 33 meter, lebar 2,5 meter, dan kedalaman 15 meter.
  1. Memperbaiki saluran air
  • Perawatan atau pembersihan rutin saluran air eksisting dan menambah saluran air baru di sejumlah lokasi.
  1. Mengintensifkan instalasi sumur resapan atau drainase vertikal
  • Mengimplementasikan taman yang menjadi kawasan tampungan air sementara
  • Merevitalisasi taman untuk optimalisasi serapan air hujan. Tidak kurang dari 337 taman dibangun dan direvitalisasi sejak 2018.
  1. Menyediakan alat pengukur curah hujan
  • Pemasangan 267 alat ukur curah hujan (di setiap kelurahan).
  1. Mengintensifkan instalasi sumur resapan atau drainase vertikal
  • Membangun drainase vertikal di 6.967 titik. Total 11.975 titik drainase vertikal yang telah dibangun oleh pemda, masyarakat umum, dan komunitas.
  1. Mengoptimalkan pompa
  • 178 lokasi rumah pompa disiagakan sepanjang tahun
  • 457 pompa stasioner disiapkan di dekat sungai, waduk, dan pintu air
  • 282 unit pompa mobile atau portabel dan 40 pompa tambahan disebar di seluruh wilayah Jakarta

Meski begitu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih perlu memperbaiki dan mengembangkan banyak hal dalam penanganan banjir. Walaupun telah menjadi masalah tahunan, pergiliran tampuk pemerintahan tampaknya belum menemukan solusi tepat atas persoalan ini. Akibatnya, ancaman banjir ini malah justru menjadi semakin nyata pada sejak bulan September hingga akhir 2022.

Hasil dari jajak pendapat Litbang Kompas pada November 2022 lalu menunjukkan bahwa masyarakat masih meletakkan harapan pada pemerintah soal penanganan banjir. Meski begitu, tak sampai 50 responden percaya bahwa pemerintah mampu menangani secara baik.

Dalam jajak pendapat tersebut disebutkan bahwa masyarakat menilai jika hal paling mendesak yang harus dilakukan pemerintah untuk menghadapi potensi banjir adalah dengan melakukan pembersihan gorong-gorong atau drainase. Sebanyak 42,8 persen responden memilih upaya tersebut. Sementara di solusi berikutnya, 28,8 persen responden menilai pemerintah untuk segera melakukan naturalisasi jalur aliran air sungai.

Oleh sebab itu, diperlukan upaya yang lebih jauh dan berkesinambungan dalam menyelesaikan masalah banjir. Upaya yang sinergis dari satu pemerintahan ke pemerintah beriktnya diperlukan, apabila ingin menuntaskan permasalahan banjir. Periode pemerintahan dalam satu atau dua kali menjabat tidak cukup untuk mengatasi permasalahan banjir Jakarta yang multidimensi (Kompas, 11/12/2022, Penanganan Banjir Masih Andalkan Inisiatif Warga).

Rafif Pamenang Imawan dalam artikel Di Balik Kehendak Rakyat menuliskan bahwa jejak kebijakan Basuki Tjahja Purnama dan Anies Baswedan tidak berhasil mencapai kesinambungan dan keberlanjutan soal penanganan banjir. Sebaliknya, kebijakan dan retorika politik mereka soal banjir kerap bertentangan. Lebih lanjut, pergantian pemerintahan dari Anies Baswedan ke Penjabat Gubernur Heru Budi Hartono pun belum mampu meyakinkan warga akan penanganan banjir.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Polisi dan TNI membantu warga menembus banjir yang merendam hunian padat di Cipinang Melayu, Kecamatan Makasar, Jakarta Timur, Rabu (1/1/2020) pukul 12.20 WIB. Banjir menggenangi sebagian Jabodetabek setelah hujan mengguyur sejak Selasa (31/12/2019) sore.

Masyarakat Menghadapi Banjir

Dengan situasi pemerintahan yang demikian, warga pun kerap harus bertumpu pada inisiatif dan solidaritas bersama ketika menghadapi musibah tahunan banjir. Kebuntuan pada soal banjir di tingkat pemerintah membuat masyarakat mau tak mau mengandalkan inisiatif dan solidaritas bersama. Jajak pendapat Kompas pun menemukan, 62 persen responden mengaku sudah ada inisiatif warga di sekitar tempat tinggal yang melakukan kegiatan untuk mengantisipasi banjir.

Meski begitu, upaya-upaya lokal tersebut pun masih terfokus pada solusi jangka pendek. Misalnya, sebesar 61 persen responden mengaku ada kegiatan membersihkan gorong-gorong/drainase di sekitar rumahnya. Langkah lainnya adalah dengan tidak membuang dan membersihkan sampah di sekitar lingkungan rumah yang dilakukan oleh 6,8 persen dari warga Jakarta (Kompas, 11/12/2022, Penanganan Banjir Masih Andalkan Inisiatif Warga).

Laman resmi pemerintahan Pemprov Jakarta terkait banjir, PantauBanjir.Jakarta.go.id, menuliskan bahwa peran serta masyarakat begitu penting dalam membangun sinergi. Secara khusus, harus ada sinergi antara masyarakat dan pemerintah dalam penanganan dan pengendalian banjir.

Salah satu cara utama adalah dengan secara aktif melaporkan banjir pada titik dan waktu tertentu. Caranya, masyarakat dapat membuka aplikasi JAKI, kemudian klik tombol “Buat Laporan”. Setelah itu, masyarakat dapat memasukkan foto lokasi genangan/banjir untuk petugas yang akan melakukan penanganan.

Dalam melakukan pengambilan foto, masyarakat disarankan untuk langsung melakukannya dari aplikasi (bukan dari galeri) agar fitur geotagging berfungsi dan petugas dapat menemukan lokasi dengan tepat. Selanjutnya, dapat ditulis deskripsi genangan dan banjir dengan detail, termasuk perkiraan tinggi genangan dan sebab banjir jika diketahui (bendungan jebol, saluran air penuh sampah, dan lainnya). Setelah selesai, dapat dipilih “Simpan” dan ketuk “Kirim Laporan”.

(LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Budiman, H. (2020). Jakarta: Narasi Identitas Nasional, Modernitas, dan Ibu Kota Baru. Dalam P. Center, Sudah Senja di Jakarta: Ideologi, Kebijakan Publik, Politik, dan Ruang Kota (hal. 1-96). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan Populi Center.
  • Imawan, R. P. (2020). Di Balik Kehendak Rakyat. Dalam H. Budiman, Sudah Senja di Jakarta: Ideologi, Kebijakan Publik, dan Ruang Ibu Kota (hal. 311-361). Jakarta: Populi Center.
Jurnal
  • “Masalah Banjir dan Penanggulangannya”, Kementerian Pekerjaan Umum, 2004,
  • Rencana Tata Ruang Wilayah/RTRW DKI Jakarta 1965-1985, RTRW 2005, RTRW 2030
Arsip Kompas

• Kompas. (2022, Oktober 7). 3 Siswa Tewas Tertimpa Tembok. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 15.
• Kompas. (2022, Desember 18). Kekhawatiran dan Asa Warga Jakarta. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 4.
• Kompas. (2022, Desember 11). Penanganan Banjir Masih Andalkan Inisiatif Warga. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 4.
• Kompas. (2022, Oktober 11). Soal Penanganan Banjir di DKI Jakarta. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 12.
• Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. (t.thn.). Data Banjir Lintas Tahun. Diambil kembali dari pantaubanjir.jakarta.go.id: https://pantaubanjir.jakarta.go.id/data-banjir-lintas-tahun
• Pemprov Jakarta. (2020). Tentang Banjir Jakarta. Diambil kembali dari pantaubanjir.jakarta.go.id: https://pantaubanjir.jakarta.go.id/bencana-jakarta

Artikel terkait