KOMPAS/MH SAMSUL HADI
Selang untuk pengisian bahan bakar menjulur dari kapal armada tanker Angkatan Laut Pakistan, Moawin (tidak terlihat), ke kapal fregat AL Pakistan, PNS Saif, pada latihan simulasi pengisian bahan bakar cair di laut (replenishment at sea liquid) token) dalam sesi International Fleet Review Latihan Angkatan Laut Multinasional “AMAN 2019” di Laut Arab, lepas pantai Karachi, Pakistan (12/2/2019).
Indonesia adalah negara archipelago, yakni bangsa dan negara dengan wilayah kepulauan terdiri dari 17 ribu pulau dengan luas laut kurang lebih 9 juta kilometer persegi. Berada di posisi silang antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, serta Benua Asia dan Benua Australia, menjadikan posisi Indonesia strategis baik dalam bidang ekonomi maupun militer.
Sejak abad ke-7 kepulauan Indonesia telah dipersatukan oleh kerajaan Sriwijaya melalui jalur perdagangan dari Utara dan Selatan di Selat Malaka, Laut China Selatan, dan Jawa. Pada abad ke-13, konsep penyatuan Kepulauan Indonesia secara politik dilakukan oleh Raja Kertanegara dari Kerajaan Singosari melalui semboyan Cakrawala Mandala Dwipatra. Semboyan itu diwujudkan oleh Mahapatih Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit melalui Sumpah Palapanya.
Enam ratus tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1957, muncul Deklarasi Juanda sebagai Konsepsi Wawasan Nusantara. Berawal dari deklarasi itu, Indonesia menyadari memiliki potensi strategis sumber daya laut dan wilayah yang harus dipertahankan. Pada era Presiden Joko Widodo momentum kemaritiman mulai terbangun dan terus dikembangkan untuk membangkitkan kedaulatan serta ketahanan maritim nasional.
Kronologi Hari Maritim Nasional
17 Agustus 1945
Indonesia mengakui kedaulatan teritorial di daratan sebagai bekas wilayah jajahan Belanda. Indonesia sebagai negara kepulauan dipisahkan oleh laut antarpulau berdasarkan warisan hukum laut kolonial Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939, atau lebih dikenal dengan Ordonantie 1939.
1953
Pidato Presiden Soekarno dalam peresmian Institut Angkatan Laut, menjadi dasar motivasi pengukuhan kekuatan maritim Indonesia. Pidato berisikan:
“Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekadar menjadi jongos-jongos di kapal, bukan. Tetapi bangsa pelaut dalam arti kata cakrawala samudra. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri.”
Agustus 1957
Perdana Menteri Indonesia, Djuanda Kartawidjaja, menugaskan Mochtar Kusumaatmadja mencari landasan hukum guna menjadikan laut bagian dari Indonesia secara utuh. Mochtar lalu merumuskan Asas Archipelago yang jadi konsep negara kepulauan (archipelagic state) dan untuk pertama kali diperkenalkan sebagai rumusan dalam hukum laut internasional.
13 Desember 1957
Pengumuman Deklarasi Djuanda berisi:
1) Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai corak tersendiri.
2) Sejak dahulu kepulauan nusantara sudah merupakan satu kesatuan.
3) Ketentuan ordonansi 1939 dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia.
Tujuan deklarasi untuk mewujudkan bentuk wilayah kesatuan RI yang utuh dan bulat, menentukan batas-batas wilayah NKRI sesuai dengan asas negara kepulauan, serta mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan keselamatan NKRI.
1958
Perjuangan pengakuan maritim Indonesia di mata internasional dimulai dalam Konferensi Hukum Laut Internasional I di Geneva, Swiss. Di sini, untuk pertama kalinya, asas negara kepulauan archipelagic state principles diperkenalkan kepada dunia.
1960
Perjuangan dilanjutkan dalam Konferensi Hukum Laut Internasional II. Namun, AS dan beberapa negara menolak usulan Indonesia untuk batas laut 12 mil. Berdasarkan UU No. 4 PRP Tahun 1960 bahwa:
Perairan Indonesia terdiri dari:
- Laut teritorial, yakni lajur laut selebar 12 mil laut yang garis luarnya diukur tegak lurus terhadap garis dasar atau titik-titik dasar yang terdiri dari garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah pulau-pulau atau bagian-bagian pulau-pulau terluar.
- Perairan pedalaman, yakni semua perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis dasar.
- Lalu lintas damai terbuka bagi kendaraan air asing, selama tidak mengganggu keamanan Indonesia.
1964
Presiden Soekarno menerbitkan Surat Keputusan Nomor 249 tahun 1963 mengenai Hari Maritim. SK tersebut menetapkan tanggal 23 September menjadi Hari Maritim Nasional.
KOMPAS/MH SAMSUL HADI
Dua kapal Angkatan Laut Pakistan membentuk formasi sejajar menuju samping kiri dan kanan kapal pengisi bahan bakar “Moawin” untuk bersiap-siap menjalani latihan simulasi pengisian bahan bakar cair di laut (replenishment at sea (liquid) token) dalam sesi International fleet review Latihan Angkatan Laut Multinasional “AMAN 2019” di Laut Arab, lepas pantai Karachi, Pakistan (12/2/2019).
1973-1982
Setelah Presiden Soekarno menetapkan Hari Maritim Nasional, Pemerintah RI tetap berusaha agar maritim Indonesia diakui di mata dunia dan mengambil sikap tegas. Belajar dari kegagalan dua konferensi sebelumnya, pemerintah melakukan persiapan matang menuju Konferensi Hukum Laut III. Lobi diplomatik dilakukan untuk dapat dukungan luas seperti dalam ASEAN, Gerakan Non Blok, Kelompok 77 (kelompok negara berkembang), dan Asia Africa Legal Consultative Assembly (AALCA).
10 Desember 1982
Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982, United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) yang ditandatangani 119 negara di Teluk Montego, Jamaika. Setelah berjuang selama 25 tahun, konsepsi asas negara kepulauan akhirnya diakui dunia. Menurut UNCLOS 1982, yang dimaksud negara kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri atas satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain.
Pemerintah RI meratifikasi UNCLOS 1982 dalam UU No 17 Tahun 1985 yang menyatakan pengakuan resmi atas negara kepulauan sangat penting bagi Indonesia dalam mewujudkan satu kesatuan wilayah NKRI.
16 November 1994
UNCLOS 1982 sebagai hukum positif internasional mulai berlaku. Perjuangan Indonesia untuk dapat pengakuan di mata dunia atas prinsip negara kepulauan tercapai.
22 Juli 2014
Seusai pengumuman resmi Komisi Pemilihan Umum sebagai presiden terpilih periode 2014-2019, Selasa, di Jakarta. Joko Widodo mengatakan akan membangun poros maritim dunia selama masa pemerintahannya.
13 November 2014
Dalam pertemuan East Asia Summit Ke-9 di Naypyidaw, Myanmar, Presiden Joko Widodo menyampaikan gagasan untuk menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.
18 Agustus 2020
Dalam seminar daring bertajuk ”Sampah Laut Indonesia: Riset dan Kebijakan Penanganan Sampah Laut Indonesia”, Loka Riset Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir (LRSDKP) pada Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan menjabarkan potensi ancaman potensi sampah plastik di lautan Indonesia. Disampaikan, terdapat 6,8 juta ton potensi kebocoran sampah laut yang didominasi sampah plastik.
Referensi
- “Hari Nusantara: Makna bagi Kedaulatan dan Kemakmuran Indonesia”, Kompas, 15 Desember 2004, hlm. 36.
- “Deklarasi Djuanda dan Hari Nusantara”, Kompas, 13 Desember 2016, hlm. 07.
- “Jajak Pendapat “Kompas”: Memandang Kedaulatan Maritim Indonesia”, Kompas, 21 Maret 2017, hlm. 04.
S.K, Wahyono. (2007). Indonesia Negara Maritim. Jakarta: Yayasan Senapati Nusantara.
Hamid, ABD Rahman. (2013). Sejarah Maritim Indonesia. Yogyakarta: Ombak.
Anshoriy CH, Nasruddin. Arbaningsih, Dri. (2008). Negara Maritim Nusantara: Jejak Sejarah yang Terhapus. Yogyakarta: Tiara Wacana.