KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Penyambutan KRI Sultan Hasanuddin SHN-366 Satgas Maritim Task Force (MTF) United Nastions Interim Force in Lebanon (UNIFIL) XXVIII-L TA.2019 di Dermaga Madura Koarmada II, Surabaya, Sabtu (22/5/2021). KRI SHN 366 kembali ke pangkalan setelah melaksanakan Operasional Control CTF 448 Maritim Task Force UNIFIL selama 490 hari. Satgas diikuti 119 prajurit yang melaksanakan tugas sejak Agustus 2019 hingga Mei 2021.
Fakta Singkat
Hukum Maritim Nasional
- Hari Maritim Nasional diperingati setiap tanggal 23 September.
- Hari Maritim Nasional ditetapkan oleh Presiden Soekarno melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 249 Tahun 1964.
- Secara geografis, sekitar dua per tiga dari luas wilayahnya berupa lautan. Dengan total luas mencapai 8,3 juta kilometer persegi, 6,4 juta kilometer persegi di antaranya merupakan perairan
- Pada 13 Desember 1957, Perdana Menteri Ir. H. Djuanda Kartawidjaja mengeluarkan Deklarasi Djuanda yang menyatakan bahwa semua laut yang berada di sekitar, antara, dan di dalam kepulauan Indonesia merupakan bagian dari satu kesatuan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia
- Pada tahun 1982, Konvensi Hukum Laut PBB Ke-3 (UNCLOS 1982) mengakui sepenuhnya Deklarasi Djuanda
- Indonesia menjadi wilayah Marine Mega-Biodiversity, memiliki sekitar 8.500 spesies ikan, 555 spesies rumput laut, dan 950 spesies biota terumbu karang
- Pada tahun 2014, Presiden Joko Widodo meluncurkan konsep “Poros Maritim Dunia”
Hari Maritim Nasional diperingati bangsa Indonesia etiap tanggal 23 September. Hari peringatan ini ditetapkan oleh Presiden Soekarno melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 249 Tahun 1964 untuk meneguhkan kembali identitas bangsa sebagai negara maritim.
Secara historis, laut telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Nusantara. Leluhur bangsa telah memanfaatkan laut sebagai sumber mata pencaharian, jalur perdagangan, serta sarana komunikasi antar pulau, yang turut membentuk karakter dan peradaban bangsa Indonesia.
Namun, Hari Maritim Nasional bukan hanya untuk merayakan masa lalu. Peringatan ini merupakan momentum strategis untuk merefleksikan kembali makna kemaritiman di era kontemporer.
Peringatan ini mengingatkan masyarakat akan pentingnya laut sebagai bagian dari identitas bangsa. Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sejarah panjang dalam memanfaatkan sumber daya laut untuk kegiatan ekonomi dan politik.
Di sisi lain, peringatan ini juga menyoroti tantangan sektor maritim, seperti pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan, keamanan laut, dan pengembangan industri maritim. Ini menjadi kesempatan untuk menilai pencapaian yang telah diraih dan merumuskan strategi untuk masa depan.
Indonesia Bangsa Maritim
Indonesia merupakan negara maritim, negara dimana lautnya lebih luas daripada daratnya. Secara geografis, sekitar dua per tiga dari luas wilayahnya berupa lautan. Dengan total luas mencapai 8,3 juta kilometer persegi, 6,4 juta kilometer persegi di antaranya merupakan perairan. Lebih dari 17.000 pulau dan garis pantai sepanjang lebih dari 99.000 kilometer menjadikan laut bukan hanya sekadar batas geografis, tetapi juga bagian integral dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Sejarah mencatat peran penting laut sebagai penggerak peradaban Nusantara. Semboyan seperti “Nenek Moyangku Orang Pelaut” dan “Jalesveva Jayamahe” diterjemahkan sebagai “Justru di Laut Kita Jaya” mencerminkan kedalaman hubungan bangsa ini dengan laut. Kejayaan nenek moyang sebagai pelaut ulung telah menjadi bagian dari cerita panjang peradaban Nusantara.
Bukti-bukti arkeologis dan catatan sejarah menunjukkan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia, jauh sebelum kedatangan penjelajah Eropa, telah menjelajahi lautan luas dengan perahu-perahu tradisional. Bersama perahu-perahu tersebut, pelaut-pelaut dari suku Bugis, Makassar, dan Bajo, yang terkenal sebagai pelaut ulung, telah menjelajahi samudera, bahkan hingga ke pantai timur Afrika dan Madagaskar.
Hubungan nenek moyang dengan perairan pun masih kuat di masa kerajaan, baik Majapahit, Sriwijaya, hingga Samudera Pasai. Kejayaan sejumlah kerajaan di Nusantara tak lepas dari lokasinya yang tak jauh dari daerah pesisir.
Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 sampai 11 Masehi), misalnya, muncul sebagai salah satu emporium maritim terbesar. Sebagai kerajaan maritim, Sriwijaya menguasai jalur lalu lintas pelayaran dan perdagangan internasional. Setiap pelayaran dari Asia Barat menuju Asia Timur harus melewati daerah kekuasaan Sriwijaya, yang didukung oleh bala tentara yang disiplin dan kuat.
Puncak kejayaan Sriwijaya tercapai pada awal abad ke-10, dengan menjalin perdagangan maritim yang luas bersama pedagang Arab dan hubungan politik dengan Kerajaan Chola di India Selatan. Produk lokal Kerajaan Sriwijaya yang menjadi target ekspor penjualan, antara lain beras, rempah-rempah, gading, kayu manis, kemenyan, emas, kulit binatang, dan lain-lain.
Masuk ke abad ke-15 hingga ke-17, Nusantara bertransformasi menjadi pusat perdagangan maritim yang ramai. Kota-kota pelabuhan seperti Pasai, Malaka, dan Aceh menjadi titik temu berbagai peradaban dunia. Kekayaan rempah-rempah Nusantara, seperti lada dan pala, menjadi daya tarik bagi pedagang, khususnya dari Eropa yang sangat menghargai komoditas ini baik untuk bumbu masakan maupun bahan obat-obatan.
Dengan latar belakang ini, laut lebih dari sekadar sarana ekonomi. Ia adalah jalinan sejarah yang membentuk identitas bangsa Indonesia. Sebagai tempat pertemuan dan pertukaran budaya, laut menjadi saksi bisu perjalanan panjang yang kaya dan beragam.
Perjuangan Pengakuan Bangsa Maritim
Kejayaan maritim Indonesia ini pun disadari oleh para pendiri bangsa, terutama oleh Perdana Menteri Ir. H. Djuanda Kartawidjaja. Pada 13 Desember 1957, ia mengeluarkan Deklarasi Djuanda yang menyatakan bahwa semua laut yang berada di sekitar, antara, dan di dalam kepulauan Indonesia merupakan bagian dari satu kesatuan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan langkah ini, Indonesia berusaha menghapus batas laut yang ditetapkan oleh kolonial Belanda, yaitu Territoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonanntie 1939, yang hanya membatasi wilayah hingga tiga mil dari garis pantai.
Deklarasi ini kemudian dibawa ke Konvensi PBB Pertama tentang Hukum Laut di Geneva pada Februari 1958. Meskipun Indonesia menghadapi perlawanan dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Belanda, dukungan datang dari beberapa negara seperti Filipina dan Ekuador.
Pada April 1960, Indonesia kembali mengangkat isu ini di Konvensi PBB Ke-2 setelah mengesahkan Undang-Undang No 4/PRP/Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Meskipun masih mendapatkan tentangan, Indonesia berhasil menjalin perjanjian dengan negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Thailand.
Selama dua puluh lima tahun, diplomat dan ahli hukum laut, di bawah pimpinan Profesor Mochtar Kusumaatmadja, berjuang untuk menggolkan Deklarasi Djuanda dalam forum internasional. Dengan perubahan situasi global, seperti kemerdekaan negara-negara baru di Asia-Afrika dan insiden polusi laut, pentingnya pembahasan ulang hukum kelautan semakin mendesak.
Akhirnya, pada tahun 1982, Konvensi Hukum Laut PBB Ke-3 (UNCLOS 1982) mengakui sepenuhnya Deklarasi Djuanda. Undang-Undang No 17 Tahun 1985 kemudian diterbitkan untuk mengesahkan UNCLOS, yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara kepulauan dengan segala kekayaan yang ada di darat, laut, dan udara.
Sejak 1982, Indonesia memiliki wilayah laut yang sangat luas, sekitar 6,4 juta kilometer persegi, yang mencakup 77 persen dari total wilayah NKRI. Ini menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dengan 17.504 pulau dan garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada.
UNCLOS 1982 juga mengatur hak dan kewajiban negara kepulauan, termasuk pemanfaatan sumber daya alam dan pengaturan batas maritim. Negara kepulauan wajib membuka perairannya untuk navigasi internasional dan konsultasi dengan International Maritime Organization (IMO) untuk keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan laut. Dengan demikian, Deklarasi Djuanda bukan hanya mengubah pandangan internasional tentang Indonesia, tetapi juga memberikan landasan hukum yang kuat untuk pengelolaan sumber daya maritim negara kita.
KOMPAS/KORANO NICHOLAS LMS
Latihan Operasi Laut Gabungan (Latopslagab) XV/04 berlangsung dalam waktu yang relatif singkat, Senin (10/5/2004) di selatan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), yang sudah termasuk di perairan Lautan Hindia. Dalam Latopslagab XV/04 itu dilibatkan 13 kapal perang yangterdiri atas berbagai jenis. Selain KRI, latihan tersebut juga didukung dua pesawat intai maritim serta tiga helikopter. Adapun TNI Angkatan Udara menurunkan sebelas pesawat terbang.
Laut yang Terabaikan
Sayangnya, kejayaan maritim yang menjadi jati diri bangsa Indonesia sejak berabad-abad lalu telah mengalami kemunduran yang signifikan. Akar sejarah menjauhnya Indonesia dari laut telah dimulai sejak masa kolonial. Sejak abad ke-18, ketika kolonialis Belanda mulai membatasi akses masyarakat lokal untuk berinteraksi dengan laut, budaya ini perlahan-lahan mulai luntur.
Kebijakan yang melarang perdagangan dengan pihak selain Belanda menyebabkan masyarakat kehilangan kesempatan untuk menjalin hubungan dengan pendatang asing. Hal ini berimbas pada pengayaan peradaban maritim yang selama berabad-abad menjadi sumber kehidupan. Fokus pemerintah kolonial yang lebih tertuju pada komoditas perkebunan, seperti kopi, teh, gula, dan tembakau, membuat potensi maritim semakin terbengkalai.
Dalam usaha mengeksploitasi sumber daya agraris, Belanda memaksa penduduk Nusantara untuk ‘memunggungi laut’ dan lebih berorientasi pada aktivitas di daratan. Pengenalan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) pada awal abad ke-19 menjadi salah satu strategi utama mereka. Petani diwajibkan menanam tanaman ekspor yang sangat laku di Eropa, seperti kopi dan tebu. Kebijakan ini tidak hanya menguntungkan Belanda, tetapi juga mengubah pandangan masyarakat terhadap laut, mengabaikan potensi kelautan yang ada.
Ketergantungan yang berlebihan pada sektor agraris berdampak pada ekonomi dan budaya maritim Indonesia yang semakin ditinggalkan. Masyarakat yang dulunya menggantungkan hidup pada laut kini terpaksa beralih fokus, menyebabkan hilangnya pengetahuan dan praktik tradisional kelautan yang kaya.
Hasilnya, hingga kini, Indonesia belum sepenuhnya mampu mengelola kekayaan lautnya dan menjamin keamanan lautnya. Pada Januari 2022, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa meski 62 persen wilayah Indonesia berupa laut, kontribusi ekonomi dari sektor kelautan dan perikanan hanya mencapai 2,8 persen dari produk domestik bruto (PDB). Selain itu, pangsa pasar ekspor hasil perikanan dalam perdagangan dunia hanya 3,5 persen (Kompas, 27/7/2022)
Lebih ironis lagi, kekayaan laut yang melimpah tidak membawa kesejahteraan bagi para nelayan. Wilayah pesisir, yang seharusnya menjadi sumber kehidupan, malah menjadi kantong kemiskinan ekstrem. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada tahun 2022, jumlah penduduk miskin di wilayah pesisir mencapai 17,74 juta jiwa, dengan 3,9 juta di antaranya tergolong miskin ekstrem. Dengan total penduduk miskin Indonesia mencapai 26 juta jiwa, kemiskinan di wilayah pesisir menyumbang 68 persen dari angka tersebut (Kompas, 31/10/ 2023).
Masalah lain yang tak kalah serius adalah keamanan laut Indonesia. Praktik penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU Fishing) masih marak. Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI mencatat, kasus penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU Fishing) menempati puncak pelanggaran keamanan laut selama tiga tahun berturut-turut (2020-2022). Selain itu, ada pula kasus penyelundupan barang dan perdagangan manusia (Kompas, 8/6/2023).
Hal ini mencerminkan kelemahan dalam kapasitas patroli dan pemantauan, serta kemampuan pengendalian terhadap kejahatan dan pelanggaran. Indeks Keamanan Laut Indonesia pada 2022 hanya 53 atau kategori cukup. Indeks tersebut lahir dari hasil evaluasi Bakamla terkait kapasitas patroli dan pemantauan, serta kemampuan pengendalian kejahatan, pelanggaran, pencemaran, hingga kecelakaan di laut.
Untuk mengawasi perairan Indonesia yang sangat luas, Bakamla hanya memiliki 32 kapal yang terdiri dari satu kapal negara (KN) dengan panjang 110 meter, tiga KN sepanjang 80 meter, enam KN sepanjang 48 meter, dan 22 kapal patroli kecil (high-speed craft/HSC). Kapasitas ini masih jauh dari memadai.
Di sisi lain, Indonesia juga menghadapi ancaman serius dari sampah laut. Sampah yang tidak terkelola dengan baik di daratan kerap berakhir di lautan, yang kemudian menciptakan ancaman serius bagi ekosistem maritim.
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), potensi kebocoran sampah laut di Indonesia mencapai 6,8 juta ton, didominasi oleh sampah plastik. Pada tahun 2020, lautan Indonesia tercemar oleh sekitar 1.772,7 gram sampah per meter persegi, dengan 35,4 persen di antaranya adalah sampah plastik.
Selain sampah plastik, sampah kaca dan keramik juga terbilang cukup banyak hingga mencapai 226,29 g/m2 atau 12,76 persen dari total sampah di laut. Kemudian sebanyak 224,76 g/m2 sampah yang ada di lautan Indonesia berupa logam. Diikuti sampah berupa kayu 202,36 g/m2 dan sampah lainnya 173,73 g/m2. Ada juga sampah berupa karet sebesar 110,64 g/m2, sampah busa plastik 56,68 g/m2, serta sampah kertas dan kardus sebesar 21,86 g/m2. Kualitas air dan kesehatan ekosistem laut pun semakin terancam oleh akumulasi sampah ini, yang dapat mengganggu kehidupan biota laut.
KOMPAS/AMBROSIUS HARTO
Kapal selam KRI Nagapasa-403, Senin (28/8/2017), saat akan sandar di Dermaga Satuan Kapal Selam Komando Armada RI Kawasan Timur, Surabaya, Jawa Timur.
Potensi Sumber Daya Kelautan
Dengan hamparan laut seluas 6,4 juta kilometer persegi, Indonesia memiliki potensi laut yang sangat besar. Sektor perikanan, salah satunya, menunjukkan prospek yang cerah. Diperkirakan, stok ikan yang melimpah di perairan Indonesia cukup untuk mendukung industri perikanan yang berkelanjutan. Komoditas seperti tuna, lobster, dan udang sangat diminati di pasar internasional, menjadikan sektor ini sebagai salah satu andalan ekspor. Selain itu, budidaya perikanan di lautan dan perairan pesisir menawarkan peluang besar untuk pengembangan ekonomi lokal dan peningkatan ketahanan pangan.
Posisi geografis Indonesia yang strategis menjadikannya sebagai jalur transportasi dan perdagangan internasional yang vital. Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, dan Selat Makassar merupakan jalur penting yang berfungsi sebagai Sea Lanes of Communication (SLOC). Selat Malaka dan Selat Sunda, termasuk dalam daftar choke point dunia, menjadi jalur utama yang mendukung kelancaran arus perdagangan global. Keberadaan jalur ini tidak hanya berkontribusi pada stabilitas ekonomi, tetapi juga politik negara-negara di sekitarnya.
Selat Malaka, misalnya, merupakan jalur transportasi laut terpendek yang menghubungkan Samudra Hindia dengan Samudra Pasifik. Menghubungkan raksasa-raksasa ekonomi dunia, termasuk India, Timur-Tengah, Eropa, dan Afrika di belahan barat dengan China, Korea Selatan, dan Jepang di belahan timur. Setiap tahun lebih dari 100.000 kapal kargo melintas di Selat Malaka (Kompas, 24/9/2023).
Pengembangan infrastruktur maritim yang baik, seperti sektor transportasi laut (armada kapal, pelabuhan, dan industri galangan kapal), dapat meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia di pasar global. Pemanfaatan teknologi modern dalam pengelolaan logistik dan distribusi barang melalui jalur laut akan memungkinkan proses yang lebih efisien dan terintegrasi.
Laut Indonesia juga dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati dunia. Sebagai wilayah Marine Mega-Biodiversity, Indonesia memiliki sekitar 8.500 spesies ikan, 555 spesies rumput laut, dan 950 spesies biota terumbu karang. Keanekaragaman ini memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem serta menawarkan potensi besar untuk penelitian dan pengembangan di bidang bioteknologi dan obat-obatan.
Lebih dari itu, kekayaan arkeologi yang terpendam di dasar laut Indonesia menyimpan harapan untuk eksplorasi yang dapat membuka wawasan baru mengenai sejarah dan budaya maritim bangsa. Penelitian lebih lanjut di area ini berpotensi mengungkap banyak hal yang selama ini belum diketahui.
Keindahan alam bawah laut Indonesia menyimpan potensi luar biasa sebagai destinasi pariwisata bahari, yang dapat menjadi sumber devisa signifikan. Deretan terumbu karang yang memukau dan berbagai spesies ikan eksotis menawarkan pengalaman yang tak tertandingi bagi para pengunjung.
Selain potensi di sektor perikanan dan pariwisata, laut Indonesia juga menyimpan sumber energi terbarukan. Energi dari panas air laut, gelombang laut, dan arus laut memiliki potensi untuk mendukung ketahanan energi nasional. Dengan pengembangan teknologi yang tepat, sumber daya ini dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan energi yang terus meningkat, sekaligus menjaga keberlanjutan lingkungan.
Artinya, peluang untuk mengembangkan ekonomi kelautan bagi penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan rakyat masih terbuka begitu lebar.
Artikel terkait
Membangun Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia
Laut merupakan bagian terluas dari wilayah Indonesia, dan kekayaan alam yang melimpah di dalamnya menjadi potensi besar bagi bangsa. Pada tahun 2014, Presiden Joko Widodo meluncurkan konsep “Poros Maritim Dunia”, sebuah terobosan dalam paradigma pembangunan nasional yang bertujuan mengembalikan Indonesia ke jati dirinya sebagai negara maritim (Kompas, 22/7/2023).
Dalam pidato pelantikannya pada 20 Oktober 2014, Jokowi menekankan pentingnya mengembalikan Indonesia ke jati dirinya sebagai negara maritim. Ia menyatakan, “Kita telah lama memunggungi samudra, laut, selat, dan teluk. Maka, mulai hari ini, kita kembalikan kejayaan nenek moyang sebagai pelaut pemberani.” Pernyataan ini menggambarkan tekad untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan mandiri di lautan.
Pengertian poros maritim dunia ini kemudian dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia. Pasal 1 (2) disebutkan: Poros Maritim Dunia adalah suatu visi Indonesia untuk menjadi sebuah negara maritim yang berdaulat, maju, mandiri, kuat, serta mampu memberikan kontribusi positif bagi keamanan dan perdamaian kawasan dan dunia sesuai dengan kepentingan nasional.
Ada lima pilar dari Poros Maritim Dunia itu, yaitu: (1) pembangunan kembali budaya maritim, (2) pengelolaan sumber daya laut, (3) pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim, (4) diplomasi maritim, dan (5) membangun kekuatan pertahanan maritim.
Untuk mewujudkan visi Poros Maritim Dunia, diperlukan komitmen kuat dan langkah konkret. Dalam bukunya, Menyibak Gelombang Menuju Negara Maritim (2018), Darmawan menjelaskan bahwa sebuah negara maritim harus menguasai semua aspek strategis di lautan, termasuk armada perdagangan, industri maritim, dan angkatan laut.
Dengan demikian, untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, pemerintah harus membangun kekuatan maritim yang menyeluruh dan terintegrasi. Ini adalah kesempatan bagi Indonesia untuk menyibak gelombang dan menghadapi tantangan demi mewujudkan potensi besar sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Kesuksesan visi ini akan mengembalikan kejayaan maritim bangsa dan menempatkan Indonesia di panggung global sebagai kekuatan yang berdaulat dan berpengaruh. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- 2018. Menyibak Gelombang Menuju Negara Maritim. Jakarta: Pustaka Obor Indonesia.
- Mahamid, Mochammad Nginwanun Likullil. “Sejarah Maritim di Nusantara (Abad VII-XVI): Interkoneksi Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, dan Demak.” Historia Madania: Jurnal Ilmu Sejarah7, no. 1 (2023): 32-49.
- Wahid, Abdul. “Pusaka Sejarah Maritim di Indonesia: Khasanah, Tantangan, dan Strategi Perlindungannya.” Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya.19, no. 1 (2018): 19-34.
- “Negara Kepulauan dan Benua Maritim Indonesia.” Kompas, 21 Desember 2020.
- “Kedaulatan Maritim Indonesia: Sejarah dan Potretnya,” Kompas, 11 April 2021.
- “Perlu Sinergi Mewujudkan Visi Indonesia Menjadi Poros Maritim Dunia,” Kompas, 8 Oktober 2021.
- “Pembangunan Kelautan Indonesia,” Kompas, 28 Oktober 2021.
- “Mendongkrak Kontribusi PDB Perikanan,” Kompas, 27 Juli 2022.
- “Pengawasan Perairan Rawan Kian Krusial,” Kompas, 8 Juni 2023.
- “Poros Maritim Dunia,” Kompas, 22 Juli 2023.
- “Menandingi Irama Gelombang Selat Malaka,” Kompas, 24 September 2023.
- “Peluang Ekonomi Desa Pesisir,” Kompas, 31 Oktober 2023.
- “Visi Maritim Indonesia,” Kompas, 27 Desember 2023.
- “Fokus Kelautan 2045,” Kompas, 10 Mei 2024.
- “Perikanan dan Kedaulatan Indonesia,” Kompas, 21 Mei 2024.
- “Digdaya Maritim Nusantara,” diakses dari big.go.id pada 20 September 2024.
- “Geomaritime Indonesia: Kajian Histori, Sumberdaya dan teknologi menuju Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia,” diakses dari big.go.id pada 20 September 2024.
- “Jalur Perdagangan Maritim Nusantara: Cerita dari Masa Lalu, Sebuah Upaya Bagi Masa Kini,” diakses dari jalurrempah.kemdikbud.go.id pada 20 September 2024.
- “Dulu Bangsa Indonesia Adalah Bangsa Maritim,” diakses dari Indonesia.go.id pada 20 September 2024.