Kronologi | Vaksinasi Covid-19

Vaksin AstraZeneca: Laporan KIPI Picu Banyak Respon

Berpacu dengan waktu, langkah pencegahan Covid-19 diupayakan oleh berbagai pihak termasuk Universitas Oxford dan perusahaan farmasi AstraZeneca. Uji klinis pembuatan vaksin yang biasanya dilaksanakan hingga 5 tahun, dipangkas menjadi hanya beberapa bulan. Kini, vaksin Oxford/AstraZeneca telah didistribusikan ke lebih dari 170 negara, dan diproduksi di lebih dari 20 lokasi manufaktur di berbagai belahan dunia.

Penyuntikan Vaksin AstraZeneca Pertama di Manado

Vaksinator menyedot cairan vaksin Covid-19 bermerek AstraZeneca sebelum disuntikkan ke lengan penerima (24/3/2021), dalam vaksinasi massal di Manado, Sulawesi Utara.

Foto: Kompas/Kristian Oka Prasetyadi

Sejak laporan dari Wuhan, China atas sebuah klaster pasien dengan pneumonia yang tak diketahui penyebabnya kepada WHO akhir 2019, hingga sekarang dunia berjibaku melawan virus yang selanjutnya diketahui sebagai SARS-CoV-2. Penyakitnya dinamai Covid-19.

Di Universitas Oxford, dipimpin oleh Prof. Sarah Gilbert, perumusan vaksin untuk pencegahan virus ini dimulai tak sampai dua pekan setelah adanya laporan dari Wuhan, tepatnya 11 Januari 2020.

Institut Jenner, lembaga riset di bawah naungan Universitas Oxford, telah meneliti selama bertahun-tahun teknologi untuk vaksin, salah satunya teknologi vaksin ChAd0x1. Vaksin ini sebelumnya telah dipakai untuk penyakit-penyakit seperti flu, Zika, dan Middle East Respiratory Syndrome (MERS) yang juga bersumber dari virus korona. Teknologi ini memang disiapkan untuk penyakit-penyakit yang belum muncul atau disebut dengan “Penyakit X”.

Vaksin ChAd0x1 kemudian dipilih sebagai salah satu kandidat vaksin Covid-19. Vaksin ini merupakan vector vaksin yang bersumber dari adenovirus simpanse yang telah dilemahkan serta diubah secara genetik sehingga tidak dapat berkembang biak dalam tubuh manusia. Di dalam adenovirus ada tambahan protein yang diambil dari duri permukaan virus korona. Sehingga ketika disuntikkan ke tubuh manusia, adenovirus ini akan melepas protein tersebut di dalam tubuh manusia dan menciptakan daya tahan terhadap infeksi.

Teknologi vaksin ini telah dikembangkan bertahun-tahun sebelum munculnya Covid-19, sehingga saat Covid-19 merebak, vaksin ini termasuk dalam 2 vaksin yang paling awal disetujui oleh WHO untuk digunakan sebagai pencegahan Covid-19.

Bekerjasama dengan perusahaan farmasi AstraZeneca, vaksin ini kemudian diproduksi dan didistribusikan ke lebih dari 170 negara di dunia.

Seiring dengan pendistribusian vaksin Oxford/AstraZeneca ini, serta proses vaksinasi yang telah dilakukan banyak negara, beberapa kasus Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) serius dilaporkan di beberapa negara, termasuk di Indonesia.

Beberapa negara di Eropa termasuk Denmark menangguhkan penggunaan vaksin Oxford/AstraZeneca terkait laporan kejadian pembekuan darah akibat vaksin atau vaccine-induced thrombotic thrombocytopenia (VITT).

WHO pada tanggal 19 Maret 2021 merespon penghentian maupun penangguhan penggunaan vaksin Oxford/AstraZeneca yang dilakukan oleh beberapa negara di Eropa. Setelah melakukan kajian ulang terhadap data uji klinis, WHO menyimpulkan bahwa vaksin ini tetap memiliki manfaat yang lebih tinggi dibandingkan dengan profil risikonya dengan potensi yang sangat besar dalam mencegah infeksi dan mengurangi kematian di seluruh penjuru dunia.

KIPI fatal yang diduga terkait vaksin ini pada pada batch CTMAV547 juga di temukan di Indonesia. Vaksin dalam batch ini pun ditangguhkan penggunaannya dan kemudian diuji toksisitas dan sterilitasnya oleh BPOM. Berdasarkan hasil uji yang dilakukan, BPOM menyatakan vaksin dalam batch ini memenuhi syarat mutu dan aman digunakan.

Desember 2019
Sebuah klaster pasien dengan pneumonia yang tidak diketahui penyebabnya dilaporkan di Wuhan, China kepada World Health Organization (WHO).

11 Januari 2020
Sebuah tim di Universitas Oxford, Inggris yang dipimpin oleh Prof. Sarah Gilbert mulai mendesain vaksin untuk mencegah penyakit ini. Sebuah vektor vaksin berbasis adenovirus dari Simpanse (ChAd0x1) yang dikembangkan di Jenner Institut, Universitas Oxford, dipilih menjadi teknologi vaksin yang paling cocok untuk SARS-CoV-2 karena tidak menyebabkan replikasi virus sehingga menghentikan infeksi pada individu yang telah divaksin.

30 Januari 2020
Wabah ini ditetapkan sebagai keadaan darurat dalam taraf internasional oleh WHO.

11 Februari 2020
Penyakit yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 ini secara resmi dinamakan Covid-19.

11 Maret 2020
WHO secara resmi menetapkan Covid-19 sebagai pandemi.

27 Maret 2020
Universitas Oxford melalui lembaga di bawahnya, yaitu Jenner Institut dan Vacciteh melakukan pemindaian pada relawan berusia 18–55 tahun untuk uji klinis vaksin Covid-19 yang sedang dikembangkan.

24 April 2020
Universitas Oxford mulai melakukan uji klinis vaksin Covid-19 tahap 1 pada 1.110 orang relawan. Vaksin yang diprakarsai oleh Prof. Sarah Gilbert di bawah naungan Jenner Institut ini berbasis adenovirus yang ditambahkan protein yang diambil dari duri permukaan virus korona SARS CoV-2.

30 April 2020
Universitas Oxford dan AstraZeneca mengumumkan kerjasama untuk pengembangan dan distribusi vaksin ChadOx1 nCoV-19 yang dikembangkan Jenner Institut di Universitas Oxford untuk pencegahan Covid-19.

21 Mei 2020
AstraZeneca telah melalukan finalisasi perjanjian lisensi dengan Universitas Oxford untuk vaksin ChadOx1 nCoV-19 dengan kode AZD1222.

20 Juli 2020
Hasil uji klinis vaksin Oxford/AstraZeneca tahap I/II diumumkan di Jurnal Sains, The Lancet. Tes tahap ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 14 hari setelah vaksinasi, vaksin dapat memicu respon sel T (sel darah putih yang dapat menyerang sel yang terinfeksi virus SARS-CoV-2) dan juga respon antibodi dalam kurun waktu 28 hari.

8 Desember 2020
Peneliti dari Universitas Oxford dan AstraZeneca mempresentasikan hasil analisis uji klinis tahap ke-3 atas vaksin Oxford/AstraZeneca. Analisis menunjukkan bahwa efikasi dua dosis vaksin ini mencapai 70,4%. Persentase efikasi ini berdasarkan data yang diambil dari 11.636 orang sukarelawan di seluruh Inggris dan Brazil.

15 Februari 2021
WHO menyetujui penggunaan darurat 2 versi vaksin Oxford/AstraZeneca. Vaksin versi pertama diproduksi AstraZeneca-SKBio (Korea Selatan) dan versi kedua diproduksi oleh Serum Institute of India. Melalui persetujuan WHO ini, vaksin Oxford/AstraZeneca dapat segera didistribusikan secara global melalui COVAX.

Tenaga medis serta warga peserta vaksinasi massal berdiri dan menyanyikan lagu Indonesia Raya yang dikumandangkan pada pukul 10.00 di GOR Univesitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta(16/6/2021). Lagu Indonesia Raya dikumandangkan setiap pukul 10.00 di berbagai tempat publik di Yogyakarta. Kegiatan penyuntikan massal vaksin Covid-19 yang diproduksi oleh AstraZeneca digelar selama empat hari di tempat itu dengan target 10.000 penerima vaksin. [KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO]
8 Maret 2021
Indonesia mendapatkan vaksin Oxford/AstraZeneca batch pertama sebanyak 1.113.600 dosis. Vaksin ini merupakan vaksin yang diproduksi di Korea Selatan dan dikirim melalui hub AstraZeneca di Amsterdam, Belanda. Penerimaan vaksin ini terlaksana melalui skema multilateral COVAX Facility.

11 Maret 2021
Beberapa negara di Eropa, di antaranya Denmark, Jerman, dan Italia menangguhkan penggunaan vaksin Oxford/AstraZeneca terkait laporan kejadian pembekuan darah akibat vaksin atau vaccine-induced thrombotic thrombocytopenia (VITT).

17 Maret 2021
WHO merespon beberapa laporan penangguhan penggunaan vaksin Oxford/AstraZeneca di berbagai negara di Eropa. WHO menyebutkan bahwa manfaat dari vaksin lebih besar apabila dibandingkan dengan resiko yang ditimbulkan. Sehingga, WHO merekomendasikan untuk tetap melanjutkan vaksinasi menggunakan Oxford/AstraZeneca.

26 April 2021
Vaksin Covid-19 AstraZeneca dengan kode produksi CTMAV 547 tiba di Indonesia. Vaksin batch ini merupakan bagian dari 3.852.000 dosis vaksin AstraZeneca hasil dari skema multilateral, COVAX Facility.

11 Mei 2021
BPOM mengirimkan surat kepada Kementerian Kesehatan bahwa BPOM akan menginvestigasi lebih lanjut 2 laporan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) fatal, diduga terkait vaksin Covid-19 Oxford/AstraZeneca batch CTMAV547.

16 Mei 2021
Vaksin Covid-19 Oxford/AstraZeneca dengan nomor kode produksi CTMAV547 ditangguhkan distribusi dan penggunaannya oleh Kementerian Kesehatan setelah adanya laporan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) fatal yang sedang diinvestigasi oleh BPOM. Vaksin dalam batch selain CTMAV547 tetap dilanjutkan penggunaannya.

28 Mei 2021
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merilis hasil pengujian vaksin Covid-19 AstraZeneca dengan kode produksi CTMAV 547 bahwa toksisitas abnormal dan sterilitas vaksin ini memenuhi syarat mutu dan aman digunakan. Vaksinasi dengan kode produksi ini dilanjutkan kembali.

Petugas menyuntik vaksin AstraZeneca kepada warga yang mengikuti vaksinasi Covid-19 di Pelabuhan Trisakti, Banjarmasin, Kalimantan Selatan (30/6/2021). Vaksinasi bagi warga masyarakat maritim atau yang tinggal di pesisir Sungai Barito itu diadakan Pangkalan TNI Angkatan Laut Banjarmasin dan menyasar 500 warga yang telah berusia 18 tahun ke atas. Kegiatan serbuan vaksinasi itu dalam rangka mendukung program nasional satu juta vaksinasi Covid-19 per hari. [KOMPAS/JUMARTO YULIANUS]
29 Juli 2021
1 miliar dosis vaksin Oxford/AstraZeneca telah berhasil dirilis ke lebih dari 170 negara melalui lebih dari 20 lokasi manufaktur, termasuk Serum Institute of India.

1 Agustus 2021
620.000 dosis vaksin AstraZeneca tiba di Bandara Internasional Soekarno Hatta, Tangerang, Banten.

Referensi

Arsip Kompas

Sosok: Sarah Gilbert – Kebaikan Hati Sang Peneliti. Kompas, 22 Juli 2021.

Pandemi Covid-19: Vaksinasi AstraZeneca Dihentikan Sementara. Kompas, 17 Mei 2021.

Indonesia Tunggu Hasil Kajian Badan POM. Kompas, 17 Maret 2021.

Untung dan Rugi Vaksin AstraZeneca. Kompas, 20 Mei 2021.

Jutaan Dosis Vaksin Covid-19 Tiba di Indonesia. Kompas.id 1 Agustus 2021.

Vaksin AstraZeneca Kode Produksi CTMAV 547 Kembali Digunakan. Kompas.id 28 Mei 2021.

Mitigasi Risiko Pembekuan Darah dari Vaksin Covid-19 AstraZeneca. Kompas.id 18 Mei 2021.

Penulis
Agustina Rizky Lupitasari

Editor
Rendra Sanjaya