KOMPAS/MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
KRI Usman Harun melintasi Selat Lampa, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, Rabu (15/1/2020). Kapal milik TNI Angkata Laut itu merupakan salah satu armada yang melakukan patroli untuk menjamin keamanan di laut teritorial dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Laut Natuna Utara.
Fakta Singkat
Hukum Internasional tentang Kedaulatan Maritim
- Konvensi UNCLOS 1982-United Nations Convention on the Law of the Sea, 1982 (UNCLOS 1982)
Batas dan Luas Wilayah Maritim Indonesia
- 12 mil dari garis dasar atau base line terluar pulau-pulau
- Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) selebar 200 mil dari dari garis dasar
- Perairan: 166.163 km2
Regulasi Hukum Kedaulatan Maritim
- Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim 1939
- Deklarasi Juanda 13 Desember 1957
- UU No. 4/PRP/Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia
- PP 8/1962 tentang lalu lintas Damai Kendaraan Air Asing
- UU 1/1973 tentang Landas Kontinen Indonesia
- UU 5/1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif RI
- UU 17/1985 Tentang pengesahan United Nations Conventions on The Law of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut)
- UU 17/2008 Tentang Pelayaran
- UU 32/2014 Tentang Kelautan
- PP 31/2021 Tentang Penyelenggaraan Bidang Pelayaran
Kedaulatan maritim merupakan kewenangan suatu negara secara eksklusif dan bebas untuk melakukan berbagai kegiatan kenegaraan di wilayah laut yang menjadi haknya. Indonesia memperjuangkan kedaulatan maritimnya melalui diplomasi yang berlangsung bertahun-tahun.
Secara sederhana, istilah “kedaulatan” dapat dipahami sebagai otoritas tertinggi dalam suatu wilayah (supreme authority within a territory). Kedaulatan teritorial suatu negara mencakup tiga dimensi, yaitu darat, udara dan laut.
Kedaulatan atas wilayah darat meliputi permukaaan tanah daratan dan juga tanah di bawah daratan sampai pada kedalaman yang tidak terbatas. Kedaulatan atas ruang udara meliputi ruang udara yang terletak di atas permukaan wilayah daratan dan yang terletak di atas wilayah perairan suatu negara.
Sedangkan pada wilayah laut, kedaulatan teritorial suatu negara meliputi zona perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial. Secara internasional, kedaulatan teritorial laut suatu negara diatur dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut UNCLOS 1982.
Kedaulatan wilayah laut ini sering disebut sebagai kedaulatan maritim. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah “maritim” diartikan sebagai istilah yang berkenaan dengan laut atau berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan di laut.
Wilayah kedaulatan dibedakan dengan hak berdaulat. Bayangkan titik-titik yang ditarik dari bagian terluar Indonesia, misalnya Pulau Natuna. Dari titik-titik itu ditarik garis yang disebut garis pangkal. Kalau dari garis pangkal ditarik 12 mil ke luar dan dibentuk garis baru, garis itu disebut garis teritorial. Dari garis teritorial hingga ke dalam, termasuk daratan Indonesia, itulah wilayah kedaulatan (sovereignty).
Sedangkan, apabila dari garis pangkal ditarik garis ke luar sejauh 200 mil, daerah itu disebut zona ekonomi eksklusif (ZEE). Sumber daya alam yang ada di ZEE ditujukan secara eksklusif untuk diolah negara pantai pemilik ZEE. Makna diolah, bisa saja negara pantai bekerja sama dengan pihak lain, termasuk negara lain atau swasta. Ini disebut hak berdaulat (sovereign rights).
Pengaturan hak berdaulat Negara Kesatuan Republik Indonesia di wilayah ZEE secara jelas diatur dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif. Pengaturan nasional mengenai hak berdaulat ini mengadopsi Pasal 56 ayat (1) dalam ketentuan UNCLOS 1982.
Di Indonesia, kedaulatan maritim dikoordinasikan oleh Kemenko Kemaritiman dan Investasi yakni Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Presiden Joko Widodo meninjau kesiagaan kapal perang KRI Usman Harun (359) di Pelabuhan Selat Lampa, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, Rabu (8/1/2020). Di depan KRI Usman Harun, Presiden menyampaikan bahwa kunjungannya ke tempat tersebut adalah ingin memastikan penegakan hukum hak berdaulat negara atas kekayaan sumber daya laut di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia.
Sejarah Penerapan di Indonesia
Ketika Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, wilayah nengara Indonesia tidak seperti yang kita kenal saat ini. Berdasarkan Sidang BPUPKI 11 Juli 1945, diputuskan bahwa yang masuk dalam Indonesia Merdeka adalah wilayah Hindia Belanda ditambah dengan Malaka, Borneo Utara, Papua, Timor dan kepulauan sekelilingnya.
Wilayah laut Hindia Belanda saat itu hanya merupakan jalur laut selebar 3 mil dari garis pantai pada saat pasang tersurut yang melingkari setiap pulau. Kalau ditotal, luas keseluruhan wilayah laut Indonesia saat itu tidak sampai satu juta kilometer persegi.
Di luar itu, statusnya merupakan perairan internasional atau laut bebas. Jadi dapat dibayangkan bahwa bagian terbesar Laut Jawa, Selat Makassar, Laut Sulawesi, Laut Banda, Laut Arafura, dan lainnya merupakan perairan internasional. Sebagai perairan internasional, berbagai kapal asing dapat berlayar dengan bebas di wilayah tersebut. Dengan demikian, secara hukum terdapat kesan bahwa unsur laut lebih merupakan pemisah antar pulau-pulau di Nusantara.
Dari penelusuran sejarah, jalur laut selebar 3 mil dari bibir pantai itu didasarkan pada jarak tembak meriam pada zaman dahulu yang tidak sampai jarak 3 mil. Dari segi hukum, ketentuan tentang lebar laut teritorial yang sangat sempit itu didasarkan pada Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie, 1939 (Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim, 1939), produk hukum zaman Hindia Belanda yang kemudian diteruskan dan diadopsi oleh Indonesia ketika baru saja merdeka.
Dalam perjalanan sejarah awal Indonesia merdeka, dirasakan bahwa ketentuan hukum laut yang berlaku saat itu sangatlah rawan terhadap keamanan dan keutuhan negara Republik Indonesia. Wilayah laut teritorial Indonesia tidak merupakan wilayah yang utuh, tetapi terpisah-pisah oleh perairan internasioal atau perairan bebas. Wilayah perairan internasional yang berada di antara pulau-pulau Nusantara bebas dilayari atau dimasuki oleh kapal-kapal asing. Dengan demikian, muncul potensi ancaman keamanan dan kedaulatan negara.
Pada awal kemerdekaan, terjadi pemberontakan di sejumlah daerah di Indonesia serta konflik politik dengan Belanda mengenai Irian Barat (Papua). Hal tersebut menyebabkan masalah kewilayahan laut ini menjadi sangat genting karena kapal-kapal perang asing bebas berkeliaran di antara pulau-pulau Nusantara. Sementara itu, Indonesia tidak berkutik mencegahnya karena kendala hukum dan sarana-prasarana.
Sumber: Badan Informasi Geospasial
Tangkapan layar peta Indonesia terbaru dari laman Ina-Geoportal. Di dalamnya tercantum nama Laut Natuna Utara, 11/4/2021.
Deklarasi Djuanda
Menanggapi situasi kritis itu, pada tanggal 13 Desember 1957, Perdana Menteri Ir. Djuanda Kartawijaya mendeklarasikan “Pengumuman Pemerintah mengenai Perairan Negara Republik Indonesia” yang kelak dikenal sebagai “Deklarasi Djuanda”.
Deklarasi itu menyatakan bahwa semua perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya, adalah bagian dari wilayah Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara Republik Indonesia.
Lalu lintas yang damai bagi kapal-kapal asing di perairan pedalaman ini dijamin selama dan sekadar tidak bertentangan atau mengganggu kedaulatan dan keselamatan Negara Indonesia. Batas laut teritorial Indonesia yang sebelumnya 3 mil diperlebar menjadi 12 mil, diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar pada pulau-pulau terluar dari wilayah negara Indonesia pada saat air laut surut.
Dengan dikeluarkannya deklarasi tersebut berarti Ordonansi tahun 1939 yang merupakan warisan kolonial tidak berlaku lagi. Deklarasi Djuanda itu kemudian disahkan melalu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4/PRP/Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Dengan demikian, luas wilayah laut Indonesia bertambah dengan sangat signifikan hingga menjadi sekitar 3,1 juta kilometer persegi.
Deklarasi Djuanda itu serta merta mendapat tentangan dan protes dari beberapa negara yang merasa kepentingan maritimnya terganggu. Nota protes diplomatik dari negara-negara maritim besar, seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, Belanda, Perancis, dan Selandia Baru mengalir melalui Departemen Luar Negeri RI.
IPPHOS
Ir Djuanda, Mr. Hardi, dan Idham Chalid dilantik sebagai Pimpinan Kabinet Baru.
UNCLOS 1982
Indonesia dengan mengerahkan para ahli hukum lautnya dan lewat diplomasi di berbagai forum internasional terus memperjuangkan ketetapan tentang wilayah hukum laut yang baru yang telah memberi wajah baru geopolitik Indonesia.
Perjuangan untuk mendapatkan pengakuan internasional terus diupayakan untuk meyakinkan dunia internasional tentang konsep Wawasan Nusantara yang memandang darat dan laut kepulauan merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan. Paling tidak, diperlukan waktu sekitar 25 tahun bagi para ahli hukum laut dan para diplomat profesional Indonesia memperjuangkan hal tersebut.
Pada pertemuan Konvensi Hukum Laut PBB ke-3 (United Nation Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) tanggal 10 Desember 1982, konsep Wawasan Nusantara akhirnya diakui dunia sebagai The Archipelagic Nation Concept. Di situ ditetapkan laut teritorial negara kepulauan adalah selebar 12 mil dari garis dasar atau base line terluar pulau-pulau dan ZEE selebar 200 mil dari dari garis dasar.
Melalui UNCLOS 1982, luas laut Indonesia bertambah, dari sebelumnya kurang dari satu juta kilometer persegi menjadi 5,8 juta kilometer persegi. Luas tersebut terdiri dari laut teritorial dan perairan pedalaman seluas 3,1 juta kilometer persegi dan ZEE seluas 2,7 juta kilometer persegi.
Pemerintah Indonesia kemudian meratifikasi UNCLOS 1982 melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985. Selain itu, berbagai tindak lanjut dilakukan, seperti menetapkan titik pangkal, peta garis pangkal, peta alur laut kepulauan Indonesia (ALKI), hingga peta ZEE Indonesia dengan berbagai survei hidrografi dan oseanografi. Selain itu persinggungan perbatasan dengan negara tetangga juga mulai dirundingkan dan diselesaikan.
Dengan demikian, Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 telah membuka jalan untuk berkembangnya konsep Wawasan Nusantara yang menyatukan tanah (daratan) dan air (laut) menjadi suatu kesatuan yang utuh tak terpisahkan.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum Dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD (keempat dari kiri) bersama Kepala Badan Keamanan Laut ( Bakamla) Laksamana Madya Aan Kurnia (kelima dari kiri) menghadiri Penandatangan Kesepakatan Bersama 13 Institusi dalam Pengawasan, Pengamanan, dan Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Laut Natuna Utara di Kantor Bakamla Jakarta, Jumat (21/2/2020).
Dukungan Peraturan
Dalam perkembangannya, ketentuan mengenai wilayah kedaulatan maritim Indonesia juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Di pasal 4 disebutkan bahwa Kedaulatan Negara Republik Indonesia di perairan Indonesia meliputi laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman serta ruang udara di atas laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman serta dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Berdasarkan Undang-Undang tersebut, luas wilayah perairan Indonesia bertambah menjadi kurang lebih sebesar 3.166.163 kilometer persegi. Dengan demikian, luas wilayah bertambah, dari 2.027.087 kilometer persegi (daratan) bertambah menjadi 5.193.250 kilometer persegi (darat dan laut).
Wilayah perairan Indonesia sebagai negara kepulauan mengikuti ketentuan hukum laut internasional yang sudah diberlakukan juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara Republik Indonesia. Pada Pasal 5 UU tersebut dinyatakan yaitu batas wilayah negara di darat, perairan, dasar laut dan tanah di bawahnya serta ruang udara di atasnya ditetapkan atas dasar perjanjian bilateral atau trilateral mengenai batas darat, batas laut, dan batas udara serta berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.
Sementara Pasal 6 UU 43/2008 menyatakan batas laut wilayah RI berbatasan dengan wilayah negara Malaysia, Papua Nugini, Singapura, dan Timor Leste. Oleh karena itu, untuk mengetahui wilayah kedaulatan maritim Indonesia, perlu mengikuti ketentuan internasional yang berlaku serta mengukur batas wilayah dari titik koordinasi yang telah ditetapkan berdasarkan perjanjian bilateral atau trilateral antar negara yang berdekatan.
Pada tahun 2014, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Pada Pasal 5 Ayat 1 UU tersebut menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan yang seluruhnya terdiri atas kepulauan-kepulauan dan mencakup pulau-pulau besar dan kecil yang merupakan satu kesatuan wilayah, politik, ekonomi, sosial budaya, dan historis yang batas-batas wilayahnya ditarik dari garis pangkal kepulauan.
Dalam UU tersebut dinyatakan pula bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kedaulatan pada perairan pedalaman, perairan kepulauan, serta laut teritorial, memiliki hak yuridis tertentu pada zona tambahan, kemudian hak berdaulat pada ZEE serta landasan kontinen.
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Kapal aparat Badan Keamanan Laut melaju ke salah satu supertanker yang labuh jangkar di Pelabuhan Batu Ampar, Batam, Kepulauan Riau, Rabu (27/1/2021). Sebelumnya, MT Freya dan MT Horse ditangkap aparat Bakamla di perairan Kalimantan Barat, Minggu (24/1/2021). Kedua supertanker itu tertangkap tangan melakukan transaksi BBM secara ilegal.
Artikel terkait
Pelayaran di Ruang Maritim
Terkait dengan kedaulatan maritimnya, Indonesia juga mengatur pelayaran di ruang maritim. Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran Pasal 11 ayat (1) ditegaskan bahwa kegiatan angkutan laut dari dan ke luar negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional atau perusahaan angkutan laut asing dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia atau kapal asing (Pasal 11 UU 17/2008). Sedangkan, ketentuan mengenai kegiatan angkutan laut luar negeri terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Bidang Pelayaran.
Dalam PP 31/2021 Pasal 6 ayat (5) disebutkan, pelaksanaan kegiatan angkutan laut asing yang melakukan kegiatan angkutan laut khusus ke pelabuhan Indonesia atau terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri wajib menunjukkan keagenan kapal.
Selanjutnya, pemerintah menyesuaikan ketentuan tentang pelayaran dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 atau dikenal dengan UU Cipta Kerja. UU Cipta Kerja mengubah UU 17/2008 sehingga kapal-kapal asing harus memiliki izin dan juga perwakilan dari pihak Indonesia dalam melakukan kegiatan di wilayah Indonesia.
Ketentuan terkait izin kapal asing menjadi wewenang Kementerian Perhubungan. Izin diplomatik menjadi wewenang Kementerian Luar Negeri. Sedangkan, izin keamanan merupakan wewenang Kementerian Pertahanan.
Berbagai dukungan peraturan tersebut merupakan salah satu upaya menjaga kedaulatan maritim Republik Indonesia dari berbagai pelanggaran oleh kapal asing. Kapal asing yang memasuki wilayah perairan Indonesia secara ilegal tanpa mengikuti ketentuan hukum internasional yang berlaku akan ditindak oleh Badan Keamanan Laut.
Sesuai ketentuan undang-undang, Badan Keamanan Laut bertugas melakukan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia (UU 32/2014). Institusi tersebut juga memiliki kewenangan untuk melakukan pengejaran seketika, memberhentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan menyerahkan kapal ke instansi terkait yang berwenang untuk pelaksanaan proses hukum lebih lanjut.
KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARA
Badan Keamanan Laut RI menangkap kapal tanker MT Segaratama I dan kapal ikan KM Harapan Kita Jaya karena diduga melakukan transaksi solar ilegal di perairan Teluk Jakarta. Direktur Operasi Laut Bakamla Laksamana Pertama Nursyawal Embun meninjau kedua kapal itu pada Jumat (1/2/2019).
Kasus Pelanggaran Wilayah Maritim
Wilayah kedaulatan laut Indonesia merupakan bagian terbesar wilayah laut Asia Tenggara secara geostrategis. Hal tersebut memunculkan berbagai isu keamanan maritim bagi Indonesia.
Terdapat dua tingkat isu keamanan maritim Indonesia, yaitu keamanan maritim yang bersifat strategis dan substrategis. Keamanan maritim strategis merupakan persoalan keamanan maritim yang berdimensi militer. Sedangkan, keamanan maritim substrategis merupakan aspek keamanan nontradisional.
Persoalan keamanan strategis yang dialami Indonesia di Asia Tenggara adalah terjadinya klaim wilayah secara tumpang tindih di Laut China Selatan (LCS) antara Brunei, Tiongkok, Malaysia, Vietnam, Filipina, serta Taiwan. Konflik kepentingan untuk mewujudkan klaim tersebut terkait dengan dimensi kekuatan laut.
Terkait isu keamanan stratgis di wilayah tersebut, pemerintah Indonesia melakukan penegasan terhadap kedaulatan Indonesia atas Natuna yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan. Tercatat, Presiden Joko Widodo telah dua kali melakukan kunjungan ke Natuna untuk penegasan tersebut.
Selain itu, pada tahun 2017, pemerintah, melalui Kemenko Kemaritiman, memperbarui peta NKRI. Dalam peta baru tersebut, terdapat pembaruan kolom laut di utara Natuna. Sebelumnya, kolom tersebut disebut sebagai Laut China Selatan. Dalam peta yang baru, kolom tersebut dinamakan Laut Natuna Utara, mengikuti penamaan landas kontinen di kawasan tersebut (Kompas, 17/7/2017).
Sedangkan, isu keamanan maritim substrategis yang dihadapi Indonesia adalah terjadinya praktik ilegal, unregulated, dan unreproted (IUU) fishing yang ditangani secara kurang memadai sehingga menyebabkan kerugian oleh negara dan pelanggaran kedaulatan maritim Indonesia.
Seturut visi menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (PMD), pemerintah menerapkan kebijakan zero tolerance terhadap pelaku IUU fishing. Salah satu tindakan yang dilakukan adalah melakukan penenggelaman kapal pencuri ikan dari berbagai negara.
Kasus pelanggaran terkait kedaulatan di wilayah maritim Indonesia juga terjadi karena adanya beberapa kapal riset ilegal yang masuk tanpa izin di ZEE, laut teritorial (LT), serta perairan kepulauan (PK) Indonesia. Berdasarkan hukum internasional Pasal 19 UNCLOS 1982, kegiatan riset tanpa izin dapat menjadi ancaman fatal bagi keamanan sebuah negara sesuai dengan jenis data dan informasi yang berhasil dikumpulkan dalam kegiatan riset tersebut.
Selain itu, tanpa mengaktifkan Automatic Identification System (AIS), kapal asing yang masuk ke perairan Indonesia dapat mengancam keselamatan ALKI di perairan Indonesia, seperti tabrakan antarkapal yang dapat mengakibatkan korban nyawa dan pencemaran laut. Kegiatan riset tanpa izin yang melanggar perairan negara lain tersebut dapat dikenakan ancaman hukuman pidana berdasarkan Pasal 27 UNCLOS jo. Pasal 92, 93 dan 96 UU 11/2019.
Oleh karena itu, izin tertulis dari negara pantai wajib didapatkan sebelum pelaksanaan riset kelautan di ZEE maupun perairan kepulauan (Pasal 245 dan 246 UNCLOS). Hal tersebut juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2002.
KOMPAS/LUKAS ADI PRASETYA
Dua kapal asal Malaysia, yakni Kapal Motor (KM) Teluk Cowie dan KM Naga Mas, diledakkan di perairan Tarakan, Kalimantan Utara, Selasa (5/4/2016). Kedua kapal kayu itu melakukan penangkapan ikan secara ilegal di perairan Karang Unarang, yang termasuk wilayah perbatasan di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.
Artikel terkait
Kekuatan Pertahanan Maritim Indoneia
Untuk mempertahankan kedaulatan maritim dari berbagai ancaman, seperti aksi pembajakan, perampokan, serta sabotase objek vital dan teror di laut, pemerintah Indonesia juga mengerahkan kekuatan TNI Angkatan Laut. Selain itu, TNI Angkatan Laut juga terlibat dalam penangulangan ancaman terhadap sumber daya laut, yakni pengelolaan sumber daya laut tanpa batas, perusakan ekosistem laut, IUU fishing, hingga pencemaran lingkungan.
Di sisi lain, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2021 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara Tahun 2020-2024 yang di dalamnya terdapat pokok kebijakan umum pertahanan militer, yaitu mengintegrasikan pembangunan jaringan sistem pertahanan Trimatra Terpadu untuk menunjang kebijakan poros maritim dunia (PMD) menuju kekuatan maritim yang disegani di kawasan.
Untuk mendukung kegiatan pertahanan kedaulatan maritim, diperlukan peralatan pendukung penting, seperti radar dan kapal. Radar sangat diperlukan sebagai alat pendeteksi keberadaan kapal asing. Radar Integrated Maritime Surveillance System (IMSS), misalnya, berfungsi untuk mempermudah pengawasan keamanan serta keselamatan terhadap kapal-kapal yang melintas di wilayah perairan Indonesia.
Saat ini Indonesia memiliki IMSS yang terdiri dari 18 stasiun pengawasan pantai, sejumlah 11 radar berbasis kapal perang TNI AL, 2 pusat komando regional, serta 2 pusat Komando Armada yang berada di Jakarta dan Surabaya.
Unsur kekuatan laut selanjutnya adalah kapal. Berdasarkan catatan Global Fire Power 2021, kekuatan pertahanan laut indonesia terdiri atas:
- 7 unit kapal fregat (frigates)
- 24 unit kapal korvet (corvettes)
- 5 unit kapal selam (submarines)
- 179 unit kapal patroli (patrol vessels)
- 10 unit kapal penyapu ranjau (mine warfare)
Ranking kekuatan militer maritim Indonesia cukup tinggi, yaitu berada di urutan ke-10 dunia dalam pemeringkatan GFP 2021. Di posisi pertama kekuatan laut terdapat China, diikuti Rusia dan Korea Utara. Di kawasan Asia Tenggara, kekuatan laut terbesar dimiliki oleh Thailand di posisi 8, diikuti Indonesia (10), Myanmar (16), Filipina (26), Vietnam (38), Malaysia (44), Singapura (59), Laos (65), dan Kamboja (73).
Dari sisi anggaran, pada tahun 2019 anggaran militer untuk TNI AL sebesar Rp17,44 miliar dan pada tahun 2020 sebesar Rp22,08. Pada tahun 2020, Kementerian Pertahanan mengalokasikan anggaran untuk program modernisasi alutsista sebesar Rp Rp10,86 yang di dalamnya untuk matra laut sebesar Rp4,16 triliun.
Beragam upaya Indonesia menjaga kedaulutan wilayah maritim yang dimiliki merupakan langkah konkret pemerintah dan masyarakat untuk mempertahankan keutuhan wilayah NKRI dari ancaman keamanan dan penguasaan kekayaan laut oleh negara lain. (LITBANG KOMPAS)
KOMPAS/EDNA CAROLINE PATTISINA
KRI Teuku Umar dan KRI Tjiptadi bersiap-siap untuk melaksanakan operasi Siaga Tempur Laut TNI yang juga dikombinasikan dengan kekuatan udara. Apel dipimpin oleh Panglima Kogabwilhan I Laksdya Yudo Margono di Natuna, Jumat (3/1/2020).
Catatan Akhir
Beberapa kasus dugaan pelanggaran yang terjadi di wilayah maritim Indonesia yang dicatat oleh Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI)
- Januari – April 2018 terdapat kapal riset China, Yuan Wang 6 yang dapat mengendalikan satelit serta roket China melintasi ZEE, LT, PK perairan Indonesia secara ilegal. Kapal tersebut selama empat bulan berada di antara Pulau Sulawesi dan Maluku Utara (sebelah utara) sampai ke selatan Pulau Nusa Tenggara (di sebelah selatan). Pola pergerakan di lintasan yang bolak balik secara berulang di duga kapal survei yang melakukan penelitian di laut.
- Desember 2019: Kapal-kapal Badan Keamanan Laut RI mengusir kapal-kapal penjaga laut dan pantai China dari ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara. Kapal-kapal itu diketahui mengawal kapal nelayan China yang mencuri ikan. Indonesia menegaskan China telah mencuri ikan dan melanggar kedaulatan Indonesia.
- Desember 2020: Kapal Xiang Yang Hong 1 dari China melewati ZEE, LT, dan PK tanpa adanya izin dengan mematikan AIS dan terdeksi melintas di Laut Natuna Utara dan ditemukan seaglider di Kepulauan Selayar.
- Maret 2020: Kapal riset Xiang Yang Hong 19 dari China pernah melewati ZEE, LT dan PK kedaulatan maritim Indonesia dengan mematikan AIS dengan deteksi melintas di Laut Natuna Utara dan ditemukan seaglider, yaitu alat penelitian kelautan yang umumnya berada di sebuah kapal riset oleh masyarakat lokal di Kepulauan Riau.
- Januari 2021: Kapal Xiang Yang Hong 03 dari China berdasarkan deteksi Automatic Identification System (AIS) mematikan transmitter AIS sebanyak tiga kali dan terdeteksi melintas dari arah Laut Natuna Utara menuju ke Selat Sunda. Ditemukan perangkat alat sensor-mengapung (float) penelitian bawah laut di Kepulauan Anambas.
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2002 mengatur tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing dalam melaksanakan Lintas Damai melalui Perairan Indonesia, antara lain:
- Dalam perlintasanya, baik di ZEE, LT, dan PK Indonesia, kapal asing dilarang melakukan kegiatan riset kelautan apa pun tanpa izin tertulis dari Pemerintah Indonesia.
- Kapal harus melintas secara terus-menerus (tanpa berhenti) dan cepat (continuous and expeditious) di LT dan PK Indonesia.
- Kapal wajib mengaktifkan AIS selama melintas di ZEE, LT, dan PK Indonesia.
- Pemerintah Indonesia berupaya dalam menegakkan serta mempertahankan kedaulatan dengan kekuatan TNI Angkatan Laut dari ancaman maritim, seperti ancaman kekerasan, yaitu aksi pembajakan, perampokan, serta sabotase objek vital dan teror di laut.
Referensi
- “Kawasan Perairan: Penamaan Laut Natuna Utara”, Kompas, 17 Juli 2017.
- “Memandang Kedaulatan Maritim Indonesia”, Kompas, 21 Agustus 2017.
- “Mengukuhkan Kembali Hak Berdaulat”, Kompas, 13 Januari 2020.
- “Jaga Optimisme Kejayaan Maritim Indonesia”. Kompas, 22 Agustus 2020.
- “Komitmen RI atas Laut Diuji”, Kompas, 23 Desember 2020.
- “Kekuatan Pertahanan Bawah Laut”, Kompas, 7 Januari 2021.
- “Dugaan Pelanggaran Kedaulatan dan Hak Berdaulat Indonesia oleh Kapal-kapal Riset Tiongkok” Indonesia Ocean Justice Initiative, 31 Januari 2021
- “sovereignty”, Stanford Encyclopedia of Philosophy
- Fowler, Michael Ross, and Julie Marie Bunck. “What Constitutes the Sovereign State?” dalam Review of International Studies 22, no. 4 (1996): 381-404..
- Nainggolan, Poltak Partogi, Rizki Roza, dan Simela Victor Muhamad. 2015. Agenda Poros Maritim Dunia. P3DI Setjen DPR RI dan Azza Grafika.
- Wangke, Humphrey. 2020.“Menegakkan Hak Berdaulat Indonesia di Natuna Utara” dalam INFO SINGKAT Puslitbang DPR RI, Vol. XII, No. 1/I/Puslit/Januari 2020
- UU 4/PRP/Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia
- UU 1/1972 tentang Landas Kontinen Indonesia
- UU 5/1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
- UU 17/1985 Tentang pengesahan United Nations Conventions on The Law of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut)
- UU 6/1996 tentang Perairan Indonesia
- UU 17/2008 Tentang Pelayaran
- UU 32/2014 Tentang Kelautan
- PP 31/2021 Tentang Penyelenggaraan Bidang Pelayaran