Paparan Topik | Seni

Chairil Anwar dan Dua Versi Peringatan Hari Puisi

Hari Puisi di Indonesia diperingati dua kali. Dua tanggal yang diperingati sama-sama berpangkal pada satu nama besar, Chairil Anwar.

KOMPAS/HASANUDDIN ASSEGAFF
Gubernur DKI Jaya R. Soeprapto meresmikan patung Chairil Anwar dan Balai Informasi Sejarah dan Budaya Jakarta di Taman Silang Monas Utara. Patung perunggu ini berukuran 2,5 kali manusia aslinya, hasil karya pematung Arsono. Di dinding patung tersebut terpahat sajak Kerawang Bekasi dan Diponegoro karya Chairil Anwar. Dalam peresmian, penyair muda, Yose Rizal, membacakan sajak Diponegoro (21/3/1986).

Fakta Singkat

Hari Puisi Nasional

  • Diperingati setiap 28 April.
  • Berdasarkan tanggal wafat Chairil Anwar.
  • Digagas oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Hari Puisi Indonesia

  • Diperingati setiap 26 Juli.
  • Berdasarkan tanggal lahir Chairil Anwar.
  • Digagas dalam Musyawarah Penyair Seluruh Indonesia.

Profil Chairil Anwar

Nama Lengkap

Chairil Anwar

Lahir

Medan, 26 Juli 1901

Wafat

Jakarta, 28 April 1949

Keluarga

Istri: Hapsah

Anak: Evawani Alissa

Penyair Chairil Anwar merupakan sosok fenomenal hingga hari lahir dan hari wafatnya diperingati sebagai Hari Puisi di Indonesia. Chairil lahir pada tanggal 26 Juli 1901 dan wafat pada 28 April 1949. Tanggal 28 April diperingati sebagai “Hari Puisi Nasional”, sementara tanggal 26 Juli diperingati sebagai “Hari Puisi Indonesia”.

Versi pertama hari puisi berawal dari penghargaan Anugerah Seni Pemerintah Republik Indonesia kepada Chairil Anwar yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 71/1969, pada 12 Agustus 1969. Evawani Alissa, Putri semata wayang Chairil Anwar, menerima anugerah tersebut. Tanggal wafatnya Chairil Anwar pada 28 April kemudian diperingati sebagai Hari Puisi Nasional.

Penetapan Hari Puisi Nasional tanggal 28 April berdasarkan tanggal wafat Chairil Anwar terbilang unik. Bila melihat penetapan hari-hari peringatan lain biasanya berdasarkan tanggal lahir tokoh seperti Hari Kartini yang diperingati sesuai tanggal lahir RA Kartini pada 21 April, atau Hari Pendidikan Nasional yang diperingati sesuai tanggal lahir Ki Hajar Dewantara pada 2 Mei.

Pada perkembangannya, Hari Puisi sempat menjadi kontroversi karena muncul versi kedua peringatan hari puisi hasil deklarasi para penyair pada 22 November 2012, di Gedung Seni Idrus Tintin, Pekanbaru, Riau. Berdasarkan pemberitaan Kompas, 26 November 2012, Sebanyak 27 penyair Indonesia mendeklarasikan hari kelahiran seniman besar, Chairil Anwar, 26 Juli, sebagai Hari Puisi Indonesia. Lembar deklarasi diserahkan kepada Gubernur Riau Rusli Zainal untuk disimpan di Museum Sang Nila Utama, Pekanbaru.

Latar belakang munculnya Hari Puisi Indonesia berawal dari Rida K Liamsi dan Agus R Sarjono saat menghadiri Hari Puisi Vietnam yang ke-11 pada tahun 2012. Pada saat itu mereka merasa tak ada Hari Puisi Indonesia dan perlu ada hari untuk mengapresiasi puisi para penyairnya.

Kegelisahan ini berujung pertemuan sejumlah penyair dalam Musyawarah Penyair Seluruh Indonesia di Pekanbaru, Riau, 22–23 November 2012. Kemunculan Hari Puisi versi kedua ini diduga lantaran tidak diketahui secara pasti siapa pencetus Hari Puisi Nasional versi 28 April.

Terlepas dari dua versi Hari Puisi di Indonesia, semua sepakat bila sosok Chairil Anwar adalah tokoh paling layak merepresentasikan puisi di Indonesia. Karya-karyanya lugas dan berani menyuarakan kegelisahan bangsa, mencerminkan sosoknya sebagai “pembangkang” kelas berat pada era kolonial.

KOMPAS/PAT HENDRANTO

Diantara 522 sarjana Universitas Indonesia yang diwisuda pada hari Sabtu, bersamaan dengan perayaan Dies natalis ke-22 universitas itu, terdapat Evawany, puteri penyair Indonesia terkenal Chairil Anwar. Evawany diwisuda sebagai sarjana hukum (14/2/1972).

Hidup Sang Penyair

Lahir di Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922, Chairil Anwar berasal dari keluarga pamong praja yang cukup disegani di Sumatera Utara. Ayahnya bernama Tulus, sosok seperti orang barat, tinggi, besar, dan gagah. Begitu pula ibunya Saleha, walau pendek tetapi perawakannya juga besar. Chairil adalah anak kedua dari pasangan Tulus dan Saleha.

Tulus dan Saleha memiliki watak sama-sama keras. Keduanya tidak mau saling mengalah dan sering bertengkar. Chairil muda tumbuh di antara kobaran api pertengkaran orang tuanya. Kondisi ini turut memengaruhi kondisi psikologis dan membentuk karakter Chairil di kemudian hari.

Sejak kecil Chairil cukup dimanja sehingga memiliki sifat pantang kalah. Selain faktor keluarga, Chairil merupakan murid pandai dan cerdas dan disayang guru. Ia bersekolah di Neutrale Hollandsch Inlandsche School (HIS/SD zaman Belanda), dan melanjutkan sekolah ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO/SMP zaman belanda).

Di MULO Medan Chairil hanya mengikuti Voorklas dan kelas satu, tetapi ia sudah membaca buku-buku setingkat SMA (Hogere Burger School/HBS). Saat masih bersekolah di MULO, ayah Chairil menikah lagi meski belum bercerai dengan ibu Chairil. Sejak itu jiwa Chairil gelisah dan memendam kebencian terhadap ayahnya.

Pada tahun 1941 Chairil pindah ke Jakarta dan melanjutkan sekolah di kelas dua MULO Jakarta dengan biaya dari ayahnya. Beberapa bulan kemudian ibu Chairil menyusul ke Jakarta. Chairil tak sempat menamatkan MULO karena dua faktor, pertama tidak ada kiriman lagi dari ayahnya, kedua karena Jepang tiba di Indonesia pada 1942. Kedatangan Jepang membuat kondisi di tanah air tidak menentu.

KOMPAS/RIZA FATHONI
Program seratus tahun penyair Chairil Anwar di Salihara dimeriahkan sejumlah acara yang berkaitan dengan Chairil Anwar, mulai dari ceramah, diskusi berseri, debat sastra, pembacaan puisi, hingga pameran arsip Chairil Anwar. Puisi-puisi Chairil Anwar menjadi penanda penting dengan bahasa Indonesia yang modern dan segar.

Karya dan Keluarga

Pada tahun 1942 Chairil membuat sajak untuk neneknya yang sudah meninggal berjudul Nisan. Sajak ini tercatat sebagai sajak Chairil yang tertua. Namun, menurut H.B. Jassin, Chairil sudah membuat sajak-sajak bergaya pujangga baru tetapi tidak memuaskan dan dibuang olehnya.

NISAN

untuk nenekanda

 

Bukan kematian benar menusuk kalbu

Keridlaanmu menerima segala tiba

Tak kutahu setinggi itu atas debu

Dan duka maha tuan bertakhta

 

Kiprah Chairil sebagai seniman dan budayawan mulai dikenal tahun 1943 saat ia membawa sajak-sajaknya ke redaksi Panji Pustaka untuk dimuat. Banyak karyanya yang ditolak karena dianggap terlalu Barat dan individualistis. Pada tanggal 1 April 1943 Keimin Bunka Shidosho atau Kantor Pusat Kebudayaan didirikan oleh Jepang dengan ketua Armijn Pane. Chairil sering datang ke Kantor Pusat Kebudayaan dan bersosialisasi dengan para seniman-seniman lain.

Karya Chairil tak lepas dari pengalaman hidupnya. Dari keluarga, kegelisahan zaman, hingga kisah cinta menjadi sumber inspirasinya. Dari beberapa nama ada tiga perempuan yang bermakna dalam hidup Chairil, yakni Ida, Sumirat, dan Hapsah. Mereka disebut pernah dimiliki Chairil tapi tak sungguh-sungguh berada dalam genggamannya.

 

SAJAK PUTIH
buat tunanganku Sumirat

 

bersandar pada tari warna pelangi

kau depanku bertudung sutra senja

di hitam matamu kembang mawar dan melati

harum rambutmu mengalun bergelut senda

 

sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba

meriak muka air kolam jiwa

dan dalam dadaku memerdu lagu

menarik menari seluruh aku

 

hidup dari segala hidupku pintu terbuka

selama matamu bagiku menengadah

selama kau darah mengalir dari luka

antara kita Mati datang tidak membelah…

 

Buat Miratku, Ratuku! Kubentuk dunia sendiri

 

Hapsah Wiriaredja dinikahi Chairil pada 6 September 1946. Hapsah lahir pada 11 Mei 1922, bekerja di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan hingga pensiun, dan meninggal 9 Mei 1978. Dari pernikahan ini lahirlah Evawani Alissa. Pernikahan Chairil dan Hapsah tak bertahan lama, pada akhir tahun 1948 mereka bercerai. Putri tunggal mereka diasuh oleh Hapsah.

Kandasnya pernikahan Chairil disebabkan oleh sifatnya yang tak mau terikat. Chairil hanya peduli dengan mengarang dan membaca tanpa memperhatikan kebutuhan rumah tangga. Chairil tidak menggunakan kemampuanya bersajak untuk mencari uang, baginya sajak adalah alat untuk mencapai cita-citanya.

Hidup tak teratur menyebabkan Chairil terserang penyakit. Tanggal 23 April 1949, Charil dirawat di CBZ (sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo). Chairil sempat meminta tolong kepada HB Jassin untuk menyurati Saleha, ibunya. Dalam suratnya, Chairil ingin pulang ke Medan agar bisa dirawat lebih baik.

Takdir berkata lain, penyakitnya sudah terlalu parah, Chairil menderita beberapa macam penyakit: paru-paru, infeksi darah kotor, dan usus. Pada 28 April 1949 Chairil Anwar berpulang pada usia 27 tahun. Saat akhir hayatnya, Chairil sempat mengigau “Tuhanku, Tuhanku…” mirip dengan sajaknya berjudul “Doa”.

 

DOA
kepada pemeluk teguh

Tuhanku

Dalam termangu

Aku masih menyebut namaMu

 

Biar susah sungguh

mengingat kau penuh seluruh

 

cayaMu panas suci

tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

 

Tuhanku

 

aku hilang bentuk

remuk

 

Tuhanku

 

aku mengembara di negeri asing

 

Tuhanku

di pintuMu aku mengetuk

aku tidak bisa berpaling

 

KOMPAS/RIZA FATHONI

Suasana pameran arsip penyair Chairil Anwar bertajuk Aku Berkisar Antara Merek di Galeri Salihara, Jakarta, Jumat (28/10/2022). Komunitas Salihara mengadakan program Seratus Tahun Chairil Anwar yang digelar pada 27-30 Oktober 2022 di Teater Salihara dan pameran arsip Chairil Anwar untuk mengenang dan merayakan 100 tahun kelahiran sang penyair.

Angkatan 45

Chairil Anwar merupakan salah satu pelopor angkatan 45 bersama Asrul Sani dan Rivai Aripin. Trio ini dikenal sebagai pembaru sastra Indonesia. Ciri angkatan ini menyuarakan perjuangan dari persoalan sosial dan politik sebagai dampak ketidakadilan dari penjajahan. Tokoh terkenal lain yang muncul dari angkatan ini adalah Usmar Ismail dan Pramoedya Ananta Toer.

Secara garis besar, ciri-ciri angkatan 45, antara lain, penghematan bahasa, berbicara seperlunya, pengurangan retorik, menghilangkan perulangan dalam kalimat, menghindari pemakaian ungkapan dan perbandingan usang, mengutamakan keorisinilan, menonjolkan individualisme, dan kebebasan pribadi. Ciri lain, sajak-sajak angkatan 45 berpikir lebih kritis dan dinamis, persoalan lebih beraneka warna, dan lebih luas orientasinya.

Kemunculan angkatan 45 merupakan bentuk protes sastrawan muda terhadap pusat kebudayaan yang dibentuk Jepang. Pusat Kebudayaan Jepang awalnya merupakan Badan Pusat Kesenian Indonesia yang diprakarsai oleh Anjar Asmara dan Kamajaya. Mereka berpikir kaum seniman jangan sampai hanya dieksploitasi Jepang maka perlu suatu wadah untuk menyatukan seniman Indonesia.

Dengan bantuan Bung Karno Badan Pusat Kesenian Indonesia terbentuk pada 6 Oktober 1942. Atas terbentuknya pusat kesenian ini, Jepang berencana membentuk pusat kebudayaan yang akan diserahkan kepada para seniman. Pusat kebudayaan Jepang yang bernama Keimin Bunka Shidosho akhirnya terbentuk pada 1 April 1943 dan diresmikan pada 29 April 1943 bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Tenoo Heika.

Pusat kebudayaan yang dibentuk Jepang memiliki tiga tujuan utama, yakni untuk menyesuaikan kebudayaan dengan cita-cita Asia Timur Raya, bersama-sama melatih ahli-ahli kebudayaan Jepang dan Indonesia, serta memajukan kebudayaan Indonesia. Pada perkembangannya pusat kebudayaan ini menjadi alat propaganda Jepang.

Chairil Anwar yang sejak awal curiga dengan pusat kebudayaan bentukkan Jepang ini semakin aktif menyuarakan pendapat-pendapatnya melalui pidato dan sajak-sajaknya. Bersama para sastrawan muda Chairil membentuk Angkatan Baru dan mengadakan pertemuan satu bulan sekali untuk mengadakan diskusi, ceramah, dan berbagai kegiatan kebudayaan lainnya.

Pada tahun 1945, Chairi Anwar datang ke redaksi Panji Pustaka untuk menerbitkan karya-karyanya. Dari sekian karyanya terdapat sajak “Aku”. Namun, karya-karya Chairil ditolak karena dianggap terlalu individualistis. Menurut H.B. Jassin, karya Chairil ditolak bukan karena individualistis, tetapi karena banyak menyangkut situasi pada masa pendudukan Jepang. Karya “Aku” dinilai mengandung unsur-unsur agitatif (bersifat menghasut) dan “bara api”.

 

AKU

 

Kalau sampai waktuku

‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu

Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

 

Aku ini binatang jalang

dari kumpulannya terbuang

 

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

 

Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri

 

Dan aku akan lebih tidak peduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

 

Seusai ditolak Panji Pustaka, Chairil Anwar membawa sajak-sajaknya ke redaksi majalah Timur yang dipimpin oleh Nur Sutan lskandar. Sajak “Aku” disetujui untuk terbit tetapi judulnya diganti dengan “Semangat”. Melalui sajak “Aku”, Chairil mulai terkenal dengan sebutan “Si Binatang Jalang”. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Djaya, Sjuman. Aku. Metafor. Jakarta. 2003.
  • Aspahani, Hasan. Chairil. GagasMedia. Jakarta. 2016.
  • Eneste, Pamusuk. Mengenal Chairil Anwar. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. 2022.
Website
  • https://esi.kemdikbud.go.id/wiki/Chairil_Anwar
  • https://repositori.kemdikbud.go.id/12934/1/CHAIRIL%20ANWAR.pdf
  • https://web.usd.ac.id/fakultas/sastra/sasindo/detail.php?id=berita&noid=918
  • https://umj.ac.id/opini/memperingati-hari-puisi/
  • https://ditsmp.kemdikbud.go.id/angkatan-sastra-indonesia-tokoh-dan-karya-seni-bahasa/
  • https://www.bpi.or.id/artikel-25-Asrul_Sani_Sang_Pelopor_Sastrawan__Angkatan_’45.html
Arsip Kompas
  • “20 Tahun Chairil Meninggal”. Kompas, 30 April 1969, hlm. 1.
  • “Penyair Deklarasikan Hari Puisi Indonesia”. Kompas, 26 November 2012, hlm. 12.
  • “Hari Puisi Indonesia: ”Agar Isyarat Puisi Tidak Terasa Bisu…””. Kompas, 1 Agustus 2013, hlm. 1.