KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN
Warga menyaksikan pertunjukan kembang api di sekitaran Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta Pusat, Minggu (1/1/2023). Bundaran HI menjadi salah satu kawasan yang dipilih warga untuk merayakan pergantian Tahun Baru 2023. Tidak hanya kembang api, warga juga disuguhkan penampilan sejumlah penampilan musik di panggung Malam Muda Mudi.
Fakta Singkat
- Tahun Baru 2023 menjadi momentum pertama kali sejak pandemi di mana masyarakat bisa merayakan secara bebas tanpa aturan khusus dan PPKM.
- Tahun 2023 diwarnai dengan optimisme dan semangat kebangkitan.
- PPKM dicabut oleh Presiden Joko Widodo dua hari sebelum memasuki tahun 2023, pada Jumat (30/12/2022).
- Tradisi umum dalam Tahun Baru adalah kehadiran kembang api, trompet tahun baru, bergabung dengan keramaian, mudik, dan membuat resolusi awal tahun.
- Kembang api sebagai bagian dari perayaan dan hiburan telah digunakan sejak abad ke-14 oleh kerajaan-kerajaan di Eropa.
- Libur Natal 2022 dan Tahun Baru 2023, diperkirakan mendorong pergerakan 2,73 juta kendaraan darat dan mobilitas 44,17 juta masyarakat Indonesia.
Artikel terkait
Semarak menyambut Tahun Baru 2023 berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya sejak kehadiran pandemi. Momen Tahun Baru ini menjadi kali pertama masyarakat Indonesia keluar dari pembatasan mobilitas. Pelonggaran pembatasan memberikan semangat dan motivasi baru bagi masyarakat dalam menyambut Tahun Baru kali ini. Perayaan Tahun Baru 2023 pun menjadi simbol optimisme masyarakat akan kebangkitan setelah pandemi.
Sejak Tahun Baru 2021, berbagai perayaan dan mobilitas masyarakat dibatasi. Konser, acara kuliner, kembang api, dan petasan dilarang. Larangan juga diberikan bagi kafe, hotel, dan restoran yang mengadakan perayaan. Sanksi siap diberikan bagi mereka yang nekat, mulai dari denda hingga pencabutan izin usaha. Tahun 2021 pun dimasuki dengan ketegangan pandemi dan tekanan regulasi (Kompas.id, 31/12/2020, “Mulai Pukul 20.00 Ini, Jalan Utama di Jakarta Ditutup”).
Sementara pada awal Tahun Baru 2022 yang lalu, cercah dan harapan optimisme publik telah tampak muncul. Hal ini tercermin dari jajak pendapat Litbang Kompas pada tahun lalu, yakni periode 20–22 Desember 2021 terhadap 504 responden di seluruh Indonesia. Pada saat itu, hasil jajak pendapat mengungkap bahwa mayoritas masyarakat, yakni sebesar 61,4 persen, telah berani menyusun rencana kegiatan untuk periode libur tahun baru.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 33 persen berencana wisata ke luar kota, 21 persen berwisata di daerah sekitar tempat tinggal, dan 7,1 persen wisata ke luar negeri. Sementara 36,1 persen masyrakat mengaku tidak merencanakan jalan-jalan pada tahun 2022 karena khawatir tertular Covid-19 (Kompas.id, 3/1/2022, “Optimisme di Tahun Baru Harus Diiringi Kesadaran Protokol Kesehatan”).
Meski optimisme mulai terpancar dan kebangkitan mulai tampak, namun itu semua harus terbatasi dengan merebaknya varian Covid-19 baru, Omicron. Untuk itu, pemerintah kembali melakukan penutupan sejumlah tempat yang berpotensi menjadi pusat keramaian. Rekayasa lalu lintas juga diberlakukan untuk mengurangi potensi kerumunan. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pun mendorong masyarakat untuk tetap di rumah pada malam tahun baru (Kompas, 31/12/2021, “Hindari Aktivitas di Luar Rumah”).
Dengan segala catatan terdahulu tersebut, nuansa dan semarak Tahun Baru 2023 pun menjadi begitu berbeda. Selain situasi pandemi yang terus membaik, pemerintah Indonesia juga telah melakukkan pelonggaran bagi masyarakat. Untuk Tahun Baru 2023, tak ada lagi pembatasan kerumunan dan pergerakan masyarakat terkait Covid-19.
Berita mengejutkan datang sehari sebelum hari terakhir pada 2022. Presiden Joko Widodo mengumumkan pencabutan kebijakan Perberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Namun, Presiden mengingatkan masyarakat untuk tetap waspada. “Maka pada hari ini pemerintah memutuskan untuk mencabut PPKM, tertuang dalam instruksi Mendagri Nomor 50 dan 51 Tahun 2022,” ujar Presiden Jokowi dalam jumpa pers, Jumat (30/12/2022).
Dalam kelonggaran menyambut Tahun Baru 2023, hal serupa juga sebelum telah disampaikan langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy. Mengacu pada laman resmi Kemenko PMK, pada Selasa (27/2/2022), Muhadjir menyatakan bahwa pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan khusus untuk mengantisipasi kerumunan di perayaan malam Tahun Baru 2023.
Muhadjir Effendy di Kantor Kemenko PMK, Jakarta mengatakan sejak Natal 2022, mengacu pada arahan Presiden Joko Widodo, berbagai kebijakan mobilitas sudah dibuka. Namun, Muhadjir tetap mengingatkan masyarakat untuk mengingat protokol kesehatan yang ada.
KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Setelah perayaan malam pergantian tahun, kawasan Ancol masih dipadati pengunjung pada hari Minggu (1/1/2023).
Tradisi Tahun Baru di Indonesia
Tahun Baru menjadi momen unik di berbagai negara. Kehadirannya mendorong masyarakat untuk turun beramai-ramai ke tempat umum, bahkan ke jalan-jalan. Mereka berbaur satu sama lain untuk bersama-sama merayakan satu hal kolektif. Momentum Tahun Baru pun mampu menjadi penjalin modal sosial masyarakat.
Dalam tradisi yang ada tersebut, lantas terdapat sejumlah penanda kemeriahan sebagai simbol kolektif untuk terlibat dalam dimensi sosial Tahun Baru.
Yang pertama, adalah kehadiran kembang api. Kehadiran suara ledakan dan cahaya mencolok yang terbang di langit menjadi pelengkap bagi kemeriahan dan sukacita dalam ragam perayaan.
Sejarah mencatat, kembang api sendiri telah menjadi bagian dari perayaan kemeriahan sejak abad ke-14. Meski diciptakan pertama kali oleh orang-orang China, penyebaran resep penciptaannya telah sampai ke tanah Eropa. Di Prancis, para pelawak kerajaan menggunakan kembang api sebagai bagian dari atraksi.
Sementara pada tahun 1486, para pemimpin Inggris sepakat menjadikan menjadikan kembang api sebagai bagian dari hiburan. Kembang api pertama di kerajaan negeri tersebut lantas digunakan pada perayaan pernikahan Raja Henry VII (Kompas, 29/12/2021, “Sejarah Kembang Api”).
Ratusan tahun setelahnya, kehadiran kembang api sebagai bagian dari hiburan dan perayaan masih bertahan. Bahkan, kehadirannya menjadi sebuah “prasyarat” dalam perayaan menyambut tahun baru.
Hal ini tampak nyata pada Tahun Baru 2020. Pada perayaan sebelum pandemi itu, pesta kembang api bahkan menjadi objek utama tersendiri bagi orang-orang yang berkumpul di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat. Meski hujan deras mengguyur, mereka tetap berdatangan dan bertahan demi menyaksikan pesta kembang api.
Pada tengah malam, kemeriahan pun begitu terasa. Ratusan kembang api berbagai bentuk dan warna diluncurkan, suara hujan bersahut-sahutan dengan gemuruh kembang api (Kompas.id, 2/1/2020, “Menembus Badai demi Kemeriahan Kembang Api di Ancol”).
Hal serupa juga terjadi di Kendari, Sulawesi Tenggara dan Makassar, Sulawesi Selatan. Pada Tahun Baru 2021, pemerintah daerah di kedua kota tersebut telah melarang segala bentuk perayaan. Meski begitu, warga tetap melepas detik-detik pergantian tahun dengan membakar kembang api. Persistensi ini menunjukkan bagaimana kembang api telah begitu identik dengan perayaan menyambut tahun.
KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Pertunjukan kembang api di Pantai Lagoon mewarnai detik-detik pergantian tahun. Selain di Pantai Lagoon, Ancol, Jakarta Utara, pertunjukan kembang api juga disajikan di Pantai Festival (31/12/2022)
Yang kedua, selain kembang api juga ada perlengkapan trompet. Bunyi-bunyian yang dihasilkan menjadi pelengkap bagi kemeriahan Tahun Baru. Trompet Tahun Baru dilengkapi dengan warna-warna yang mencolok dan suara tanpa melodi yang nyaring. Kelekatan trompet dengan Tahun Baru disambut para pedagang dengan beralih dagangan untuk menjual trompet.
Memasuki Tahun Baru 2023, trompet pabrikan dengan bahan plastik tampak kian diminati masyarakat. Dibandingkan trompet tradisional berbahan kertas, trompet pabrikan dinilai lebih awet dan juga menarik. Trompet jenis ini pun mampu mengeluarkan suara yang lebih beragam. Dengan kisaran harga di atas trompet kertas, keunggulannya mampu menarik minat masyarakat.
Yang ketiga, sebagaimana disampaikan sebelumnya, adalah keramaian itu sendiri. Pada malam tahun baru, masyarakat Indonesia turun ke jalan-jalan dan tempat umum untuk bergabung dengan keramaian, yang sama-sama merayakan Tahun Baru. Semakin ramai, semakin meriah, maka akan semakin baik pula perayaannya.
Pantai Ancol telah menjadi saksi bisu dari hal ini. Sebagai salah satu titik favorit Tahun Baru, Pantai Ancol di Jakarta Utara tidak hanya menarik pengunjung dari wilayah Jabodetabek, namun juga dari wilayah luar lainnya, seperti Jawa Timur dan Lampung.
Bagi para pengunjung dari luar kota ini, Jakarta adalah magnet – di mana Tahun Baru di Jakarta menjanjikan kemeriahan yang tak ada di daerah asalnya. Mereka mengincar kemeriahan sebagai tradisi ikonik pergantian tahun (Kompas.id, 2/1/2020, “Menembus Badai demi Kemeriahan Kembang Api di Ancol”).
Dengan kehadiran tiga tradisi tersebut, momen Tahun Baru pun juga sekaligus menjadi momen rezeki musiman. Kesempatan meraup untung ditemukan dari hotel berbintang hingga pedagang jalanan, dari omzet ribuan hingga miliaran rupiah.
Artis-artis nasional membanderol tarif yang tinggi untuk pentas pada malam pergantian tahun. Hotel, diskotek, dan pub berlomba mempromosikan ragam paket acara untuk menggaet tamu. Mall hingga Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) menyemarakkan dengan diskon belanja akhir tahun. Tak ketinggalan, orang-orang dari pinggiran Ibu Kota berduyun beralih kerja menjadi penjaja trompet dan kembang api.
Resolusi Tahun Baru
Selain kilatan kembang api, gaungan trompet, dan keramaian yang sama-sama meneriakkan hitung mundur, tradisi Tahun Baru juga dilengkapi dengan pembuatan resolusi. Berbeda dengan kelengkapan perayaan lainnya, pembuatan resolusi memerlukan momen yang lebih pribadi dan hening. Mengacu pada KBBI, resolusi sendiri dipahami dalam konteks ini sebagai putusan atau kebulatan tuntutan yang ditetapkan dalam pernyataan tertulis.
Kehadiran resolusi diri ditujukkan untuk menjadi pedoman bagi langkah yang lebih terarah di tahun yang baru. Oleh karena itu, waktu pada awal tahun menjadi momen yang tepat untuk menyusun resolusi demi tercapainya kualitas hidup yang makin baik. Merumuskan resolusi bisa didasarkan pada refleksi tahun yang lalu dan target di masa depan. Sayangnya, resolusi acap dibuat tanpa strategi dan taktik yang matang sehingga gagal di tengah jalan.
Garis tradisi resolusi dapat ditarik secara historis hingga 4.000 tahun lalu. Pada masa itu, bangsa Babilonia merayakan pergantian tahun baru pada bulan Maret bersamaan dengan datangnya musim semi yang disebut perayaan Aikitu. Dalam festival ini, mereka menobatkan raja baru atau penegasan kembali raja lama. Dalam kesempatan inilah, masyarakat Babilonia akan turut mengukuhkan kembali hubungan dengan para dewa.
Dalam konteks masa kini, membuat resolusi tahun baru tidak lagi menjadi proses yang tak berkaitan dengan agama maupun bangsa apa pun. Resolusi dibuat secara universal oleh warga dunia untuk perbaikan diri dan kualitas kehidupan.
Lembaga survei Finder di New York, Amerika Serikat, memperkirakan 188,9 juta penduduk dewasa atau 74,02 persen populasi di Amerika Serikat membuat resolusi pada tahun baru 2021. Makin muda usia, makin banyak yang membuat resolusi. Bidang resolusi yang paling banyak dibuat menyangkut kesehatan, perbaikan diri, keuangan, keluarga, percintaan hingga karier (Kompas.id, 5/1/2022, “Menjaga Resolusi Tahun Baru”).
Hal yang serupa ditunjukkan dalam di Indonesia, di mana mayoritas masyarakat memandang penting pembuatan resolusi diri tahun baru. Hal ini didapat melalui hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 28 dan 29 Desember 2019. Sebanyak 80,5 persen responden dari seluruh Indonesia menilai penting untuk membuat resolusi atau target pada awal tahun. Proporsi kelompok yang menyuarakan hal ini pun setara, baik dari dimensi usia maupun jenis kelamin.
Meski memiliki kesadaran tersebut, kenyataannya hanya separuh responden, atau 52,3 persen, yang benar-benar pernah menyusun resolusi. Dari proporsi yang pernah membuat resolusi tersebut, sebagian menyusunnya setiap tahun dan sebagian lain hanya membuat sesekali.
Sebanyak 31,6 persen di antaranya membuat resolusi pada awal tahun. Sementara itu, sebesar 14,1 persen responden juga membuat resolusi meski tidak setiap tahun. Ada pula 6,6 persen responden yang membuat resolusi, tetapi tidak hanya pada awal tahun. Kelompok ini tidak terpaku pada momen awal tahun semata untuk menentukan target capaian pada waktu mendatang.
Yang menarik, empat dari 10 responden yang membuat resolusi tiap awal tahun merupakan responden berusia muda dengan rentang usia 17–30 tahun. Sebanyak 63 persen dari kelompok ini adalah laki-laki. Artinya, laki-laki berusia muda memiliki kecenderungan lebih rajin membuat resolusi untuk tahun baru.
Terkait tema resolusi, pendidikan atau karier menjadi bidang yang paling banyak dibuat, mencapai 38,9 persen. Kebanyakan tema di bidang ini juga dipilih oleh responden berusia muda, dengan proporsi 65,9 persen. Artinya, generasi muda masih memiliki ambisi untuk sekolah lebih tinggi dan memburu pekerjaan impian.
Di posisi kedua, responden paling sering membuat resolusi terkait keuangan, mencapai 25,2 persen. Keinginan yang dimaksud seperti rajin menabung dan tidak boros berbelanja. Berbeda dengan tema pendidikan dan pekerjaan, resolusi di bidang ini cenderung merata dilakukan semua kalangan usia.
Sementara bidang resolusi ketiga yang paling banyak dibuat adalah terkait kesehatan, mencapai 17,1 persen. Responden dalam kelompok ini berkeinginan untuk dapat mengatur pola makan lebih sehat, olahraga teratur, cukup tidur, serta mencapai berat badan yang ideal. Untuk resolusi bidang kesehatan, paling banyak dicita-citakan oleh kelompok usia tua (45 persen) Sementara untuk kelompok usia menengah dan muda cenderung santai dalam menyusun resolusi ini.
Di luar ketiga bidang tersebut, masih ada resolusi terkait hubungan sosial (12 persen) dan pengalaman baru (5,1 persen). Responden yang memilih hubungan sosial menginginkan perbaikan hubungan dengan pasangan, keluarga, maupun pertemanan. Sementara mereka yang beresolusi untuk mencoba pengalaman baru, berkeinginan untuk menekuni hobi dan petualangan baru pada tahun baru.
Meski begitu, kelancaran dalam membuat resolusi tak selalu berbanding lurus dengan ketercapaiannya. Dari seluruh responden yang membuat resolusi, hanya 20,9 persen yang menyatakan berhasil mencapai seluruhnya. Sedangkan sebagian besar lainnya, mencapai 68,4 persen, hanya berhasil mencapai sebagian resolusi yang dibuat. Sementara itu, 8,5 persen responden bahkan mengaku tak berhasil menjalankan resolusi yang dibuat.
Kesulitan ketercapaian resolusi dilatarbelakangi banyak hal, soal internal maupun eksternal. Sebanyak 60,5 persen responden menyatakan alasan internal, sementara 31,3 persen menyatakan lingkungan pergaulan sebagai tantangan terberat.
Dari sekian banyak alasan internal, rasa malas dan putus asa menjadi yang tertinggi, mencapai 26,9 persen. Diikuti dengan alasan target yang ternyata terlalu tinggi, mencapai 20,9 persen. Sebagian kecil bahkan menyatakan tidak tahu cara mencapai target sehingga resolusi yang dibuat selalu berujung pada kegagalan (Kompas, 2/1/2020, Hlm A, “Memasuki Tahun yang Baru, Resolusi Pun Dibuat”).
KOMPAS/RIZA FATHONI
Pengunjung menikmati suasana Taman Ayodya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (1/1/2023). Keberadaan taman kota merupakan salah satu bentuk ruang terbuka publik yang berfungsi memenuhi kebutuhan warga kota dalam melakukan kegiatan sosial selain sebagai paru-paru kota.
Terkait resolusi awal tahun yang kerap gagal tercapai, psikolog dari Universitas Indonesia, Elizabeth Kristi Poerwandari, merumuskan perspektif solusi yang lebih baik. Disampaikan Kristi, target-target dalam resolusi tidaklah melulu harus sesuatu yang besar. Lebih lagi, target tersebut tidak perlu melulu dalam ukuran material maupun kuantitatif, seperti target penjualan, penghasilan berkali lipat, atau menjadi mahasiswa paling berprestasi.
Melampaui itu, tema-tema atau capaian dalam resolusi awal tahun dapat dirumuskan pada tujuan kualitatif, perihal kematangan diri, pemantapan nilai-nilai, maupun kebaikan dalam hidup. Dijelaskan Kritsi, dibandingkan hal-hal besar dan materialistis, perubahan-perubahan kecil akan lebih realistis untuk dilakukan. Tak hanya itu, perubahan ini juga turut memapukan hidup yang lebih bermakna dan menyenangkan.
Tiap orang tentu perlu memiliki tema resolusinya sendiri. Misalnya, untuk hidup lebih seimbang, lebih dapat mengendalikan diri, atau untuk lebih perhatian kepada keluarga. Bagaimanapun juga, tema-tema tersebut perlu dirumuskan melalui tahap refleksi terlebih dahulu. Renungi hal-hal yang telah berlangsung dalam tahun sebelumnya, untuk kemudian melakukan penyesuaian dan perbaikan realistis yang diperlukan (Kompas.id, 15/1/2022, Resolusi Tahun Baru, Perlukah?).
Mobilitas dalam Liburan Tahun Baru
Kehadiran libur tahun baru yang berdekatan dengan libur Hari Raya Natal pada 25 Desember, juga menghadirkan kesempatan dan waktu yang baik bagi masyarakat Indonesia untuk berlibur panjang. Libur panjang di akhir tahun pun selalu akan direspon dengan kemacetan mudik maupun keramaian di tempat-tempat umum.
Data terkait mobilitas masyarakat pada akhir tahun 2023 dapat merujuk pada Kompaspedia (23/12/2022, Makna Hari Raya Natal dan Tahun Baru). Disampaikan, liburan akhir tahun kali ini diprediksi akan mencapai jumlah wisatawan hingga 60 juta orang, setara dengan 22,4 persen dari total populasi penduduk di Indonesia. Diperkirakan, berbagai wisatawan tersebut akan menyerbu tempat-tempat wisata favorit, dengan Bali menjadi destinasi favorit.
Dalam jumlah tersebut, juga terhitung kehadiran wisatawan mancanegara yang datang ke Indonesia pada akhir tahun. Pemerintah Amerika Serikat, Austria, dan Belanda telah menyampaikan minat warga mereka yang cukup tinggi berkunjung ke Indonesia.
Sementara itu, Kementerian Perhubungan juga memperkirakan potensi pergerakan masyarakat Indonesia selama libur akhir tahun 2022/2023 akan mencapai 44,17 juta orang. Pergerakan jutaan orang ini akan berdampak langsung pada peningkatan volume lalu lintas pada masa libur.
PT Jasa Marga memproyeksikkan bahwa arus mudik yang keluar dari Jabodetabek melalui empat gerbang utama akan mencapai 2,73 juta kendaraan. Jumlah tersebut meningkat 8,4 persen dibandingkan hari normal. Proyeksi libur Natal 2022 dan Tahun Baru 2023 ini sendiri naik 2,6 persen dari tahun lalu pada periode yang sama. Pada libur Natal 2021 dan Tahun Baru 2022, jumlahnya mencapai 2,6 juta kendaraan.
Sementara untuk arus balik masuk Jabodetabek, diperkirakan akan mencapai 2,71 juta kendaraan. Jumlah ini meningkat 1,2 persen dari arus balik terhadap peridode libur Natal dan Tahun Baru sebelumnya dengan total 2,6 juta kendaraan. Jumlah 2,71 juta kendaraan juga menunjukkan peningkatan hingga 9 persen atau 2,48 juta kendaraan dibandingkan hari normal.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Keramaian di kawasan Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta saat libur Tahun Baru, Minggu (1/1/2023). Hari libur Tahun Baru dimanfaatkan warga dari kawasan Jakarta dan sekitarnya untuk berlibur ke sejumlah tempat wisata, salah satunya Taman Margasatwa Ragunan.
Kemacetan: Bagian Historis Tahun Baru
Dengan peningkatan volume yang demikian signifikan pada waktu tersebut, maka akan berimplikasi langsung pada timbulnya kemacetan. Pun dari hal ini, kemacetan menjadi bagian integral dari tradisi mudik dan liburan akhir tahun masyarakat Indonesia. Tradisi menyambut tahun baru yang begitu mengakar telah bertahan puluhan tahun dalam sejarah masyarakat Indonesia. Bersamaan dengan itu, kemacetan Tahun Baru pun juga telah hadir sejak lama.
Kompas.id (31/12/2021, “Tentang Waktu: Tahun Baru dari Masa ke Masa”) mendokumentasikan bahwa kemacetan pada malam tahun baru telah tampak sejak dekade 1980-an. Jakarta, sebagai kota metropolitan terpesat pada masa itu, telah dilengkapi dengan suasana macet. Sebagaimana masih sama hingga hari ini, Jalan Sudirman-Thamrin menjadi pusat keramaian dan kemacetan di malam pergantian tahun.
Tak hanya jalan-jalan protokol, ruang publik seperti Taman Impian Jaya Ancol dan kawasan Monumen Nasional (Monas) pun juga menjadi tujuan. Menyambut Tahun Baru 1995, ratusan ribu warga berkendara untuk melakukan perayaan di Ancol. Namun, kemacetan yang luar biasa membuat ribuan kendaraan bermotor tidak masuk dan harus terjebak kemacetan hingga pukul 04.00 WIB.
Selain ruang-ruang di dalam kota, euforia perayaan Tahun Baru juga dirasakan oleh daerah-daerah penyokong. Salah satunya adalah daerah Puncak, Cisarua, Jawa Barat, sebagai salah satu tujuan favorit para warga kota untuk berlibur.
Sejak Tahun Baru 1988, telah terdokumentasikan ribuan warga kota yang melancong ke Puncak. Hal ini lantas memicu kemacetan dan antrean panjang sejak di Jalan Tol Jagorawi menjelang Gadog. Tak hanya kawasan Puncak, Gunung Bromo di Jawa Timur pun juga menjadi salah satu tujuan perayaan. Pada Tahun Baru 2012, kemacetan pun tampak mengular.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Para polisi menutup ruas keluar tol Jagorawi ke arah Puncak di Gadog, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, menjelang perayaan malam Tahun Baru 2023, Sabtu (31/12/2022).
Kerawanan: Waspada Dampak Tahun Baru
Terpusatnya kemeriahan pada satu titik, akan meninggalkan kelenggangan pada titik yang lain. Lebih lanjut, tempat yang lenggang justru menjadi daya tarik bagi mereka yang memiliki niat jahat. Hal tersebut yang lantas terjadi pada malam-malam pergantian tahun.
Potensi kerawanan demikian disampaikan oleh Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya atau Polda Metro Jaya. Selama malam perayaan Tahun Baru, terindentifikasi tujuh potensi kerawanan, antara lain:
- Kerumunan
- Kemacetan akibat konvoi dan pawai keliling
- Konflik antarwarga karena pesta miras dan tawuran
- Lonjakan kasus Covid-19
- Kriminalitas seperti pencurian dan perampokan
- Bencana alam, baik alami maupun buatan
- Aksi teror dan sabotase
Untuk itu, dengan potensi keramaian sekaligus kerawanan yang begitu besar di ibu kota, Polda Metrojaya akan melaksanakan Operasi Lilin. Dalam operasional pengamanan tersebut, akan diterjunkan 102.000 personel. Sasaran pengamanan akan meliputi 52.636 lokasi, termasuk di dalamnya 3.693 pasar atau pusat perbelanjaan, 3.709 obyek wisata, dan 1.706 obyek untuk perayaan Tahun Baru.
Selain itu, aksi teror juga tengah menjadi sorotan untuk memasuki Tahun Baru kali ini. Peristiwa bom Astana Anyar, Bandung, Jawa Barat menjadi peringatan besar untuk berbagai pihak, khususnya kepolisian, akan potensi kerawanan tersebut. Apalagi dalam peristiwa tersebut, pihak kepolisian dinilai kecolongan dalam melakukan pencegahan. Untuk itu, pasca kejadian bom tersebut, tim Detasemen Khusus (Densus) 88 telah bergerak untuk memantau jaringan-jaringan teroris di Indonesia.
Secara terpisah, pengamat intelijen dan terorisme Universitas Indonesia, Ridwan Habib, menyampaikan tiga hal terkait kelompok terorisme yang perlu diwaspadai oleh kepolisian. Termasuk di antaranya adalah kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS atau ISIS) dari Asia Tenggara yang berbasis di Filipina bagian selatan.
Dengan kewaspadaan tersebut, pihak kepolisian telah melakukan upaya pencegahan di tempat-tempat ibadah dan pusat keramaian dengan tahapan sterilisasi dan pemasangan X-ray. Tak hanya polisi, aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI), pemerintah daerah, dan organisasi masyarakat kedaerahan juga ikut terlibat (Kompas.id, 27/12/2022, “Waspadai Potensi Teror di Malam Tahun Baru”).
Kultur Selebrasi Tahun Baru dalam Perspektif Sosial
Kehadiran momentum Tahun Baru yang telah menjadi tradisi yang menunjukkan bagaimana sebuah selebrasi atau perayaan. Meskipun selebrasinya merupakan gerak kebutuhan bagi individu, perayaan Tahun Baru turut memiliki nilai sosial yang besar. Secara sosiologis, perayaan pergantian tahun menjadi kebutuhan kehidupan seluruh manusia, sebagai penanda lembaran 12 belas bulan peristiwa yang telah dilalui dan membuka lembaran peristiwa kehidupan 12 bulan ke depan.
Artikel akademik oleh Rusu dan Kantola, “A Time of Meta-celebration: Celebrating the Sociology of Celebration” menuliskan, bahwa apa pun tujuannya, baik itu politik, keagamaan, ulang tahun keluarga, atau acara perayaan lain seperti tahun baru, perayaan selalu memberikan ungkapan rasa bagi kehidupan sosial maupun personal.
Perayaan Tahun Baru memberikan pelepasan rutinitas kehidupan harian yang dinilai biasa dan membosankan bagi masyarakat. Perayaan ini mampu menekan kebosanan dalam kehidupan sosial harian.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Warga mengamati jerapah di kawasan Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta saat hari libur Tahun Baru, Minggu (1/1/2023). Selain relatif terjangkau, berlibur ke Ragunan menjadi pilihan warga karena dapat memperkenalkan satwa kepada anak-anak.
Kemeriahan perayaan merupakan ledakan emosi secara kolektif. Kolektifitas inilah yang lantas membuat suatu momen perayaan diakui sebagai milik bersama dalam suatu masyarakat.
Dalam konteks ini, perayaan Tahun Baru mampu mematahkan kebosanan rutinitas yang terus berlangsung dalam tahun terdahulu. Meski rutinitas yang sama mungkin tidak akan pergi dan harus kembali dijalani, perayaan tersebut memberikan kesegaran mental dan emosional untuk menyambutnya. Tahun Baru pun secara kolektif dipahami sebagai penanda bagi suatu “akhir” periode sekaligus “awal” bagi periode baru yang diharapkan lebih baik.
Liburan pada periode tahun baru juga mampu mengatasi tekanan dari rutinitas kerja (tension-management holiday). Sosiolog asal Amerika Serikat, Amitai Etzioni dalam “Toward a Theory of Public Ritual” menuliskan bahwa jenis liburan demikian diperlukan untuk sesekali melepaskan ketegangan dari proses sosialisasi, resosialisasi, hingga alienasi dari proses kehidupan dan kerja. Sekalipun tidak dapat mencapai pelepasan tersebut, setidaknya mereka yang terlibat dalam perayaan mampu melampiaskan perasaan yang ada.
Meski begitu, Etzioni menyampaikan belum ada bukti sistematis maupun empiris bahwa orang yang kembali bekerja setelah Tahun Baru memiliki komitmen yang lebih kuat pada pekerjaan dibandingkan waktu-waktu sebelumnya. Secara psikologis, masyarakat akan kembali segar setelah liburan dan memperkuat ikatan sosial. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Kompas. (2020, Januari 2). “Memasuki Tahun yang Baru, Resolusi Pun Dibuat”. Jakarta: Harian Kompas. Hlm A.
- Kompas. (2021, Desember 31). “Hindari Aktivitas di Luar Rumah”. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 1.
- Kompas. (2021, Desember 29). “Sejarah Kembang Api”. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 2.
- Kompas.id. (2020, Januari 2). “Menembus Badai demi Kemeriahan Kembang Api di Ancol”. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/metro/2020/01/02/menembus-badai-demi-kemeriahan-kembang-api-di-ancol
- Kompas.id. (2020, Desember 31). “Mulai Pukul 20.00 Ini, Jalan Utama di Jakarta Ditutup”. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/metro/2020/12/31/mulai-pukul-20-00-ini-jalan-utama-di-jakarta-ditutup
- Kompas.id. (2022, Januari 5). “Menjaga Resolusi Tahun Baru”. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/dikbud/2022/01/05/menjaga-resolusi-tahun-baru
- Kompas.id. (2022, Januari 3). “Optimisme di Tahun Baru Harus Diiringi Kesadaran Protokol Kesehatan”. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/ilmu-pengetahuan-teknologi/2022/01/03/optimisme-di-tahun-baru-harus-diiringi-kesadaran-protokol-kesehatan
- Kompas.id. (2022, Januari 15). “Resolusi Tahun Baru, Perlukah?” Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/opini/2022/01/15/resolusi-tahun-baru-perlukah
- Kompas.id. (2022, Desember 27). “Waspadai Potensi Teror di Malam Tahun Baru”. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/metro/2022/12/27/waspadai-potensi-teror-di-malam-tahun-baru
-
kemenkopmk.go.id. Kementeriaan Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. (2022, Desember 27). “Tak Ada Peraturan Khusus Tahun Baru 2023, Menko PMK : Bergembiralah”. Diambil kembali dari kemenkopmk.go.id: https://www.kemenkopmk.go.id/tak-ada-peraturan-khusus-tahun-baru-2023-menko-pmk-bergembiralah
- Etzioni, A. (2000). “Toward a Theory of Public Ritual”. Journal Sociological Theory Volume 18 Number 1, 44-59.
- Rusu, M. S., & Kantola, I. (2016). “A Time of Meta-celebration: Celebrating the Sociology of Celebration”. Journal of Comparative Research in Anthropology and Sociology Volume 7, Number 1.
Artikel Terkait