Paparan Topik

Sejarah Undang-Undang Penyiaran

Regulasi baru yang adaptif terhadap perkembangan teknologi penyiaran diperlukan untuk memastikan kepentingan publik terlindungi, namun tetap harus menjaga kebebasan berekspresi.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Sejumlah kamera televisi yang menjadi andalan pada masa lampau dipajang di kantor TVRI Yogyakarta, Sleman, DI Yogyakarta, Selasa (27/2/2024). TVRI Yogyakarta yang memulai siaran perdana pada 17 Agustus 1965 itu membuka kesempatan kunjungan kepada berbagai institusi pendidikan yang ingin mengenal seluk beluk proses produksi penyiaran di kantor dan studio itu.

Fakta Singkat

UU Penyiaran

  • Sejarah penyiaran di Indonesia dimulai dengan kehadiran radio, diawali dengan peresmian pemancar radio Malabar oleh Gubernur Jendral Dirk Fock pada 5 Mei 1923.
  • Bataviaasche Radio Vereeniging (BRV) yang berdiri pada 16 Juni 1925 menjadi merupakan perkumpulan radio pertama di Indonesia.
  • Solosche Radio Vereeniging (SRV) menjadi pelopor perkumpulan radio pribumi, didirikan pada 1 April 1933.
  • September 1945, didirikan Radio Republik Indonesia (RRI).
  • Tahun 1962, kemunculan media penyiaran televisi di Indonesia, melalui pendirian Televisi Republik Indonesia (TVRI).
  • UU No. 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran yang disahkan pada 29 September 1997 merupakan tonggak sejarah baru, untuk pertama kalinya ada undang-undang yang secara khusus mengatur dunia penyiaran.
  • UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran disahkan pada 28 Desember 2002, menunjukkan adanya kemajuan soal demokratisasi penyiaran dengan membagi wewenang dalam hal regulasi dan kontrol penyiaran kepada dua pihak, yakni pemerintah dan publik.
  • Maret 2024, draf RUU Penyiaran tersebar ke publik.
  • Draf RUU Penyiaran menjadi kontroversial karena proses perumusannya tidak melibatkan masyarakat secara bermakna. Terlebih, beberapa pasal di dalamnya dianggap akan mengancam kebebasan pers, membatasi informasi publik, hingga membatasi keberagaman konten di ruang digital.

Kemajuan teknologi telah mengubah secara drastis lanskap industri penyiaran. Membawa kita ke zaman di mana media penyiaran tidak lagi terbatas pada radio dan televisi konvensional. Berbagai platform baru telah muncul, menciptakan lanskap media yang semakin beragam dan dinamis.

Jika dahulu konten penyiaran radio dan televisi menjadi primadona, kini di tengah pesatnya perkembangan teknologi, kedua media tersebut mulai tergeser oleh berbagai platform digital dan media sosial, seperti Youtube, Spotify, Tiktok, atau pun Netflix yang menawarkan akses yang lebih fleksibel dan konten yang lebih bervariasi.

Namun, kemunculan platform digital ini juga membawa konsekuensi yang perlu dipertimbangkan secara serius. Dalam lanskap yang semakin kompleks dan beragam ini, perlunya regulasi yang memadai menjadi semakin mendesak.

Regulasi baru yang adaptif dengan perkembangan teknologi penyiaran diperlukan untuk memastikan kualitas konten, melindungi kepentingan publik, dan menjaga persaingan yang sehat di dunia penyiaran, sambil tetap menjaga kebebasan berekspresi. Namun, di tengah dorongan untuk memperbarui UU Penyiaran, kontroversi muncul.

Proses penyusunan draf revisi UU Penyiaran yang minim transparansi dan partisipasi publik memicu kekecewaan dan kekhawatiran. Dokumen tertanggal 27 Maret 2024 itu menuai kritik karena dianggap terlalu banyak mengatur hidup masyarakat, tetapi penyusunannya tidak melibatkan masyarakat yang terdampak dari RUU tersebut.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Murid SMK Dian Kirana 1 Sragen mendapatkan penjelasan tentang proses produksi acara televisi saat berkunjung ke kantor TVRI Yogyakarta, Sleman, DI Yogyakarta, Selasa (27/2/2024). TVRI Yogyakarta yang memulai siaran perdana pada 17 Agustus 1965 itu membuka kesempatan kunjungan kepada berbagai institusi pendidikan yang ingin mengenal seluk beluk proses produksi penyiaran di kantor dan studio itu..

Sejarah Penyiaran di Indonesia

  • Era Kolonial

Sejarah penyiaran di Indonesia memiliki perjalanan yang panjang. Perkenalan masyarakat Indonesia akan penyiaran sudah berlangsung sejak masa penjajahan kolonial Belanda atau ketika masih bernama Hindia Belanda.

Pada masa kolonial, penyiaran Hindia Belanda dimulai dengan kehadiran radio. Diawali dengan peresmian pemancar radio Malabar oleh Gubernur Jendral Dirk Fock pada 5 Mei 1923. Kemudian, berdirinya Bataviaasche Radio Vereeniging (BRV) atau Batavia Radio Society pada 16 Juni 1925.

Kehadiran BRV tidak lepas dari kepentingan pemerintah Belanda akan hubungan yang cepat antara negeri Belanda dengan daerah-daerah jajahannya untuk menyampaikan berita dan informasi penting, terutama setelah Perang Dunia I (1914 – 1918).

Pada 1930-an, radio mulai bersemi di berbagai penjuru Hindia Belanda. Di berbagai kota bermunculan badan radio siaran, tak hanya milik pemerintah, namun juga swasta. Jennifer Lindsay dalam “Making Waves: Private Radio and Local Identities in Indonesia (1997) menyebut fase awal radio di Indonesia ditandai dengan penggunaan radio sebagai media yang fokus pada diseminasi budaya dan hiburan dengan dominasi program musik.

Minat mendirikan stasiun siaran juga tumbuh di kalangan pribumi, melahirkan “radio ketimuran” yang berfokus pada budaya lokal. Solosche Radio Vereeniging (SRV) di Solo, yang berdiri pada 1 April 1933, menjadi pelopornya. Disusul Siaran Radio Indonesia (SRI) pada 1934, yang dikenal sebagai radio pertama yang menggunakan kata “Indonesia”.

Pada saat itu, program-program radio ketimuran berciri khas kesenian dan kebudayaan tradisional, dengan acara-acara siaran berupa siaran langsung pertunjukan klenengan atau gamelan, wayang, serta hiburan anak-anak.

Merujuk buku berjudul Mangkunegara VII dan Awal Penyiaran Indonesia karya Hari Wiryawan, melihat stasiun radio semakin ramai bermunculan, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Radiowet atau Undang-Undang Radio pada 1934 untuk mengontrol dan mengawasi siaran radio.

Berdasarkan regulasi tersebut, Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschappij (NIROM), radio pemerintah Hindia Belanda, diberikan hak istimewa berupa izin menyelenggarakan program siaran yang lengkap dan memperoleh hak menerima pajak radio.

Setiap siaran radio ketimuran yang ada di Hindia Belanda wajib membayar pajak (luisbijdrage) sebesar F1,50 per bulannya yang dilakukan oleh NIROM. Selain itu, izin penyiaran dan kekuatan pemancar stasiun radio ketimuran juga dibatasi.

Selepas pemerintahan kolonial, pendudukan Jepang mengubah total lanskap radio di Hindia Belanda. Dimulai pada 1942, pemerintah Jepang melakukan sentralisasi radio di bawah satu kontrol Departemen Informasi dan Propaganda Jepang. Stasiun radio disatukan dalam jawatan atau satuan kerja bernama Hoso Kanri Kyoku. Langkah ini membuat kebebasan penyiaran amat terbatas hingga detik-detik akhir pendudukan Jepang.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Suasana talk show di Sonora 92,0 FM di jalan Kebahagiaan, Jakarta, Kamis (3/12/2015). Sonora FM mulai mengudara pada tanggal 8 Agustus 1972.

  • Era Soekarno

Bom Hiroshima dan Nagasaki menjadi tanda runtuhnya pendudukan Jepang. Berkat informasi via radio atas peristiwa bom tersebut, akhirnya Indonesia bisa segera merealisasikan kemerdekaannya melalui momentum Proklamasi pada 17 Agustus 1945. Tanpa radio, kabar kemerdekaan mungkin tak terdengar hingga pelosok negeri.

Tidak berhenti di situ, bangsa Indonesia kemudian memanfaatkan peralatan siaran yang ada untuk mendirikan Radio Republik Indonesia atau RRI. RRI didirikan oleh tokoh-tokoh yang berasal dari stasiun radio Jepang dan dipimpin oleh dr. Abdulrachman Saleh.

Saat itu, masyarakat masih sedikit memiliki informasi dan tidak tahu apa yang harus dilakukan setelah Indonesia merdeka. Menanggapi hal tersebut, orang-orang yang pernah aktif di radio pada masa penjajahan Belanda dan Jepang menyadari radio merupakan alat yang diperlukan oleh pemerintah Republik Indonesia untuk berkomunikasi dan memberi tuntunan maupun pedoman kepada rakyat mengenai apa yang harus dilakukan.

Fungsi utama RRI adalah memberikan sebuah pelayanan informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol sosial, dan menjaga citra positif bangsa Indonesia di dunia internasional.

Pada 1962, sebuah revolusi baru terjadi dengan kedatangan televisi di Indonesia, melalui pendirian Televisi Republik Indonesia atau TVRI. Televisi membawa perubahan dalam cara masyarakat mengonsumsi media, dengan visual yang kuat menjadi alat utama dalam menyampaikan informasi dan hiburan.

Meski begitu, pada masa ini, Indonesia tidak memiliki aturan atau regulasi yang secara khusus mengatur penyiaran. Namun, terdapat peraturan yang secara tidak langsung berdampak pada praktik penyiaran. Salah satunya adalah Undang-Undang No. 6 Tahun 1963 tentang Telekomunikasi.

Melalui UU tersebut, pemerintah menetapkan persyaratan izin dan penggunaan alat-alat telekomunikasi yang secara tidak langsung mempengaruhi praktik penyiaran dengan mengontrol informasi yang disebarluaskan kepada masyarakat.

Pasal 19, misalnya, setiap berita atau percakapan yang isinya membahayakan keselamatan negara, mengganggu ketertiban umum atau berlawanan dengan tata susila, dapat ditolak atau dihentikan pengirimannya atau dihentikan kelanjutan percakapannya.

Selanjutnya, pada akhir masa kekuasaan Presiden Sukarno, ada Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, yang mengatur penggunaan media sebagai alat ideologis, dengan secara harfiah menyatakan “Pers nasional berkewajiban membina persatuan dan kekuatan-kekuatan progresif revolusioner dalam perjuangan menentang imperialisme, kolonialisme, neo-kolonialisme, feodalisme, liberalisme, komunisme, dan fasisme/diktatur.”

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Bulan terlihat di belakang sejumlah menara pemancar di puncak Gunung Telomoyo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Rabu (4/10/2023). Letaknya yang strategis membuat puncak Telomoyo di ketinggian 1.894 meter di atas permukaan laut itu digunakan untuk menempatkan sejumlah menara pemancar guna memperluas penyebaran sinyal radio, televisi, dan operator telepon seluler di kawasan Jawa Tengah.

  • Era Orde Baru

Menyusul kekacauan pasca-peristiwa G30/S, Jenderal Soeharto mengambil alih kekuasaan dan memulai 32 tahun kekuasaannya yang kita kenal sebagai Orde Baru.

Orde Baru menjadi babak penting dalam sejarah penyiaran di Indonesia. Pada era ini, media penyiaran, secara khusus RRI dan TVRI menjadi corong pemerintah untuk menyosialisasikan kesuksesan pembangunan dan mengonsolidasikan kekuasaan politik.

Pemerintah Orde Baru juga menerapkan kontrol ketat terhadap isi siaran. Media diawasi secara ketat oleh Departemen Penerangan. Kebijakan utama yang mengatur media selama Orde Baru adalah Undang-Undang No. 21 Tahun 1982 tentang Pers dan Undang-Undang Penyiaran No. 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran yang dipandang sebagai perpanjangan tangan rezim yang berkuasa.

UU Penyiaran 1997 merupakan tonggak sejarah baru dalam regulasi penyiaran di Indonesia. Untuk pertama kalinya, ada undang-undang yang secara khusus mengatur dunia penyiaran.

Kehadirannya dilatarbelakangi oleh industri penyiaran Indonesia mengalami pertumbuhan yang pesat, terutama dengan munculnya stasiun televisi swasta pada tahun 1990-an. Merujuk dasar pertimbangan dalam UU Penyiaran 1997, disebutkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan penyiaran di Indonesia perlu dibina dan diarahkan sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pembangunan nasional dan meningkatkan kecerdasan bangsa.

Kehadiran UU Penyiaran ini disambut dengan perasaan yang mendua oleh kalangan media. Di satu sisi, hal itu akan menjamin kepastian hukum di bidang penyiaran. Secara umum, UU ini mengatur berbagai aspek penyiaran, termasuk kepemilikan stasiun, standar konten, dan prosedur izin. Di sisi lain, muncul keprihatinan karena undang-undang ini pada dasarnya tak lebih dari perpanjangan tangan rezim yang berkuasa, yang memasung dunia penyiaran.

Dalam Pasal 7 disebutkan bahwa penyiaran dikuasai oleh negara, pembinaan dan pengendaliannya dilakukan oleh pemerintah dan didampingi sebuh lembaga yang diberi nama Badan Pertimbangan dan pengendalian Penyiaran Nasional (BP3N). Hal ini menunjukkan bahwa pada saat itu media penyiaran digunakan untuk kepentingan pemerintah. Pemerintah memiliki kewenangan yang besar untuk mengawasi dan mengatur konten siaran, termasuk melarang siaran yang dianggap bertentangan dengan tujuan pemerintah.

Menurut Sekretaris Jenderal Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) Pusat S Leo Batubara, UU Penyiaran juga mengekang kebebasan pers yang memiliki kaitan erat dengan penyiaran. Di dalam UU itu, terdapat 78 pasal yang 29 pasal di antaranya berisi ketentuan kewajiban yang harus dilaksanakan pers, 27 pasal berisi larangan, dan tak satu pun pasal yang menyebutkan hak-hak pers. Kecuali itu, terdapat sebuah pasal yang dapat mengancam kehidupan penyelenggara siaran, 11 pasal yang mengancam kehidupan pekerja pers, dan 28 pasal memberikan “cek kosong” kepada pemerintah, untuk mengatur kehidupan pers (Kompas, 16/12/1998).

 KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Menara TVRI di Jalan Gerbang Pemuda, Senayan, Jakarta, Minggu (25/9/2022). Menara TVRI dibangun pada April 1975 dan selesai pada Agustus 1977. Biaya pembangunnya menghabiskan mencapai Rp 379 juta. Menara itu dirancang Wiratman Wangsadinata dan tim arsitek Yodya Karya, bekerja sama dengan RBW Consulting Engineer. Pembangunannya digarap Waskita Kajima yang dipimpin Ir M Arifin. Kompleks studio yang baru dan menara diresmikan pada 24 Agustus 1982. Saat ini, Menara TVRI tidak digunakan lagi, karena sudah ada menara baru yang dibangun di wilayah Joglo, Jakarta Barat.

  • PascaReformasi

Reformasi membuka lembaran baru dalam sejarah modern Indonesia. Tidak hanya karena era ini menandai jatuhnya rezim Soeharto dan Orde Baru, tetapi juga menjanjikan adanya kebebasan berekspresi dan demokratisasi media. Hal ini membawa angin segar bagi industri penyiaran dan pers yang selama bertahun-tahun terkungkung dalam belenggu kontrol ketat pemerintah.

Dalam proses kebebasan informasi dan legislasi ini, DPR dan pemerintah melahirkan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers untuk menggantikan UU Pokok Pers No.11 Tahun 1966. Walaupun masih mengundang perdebatan di beberapa substansi, tidak ada lagi pemberedelan dan perusahaan penerbitan tidak perlu lagi melapor ke Departemen Penerangan (Kompaspedia, 24/5/2023).

Kemudian, di bawah kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Kementerian Departemen Penerangan, yang selama Orde Baru menjadi momok bagi media massa, dibubarkan. Dengan demikian, tidak ada lagi kewajiban untuk mendapatkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) bagi siapa pun yang ingin memperoleh izin publikasi.

Sejak itu, perusahaan media menjamur. Merujuk laporan bertajuk “Memetakan Kebijakan Media di Indonesia Perusahaan” oleh Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG), pemerintah mulai mengizinkan penggunaan media terestrial, sehingga pergeseran dari penyiaran publik menjadi penyiaran swasta terlihat jelas.

Sejumlah stasiun televisi baru bermunculan, di antaranya Metro TV, Trans TV, dan Global TV. Sementara itu, pada saat yang sama, peran TVRI mulai merosot. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh sentimen yang memandang TVRI sebagai alat propaganda Orde Baru.

Mengamati pola ini, kalangan media penyiaran merasa bahwa pada akhirnya harus ada pembaruan UU Penyiaran. Pada 2001, DPR mulai menyusun rancangan regulasi penyiaran yang baru. Gagasan yang mendasari penyusunan undang-undang penyiaran yang baru cukup sederhana, yakni untuk mengganti undang-undang lama yang terlalu mengekang dan terlalu berpihak kepada kepentingan penguasa yang bertolak belakang dengan semangat reformasi.

RUU tersebut akhirnya disahkan menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran oleh DPR pada 28 Desember 2002. Walaupun Presiden Megawati tidak pernah menandatanganinya sebagai bentuk ketidaksetujuan, UU tersebut tetap diberlakukan dan bersifat mengikat secara hukum.

UU tersebut menunjukkan adanya kemajuan soal demokratisasi penyiaran dengan membagi wewenang dalam hal regulasi dan kontrol penyiaran kepada dua pihak, yakni pemerintah dan publik. Peran publik secara resmi diwakili oleh badan independen bernama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Meski begitu, sejak masih RUU hingga ditetapkan menjadi UU, banyak materi di dalamnya yang memicu pro dan kontra. Terutama terkait pemberian kewenangan terlalu besar pada KPI. UU Penyiaran hanya memberi kewenangan dan tugas KPI, tetapi tak ada pasal yang eksplisit membatasi KPI. Akibatnya, muncul kekhawatiran bahwa KPI akan melakukan sensor atau tekanan terhadap kebebasan berpendapat (Kompas, 3/3/2003).

Selain itu, juga terkait konsep siaran berjaringan untuk televisi dan pembatasan lembaga penyiaran swasta. Hal ini banyak ditentang industri media karena dianggap sebagai ancaman dan menyebabkan hilangnya sebagian pendapatan, terutama dari iklan.

Upaya Revisi UU Penyiaran

Seiring berjalannya waktu, banyak upaya dilakukan untuk merevisi UU Penyiaran. Urgensi perubahan UU tersebut juga semakin kuat seiring dengan perkembangan teknologi yang membutuhkan penguatan regulasi penyiaran digital, khususnya terkait layanan over the top (OTT) dan user generated content (UGC).

Dengan perkembangan kemajuan teknologi di bidang penyiaran dan multimedia, terutama terkait perubahan sistem penyiaran analog menjadi penyiaran digital, UU Penyiaran 2002 dianggap tidak lagi relevan dengan perkembangan masyarakat dan teknologi.

Upaya merevisi UU Penyiaran setidaknya sudah dilakukan sejak 2010. Revisi UU Penyiaran sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2009 – 2014 dan 2014 – 2019. Berbagai kajian dan diskusi telah dilakukan untuk mengubah dan menata kembali peraturan yang mengatur mengenai penyelenggaraan penyiaran, tetapi hasilnya masih nihil.

Revisi UU Penyiaran kembali menarik perhatian pada Maret 2024, setelah tersebarnya draf RUU Penyiaran. Namun, sejak draf RUU Penyiaran diketahui publik, penolakan dan polemik pun bermunculan terutama dari pihak-pihak yang bersentuhan langsung dengan industri penyiaran.

Draf RUU Penyiaran menjadi kontroversial karena proses perumusannya tidak melibatkan masyarakat secara bermakna. Terlebih, beberapa pasal di dalamnya dianggap akan mengancam kebebasan pers, membatasi informasi publik, hingga membatasi keberagaman konten di ruang digital.

Contohnya, Pasal 8A ayat (1) RUU Penyiaran, yang mengatur kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran.

Pasal ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih wewenang Dewan Pers dan KPI. Sebab, nantinya KPI juga berwenang menyelesaikan sengketa tayangan jurnalistik yang seharusnya diselesaikan Dewan Pers sesuai dengan UU Pers (Kompas, 26/5/2024).

Pasal ini juga menghapus Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers sebagai rujukan dalam menilai siaran-siaran produk jurnalistik, mengalihkan penilaian menggunakan P3 dan Standar Isi Siaran (SIS). Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum pada mekanisme penyelesaian sengketa pers.

KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA

Jurnalis membawa poster kritik dalam aksi menolak RUU Penyiaran di depan Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (27/5/2024). Berbagai organisasi pers, pers mahasiswa, dan organisasi pro demokrasi di Jakarta menolak pasal-pasal bermasalah dalam draft revisi UU Penyiaran. Pasal-pasal tersebut menjadi kontroversi karena dianggap mengancam kebebasan pers, membatasi informasi publik, dan membatasi keberagaman konten di ruang digital.

Kemudian, RUU Penyiaran juga memberikan kewenangan berlebihan kepada KPI. KPI yang selama ini mengawasi TV dan radio akan diperluas untuk mengawasi konten digital juga melalui Pasal 1 Ayat (9) dan Pasal 17 revisi UU Penyiaran.

Pasal ini tidak hanya berpotensi mengekang jurnalis, tetapi juga para kreator konten dan pekerja seni karena KPI akan mendapatkan wewenang tambahan untuk menentukan kelayakan konten di platform-platform digital, baik audio maupun visual. Konten yang mengandung unsur kekerasan, rokok, mistis, narkotika, dan gaya hidup negatif akan disensor, sehingga bisa  mengakibatkan berkurangnya keragaman konten.

Sementara, Pasal 15E mengatur bahwa sengketa yang timbul akibat keputusan KPI dapat diselesaikan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal ini bertentangan dengan UU Pers utamanya Pasal 15 Ayat (2) Huruf d, yang memberikan kewenangan kepada Dewan Pers untuk memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Artinya, perselisihan mengenai pemberitaan bukan ditangani melalui pengadilan seperti kasus-kasus kriminal pada umumnya. Dengan begitu, pers tidak bisa dijatuhi pidana karena pemberitaannya.

Selanjutnya, Pasal 50 B Ayat (2) dalam RUU Penyiaran dinilai akan mengancam kebebasan pers. Pasal itu memuat SIS yang salah satu poinnya adalah huruf c, melarang penayangan eksklusif jurnalisme investigasi.

Poin pelarangan ini tumpang tindih dengan Pasal 4q UU Pers. Pasal yang lahir pasca-reformasi ini menegaskan bahwa tidak ada lagi ruang untuk tindakan penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan karya jurnalistik, termasuk liputan jurnalisme investigasi.

Pasal kontroversial lainnya adalah Pasal 50 B Ayat (2) Huruf C terkait penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik. Pasal ini sangat multi-tafsir, terutama menyangkut penghinaan dan pencemaran nama baik.

Masih dalam pasal yang sama, pada Huruf g juga disebutkan, SIS akan mencakup larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang menyajikan perilaku homoseksual, biseksual, dan transgender (LGBT). Poin ini tidak berperspektif gender, ruang-ruang berekspresi akan semakin sempit dan membuat kerja-kerja jurnalistik menjadi tidak inklusif.

Oleh karena itu, berbagai pihak seperti komunitas pers, akademisi, hingga konten kreator meminta pembahasan RUU Penyiaran ditunda. RUU ini tidak hanya berpotensi memberangus kebebasan pers, tapi juga dikhawatirkan mengekang kreativitas di ruang digital. Selain itu, juga akan membuat hukum semakin rumit, tumpang tindih.

Dengan berbagai pasal kontroversial itu, RUU Penyiaran masih memerlukan kajian dan diskusi yang mendalam, mendengarkan berbagai masukan dan saran di tataran akar rumput. Hal ini penting, agar aturan yang dibuat tidak merugikan dan mampu melindungi kepentingan publik.  (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Aturan
  • Undang-Undang No. 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran
  • Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
  • Draft RUU Penyiaran, 27 Maret 2024, Rapat Badan Legislasi DPR
Buku
  • Pandjaitan, Hinca IP. 2000. Penyiaran 2000: Aspek Regulasi dan Kebijakan. Jakarta: PRSSNI.
  • 2007. Regulasi Penyiaran: Dari Otoriter ke Liberal. Yogyakarta: LKiS.
  • Wiryawan, Hari. 2011. Mangkunegoro VI dan Awal Penyiaran Indonesia. Surakarta: Lembaga Pers dan Penyiaran Surakarta.
Arsip Kompas
  • “UU Penyiaran tak Lindungi Kebebasan Pers,” Kompas, 16 Desember 1998.
  • “Mengapa UU Penyiaran Ditolak?” Kompas, 3 Maret 2003.
  • “DPR Bantah Pembungkaman Pers lewat RUU Penyiaran,” Kompas, 14 Mei 2024.
  • “RUU Penyiaran Bungkam Pers dan Rugikan Perempuan serta Kelompok Rentan,” Kompas, 21 Mei 2024.
  • “Daftar Pasal Kontroversial dalam Draf Revisi UU Penyiaran,” Kompas, 27 Mei 2024.
  • “Mengapa Publik Ramai-ramai Menolak RUU Penyiaran?,” Kompas, 27 Mei 2024.
  • “Komunitas Pers Minta Pembahasan RUU Penyiaran Dihentikan,” Kompas, 27 Mei 2024.
  • “Serangan terhadap Kebebasan Pers,” Kompas, 30 Mei 2024.
Jurnal

Artikel terkait