Paparan Topik | Tritura

Sejarah Tritura: dari Situasi Politik, Ekonomi, dan Peran Mahasiswa

Tritura merupakan sikap patriotik anak muda pada situasi bangsa dan negara pada 1966. Tindakan cepat dan tepat harus segera dilakukan untuk menyelamatkan situasi dan politik yang tidak menentu pada saat itu.

KOMPAS/KARTONO RYADI

Peringatan Tritura: Adnan Buyung Nasution memberikan sambutan pada acara di taman Fakultas Ekonomi UI, sebelum mahasiswaa dilepas Rektor UI menuju pemakaman umum Tanah Kusir. Peringatan 12 tahun Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) di Jakarta berlangsung hari Senin (9/1/1978) di tiga tempat: Universitas Indonesia, Gelanggang Mahasiswa Kuningan dan Taman Makam Umum Tanah Kusir. Peringatan di UI dan Kuningan berlangsung dalam waktu yang bersamaan, sedang di Tanah Kusir merupakan kelanjutan upacara di UI.

Fakta Singkat

Tritura

  • Demonstrasi Tritura terjadi pada tanggal 10 Januari 1966 dengan tiga tuntutan: Perombakan Kabinet Dwikora, Penurunan Harga, dan Pembubaran PKI.
  • Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) terdiri dari unsur mahasiswa intrakampus dan organisasi mahasiswa ekstrakampus underbouw berbagai partai yang ada, kecuali GMNI yang mendukung PNI dan Soekarno
  • Aksi KAMI berlangsung 60 hari sejak 10 Januari hingga 11 Maret 1966
  • Aksi KAMI mendapat dukungan rakyat dan ABRI

Latar Belakang

Periode tahun 1960-an situasi ekonomi sangat menekan masyarakat yang berpenghasilan rendah seperti petani, buruh, pegawai negeri dan tentu saja anggota ABRI, mengantri sembako menjadi pemandangan biasa karena barang pokok sulit didapat. Di sisi lain, para pejabat justru membeli mobil impor yang  makin memberatkan biaya negara.

Untuk menutupi kebutuhan belanja negara dan mengeluarkan uang beredar di masyarakat tindakan pemerintah adalah mencetak uang negara. Hal itu menyebabkan tingginya inflasi mencapai angka 400–650 persen, hingga lonjakan harga-harga pun makin mencekik leher.

Hingga muncul himbauan dari elit politik agar pemerintah melakukan upaya untuk menurunkan harga barang-barang khususnya kebutuhan pokok agar para petani dan kaum buruh mampu membelinya. Pemerintah juga diminta tidak membeli mobil impor karena tindakan itu justru membebani biaya negara lebih berat lagi. Membeli barang mewah impor justru berlawanan dengan prinsip yang baru saja digaungkan oleh Presiden Soekarno, yaitu Berdikari secara ekonomi.

Konsep ekonomi Berdikari hanya menjadi slogan semata, sementara ekonomi rakyat makin terbelit. Sementara yang terjadi justru kurs resmi mata uang asing dalam negeri dengan kurs di luar negeri sangat berbeda, kondisi ini makin menyuburkan pasar gelap. Kondisi itu tidak menjadi lebih baik meskipun Soekarno menciptakan Dana Revolusi untuk sumber pembiayaan non-bugdeter.

Situasi politik luar negeri juga menegangkan bagi masyarakat,  konfrontasi dengan Malaysia yang disebut dengan operasi KOGAM (Komando Ganyang Malaysia) yang dipimpin oleh  Soekarno  sebagai Panglima Besar KOGAM. Konfrontasi dengan Malaysia merupakan bagian dari proyek Nekolim, Neo Kolonialisme, yaitu menolak pasukan Inggris di Kalimantan, sehingga memerintahkan unsur militer untuk membantu Kalimantan mengusir Inggris. Soekarno juga menetapkan politik luar negeri bebas aktif dengan poros Jakarta-Hanoi-Pyongyang-Peking.

Sementara itu pada akhir 1965 devisa negara makin menipis, sehingga impor kebutuhan barang-barang  vital dari luar negeri seperti beras, tekstil mesin mesin spare part makin terbatas.

Sedangkan di dalam negeri  konstelasi politik didominasi wacana tiga kekuatan yang dominan, yaitu Bung Karno, Angkatan Darat dan PKI. Baik Angkatan Darat maupun PKI masing-masing mencitrakan diri sebagai pendukung Pemimpin Besar Revolusi, Presiden Soekarno, dan mendukung Gerakan Revolusi di bawah Demokrasi Terpimpin (Kompas, 25 Oktober 1965, “Pecat yang Terlibat”).

Situasi politik semakin buruk dengan meletusnya peristiwa paling berdarah  dalam sejarah Indonesia, yaitu Gerakan 30 September 1965 yang menuai korban beberapa Jenderal dan perwira militer Angkatan Darat. Kejadian ini sangat memukul Presiden Soekarno yang sebenarnya cukup dekat dengan PKI, Soekarno bahkan menciptakan slogan dan Kabinet NASAKOM: Nasional, Agama dan Komunis.

Pada akhir Oktober 1965 Presidium Kabinet Dwikora menginstruksikan pada Menteri Koordinator Kompartimen dan menteri yang membawahi, mengurus dan menguasai perusahaan, unit-unit produksi dan distribusi, proyek-proyek dan  unit vital agar segera mematuhi sikap Presiden Soekarno membersihkan dari unsur keterlibatan “Gerakan 30 September”.

PKI dianggap telah melakukan gerakan kontra revolusi dan menentang  Presiden/Pangti ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno, masyarakat dan kelompok intelektual sangat terpukul dan marah dengan peristiwa berdarah tersebut.

KOMPAS/KARTONO RYADI

Peringatan 12 tahun perjuangan Tritura tahun 1966, sekaligus di tiga tempat.  Acara di gedung gelanggang mahasiswa Kuningan, ketika membacakan kebulatan tekad Angkatan 66. Berdiri dibelakangnya dari kiri David Napitupulu, Firdaus Wadidi, Cosmas Batubara, Abdul Gaffur, Liem Bian Koen, Tomy Wangke, Aberson dan Suwarso (11/1/1978).

Munculnya Angkatan Korektor

Kepercayaan rakyat pada sistem pemerintah semakin rendah karena kebijakan ekonomi yang justru makin memberatkan beban hidup masyarakat. Di sisi lain, situasi politik yang makin tidak kondusif karena masih terus dihantui dengan pembersihan seluruh organisasi dan unit kerja dari unsur PKI  membuat situasi makin tidak menentu. Saat itu muncul gagasan dari para pemuda dan mahasiswa untuk turut berperan pada tanah air tercinta maka gagasan membentuk ikatan pemuda pun mulai terjalin.

Gerakan mahasiswa ini oleh Christianto Wibisono disebut sebagai  Angkatan Korektor, yaitu sebuah gerakan yang melakukan koreksi bahkan Revisi Besar dalam kehidupan bernegara. Angkatan Korektor ini turun ke jalan-jalan  raya dan mendapat dukungan dari kelompok tua untuk berjuang bersama mengembalikan negara pada tujuan awal proklamasi kemerdekaan.

Jauh sebelum terjadi peristiwa berdarah 1965 mahasiswa Indonesia telah membentuk PPMI (Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia) yang anggotanya adalah organisasi mahasiswa ekstra kampus seperti GMNI, CGMI, PERHIMI, PMKRI, HMI, IMM, SYEMI dan lain-lain.

Pada 13 Oktober 1965, Presidium Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI) memberhentikan sementara CGMI dan PERHIMI dari Presidium Sementara dan dari keanggotaan PPMI. Keputusan itu diambil setelah membahas situasi tanah air pascateror gerakan kontra revolusi Gestapu dan keputusan Menteri PTIP No. 02/DAR.

Selain itu Presidium PPMI juga mengintruksikan pada segenap anggota PPMI untuk tetap berpegang teguh pada garis-garis revolusi ajaran Bung Karno dan tidak melibatkan diri pada gerakan kontra revolusi (Kompas, 14/10/1965)

Dua puluh lima hari setelah peristiwa Gerakan Tiga Puluh September, terbentuk organisasi yang diafiliasi oleh para pemuda dan mahasiswa sebagai bentuk keprihatinan atas peristiwa nasional tersebut. Organisasi yang banyak diinisiasi oleh Wakil Ketua DPRGR dr. Sjarif Tahjeb itu berbentuk federasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia dengan target utama menghabisi PKI.

Berbentuk federasi karena terbentuk dari komponen mahasiswa dan kelompok pemuda dari organisasi luar kampus dan tumbuh dari keragaman pemikiran. KAMI merupakan gabungan dari mahasiswa berbagai perguruan tinggi, dan dari organisasi pemuda kampus dan luar kampus bahkan dari pemuda yang berafiliasi agama. Beberapa organisasi pemuda underbouw partai politik seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) underbouw partai Islam, lalu Perhimpunan Mahasiswa Katolik Indonesia (PMKRI), PMII underbouw Nahdlatul Ulama, Pelmasi underbouw Soksi, GMNI underbouw PNI. Selain dari organisasi mahasiswa ektra kurikuler ada pula golongan mahasiswa yang disebut kelompok SOMAL (Sekretariat bersama mahasiswa lokal) meliputi Csb, MMB,IMADA, IMABA, bersama dengan Mapancas underbouw IPKI, SEMMI ormas dari Partai Syarikat Islam Indonesia, GMKI underbouw Parkindo, IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) dan Gerakan Mahasiswa Jakarta.

Semua kelompok pemuda tersebut kemudian bergabung berkumpul di Jalan Imam Bonjol 26 kediaman Menteri PTIP dr Sjarif Thajeb. Sebagai motor penggerak yang sangat mendukung gerakan mahasiswa dr Sjarif Thajeb  menyaraankan agar semua komponen organisasi mahasiswa menyatukan diri dan bergabung dalam aksi tersebut. Sjarif mengusulkan agar membentuk Aksi Kesatuan Mahasiswa yang disebut KAMI dengan tujuan utama yaitu:

  1. Mengamankan dan mengamalkan Pancasila
  2. Anti pada nekolim serta segala bentuk penjajahan
  3. Membantu ABRI mengganyang Gerakan Tigapuluh September

Di sana bergulir dialog yang luar biasa mengenai pandangan dan rencana menghadapi situasi yang makin panas, muncul beberapa opsi pemikiran:

  • Group pertama HMI dan Somal berpendapat agar dibentuk wadah baru dan membubarkan PPMI (Perhimpunan Perserikatan Mahasiswa Indonesia)
  • Group kedua, yaitu GMNI dan beberapa kelompok menghendaki agar PPMI tetap dipertahankan dan disempurnakan seperlunya saja
  • Group ketiga adalah kelompok yang kompromistis menerima saja keputusan bulat baik dari group satu ataupun group kedua.

Perdebatan yang berlangsung alot dan panas itu tidak menemukan titik temu hingga akhirnya GMNI dikeluarkan. GMNI  yang diwakili Bambang Kusnohadi memutuskan tidak terlibat dalam aksi KAMI.

Pada Desember 1965, KAMI mengadakan Konferensi Kerja KAMI yang dihadiri oleh seluruh cabang dari Indonesia kecuali GMNI karena telah memutuskan keluar dari KAMI. Koferensi itu memutuskan dua hal, pertama segera membentuk National Union of Student of Indonesia sebagai wadah organisasi mahasiswa Indonesia. Organisasi yang berdasarkan Pancasila ini bertujuan untuk mengadakan integrasi yang harmonis antara pengembangan ilmu dan revolusi nasional untuk menyumbangkan tenaga untuk mempercepat tahap revolusi nasional demokratis dan memasuki tahap sosialisme Indonesia. Kedua, KAMI meminta agar Presiden Soekarno konsisten melaksanakan Pepelrada dengan melarang dan membubarkan PKI di seluruh Indonesia dan mencegah timbulnya Neo-PKI (Kompas, 17/12/1965).

Pada 9 Januari 1966, Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia ikut berembug membahas kondisi negara saat itu kemudian meminta pemerintah untuk  meninjau ulang kebijakan bidang perekonomian. Kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh Kabinet Dwikora saat itu jelas merugikan rakyat kecil yang tidak memiliki kemampuan daya beli karena harga-harga terus meningkat. Selain itu, DMUI juga meminta agar pemerintah ikut mengawasi sekelompok orang yang menimbun dan menaikkan harga untuk kepentingan pribadi. Saat itu mahasiswa dan ABRI serta seluruh rakyat siap mengambil tindakan terhadap oknum pengacau saat itu.

KOMPAS/DUDY SUDIBYO

Suasana peringatan Dwi Windu Tritura di Balai Sidang Senayan (11/1/1982). Di deretan kanan depan antara lain tampak dr. Sjarif Thajeb, Letjen TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo, Ny. Ali Moertopo, Menpen Ali Moertopo, Menmud Urusan Pemuda Abdul Gafur, David Napitupulu dan Cosmas Batubara (Menmud Urusan Perumahan Rakyat).

Lahirnya Tritura

Demonstrasi mahasiswa terus berlanjut, pada keesokan harinya 10 Januari 1966 di halaman Universitas Indonesia berlangsung demonstrasi besar oleh mahasiswa progresif revolusioner yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Demonstrasi yang dimulai dari depan Fakultas Kedokteran Salemba melahirkan sebuah resolusi yang ditandatangani oleh Ketua KAMI, Cosmas Batubara dan Sekjen Djoni Sunarja resolusi itu kemudian dikenal dengan Tritura.

  1. Perombakan Kabinet Dwikora dan Presidium Kabinet, dan membantuk kembali kabinet yang bersih dari unsur PKI/Gestapu, orang-orang yang tidak kompeten di bidangnya serta orang-orang yang tidak didukung rakyat. Hal itu dilakukan untuk mengembalikan wibawa pemerintah dan menjaga kepercayaan rakyat.
  2. Mencabut kembali semua aturan yang menaikkan harga, dan Presidium Kabinet segera membuat kebijakan baru untuk menstabilkan harga bahan pokok sehari-hari.
  3. Membubarkan PKI serta semua ormas yang terkait PKI, menuntut pembersihan pemerintahan dari aparatur negara yang terkait dengan PKI.

Tritura merupakan sikap patriotik anak muda pada situasi bangsa dan negara saat itu, tindakan cepat dan tepat harus segera dilakukan. Perombakan Kabinet Dwikora dan Presidium Kabinet sebagai konsekuensi membersihkan kabinet dari orang atau kelompok yang terafiliasi dengan PKI. Selain itu, dibutuhkan pemerintahan yang efisien dan efektif hingga dapat tercapai penyehatan aparatur negara, oleh karenanya perombakan struktur administrasi dan pemerintahan mutlak harus dilakukan.

Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi menggaungkan NASAKOM (Nasional Agama Komunis) yang diwujudkan dalam kabinetnya hingga menjadi Kabinet 100 menteri. Suatu kabinet gemuk dan sangat lamban hingga tuntutan yang sangat mendasar dari Tritura adalah perombakan Kabinet Dwikora dan Presidium Kabinet.

Inflasi yang tinggi akibat kebijakan ekonomi saat itu sangat mencekik leher rakyat, baik tani, buruh, karyawan apalagi anggota dan keluarga ABRI. Oleh karena itu, menurunkan harga menjadi sangat penting dan tidak bisa ditawar lagi agar masyarakat mampu membeli kebutuhan pokok seperti beras dan bahan pangan lainnya. Bahkan, agar perekonomian berjalan lancar, berbagai tarif barang dan jasa harus diturunkan contohnya adalah ongkos bus dari Rp220 menjadi Rp1000. Akan tetapi, tuntutan “turunkan harga” tidak sekadar bertujuan agar masyarakat mampu membeli beras dan ongkos bus, namun menuntut perbaikan perekonomian agar terjadi stabilitas harga bagi rakyat Indonesia.

Tuntutan ketiga adalah pembubaran Partai Komunis. Hal itu merupakan sikap tegas dan tindakan nyata yang harus diambil dengan melarang secara hukum formal, jurisdiksi formal. PKI harus dilarang di seluruh wilayah Indonesia menyatakan perang pada segala bentuk pemaksaan kehendak suatu golongan. Dominasi suatu kelompok tidak dapat dibenarkan dengan kata lain menolak rezim totaliter yang ingin menang sendiri, dan ingin berkuasa tanpa menghiraukan kritik.

Demonstrasi mahasiswa

Pada 10 Januari 1965 demonstrasi besar-besaran dilakukan oleh mahasiswa memenuhi Jakarta, “Parlemen Jalan Raya” di Harmoni dilanjutkan  dengan membawa slogan-slogan “Retool Kabinet Dwikora”, “Turunkan Harga”, “Bubarkan PKI” serta “Tarif Bis Tetap Rp200”. “Parlemen Jalan Raya” ini mengambil ruang di sekitaran Bundaran depan Hotel Indonesia bergerak ke Jalan Kramat Raya  kemudian menyusuri Jalan Diponegoro hingga Markas Salemba 6.

Demonstrasi mahasiswa itu dipandang sebelah mata oleh para elite politik termasuk Presiden Soekarno. Tidak sedikit pejabat, bahkan kejaksaan, menuding demo itu tidak lurus dan ditunggangi berbagai kepentingan. Oleh karena itu, Presidium KAMI Pusat mengeluarkan instruksi agar demonstrasi itu berjalan dengan damai dan sesuai dengan tujuan awal, yaitu memberangus PKI serta perbaikan kinerja kabinet untuk rakyat Indonesia. Ketua Presidium KAMI adalah Cosmas Batubara, Sekretaris Presidium Djoni Sunarja HS menyatakan beberapa poin pada 11 Januari 1965, yaitu:

  • Menyerukan agar seluruh mahasiswa dan ormas mahasiswa yang tergabung dalam KAMI khususnya yang berada di Jakarta agar turut melakukan aksi demonstrasi.
  • Melakukan aksi revolusioner untuk mengganyang G-30-S; fokus pada pembubaran PKI dengan tetap waspada menghindari provokasi
  • Memperhatikan instruksi dari Pimpinan Pusat KAMI
  • Disiplin menghindari aksi rasialisme dan pengrusakan
  • Memelihara hubungan baik dengan ABRI dan rakyat Indonesia

Hari ke-2 tanggal 11 Januari 1965 demonstrasi mahasiswa bergerak menuju Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong dan bertemu dengan Badan Legislatif Republik Indonesia. Ketua DPRGR saat itu diberi sebutan Menko Ketua DPRGR oleh Soekarno, yaitu Arudji Kartawinata menerima delegasi Tritura dan berjanji akan menyampaikan Resolusi KAMI pada Presiden Soekarno. Malam harinya Ketua DPRGR bertemu dengan Presiden Soekarno, dan presiden mendengarkan tuntutan mahasiswa.

Pada masa demonstrasi mahasiswa, Pangdam V Jaya menyarankan mahasiswa tidak menjadi Parlemen Jalan Raya karena demonstrasi mulai berkembang liar mengganggu ketertiban umum. Pangdam V Jaya memahami tindakan mahasiswa, tetapi  tindakan tegas akan diambil terhadap pendemo yang tidak memenuhi ketentuan.

Untuk menghadapi situasi yang kurang kondusif dan memperjelas posisi mahasiswa, maka saat itu Badan Pekerja Dewan Mahasiswa  Universitas Indonesia mengeluarkan penyataan bahwa:

  • Aksi mahasiswa 11 Januari 1965 adalah aksi seluruh mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam KAMI dan intra universiter
  • Aksi itu merupakan spontanitas mahasisa khususnya Universitas Indonesia
  • Aksi tersebut tidak liar dan atas ijin Rektor UI

Perjuangan mahasiswa berdemonstrasi memakan waktu cukup lama sejak 10 Januari hingga 11 Maret 1966 yang terbagi dalam beberapa tahap:

  • Tahap ofensif kesatuan aksi, mulai 10 Januari hingga 15 Januari 1966
  • Tahap kedua, mulai terjadi serangan ofensif terhadap gerakan KAMI sejak 15 Januari
  • Tahap ketiga, demonstrasi KAMI mulai mendapat tekanan hingga menimbulkan korban, yaitu Arief Rahman Hakim pada 24 Februari 1966
  • Tahap keempat demonstrasi terus berlanjut hingga keluar Surat Perintah 11 Maret 1966

KOMPAS/DUDY SUDIBYO

Peringatan 13 Tahun Tritura. Menteri Penerangan Ali Moertopo pada acara peringatan 13 Tahun Tritura (Orde Baru) yang diselenggarakan oleh DPP KNPI di Gedung Wanita “Nyi Ageng Serang”, Jakarta, Selasa malam, 9 Januari 1979.

Dukungan terhadap Soekarno

Mahasiswa sebagai kelompok muda yang progresif masih mempercayai Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi. Hal itu dapat dilihat dari reaksi mereka menyikapi peristiwa Gestapu. Mahasiswa sangat prihatin pada petualangan berdarah tersebut, dan menyatakan keprihatinan dan belasungkawa mendalam pada keluarga korban. Di sisi lain mahasiswa juga tetap menyerukan agar mengawal Presiden Soekarno dan mendukungnya dalam konfrontasi dengan Malaysia, serta kritis pada Amerika sebagai antek neokolonialis. Mahasiswa berpesan agar menolak gerakan kontra revolusi  seperti yang dilakukan oleh PKI karena tidak sejalan dengan ajaran Bung Karno tentang gerakan Progresif Revolusioner.

Dalam Demokrasi Terpimpin, Soekarno menjadikan dirinya sebagai Pemimpin Besar Revolusi dan mengajak seluruh lapisan bangsa untuk mendukung gagasannya yang bergerak cepat untuk mewujudkan Indonesia kuat dan maju. Dicetuskanlah dengan istilah “Progresif Revolusioner”, maka segala tindakan yang berlawanan atau bertentangan disebut sebagai “kontra revolusi”. Namun demikian, langkah menaikkan harga melalui Penpres 27 yang menaikkan harga barang dan jasa  membuat Soekarno makin tidak populer, di samping sikapnya yang dianggap lamban menghadapi pengkhianatan kontra revolusi yang dilakukan PKI.

Pada Maret 1966 Presiden Soekarno memberikan perintah pada Jendral Soeharto untuk mengatasi persoalan konflik G30S, dengan perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret untuk membubarkan PKI, tetapi kekuasaan tetap dipegang oleh Soekarno.

Soekarno kemudian melakukan perombakan Kabinet Dwikora, yaitu terdiri dari 6 Wakil Perdana Menteri dan 24 Kementrian yang terbagi dalam departemen-departemen. Wakil Perdana Menteri disingkat Waperdam bertugas mengurusi  bidang di lapangan dan mereka merupakan Presidium. Hal itu dilakukan untuk merampingkan Kabinet 100 Menteri yang sangat tidak efisien.

Pada Juni 1966 Presiden Soekarno menyampaikan pidato Nawaksara, sebagai pertanggungjawaban Presiden didepan Sidang Umum MPRS, tetapi pidato ini ditolak oleh MPRS. Tanggal 20 Februari 1967 Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan  pada Jenderal Soeharto dengan Tap MPRS No. IX/MPRS/66, kemudian Soeharto diangkat sebagai Pejabat Presiden dengan TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967. (LITBANG KOMPAS)

KOMPAS/VALENS DOY

Peringatan 12 Tahun Tritura di Jakarta, (08/1/1978) dilaksanakan di tiga tempat yaitu di Universitas Indonesia, Gelanggang Mahasiswa Kuningan, dan Taman Makam Umum Tanah Kusir, di Jakarta. Selain itu, para mahasiswa juga mendatangi DPR dan diterima Ketua DPR/MPR, Adam Malik.

Referensi

Buku
  • Wibisono, Christianto. 1980. Aksi-aksi Tritura. Jakarta: Yayasan Manajemen Informasi, 
  • Batubara, Cosmas, 1986. Sejarah Lahirnya Orde Baru Hasil dan Tantangan. Departemen Pekerjaan Umum.
Arsip Kompas
  • “Pecat yang terlibat”, Kompas, 25 Oktober 1965, hlm 1.
  • “KAMI memutuskan membentuk N.U.S”, Kompas, 17 Desember 1965, hlm 2.
  • “Presiden Mengutuk Pembunuhan Buas dan Minta Ketenangan”, Kompas, 7 Oktober 1965, hml 1
  • “Instruksi Presidium Kabinet Dwikora”, Kompas, 22 Oktober 1965, hlm 1
  • “Pembubaran CGMI dan Perhimi Dituntut PMKRI”, Kompas, Kamis, 14 Oktober 1965, hlm 2
  • “Presiden Memerintahkan Letjen Soeharto Menyelamatkan Revolusi”, Kompas, 14 Maret 1966, hlm 1
  • “Susunan Kabinet Dwikora Disempurnakan”, Kompas, Senin, 28 Maret 1966, hlm 1
  • “Progress Report Presiden Mandataris MPRS”, Kompas, Kamis 23 Juni 1966, hlm 1
  • “Nawaksara Timbulkan Kecewa”, Kompas, 24 Juni 1966, hlm 1
  • “Presiden Soekarno Menyerahkan Kekuasaan Pada Jendral Soeharto”, Kompas, 23 Februari 1967, hlm 1
Jurnal

Erlina, T. 2020. “Peranan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia Dan Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia dalam Proses Peralihan Kepemimpinan Nasional Tahun 1965-1968”. Jurnal Wahana Pendidikan.