Paparan Topik | Otonomi Daerah

Sejarah Peraturan Keistimewaan Yogyakarta

Aturan terkait Keistimewaan Yogyakarta disempurnakan dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2012 (UU KDIY). Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman diakui sebagai unit pemerintahan di daerah yang telah memiliki wilayah, pemerintahan, dan penduduk sebelum Indonesia merdeka.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Sri Sultan Hamengku Buwono X (jas putih depan) dan KGPAA Paku Alam X tiba di  Istana Negara, Jakarta, untuk dilantik sebagai  Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah  Istimewa Yogyakarta (DIY), oleh Presiden Joko Widodo (10/10/2017).

Fakta Singkat

  • Status keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dijamin oleh UUD 1945 Pasal 18.
  • Saat Indonesia merdeka, Sultan HB IX dan PA VIII satu suara mendukung penuh kemerdekaan Indonesia dan menyatakan bersedia bergabung dengan wilayah Indonesia, ditandai dengan Maklumat Amanat 5 September 1945.
  • Yogyakarta pernah ditetapkan menjadi ibu kota RI pada kurun 1946–1949.
  • Keistimewaan Yogyakarta diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Keistimewaan DIY (UU No. 13 2012)

  • Kebudayaan
  • Pertanahan
  • Tata ruang
  • Tata cara pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur
  • Kelembagaan Pemerintah Daerah (Pemda) DIY

Sultan HB IX menyatakan dengan tegas dalam Maklumat Amanat 5 September 1945 bahwa Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa bagian dari Republik Indonesia. Seluruh kekuasaan Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat dipegang sepenuhnya oleh Sultan. Dalam urusan pemerintahan, hubungan antara Nagari Ngayogyakarta dan pemerintah pusat bersifat langsung.

Bergabungnya Nagari Ngayogyakarta dan Kadipaten Pakualaman berdampak besar terhadap pengakuan dunia internasional terhadap Indonesia. Pada saat itu, Nagari Yogyakarta dan Pakualaman sudah memliki kedaulatan yang diakui dan dihormati oleh dunia. Karena keistimewaan ini, Yogyakarta pernah ditetapkan menjadi ibu kota RI pada kurun 1946–1949.

Status keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dijamin oleh UUD 1945 Pasal 18. Status ini diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang “Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta”. Undang-Undang ini diubah beberapa kali. Selanjutnya, asal-usul yang bersifat istimewa juga diakui dalam UU No. 22/99 yang direvisi menjadi UU 32/2004.

Aturan Keistimewaan Yogyakarta secara rinci baru sah secara hukum pada tahun 2012 setelah pemerintah dan DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012. Undang-Undang itu menyatakan, DIY memiliki keistimewaan lima bidang, meliputi kebudayaan, pertanahan, tata ruang, tata cara pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur, serta kelembagaan Pemerintah Daerah (Pemda) DIY, serta memperoleh dana keistimewaan.

KOMPAS, 5 Februari 2020

Sejarah

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X (HB X) dalam orasi budaya peringatan satu abad Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX) dan peringatan ke-256 berdirinya Kota Yogyakarta pada 12 April 2012 menyatakan, Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat sudah istimewa sejak dipertahankan Pangeran Mangkubumi melalui Paliyan Nagari yang tercantum dalam Babad Giyanti.

Kota Yogyakarta awalnya adalah Alas Beringan. Sri Susuhunan Amangkurat IV yang merupakan Ayah Pangeran Mangkubumi berpesan agar dinasti Mataram membangun pesanggrahan yang mempunyai nilai-nilai filosofis di Alas Beringan. Karena pesan ini, Pangeran Mangkubumi yang kemudian dikenal sebagai Hamengku Buwono I (HB I) teguh agar ibu kota Ngayogyakarta Hadiningrat didirikan di Alas Beringan.

Pesanggrahan yang dibangun HB I berkembang menjadi Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat, kerajaan yang berdaulat dan diakui dunia. Posisi Yogyakarta sebagai wilayah yang memiliki pemerintahan otonom cukup kuat meski berada di bawah pemerintah kolonial. Posisi ini semakin kokoh pada masa penjajahan Jepang saat HB IX dan Paku Alam VIII (PA VIII) sepakat bersatu.

Saat Indonesia merdeka Sultan HB IX dan PA VIII kembali satu suara mendukung penuh kemerdekaan Indonesia dan menyatakan bersedia bergabung dengan wilayah Indonesia. Pesan yang disampaikan melalui telegram kepada Presiden Soekarno ini direspon dengan penandatanganan piagam kedudukan bagi daerah Yogyakarta pada 19 Agustus 1945.

Bentuk dukungan HB IX dan PB VIII dipertegas dengan amanat 5 September 1945. Secara terpisah amanat HB IX dan PB VIII memiliki isi kurang lebih sama yakni baik Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat maupun Nagari Paku Alaman yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.

Selain Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman, sebenarnya terdapat dua wilayah kerajaan yang menyatakan dukungan kepada Republik Indonesia yakni Kasunanan Surakarta, dan Mangkunegaran. Dua wilayah ini bahkan lebih dulu mengeluarkan maklumat pada 1 September 1945.

Pada perkembanganya Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran tidak dapat bersatu karena tidak ada yang bersedia mengalah. Keduanya merasa sama tinggi dan sama kuatnya. Karena tidak pernah ada kata sepakat, daerah istimewa di Surakarta tidak pernah terbentuk. Sementara itu harmonisasi antara Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman terus berlanjut. Komitmen bergabungnya dua wilayah ini diperjelas dengan amanat bersama yang ditandatangani oleh HB IX dan PA VIII pada 30 Oktober 1945.

Menyusul amanat 30 Oktober 1945, untuk pertama kali muncul pengaturan tentang daerah istimewa dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945. Dalam bagian pasal penjelasan mengenai Komite Nasional Daerah, terdapat penyebutan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta.

Pengakuan Yogyakarta secara sah sebagai daerah istimewa tercantum dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Undang-undang ini menetapkan wilayah Kesultanan Yogyakarta dan daerah Pakualaman setingkat provinsi dan menyandang sebagai daerah istimewa. Payung hukum ini juga mengatur hal keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta hingga hak pengelolaan perusahaan daerah.

KOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN

Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario (KGPAA) Paku Alam IX merayakan tingalan dalem atau ulang tahun ke-76 penanggalan Jawa di Bangsal Sewatama, Pura Pakualaman, Yogyakarta (31/1/2012). Dalam kesempatan ini pula, Paku Alam IX memberikan 79 kedudukan atau pangkat kepada para kerabat serta abdi dalem Kadipaten Pakualaman, termasuk pemilihan Raden Mas Wijoseno Hario Bimo selaku pangeran pati atau putra mahkota dengan kedudukan baru, Kanjeng Bendoro Pangeran Hario Suryodilog

Penetapan Gubernur

Sebelum reformasi posisi kepala daerah istimewa diatur oleh Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 yang menyatakan bahwa kepala daerah istimewa diangkat oleh presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa. Kriteria kepala daerah dinilai dari aspek kecakapan, kejujuran, dan kesetiaan sesuai adat istiadat di suatu daerah.

Pada tahun 1957 peraturan berubah, kepala daerah istimewa diangkat dari kandidat yang diusulkan DPRD berdasarkan keturunan keluarga berkuasa. Khusus daerah tingkat I, presiden memilki wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan kepala daerah istimewa.

Sejak merdeka berbagai peraturan terkait kepala kepala daerah di Yogyakarta telah dikeluarkan pemerintah, berbagai peraturan tersebut berbunyi senada yakni menetapkan raja dari Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman sebagai gubernur dan wakil gubernur.

Amandemen UUD 1945 pada Sidang Umum MPR 18 Agustus 2000 membawa dampak panjang khususnya bagi DIY. Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 menegaskan bahwa “Gubernur, Bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.

Peraturan ini bertentangan dengan peraturan keistimewaan Yogyakarta yang tertuang pada UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pada penjelasan pasal 122 disebutkan keistimewaan Yogyakarta salah satunya adalah pengangkatan gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta, dan wakil gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam.

Peraturan terkait pemerintahan di Yogyakarta diperbarui dalam UU Nomor 32 tahun 2004. Undang-undang ini menyebut pemerintahan Yogyakarta masih mengacu pada UU Nomor 22 tahun 1999. Pada pasal 225 UU Nomor 32 tahun 2004 juga ditegaskan daerah-daerah yang memiliki status istimewa diberikan otonomi khusus. Daerah-daerah tersebut meliputi Daerah Khusus Ibukota, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Papua, dan Provinsi DIY.

Undang-undang yang secara khusus mengatur keistimewaan DIY setelah reformasi baru disahkan pada tahun 2012 melalui UU Nomor 13 Tahun 2012. Undang-undang ini keluar menyusul polemik masa jabatan gubernur DIY yang tidak terakomodir dalam UU Nomor 32 tahun 2004 yang hanya memperbolehkan setiap warga menjadi kepala daerah dalam dua kali masa jabatan yang sama.

Pada UU Nomor 13 Tahun 2012 jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY dipertegas dalam Pasal 18 yang secara tidak langsung mempersempit ruang bagi calon gubernur dan wakil gubernur DIY. Syarat utama untuk menjadi gubernur dan wakil gubernur DIY adalah calon harus bertahta sebagai sultan (gubernur), atau adipati (wakil gubernur).

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Gubernur DI Yogyakarta (DIY) Sultan Hamengkubuwono X  (kanan)  dan Wakil Gubernur DIY Paku Alam X saat mengikuti sidang pengujian materiil UU No 13 2012 tentang Keistimewaan DIY sebagai pihak terkait  di Mahkamah Konstitusi, Jakarta (17/11/2016). Agenda sidang itu untuk mendengarkan keterangan dari perwakilan Dewan Perwakilan Daerah dan Margarito Kamis sebagai saksi ahli.

Polemik

Disahkannya UU KDIY pada tahun 2012 tak membuat DIY bebas polemik. Perdebatan kembali muncul terkait suksesi kepala daerah selepas HB X. Perbedaan pendapat terjadi di keluarga Keraton antara Sultan HB X dengan tiga adiknya yakni Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Hadiwinoto, GBPH Prabukusumo, dan GBPH Yudhaningrat.

Permasalahan yang diperdebatkan terkait Rancangan Peraturan Daerah Istimewa (Raperdais) DIY tentang Tata Cara Pengisian Jabatan, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur. Sultan menilai perlu adanya revisi pasal yang menyatakan calon gubernur wajib menyerahkan riwayat hidup yang mencakup, antara lain pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak.

Pasal ini dinilai diskriminatif karena secara tidak langsung gubernur dan wakil gubernur DIY harus laki-laki karena ada poin riwayat hidup istri. Perdebatan ini meluas hingga persoalan suksesi kepemimpinan di Keraton Yogyakarta karena Sultan HB X tidak memiliki anak laki-laki. Menurut ketiga adik sultan, tidak perlu ada revisi dalam raperdais karena sudah sesuai dengan UU KDIY.

Buntut dari perdebatan ini, Sultan HB X mengeluarkan sabda tama atau amanat pada 6 Maret 2015. Sultan meminta agar kerabat Keraton tidak lagi berkomentar ihwal suksesi karena tak seorang pun bisa mendahului titah Raja. Sabda tama dalam bahasa Jawa terdiri dari delapan poin yang didahului dua paragraf pembuka. Pada poin kedua, Sultan menyatakan, yang bisa memutuskan takhta Keraton hanyalah Raja.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Raja Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X menyampaikan sabda tama di Bangsal Kencono Keraton Yogyakarta, Yogyakarta (10/5/2012). Sabda tama tersebut berisi penegasan sifat Keistimewaan Yogyakarta yang diwujudkan antara lain dalam hal penetapan Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DI Yogyakarta.

Uji Materi

Pada pertengahan 2016, kurang lebih setahun setelah kegaduhan di Keraton, UU KDIY digugat di Mahkamah Konstitusi. Penggugat bernama Muhammad Sholeh, penduduk Jawa Timur, yang juga seorang pengacara. Ia merasa dirugikan oleh berlakunya pasal yang mengatur tentang pengisian, persyaratan, tata cara pengajuan calon, serta verifikasi dan penetapan gubernur dan wagub. Menurut Sholeh, isi dari pasal-pasal ini tidak demokratis.

Putusan Mahkamah Konstitusi dibacakan pada 28 Juli 2016. Putusan tersebut menyatakan keistimewaan persyaratan pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY merupakan salah satu perwujudan kewenangan istimewa DIY. MK menolak permohonan Sholeh karena pemohon dinilai tak memiliki kedudukan hukum.

Tak puas dengan putusan MK, Delapan warga Daerah Istimewa Yogyakarta memperbaiki permohonan uji materi UUK DIY di Mahkamah Konstitusi, Jakarta (25/10/2016). Para pemohon terdiri dari beragam profesi seperti perangkat desa, pegiat hak perempuan, dan abdi dalem Keraton Yogyakarta.

Irmanputra Sidin selaku kuasa hukum para pemohon mewakili menguji konstitusionalitas Pasal 18 Ayat (1) huruf m UUK DIY yang mengatur adanya kata ”istri” di dalam daftar riwayat hidup yang harus diserahkan oleh calon Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Dalam keteranganya di MK pada 17 November 2016, Sultan HB X menyatakan bahwa tata cara pergantian jabatan Gubernur DIY sekaligus Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah urusan internal keraton.

Perang argumentasi di MK berlanjut. Pada sidang 8 Februari 2017, Sultan HB X berhadapan dengan adiknya, Gusti Bendoro Pangeran Haryo Yudhaningrat yang menjadi ahli dari pihak terkait untuk menolak uji materi. GBPH Yudhaningrat menyebut, Sultan adalah khalifatullah sehingga bisa dimaknai ia adalah seorang pemimpin laki-laki. Tradisi ini sudah berlangsung selama berabad-abad hingga Sultan HB X.

Drama Keraton Yogyakarta berakhir dengan putusan MK yang memutuskan, Pasal 18 Ayat (1) Huruf m UUK DIY bertentangan dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (31/8/2017). Dengan putusan MK ini maka perempuan dapat menjabat sebagai gubernur DIY.

KOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN

Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X mempersilahkan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan dan politikus J Kristiadi menuju ke ruang kerjanya setelah menggelar jumpa pers terkait penyerahan naskah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DI Yogyakarta (4/9/2012) di Kepatihan, Yogyakarta. Proses penyusunan UU Keistimewaan DI Yogyakarta memakan waktu panjang karena berlangsung selama 9 tahun dan melalui lima kali masa persidangan.

Dinamika jelang Pemilu

Seolah tak tuntas, setelah persoalan UUK DIY selesai di MK isu politik dinasti kembali bergulir enam tahun kemudian menjelang pemilu 2024. Politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Ade Armando, menyebut adanya praktik politik dinasti di DIY karena gubernur dan wakil gubernur tidak dipilih melalui pemilu.

Pernyataan Ade Armando tersebut berupa video yang diunggah di Twitter (sekarang X) pada 2 Desember 2023. Dalam video itu, dia mengomentari aksi mahasiswa di Yogyakarta yang menolak politik dinasti. Menurut Ade, aksi mahasiswa menjadi ironis karena para mahasiswa itu berada di wilayah mempraktikkan politik dinasti.

Gubernur DIY Sultan HB X menanggapi pernyataan Ade Armando. Sri Sultan HB X menyatakan keistimewaan DIY telah diakui oleh undang-undang berdasarkan asal-usul dan sejarah (4/12/2023).

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Dampak Letusan Gunung Kelud. Abu vulkanik yang berasal dari letusan Gunung Kelud menyelimuti kawasan Perempatan Tugu, Yogyakarta, Jumat (14/2/2014) pagi. Hujan abu vulkanik mengakibatkan jarak pandang hanya berkisar 5 hingga 10 meter dan mengganggu aktivitas perekonomian di Yogyakarta.

Buntut dari pernyataanya, Ade Armando dilaporkan ke Polda Daerah Istimewa Yogyakarta oleh sekelompok warga yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Jogja Istimewa.

Ketua umum PSI Kaesang Pangarep memberikan ultimatum kepada kadernya Ade Armando untuk keluar dari partai bila tak taat konstitusi (6/12/2023). (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Huda, Ni’matul. 2014.Desentralisasi Asimetris dalam NKRI. Bandung: Nusamedia.
Arsip Kompas
  • DI Yogyakarta: Satu-satunya Daerah Istimewa yang Tak Lagi Istimewa. Kompas, 21 Oktober 2005. Hlm. 36.
  • 60 Tahun Masuknya DI Yogyakarta ke RI. Kompas, 24 Oktober 2005. Hlm. 8.
  • Hak Politik Sultan Tidak Hilang. Kompas, 28 Agustus 2012. Hlm. 5.
  • Waktu Hanya 39 Hari. Kompas, 30 Agustus 2012. Hlm. 4.
  • Percepat Pengundangan. Kompas, 31 Agustus 2012. Hlm. 4.
  • Tim Asistensi Dibentuk. Kompas, 1 September 2012. Hlm. 4.
  • Masyarakat Yogyakarta Bisa Lebih Tenang. Kompas, 3 September 2012. Hlm. 4.
  • Soal Dana Keistimewaan, Sultan Tak Akan ”Ngotot”. Kompas, 5 September 2012. Hlm. 5.
  • Yogya Memang Istimewa. Kompas, 5 September 2012. Hlm. 6.
  • Tantangan Hamengku Buwono X Bukan Hanya Suksesi Keraton Yogyakarta. Kompas WEB, 9 Maret 2015.
  • Sultan: Suksesi Keraton Tak Boleh Dibicarakan. Kompas, 7 Maret 2015. Hlm. 15
  • Hentikan Perdebatan soal Syarat Gubernur. Kompas, 4 April 2015. Hlm. 24.
  • Penjelasan Sultan Redakan Polemik. Kompas, 9 Mei 2015. Hlm. 1.
  • Keistimewaan DIY Digugat di MK. Kompas, 1 Juni 2016. Hlm. 4.
  • Sultan Meminta Pembahasan Dua Raperdais Dipercepat. Kompas, 14 Juli 2016. Hlm. 22.
  • Penetapan Gubernur DIY Konstitusional. Kompas, 29 Juli 2016. Hlm. 4.
  • UU Keistimewaan DIY Diuji Materi. Kompas, 26 Oktober 2016. Hlm. 2.
  • Sultan: Pemilihan Gubernur Urusan Internal Keraton. Kompas, 18 November 2016. Hlm 2.
  • Saat Trah Mataram ”Berperkara” di MK. Kompas, 9 Februari 2017. Hlm. 2.
  • Ketika Sultan Hadir di Sidang Uji Materi. Kompas, 22 Februari 2017. Hlm. 2.
  • Perempuan Dapat Menjadi Gubernur. Kompas, 2 September 2017. Hlm. 2.
  • Yogyakarta, Daerah Istimewa dengan Peran yang Juga Istimewa. Kompas, 5 September 2020. Hlm A.
Internet
  • https://www.dpr.go.id/jdih/index/id/273
  • https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/12/06/aliansi-masyarakat-jogja-istimewa-laporkan-ade-armando-ke-polda-diy
  • https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/12/04/kecam-pernyataan-ade-armando-massa-datangi-kantor-psi-diy
  • https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/12/04/tanggapi-ade-armando-soal-politik-dinasti-sultan-hb-x-keistimewaan-diy-diakui-uu