Paparan Topik | Otonomi Daerah

Sejarah Kebijakan Otonomi Daerah

Setelah kebijakan otonomi daerah diberlakukan, sistem pemerintahan sentralisasi berubah menjadi desentralisasi. Kebijakan desentralisasi merupakan upaya meningkatkan kemajuan dan kesejahteraan masyarakat di daerah.

KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA

Perwakilan masyarakat Papua Barat Daya mengepalkan tangan setelah RUU Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya disahkan dalam Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (17/11/2022). Melalui pengesahan RUU ini, Indonesia resmi memiliki 38 provinsi.

Fakta Singkat

Otonomi Daerah

  • Pembentukan Pemerintah Daerah dimulai dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1945 tentang pembentukan kepemimpinan daerah.
  • Pemerintah Orde Baru mengeluarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1974 dan mengubah pemerintahan menjadi sentralistis selama 25 tahun.
  • Otonomi daerah memiliki payung hukum dengan UU No. 22/1999 yang mengaskan Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Otonom oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas Desentralisasi.
  • Hari Otonomi Daerah ditetapkan tanggal 25 April sejak tahun 1996, tetapi baru dilakukan tahun 1999.

Pergeseran sistem dari sentralisasi menjadi desentralisasi mengurangi peran pemerintah pusat dalam penyelenggaraan negara. Dengan kebijakan desentralisasi, pemerintah daerah memiliki otonomi sendiri sesuai dengan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 yang berbunyi: “Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.”

Pada awalnya, kebijakan desentralisasi dimulai sejak zaman kolonial tahun 1903, melalui inisiasi menteri koloni I.D.F. Idenburg yang mengeluarkan Desecentralisatie Wet dengan pusat kekuasaan di Batavia.

Setelah 17 Agustus 1945, pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah. Aturan ini menitikberatkan azas dekonsentrasi yang mengatur pembentukan komite nasional, keresidenan, kabupaten dan kota.

Kemudian tahun 1948 lahirlah UU No. 22 Tahun 1948 Tentang Penetapan Aturan-aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri Di Daerah-daerah Yang Berhak Mengatur Dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri. Dalam aturan itu disebutkan Negara Indonesia terdiri dari tiga tingkat daerah, yaitu provinsi, kabupaten atau kota besar, desa atau kota kecil.

Setelah Pemilu 1955, pemerintah menerbitkan Undang-undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang antara lain isinya mengubah istilah daerah otonom menjadi daerah swatantra. Selain itu wilayah Indonesia hanya menjadi dua yaitu daerah besar dan daerah kecil.

Perkembangan selanjutnya, setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Soekarno menerbitkan Penetapan Presiden (penpres)  No. 6 Tahun 1959 tentang Kepala Daerah. Penpres ini mengatur kewenangan kepala daerah yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

Di Era Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno mengeluarkan Undang-undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. UU ini mengatur kekuasaan desentralistis dan pendekatan otonomi simetris dan daerah otonomi khusus atau simetris. 

Namun setelah era pemerintahan Soekarno berakhir, pemerintah Orde Baru mengeluarkan UU No. 5 Thn 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang meneguhkan pemerintahan sentralistis yang berpusat di Jakarta.

Selama masa pemerinthan Orde Baru pemerintahan sentralistis tidak membawa perubahan pengembangan kreatifitas daerah baik pemerintah maupun masyarakat daerah. Selama 25 tahun atas nama stabilitas  politik, demi kelangsungan investasi ekonomi, pemerintahan sentralistik  telah melemahkan inisiatif dan gerak prakarsa masyarakat yang tumbuh dari rakyat.

Ketergantungan daerah yang sangat tinggi pada pusat mengakibatkan daerah tidak mandiri dalam perencanaan pengembangan wilayahnya. Daerah tidak memiliki keleluasaan karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak mencukupi, selain partisipasi dan prakarsa lokal  dilumpuhkan oleh Orde Baru.

Tahun 1996 atas desakan gerakan pro demokrasi  menuntut adanya desentralisasi hingga akhir pemerintahannya Presiden Soeharto menerbitkan Keppres No. 11 tahun 1996. Keppres ini  merupakan upaya persiapan untuk mengurangi sentralisasi sekaligus  menentukan tanggal  25 April sebagai hari otonomi daerah.

Atas prakarsa Presiden B.J. Habibie, pemerintah menerbitkan UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dimana Presiden memberikan wewenang penuh pada pemerintah daerah, kecuali urusan politik luar negeri, pertahanan, peradilan dan moneter. Tentu saja keputusan itu disambut antusias dengan terbentuknya daerah otonomi baru  yaitu 7 provinsi, 115 kabupaten dan 26 kota.

Dalam perkembangannya,  Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Aturan ini untuk membangun keseimbangan kebijakan desentralisasi yang bersifat asimetris dan simetris dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sejak  UU tersebut dibentuk tahun 2004, hingga 2014 pembentukan daerah otonomi baru hanya 1 provinsi, 66 kabupaten dan 8 kota. UU No. 32 ini dianggap dapat mencegah maraknya pembentukan provinsi baru. Hingga tahun 2022 jumlah provinsi 34 dengan 415 Kabupaten dan 93 kota di Indonesia.

Dalam Pasal 1 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Konsekuensinya adalah wewenang eksekutif dan legislatif yang diserahkan oleh pemerintah pusat pada daerah untuk mengelola urusan rumah tangga daerah  berdasarkan peraturan perundang undangan atau peraturan pemerintah.

Desentralisasi di daerah diharapkan  mampu mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial di seluruh wilayah Indonesia. Demi pemerataan pembangunan dan kesejahteraan pemerintah kemudian melakukan pemekaran wilayah di Papua menjadi daerah otonom baru. Maka lahirlah Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan dan Papua Barat Daya,  Indonesia kini memiliki 38 provinsi, 416 kabupaten dan 98 kota.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Sejumlah siswa sekolah dasar berjalan kaki bersama saat pulang sekolah di Kampung Indabri Distrik Minyambouw, Pegunungan Arfak, Papua Barat, Selasa (13/3/2021). Meski saat ini Indonesia masih dilanda pandemi Covid-19, para pelajar tersebut tetap mengikuti kegiatan belajar di sekolah. Terbatasnya infrastruktur komunikasi terutama tidak adanya jaringan internet tidak memungkinkan untuk diselenggarakan pembelajaran jarak jauh secara daring.

Desentralisasi versus Sentralistik

Secara teoritis, desentralisasi atau otonomi daerah merujuk pada sistem distribusi kekuasaan berdasarkan kewilayahan (territory) dimana ada kekuasaan (power) dan kewenangan (authority). Politik desentralisasi mensyarakatkan  pembagian wilayah negara ke dalam daerah yang dibarengi pembentukan institusi administratif dan politis.

Secara umum, desentralisasi dapat diklasifikasi dalam dua variabel penting, pertama peningkatan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintah atau model efisiensi struktural. Kedua,  peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan atau model partisipatoris.

Terkait hal otonomi, setiap negara memiliki titik berat yang berbeda tergantung tujuan dan kesepakatan dalam konstitusinya. Oleh karena itu desentralisasi menjadi simbol kepercayaan dari pemerintah pusat bahwa sistem sentralistik tidak banyak membantu dalam mengatasi masalah di daerah.

Secara normatif Pemerintah Orde Baru telah  mengeluarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, aturan soal otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Otonomi ini memadukan desentralisasi dan asas dekonsentrasi (fused model) atau otonomi bertingkat.

Desentralisasi menjadi dasar pembentukan daerah otonom,  sementara dekonsentrasi menjadi dasar pembentukan wilayah administrasi vertikal di daerah. Namun yang terjadi dekonsentrasi menguat ditandai dengan pembentukan semua perangkat vertikal departemen dan non departemen di daerah dengan kebijakan penyeragaman dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Walaupun daerah diberikan kewenangan daerah dan kewenangan kepegawaian serta keuangan, namun, faktanya daerah tidak memiliki kewenangan tersebut bahkan pembiayaan yang seharusnya menjadi tanggungjawab APBN justru menjadi beban APBD. Secara empiris selama 25 tahun di masa Orde Baru, sistem pemerintahan yang dianut adalah sentralisasi walaupun daerah memiliki otonomi terbatas.

Pertama, pemerintah pusat memiliki kewenangan luas dalam penetapan kebijakan dan peraturan secara seragam penyelenggaraan pemerintah daerah. Pemerintah daerah menjadi kurang efektif dalam mengemban misi peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan pengembangan masyarakat lokal sesuai dengan kebutuhan lokal.

Kedua, hubungan keuangan yang tidak realistis antara pusat dan daerah karena tidak seimbang. Ketergantungan daerah pada sumber penerimaan dari pusat dan kecilnya kontribusi pendapatan asli daerah, sehingga daerah lemah dalam pembangunan daerahnya. Hal itu  justru memperkuat  keseragaman pengambilan keputusan pusat dan melemahkan  atau mengurangi kekuatan paham kedaerahan.

Di era Reformasi pemberian otonomi lebih pada demokratisasi pemerintahan lokal dan pemberdayaan masyarakat lokal. Terjadi pergeseran paradigma desentralisasi, yaitu otonomi kabupaten yang seluas luasnya dengan penyerahan dan pengakuan kewenangan pemerintahan.  Sehingga otonomi daerah dititikberatkan pada kabupaten/kota berdasarkan asas desentralisasi dan tugas pembantuan (split model).

Sedangkan untuk provinsi masih terdapat enclave wilayah administrasi ataupun bentuk otonom lainnya, maka gubernur berperan sebagai kepala daerah dan perpanjangan tangan pemerintah pusat. Dalam hal pembiayaan pemerintah daerah menggunakan sistem money follow function, sebelumnya mengunakan instrumen Subsidi Daerah Otonom (SDO) dan Bantuan Pembangunan (Inpres).

Desentralisasi di Indonesia bukanlah sistem negara federal, tetapi memberikan kewenangan pada masyarakat lokal menentukan arah kebijakan publik untuk kesejahteraan masyarakat lokal.  Diharapkan pemerintahan daerah kuat dan efektif jika memiliki keleluasaan dalam menetapkan kelembagaan personel   keuangan.

Melalui kreatifitas dan inovasi daerah menjadi relevan dan signifikan untuk merumuskan kebutuhan publik masyarakat lokal secara tepat dan menentukan prioritas bagi daerah. Daerah harus memiliki pemahaman yang tepat dalam penetapan kebijakan dan akses berbagai  informasi penting untuk mendesain lembaga yang dibutuhkan termasuk  pegawai yang sesuai kebutuhan daerah.

Pelaksanaan otonomi daerah diberikan pada daerah dan bukan provinsi karena dianggap paling dekat dengan problematik dan kebutuhan masyarakat. Namun,  penyelenggaraan pemerintah daerah merupakan bagian dari sistem pemerintahan yang berintegral secara nasional.

Secara historis desentralisasi sebagai teori pendistribusian kewenangan dan urusan pemerintahan dalam organisasi negara. Dalam hal ini ‘kewenangan” adalah esensi dari desentralisasi sekaligus menjadi instrumen yang menentukan konstruksi elemen dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Daerah memiliki kewenangan seperti kelembagaan, kepegawaian, keuangan, perwakilan dan pelayanan publik.

Sistem pemerintahan desentralisasi menciptakan implikasi berupa otonomi daerah sebagai sistem ketatanegaraan yang dianggap ideal. Salah satu tujuannya mendekatkan masyarakat pada proses partisipasi, pelayanan publik, peningkatan kesejahteraan, pemerataan pembangunan dan pengambilan kebijakan dan kebijaksanaan di tingkat lokal bagi terwujudnya pembangunan Indonesia.

Desentralisasi tidak sekedar pemencaran wewenang atau penyerahan urusan pemerintahan negara dalam hubungan pusat-daerah, juga pembagian kekuasaan  (division of power) untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan negara dalam hubungan pusat daerah. Hal itu mendorong partisipasi masyarakat daerah dan proaktif mengambil prakarsa dalam penyelenggaraan pemerintahannya sendiri.

Desentralisasi juga menjadi kata kunci ketika berbicara tentang pemekaraan atau penataan wilayah, hal itu merefleksikan kemajemukan, keberagaman dan demokrasi. Terkait hal itu otonomi daerah menjadi kata yang sejalan dengan desentralisasi bahkan istilah kedua istilah tersebut sering digunakan secara bergantian. Konsep desentralisasi merupakan bentuk hubungan pemerintah pusat dengan daerah dalam suatu negara.

KOMPAS/YULVIANUS HARJONO

Kondisi jalan raya Kota Sorong ke Klamono, Kabupaten Sorong, rusak berat, sehingga menyulitkan kendaraan yang lewat (12/10/2013). Padahal, jalur ini dilewati pipa-pipa minyak dan gas bumi (pipa hitam di pojok kanan) dari kilang minyak Klamono. Dana otsus dan tambang migas belum memberikan manfaat berarti untuk peningkatan kondisi infrastruktur di daerah ini.

Tujuan Otonomi Daerah

Tujuan utama kebijakan otonomi daerah adalah membebaskan pemerintah pusat dari beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik sehingga berkesempatan untuk mempelajari, memahami, merespon berbagai kecenderungan global.  Pemerintah pusat dapat berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat srategis.

Berikutnya, pemerintah daerah akan mengalami proses pembelajaran dan pemberdayaan signifikan, karena kemampuan prakarsa dan kreatifitas daerah akan terpacu yang akan meningkatkan kapabilitas dalam mengatasi masalah domestik.

Otonomi adalah kebebasan atau kemandirian, tetapi bukan kemerdekaan sehingga otonomi memberi kebebasan dan kemandirian sebagai wujud yang harus dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, daerah  memiliki kedudukan sebagai organ daerah untuk melaksanakan tugas otonomi dan sebagai agen pemerintah pusat dalam hal penyelenggaraan urusan pusat-daerah.

Namun demikian, praktek otonomi daerah di era Reformasi belum memuaskan harapan masyarakat, justru menimbulkan korupsi pejabat pemerintahan daerah dan lahirnya “raja kecil” ataupun politik dinasti di daerah. Kenyataan tersebut justru berseberangan dengan tujuan otonomi daerah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat lokal.

Praktik otonomi daerah saat ini mengarah pada praktek otonomi daerah menuju sentralisasi gaya baru, munculnya korupsi gaya baru dan dinasti politik tingkat lokal. Hal itu ditunjukkan pada sistem rekruitmen pejabat pemerintah daerah yang belum mencerminkan lahirnya pemimpin lokal berkualitas.

Pilkada langsung menghabiskan biaya politik yang besar justru melahirkan pemimpin daerah karbitan dan penuh pencitraan. Sehingga potensi perilaku korupsi sangat besar karena harus mengembalikan modal politik saat kampanye pilkada.

Karena itu, perlu adanya restrukturisasi otonomi daerah pada penyelenggaraan otonomi daerah dengan mengembalikan otonomi seluas-luasnya dengan pembagian kewenangan yang jelas antara pusat dan daerah.

Pemerintah daerah harus memiliki otoritas lokal dalam memiliki aparatur yang mumpuni dan sarana yang dibutuhkan untuk memenuhi tanggungjawabnya. Kekurangan pembiayaan di daerah akan berkecenderungan memanfaatkan kekuasaan dan wewenang untuk mengeksploitasi rakyat secara ekonomis.

Pemerintahan di tingkat daerah adalah cermin dari keterbelakangan masyarakat dan keterbatasan sumber daya ekonomi lokal. Kemampuan otonomi yang rendah dan penyelenggaraan daerah yang tidak efektif adalah resultante dari keterbatasan. Oleh karena itu dibutuhkan pemimpin yang berkualitas dan memiliki visi pemerintahan yang amanah agar mampu mengatasi masalah keterbelakangan dan kemiskinan serta keterbatasan pendidikan.

Pemimpin daerah yang efektif mampu memperbaiki administrasi pemerintahan hingga mampu memperkuat ekonomi daerah. Tentu saja hubungan keuangan daerah dan pusat menjadi lebih adil dan menciptakan kemandirian daerah.

KOMPAS/ZULKARNAINI

Jembatan rangka baja di Desa Panca Kubu, Kecamatan Lembah Seulawah, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Senin (1/5/2023) dibangun menggunakan dana otonomi khusus. Sebelum jembatan itu dibangun, desa tersebut terisolasi.

Pemekaran Wilayah

Di awal pemekaran wilayah tahun 1999 Presiden B.J. Habibie membuat UU No. 45 Tahun 1999 tanggal 4 Oktober tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat, Provinsi Irian Jaya Tengah, Kabupaten Mimika, Kabupaten Paniai, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong.

UU No. 45/1999 tersebut mendapat dukungan dari SK DPRD Provinsi Irian Jaya No. 10/1999 tentang pemekaran Provinsi Irian Jaya menjadi tiga provinsi. Namun, rakyat Papua di Jayapura menolak dengan demonstrasi besar-besaran pada 14 Oktober 1999. Akhirnya rencana pemekaran provinsi ditangguhkan, tetapi pemekaran kabupaten dilaksanakan.

Di tahun 2002 masyarakat Irian Jaya Barat yang diwakili Tim 315 meminta rencana pemekaran provinsi diaktifkan kembali. Presiden Megawati kemudian mengeluarkan Inpres No. 1 Tahun 2003 tanggal 27 Januari untuk membentuk Provinsi Irian Jaya Barat. Namun, masih ada tekanan dan penolakan dari Provinsi Papua sebagai induknya, hingga Mahkamah Konstitusi  akhirnya membatalkan UU No. 45/1999 yang menjadi payung hukum Provinsi Irian Barat. Namun, keberadaan Provinsi Irian Barat tetap diakui dan dilengkapi sistem pemerintahannya.

Perjuangan pembentukan Provinsi Irian Jaya  Barat akhirnya  berhasil dibentuk  dengan Gubernur definitif untuk periode 2006-2011 Abraham Octavianus dan Drs Rahimin Katjong yang dilantik pada 24 Juli 2006. Terbentuknya pemerintahan baru itu karena secara de fakto Irian Jaya Barat telah memiliki wilayah yang jelas, penduduk dan aparatur pemerintahan, kemudian anggaran bahkan anggota DPRD. Pada tanggal 18 April 2007 dengan PP No. 24 Tahun 2007 berubah nama menjadi Provinsi Papua Barat.

Papua terus berbenah mengelola sumberdaya mereka, tepatnya 25 Juli 2022 pemerintah pusat mengeluarkan tiga undang-undang pembentukan daerah otonomi baru di bekas Pulau Irian tersebut.

Pembentukan Provinsi Papua Selatan dengan UU No. 14/2022, kemudian UU No. 15/2022 tentang Pembentukan Provinsi Papua Tengah dan UU No. 16/2022 mengatur Pembentukan Provinsi Papua Pegunungan. Akhirnya pulau Cendrawasih tersebut resmi memiliki enam provinsi.

KOMPAS/DEFRI WERDIONO

Suasana lengang di salah satu pusat Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara, Rabu (24/6/2015). Kota hasil pemekaran dari Kabupaten Bolaang Mongondow ini dikenal sebagai penghasil komoditas pertanian. Dalam hal transportasi, banyak terdapat becak motor di tempat ini.

Dampak Otonomi Daerah

Dengan lahirnya desentralisasi kewenangan dan keuangan lokal maka partisipasi di daerah pun meningkat. Di daerah terjadi peningkatan efisiensi dan upaya kualitas pelayanan, lahirnya inovasi dan kreatifitas di tingkat lokal. Hal itu terjadi karena mengambil peran dalam mengurus sumberdaya lokal baik sumer daya alam maupun sumber saya manusia. Maka peluang meningkatkan kapasitas lokal dan kemampuan teknis pun berkembang.

Tidak dapat dimungkiri bahwa diberlakukannya desentralisasi kewenangan di daerah berpengaruh banyak dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakat lokal. Kekuasaan mengelola wilayah lokal yang dirampas selama 25 tahun di bawah Presiden Soeharto telah mengekang hasrat lokalitas dan identitas tiap wilayah.

Ketika keran desentralisasi dibuka yang pertama kali muncul adalah lokalitas dan identitas tiap wilayah. Di beberapa wilayah tertentu ketika memiliki kewenangan lokal maka yang dibuat adalah aturan lokal yang mengatur pakaian dan tubuh perempuan.

Bahkan, ada yang membuat larangan perempuan keluar rumah setelah pukul 21.00 WIB, hal itu digodok di legislatif tingkat kabupaten kota. Salah satu contoh adalah di Provinsi Sumatera Barat, salah satu kotanya membuat peraturan daerah bahwa setiap siswa di sekolah milik pemerintah harus mengenakan jilbab atau pakaian muslimah walaupun siswa non-muslim.

Selain lokalitas, tentu saja setiap wilayah terpacu untuk meningkatkan kualitas pelayanan, lahirnya inovasi dan kreatifitas untuk kemajuan daerahnya. Otonomi daerah juga telah melahirkan pemimpin yang afirmatif, munculnya terobosan di bidang pelayanan publik, lahirnya pemimpin alternatif lokal, pemimpin lokal yang dapat menjalin hubungan dengan pemerintah luar negeri untuk kemajuan daerahnya. Salah satu keberhasilannya adalah meningkatnya pelayanan publik terkait pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan terlihat berkembang positif.

Walaupun masih ada yang menerapkan oligarki politik yang justru membuat kinerja  daerah tidak optimal. Buruknya pemimpin lokal yang taidak mampu mengelola sumber daya alam mengakibatkan terjadinya permasalahan lingkungan. Bahkan, keuangan dari hasil pengelolaan sumber daya alam tidak terdistribusi dengan baik yang mengakibatkan tata kelola pemerintahan bermasalah.

Sebagian kalangan menilai otonomi daerah menimbulkan maraknya korupsi di tingkat lokal, tetapi hal itu ditepis oleh kalangan  akademisi. Korupsi bukan karena efek distribusi kekuasaan, tetapi polarisasi kekuasaan  yang tidak berubah hingga menimbulkan “raja kecil” di daerah. (LITBANG KOMPAS)

Provinsi di Indonesia

Berikut daftar 38 provinsi di Indonesia dan ibu kotanya:

  1. Nanggroe Aceh Darussalam (Ibu Kota Banda Aceh)
  2. Sumatera Utara (Ibu Kota Medan)
  3. Sumatera Selatan (Ibu Kota Palembang)
  4. Sumatera Barat (Ibu Kota Padang)
  5. Bengkulu (Ibu Kota Bengkulu)
  6. Riau (Ibu Kota Pekanbaru)
  7. Kepulauan Riau (Ibu Kota Tanjung Pinang)
  8. Jambi (Ibu Kota Jambi)
  9. Lampung (Ibu Kota Bandar Lampung)
  10. Bangka Belitung (Ibu Kota Pangkal Pinang)
  11. Kalimantan Barat (Ibu Kota Pontianak)
  12. Kalimantan Timur (Ibu Kota Samarinda)
  13. Kalimantan Selatan (Ibu Kota Banjarbaru)
  14. Kalimantan Tengah (Ibu Kota Palangkaraya)
  15. Kalimantan Utara (Ibu Kota Tanjung Selor)
  16. Banten (Ibu Kota Serang)
  17. DKI Jakarta (Ibu Kota Jakarta)
  18. Jawa Barat (Ibu Kota Bandung)
  19. Jawa Tengah (Ibu Kota Semarang)
  20. Daerah Istimewa Yogyakarta (Ibu Kota Yogyakarta)
  21. Jawa Timur (Ibu Kota Surabaya)
  22. Bali (Ibu Kota Denpasar)
  23. Nusa Tenggara Timur (Ibu Kota Kupang)
  24. Nusa Tenggara Barat (Ibu Kota Mataram)
  25. Gorontalo (Ibu Kota Gorontalo)
  26. Sulawesi Barat (Ibu Kota Mamuju)
  27. Sulawesi Tengah (Ibu Kota Palu)
  28. Sulawesi Utara (Ibu Kota Manado)
  29. Sulawesi Tenggara (Ibu Kota Kendari)
  30. Sulawesi Selatan (Ibu Kota Makassar)
  31. Maluku Utara (Ibu Kota Sofifi)
  32. Maluku (Ibu Kota Ambon)
  33. Papua Barat (Ibu Kota Manokwari)
  34. Papua (Ibu Kota Jayapura)
  35. Papua Tengah (Ibu Kota Nabire)
  36. Papua Pegunungan (Ibu Kota Jayawijaya)
  37. Papua Selatan (Ibu Kota Merauke)
  38. Papua Barat Daya (Ibu Kota Sorong)

Referensi

Jurnal
  • Santoso, Purwo, dkk, Decentralized Governance: Sebagai Wujud Nyata dari Sistem Kekuasaan, Kesejahteraan, dan Demokrasi, Research Centre for Politics and Government, Fisipol UGM, Yogyakarta: 2011
Aturan
  • Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 1959 tentang Penyerahan Tugas-Tugas Pemerintah Pusat dalam Bidang Pemerintahan Umum, Perbantuan Pegawai Negeri dan Penyerahan Keuangannya, Kepada Pemerintah Daerah
  • Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 tentang Pemerintah Daerah
  • Undang-undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
  • Undang-undang (UU) No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
  • Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11 Tahun 1996 tentang Hari Otonomi Daerah
  • Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
  • Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
  • Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah