Paparan Topik | Otonomi Daerah

Jabodetabek: Konsep, Sejarah, dan Relasi Wilayah Aglomerasi

Sejak prakemerdekaan, Jakarta telah menjadi lokasi pusat kegiatan ekonomi dan mendorong lahirnya aglomerasi kota. Namun, aglomerasi memunculkan persoalan baru dan ketimpangan antarwilayah.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Kepadatan lalu lintas di Jalan MT Haryono, kawasan Cawang, Jakarta Timur, Senin (25/7/2022). Mengurangi kemacetan Jakarta memang bukan perkara mudah. Mengutak-atik aturan jam kerja perlu koordinasi bersama dan perhitungan yang presisi agar tidak lebih banyak merugikan warga.

Fakta Singkat

Jabodetabek

  • Aglomerasi adalah pengumpulan atau pemusatan dalam lokasi atau kawasan tertentu. Oleh karenanya, konsep aglomerasi dapat merujuk pada ekonomi, kependudukan, atau juga spasial.
  • Menurut Montgomerry, ruang kota adalah konsekuensi dari pertumbuhan dan aglomerasi ekonomi.
  • Jakarta telah menjadi pusat ekonomi sejak era Kesultanan Banten dengan namanya sebagai Sunda Kelapa (1527-1621).
  • Di era penjajahan, Jakarta atau Batavia (1621-1945) berkembang menjadi kota dagang yang besar. Dari 150.000-an penduduk di awal penjajahan, menjadi setengah juta jiwa menjelang kemerdekaan.
  • Pada 1949, Soekarno telah melihat perlunya perluasan Jakarta dengan menghadirkan pembangunan kota baru di Desa Kebayoran.
  • Jakarta berkembang menjadi kota metropolitan dengan gedung-gedung pencakar langitnya sejak era Orde Baru, tepatnya era Gurbenur Ali Sadikin (1966-1977).
  • Konsep Jabotabek lahir secara formal pada 1967 lewat Rencana Induk Jakarta untuk 20 tahun mendatang.
  • Konsep Jabodetabek lahir pada tahun 1999, sementara konsep Jabodetabekpunjur tertulis secara formal pada 2008.
  • Istilah Jabodetabek menunjukkan relasi antarwilayah, dimana Jakarta menjadi pusat ekonomi dan pembangunan.
  • Ketimpangan pembangunan dan perhatian menjadi konsekuensi atas tingginya prioritas Jakarta dan kurangnya pelibatan pemerintah daerah lain.

 

Jagat media sosial dan kanal pemberitaan belakangan ramai memperbincangkan kabar perubahan nama Jabodetabek menjadi Jabodetabekjur. Wacana ini terusung dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Daerah Khusus Jakarta (DKJ) yang telah disahkan dalam rapat paripurna DPR pada 28 Maret 2024 lalu.

Perubahan nama mengartikan meluasnya jangkauan area aglomerasi Jabodetabek – sebuah istilah yang telah begitu umum didengar dalam ragam narasi. Konsep Jabodetabek seolah merujuk pada satu area tersendiri yang berdiri secara padu.

RUU ini kemudian disahkan pemerintah pada 25 April 2024 menjadi UU Nomor 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta. Dengan Undang-undang ini, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta diubah menjadi Provinsi Daerah Khusus Jakarta.

Apabila diurai, Jabodetabek merupakan abreviasi dari lima nama kota, yakni Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Sementara Jabodetabekjur merupakan tambahan dari wilayah Cianjur.

Uraian yang lantas dipadukan dalam satu konsep besar Jabodetabek menunjukkan bagaimana kelima daerah tersebut memiliki jalinan interaksi. Tidak hanya dalam konteks jarak spasial, namun juga relasi sosial-ekonomi.

Lebih lagi, jalinan demikian mengandung ragam gradasi relasi yang dapat dimaknai. Sebagai contoh, penempatan Jakarta dalam abreviasi Jabodetabek, mendahului nama keempat kota lainnya, menunjukkan kuatnya determinasi kota Jakarta itu sendiri. Dalam studi urban dan perkotaan, lingkungan kota kerap mensyaratkan penghisapan sumber daya dari wilayah sekitarnya.

KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA

Kepadatan lalu-lintas saat jam pulang kerja di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (13/6/2023). Laporan World Air Quality 2022 menempatkan Jakarta di urutan ke-20 sebagai negara dengan tingkat polusi udara terburuk di seluruh dunia. Kadar PM 2,5 yang tercatat sebesar 36,2 mikrogram per meter kubik atau tujuh kali lebih tinggi dari standar WHO.

Aglomerasi Ruang Kota

Istilah aglomerasi begitu lekat dalam perbincangan soal Jabodetabek. Secara terminologis, KBBI mendefinisikan aglomerasi sebagai “pengumpulan atau pemusatan dalam lokasi atau kawasan tertentu”. Artinya, istilah aglomerasi sendiri memang dekat dengan intervensi ruang. Sementara dalam konteks kimiawi, aglomerasi didefinisikan sebagai pengumpulan dan/atau penumpukan partikel atau zat menjadi satu.

Profesor Montgomery dari Universitas Pricenton, Amerika Serikat, melihat bahwa aglomerasi adalah gejala besar dalam konteks ruang urban perkotaan. Kemunculannya merupakan konsekuensi dari pertumbuhan dan kebutuhan ekonomi manusia. Maka dari itu, dalam artikel akademik How Large is Too Large, Montgomery mendefinisikan aglomerasi sebagai konsentrasi sektoral dan spasial di ruang kota. Di dalamnya, terkandung keterhubungan antar ruang yang intim tapi juga efisien karena berdiri pada prinsip kedekatan ekonomi atau economies of proximity.

Efisiensi dalam konteks ini terkait biaya dan aksesibilitas transportasi, informasi, dan komunikasi. Efisiensi juga merujuk pada pemusatan sektor-sektor industrial dan urbanisasi. Dalam aglomerasi ruang kota, muncul penciptaan kluster-kluster kerja, konsumsi, juga tempat tinggal yang melahirkan efisiensi tersebut.

KOMPAS/HIDAYAT SALAM 

Suasana rapat kerja Badan Legislasi dalam pengambilan keputusan tingkat satu terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Daerah Khusus Jakarta yang berlangsung di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (18/3/2024).

Menurut Montgomery, praktik-praktik pemusatan dan efisiensi ini dilakukan untuk mencapai penghematan terbesar dan menjaga tingkat pendapatan. Oleh karenanya, seiring dengan pertumbuhan ekonomi, aglomerasi akan terus terjadi dan meluas. Dengan demikian, kehadiran kota dapat diartikan sebagai konsekuensi dinamika ekonomi dan mewujud sebagai ruang yang melayani pertumbuhan ekonomi.

Dalam konteks Jabodetabek, pesatnya pertumbuhan metropolitan Jakarta menjadikannya sebagai magnet bagi daerah sekitar. Magnet ini tercipta lewat tingginya indikator nilai produktivitas Jakarta, yakni nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan pertumbuhan jumlah penduduk.

Montgomery menjelaskan hal demikian sebagai peningkatan konsentrasi nilai produksi dan peningkatan konsentrasi jumlah penduduk, yang ia sebut sebagai aglomerasi produksi dan aglomerasi penduduk. Penumpukan konsentrasi membuat ruang Jakarta tidak lagi mampu menampung kapasitas yang masif.

Diperlukan ruang-ruang baru untuk menampung penumpukkan konsentrasi ini. Akhirnya, aglomerasi produksi dan aglomerasi penduduk mendorong terciptanya aglomerasi ruang kota. Dalam konteks demikian, Jabodetabek menjadi definisi atas hasil produksi aglomerasi secara spasial.

Seiring waktu, aglomerasi lebih dikenal dalam dimensi perubahan ruang seperti Jabodetabek. Mauleny lewat artikel akademik Aglomerasi, Perubahan Sosial Ekonomi, dan Kebijakan Pembangunan Jakarta menulis aglomerasi ini lantas menghasilkan suatu ruang daerah yang perkembangannya yang jauh lebih tinggi dibandingkan daerah-daerah disekitarnya.

Apabila pengaruh tersebut menyebar ke beberapa wilayah di sekitarnya, maka akan menghasilkan fenomena kesamaan/kemiripan corak dan fungsi wilayah antara kota yang berbeda wilayah administrasinya menjadi sama dalam. Jika direncanakan secara lebih lanjut, kumpulan kota yang karakternya mirip dan berdekatan secara spasial ini akan menghasilkan sebuah kota yang lebih besar lagi dan membentuk megapolitan.

Sejarah Konsep Jabodetabek

Bagian awal artikel ini telah menjelaskan sejarah Jabodetabek sebagai wilayah aglomerasi lewat kacamata teoritik. Perkembangan kota dirumuskan sebagai implikasi yang selaras dengan logika ekonomi, sosial, dan spasial. Lebih lanjut, paradigma teoritik demikian sama sekali selaras dengan sejarah empiris Jabodetabek

Sedari awal, perkembangan konsep Jabodetabek tidak lepas dari pertumbuhan kota Jakarta itu sendiri, sebagai sentral pertumbuhan dan kepentingan urban. Dengan orientasi demikian, kehadiran Jabodetabek merupakan konsekuensi atas kian meluasnya kebutuhan sosial-ekonomi di Jakarta. Bodetabek menjadi solusi bagi kebutuhan penyokong.

Jakarta Pra-Kemerdekaan

Sejarah pertumbuhan kota ini dapat ditelisik dengan merujuk pada tulisan Hikmat Budiman, Jakarta: Narasi Identitas Nasional, Modernitas, dan Ibu Kota Baru. Nafas Jakarta sudah bermula sejak abad ke-14 dengan nama Sunda Kelapa. Kota Sunda Kelapa merupakan kawasan kota pelabuhan yang begitu sederhana. Luasnya jauh lebih kecil dari Jakarta saat ini, dengan berlokasi di mulut Sungai Ciliwung.

Pada abad ke-16, tepatnya tahun 1527, Sunda Kelapa berpindah tangan ke Kesultanan Banten. Namanya pun berubah menjadi Jayakarta. Sejak itu, Jayakarta mulai tumbuh menjadi pusat aktivitas komersial.

Usai masuknya penjajahan, Gubernur Jenderal Vereenighde Oostindische Compagnie (VOC), Jan Pieterzoon Coen, menjadikan kota tersebut sebagai pusat jaringan perdagangan VOC untuk seluruh Asia. Pada tahun 1621, namanya turut diubah menjadi Batavia –yang diambil dari “Batavi”, nama salah satu suku nenek moyang orang Belanda yang mendiami delta sungai Rhein.

Hikmat Budiman mencatat bahwa kejayaan Batavia kala itu – yang pasca-VOC, dilanjutkan oleh pemerintah Belanda dan Inggris hingga abad ke-19 – bukanlah sebagai sebuah ibu kota negeri, melainkan pusat lalu lintas ekonomi lintas laut.

Untuk mendukung aktivitas ekonomi yang berlangsung, maka pihak penjajah mendatangkan penduduk dari luar negeri, termasuk Eropa dan Cina. Selain itu, Batavia turut dipadati pula oleh pendatang dan budak dari Kalimantan, Timor, Nias, Sumba, Bali, dan Ambon.

Batavia menjadi kian padat – baik secara aktivitas perdagangan, administrasi pemerintahannya, hingga kependudukan. Lahan-lahan pertanian pun turut dikonversi untuk mendukung fungsi urban. Zona-zona permukiman pun berturut-turut lahir, bersamaan pula dengan pembangunan kanal-kanal beserta pelabuhan.

Hingga titik ini, tampaklah bagaimana Jakarta sejatinya telah mengandung preseden historis sebagai wilayah aglomerasi/pemusatan. Sebagai sebuah sentral perekonomian, Jakarta sedari awal dibentuk di atas fondasi multikulturalisme sekaligus giat konversi lahan yang masif. Tidak hanya itu, pembangunan dirinya berlangsung invansif dan terus meluas.

Menjelang kemerdekaan, Batavia telah berubah dari sebuah kota pelabuhan dengan 150.000 penduduk menjadi kota yang dihuni oleh setengah juta jiwa. Perubahan ini tidak hanya menunjukkan pertumbuhan populasinya, namun juga perluasan batas-batas geografis yang niscaya untuk menjadi ruang hunian yang lebih akomodatif.

Era Orde Lama

Statusnya sebagai pusat perekonomian turut bertambah menjadi pusat politik dan perjuangan kemerdekaan. Setelah namanya berubah menjadi Jakarta pada 1942, kota ini kian memantaskan status tersebut dengan menjadi ruang perencanaan gerakan kemerdekaan hingga puncaknya sebagai lokasi deklarasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Sejak itu, dengan ragam peran pentingnya, Jakarta pun ditetapkan sebagai ibu kota, pusat politik, sekaligus pusat ekonomi bagi negara muda Republik Indonesia. Hikmat Budiman menulis bahwa penetapan ini berlangsung dengan persiapan dan kondisi yang begitu seadanya.

Tidak banyak dilakukan perubahan, baik tata letak, intervensi demografi, maupun tata administrasi, untuk penetapan Ibu Kota Jakarta. Barangkali, hal ini turut menjadi manifestasi dari kalimat dalam proklamasi, yakni “… pemindahan kekuasaan dan lain-lain akan diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkatnya”.

Mengacu pada Kompaspedia (22/6/2023, Sejarah Pembangunan Jakarta Era Soekarno), pada masa-masa awal kemerdekaan, Jakarta masih begitu identik dengan citra kolonial dan didominasi wilayah perkampungan.

Kedua hal inilah yang ingin dihapuskan Presiden Soekarno, terutama lewat modernisasi kota dalam kerangka nasionalisme. Jakarta menjadi perpanjangan tangan bagi visi Soekarno dalam memandang citra, dalam hal ini infrastruktur pembangunan, sebagai alat deklarasi martabat dan kedudukan.

Maka di era Orde Lama, terciptalah proyek-proyek mercusuar yang menghadirkan kemegahan bagi Jakarta. Mulai dari Monumen Nasional (Monas), Patung Selamat Datang, Masjid Istiqlal, Stadion Gelora Bung Karno, hingga Jembatan Semanggi.

Untuk mendukung konektivitas, Soekarno juga membangun Jakarta Bypass, sebuah jalan modern yang menghubungkan Cililitan dan Pelabuhan Tanjung Priok, dan Jalan MH. Thamrin.

Pada masa Orde Lama, Jakarta mengusung citra megah bagi Indonesia yang masih begitu muda dan miskin. Hal itu juga yang lantas mendorong Jakarta sebagai arena aglomerasi makna nasionalisme  – menjadi pusat pesan oleh Soekarno pada dunia, bahwa Indonesia memiliki martabat dan kedudukan yang tinggi. Pesan ini juga turut terusung kepada masyarakat Indonesia, yang lantas kian memandang Jakarta sebagai sebuah kota yang istimewa sekaligus menjanjikan.

Kesadaran akan perlunya kota penyangga telah muncul di era ini. Mengacu pada artikel akademik Rencana Sabuk Hijau Timur Kotabaru Kebayoran: Kebijakan Setengah Hati? Studi Tentang Transformasi Kawasan oleh Claudio dan Fahmi. Disebutkan bahwa pada tahun 1953, pemerintah telah merumuskan pembangunan kota baru Kebayoran untuk menjadi kota satelit.

Pada awalnya, adalah Depok yang diproyeksikkan memegang peran ini. Namun karena masalah keamanan dan jarak, akhirnya Desa Kebayoran-lah yang dipilih. Pembangunan, yang artinya perluasan batas spasial Jakarta, dimulai pada tahun 1949. Aspek teknis dan perencanaan pembangunan dipimpin oleh lembaga khusus yang dinamai Organisasi Pusat Rekonstruksi (Centrale Stichting Wederopbouw/CSW).

Era Orde Baru

Di era Orde Baru, Ibu Kota Jakarta mengalami modernisasi yang justu semakin pesat. Keterbukaan terhadap superioritas ekonomi dan pasar bebas menjadi pendorong terutama, apalagi dengan kendali terpusat di tangan rezim yang memampukan pembangunan dilakukan secara linear.

Karakter pembangunan dan pemerintahan tersebut terpancar langsung dan begitu kuat terutama dalam era kekusaan Gubernur Ali Sadikin (1966-1977). Selama periode ini, dilakukan pembangunan di banyak lini secara lebih holistik – melampaui pembangunan monumen dan gedung di era Orde Lama yang cenderung lebih parsial.

Mengusung konsep metropolitan, Ali Sadikin kian menetapkan Jakarta sebagai pusat pemerintahan, perdagangan, dan ekonomi. Kembali merujuk pada Hikmat Budiman, Jakarta di era ini menerapkan restrukturasi fisik yang meniru bentuk urban di Amerika Utara. Ratusan gedung pencakar langit, mall-mall megah, perumahan mewah, kompleks industri, dan lapangan-lapangan golf menjadi ciri baru Jakarta.

Pada era ini pulalah, di kisaran tahun 1970-an, muncul konsep Jabotabek (Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi). Dikebutnya berbagai proyek-proyek elite menuntut dukungan lebih dari wilayah sekitar Jakarta, termasuk sumber daya manusia dan aktivitas ekonomi.

Bukan tanpa kebetulan di periode yang sama urbanisasi menjadi semakin masif. Kompaspedia (11/5/2023, Urbanisasi: Definisi, Sejarah, dan Dampaknya) mencatat bahwa urbanisasi di kisaran tahun 1970 tercipta atas perubahan model ekonomi yang mengedepankan integrasi sistem ekonomi Indonesia pada model liberalisme. Perindustrian menjadi semakin masif, terutama di Jakarta.

Sebelumnya, Ali Sadikin juga menyadari pentingnya wilayah-wilayah pinggir untuk membantu menanggung beban demografi dan ekonomi di Jakarta. Salah satu visi besarnya adalah mengembangkan Jakarta ke tiga arah wilayah, yakni sisi selatan (Bogor), sisi barat (Tangerang), dan sisi timur (Bekasi).

Perencanaan ini ia rumuskan dalam Rencana Induk Jakarta pada 3 Mei 1967 di Sidang DPRD Gotong Royong. Dokumen perencaan ini lantas disahkan melalui Surat Keputusan No. 9/DPRD-GR/P/1967. Di dalam rencana tersebut, termuat 40 peta Jakarta masa itu dan masa depan untuk rentang 20 tahun, yang turut menunjukkan arah pengembangan Jakarta ke tiga wilayah.

Rencana tersebut turut diperkenalkan Ali Sadikin dalam pertemuan dengan gubernur se-Jawa dan Menteri Dalam Negeri di Balaikota pada 1967. Ali Sadikin sadar bahwa Rencana Induk Jakarta turut memerlukan dukungan dari banyak pihak, termasuk pemerintah pusat dan pemerintah daerah sekitar. Jabotabek bukanlah perihal Jakarta lagi.

Mendukung rencana ini, turut terbit pula laporan Jabotabek: A Planning Approach of Its Absorption Capacity for New Settlements Within the Jakarta Metropolitan Region pada 1973. Laporan disusun oleh tim planologi dari Belanda untuk Direktorat Cipta Karya. Isinya memproyeksikan pertumbuhan jumlah penduduk Jabotabek hingga 2000. Selain itu, terdapat pula pemetaan industri dan pembangunan infrastruktur pendukungnya.

Mengacu pada tulisan Rarif Pamenang Imawan dalam artikel Di Balik Kehendak Rakyat, kebijakan industrialisasi pada dekade 1980-an kian berimplikasi pada pengembangan kawasan industri di wilayah sekitar Jakarta. Kawasan industrialisasi di bangun di kawasan pinggiran – yang lantas diikuti dengan migrasi warga ke kawasan tersebut.

Persoalannya menurut Imawan, pengembangan kawasan industri tidak diikuti dengan pengembangan kawasan pemukiman yang memadai. Akibatnya, kawasan pinggiran hanya ditempati oleh masyarakat dengan tingkat ekonomi bawah (low-income group) dengan keahlian rendah yang banyak bekerja di sektor informal.

Seiring perkembangan waktu, kawasan pinggir seperti Tangerang, Bekasi, Bogor, dan belakangan Depok akhirnya membentuk kawasan-kawasan perkotaan baru. Daerah yang awalnya dihuni oleh penduduk dari kelas ekonomi bawah, perlahan menjadi daerah kelas menengah ke bawah dan kelas bawah.

Di akhir era Orde Baru, kota-kota Tangerang dan Bekasi sudah begitu ramai. Pembebasan lahan dan pembangunan perumahan ekslusif menjadi dinamika yang kian tampak di wilayah-wilayah tersebut. Hal ini didorong oleh kian terbatasnya ruang pemukiman di Jakarta dan ekspansi bisnis para pengembang besar yang mayoritas merupakan bagian dari oligarki ekonomi.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO 

Lanskap Kota Jakarta yang dipenuhi dengan gedung bertingkat, Rabu (28/2/2024). Pemindahan Ibu Kota Negara ke Nusantara membuat arah pembangunan Jakarta akan ditentukan dalam RUU Daerah Khusus Jakarta.

Era Reformasi

Jatuhnya rezim Orde Baru tidak berarti menghentikan invasi ekonomi dan spasial Jakarta terhadap kota-kota satelitnya. Bahkan, wilayah aglomerasi terus meluas dan mencakup area Depok. Pada tahun 1999, frasa “De-” ditambahkan secara formal, melahirkan konsep Jabodetabek.

Surat kabar Kompas pertama kali menggunakan istilah Jabodetabek baru pada tahun 2001. Dalam artikel berita Jabotabek Disiapkan Menjadi Kawasan Jabodetabek (18/7/2001), diberitakan bahwa Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah tengah menggodok Keputusan Presiden (Keppres) tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, dan Bekasi (Jabodetabek) untuk menjadikan kota ini sebagai kawasan Budidaya I, kota dengan kepadatan tinggi.

Tidak hanya cakupan wilayah aglomerasi yang bertambah, permasalahan urban pun turut meluas. Kemacetan, slum area, dan kepadatan penduduk turut menghinggapi   wilayah-wilayah yang seharusnya menjadi penyangga bagi ibu kota. Di saat bersamaan, Jakarta kian menjadi magnet dengan menjadi ruang mata pencaharian bagi jutaan umat manusia.

Untuk itu, pada periode awal pemerintahannya di tahun 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan program 1.000 menara tinggal untuk memenuhi kebutuhan bermukim para penduduk kota. Rencananya, sebanyak 500 menara akan dibangun di Jabodetabek.

Sebanyak 60 persen dari alokasi di Jabodetabek tersebut akan dibangun di Jakarta. Harapan dari program pembangunan ini adalah menurunkan mobilitas hilir mudik di Jabodetabek, khususnya Jakarta. Dengan demikian, diharapkan terjadi penurunan kemacetan secara signifikan.

Meski begitu, rencana yang sebetulnya ditargetkan bagi kelas bawah sebagai penghuni terbanyak daerah pinggir, ditutup dengan kegagalan dan justru dibangun untuk masyarakat kelas menengah ke atas.

Waktu berjalan dan pertumbuhan daerah sekitar terus meningkat. Kebutuhan akan daerah penyokong menjadi kian bertambah, apalagi dengan menyebarnya kemacetan dan kepadatan penduduk hingga wilayah-wilayah Tangerang, Bekasi, Depok, dan Bogor. Daerah penyokong telah turut menjadi magnet tersendiri.

Perluasan wilayah aglomerasi pun meningkat, mencakup daerah Puncak dan Cianjur. Akhirnya pada tahun 2008, pemerintah menetapkan konsep Jabodetabekpunjur untuk mengakomodasi kedua wilayah tambahan tersebut. Penetapan ini dapat ditemukan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur.

Fungsionalitas dan arah pembangunan Jabodetabekpunjur, yang tetap dikenal dengan istilah Jabodetabek, ini dapat ditemukan pada poin tujuan penataan ruang. Pada Pasal 2 ayat (1) dituliskan bahwa salah satu tujuan adalah mengembangkan perekonomian wilayah yang produktif, efektif, dan efisien berdasarkan karakteristik wilayah. Untuk itu diperlukan adanya sinkronisasi antar daerah.

Terkini, perluasan kawasan Jabodetabekpunjur kembali mendapat perhatian pemerintah pusat seiring dengan wacana RUU DKJ lewat rapat paripurna pada Maret 2024 lalu. Dalam draf RUU DKJ Pasal 51 Ayat (2) disebutkan, kawasan aglomerasi mencakup minimal wilayah Provinsi Daerah Khusus Jakarta, Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cianjur, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kota Bekasi.

RUU tersebut juga menjelaskan bahwa kawasan aglomerasi Jabodetabekpunjur memiliki keterkaitan fungsional dengan sistem jaringan terintegrasi. Setiap kawasan akan menjadi satu pusat pertumbuhan ekonomi nasional meskipun berada dalam wilayan administratif yang berbeda (Kompas.id, 2/4/2024, Menuju DKJ, Kawasan Aglomerasi Bodetabekjur Perlu Kepastian Hukum).

Relasi Wilayah di Jabodetabek

Meski disampaikan bahwa kawasan Jabodetabek atau Jabodetabekpunjur adalah satu, terutama dalam tujuan pertumbuhan ekonomi, namun relasi antar wilayah di dalamnya justru menunjukkan hal yang berbeda. Ketimpangan tampak jelas terjadi, baik itu dalam konteks pembangunan infrastruktur, pemukiman, dan kesejahteraan ekonomi.

Sejarah Jabodetabek sendiri memang telah menunjukkan bahwa magnet pertama dan terbesar adalah Kota Jakarta. Melalui pertumbuhan ekonomi Jakarta-lah, aglomerasi ruang Jabodetabek lantas lahir dan terus berkembang. Meski begitu, paradigma ekonomi klasik demikian melanggengkan relasi yang timpang antar wilayah.

Dengan paradigma kota lahir sebagai konsekuensi ekonomi, Jakarta disebutkan sebagai pusat bagi Jabodetabek. Sementara Bodetabek dan Punjur hanya memiliki peran sebagai daerah penyangga. Dikenal juga dengan konsep hinterland, keenam wilayah lain tersebut seolah hadir hanya sebagai suplai atas daerah pusat (Jakarta). Dengan status sebagai pendukung semata, maka kesejahteraan manusia dan pembangunan kota di masing-masing wilayah ini pun dikesampingkan karena mewakili kepentingan yang lebih kecil.

Permasalahan demikian bahkan terlanggengkan di tingkat parlemen. Pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga menyebutkan bahwa poin-poin dalam RUU DKJ hanya membahas persoalan Jakarta.

Padahal, sebagai bagian dari wilayah aglomerasi, RUU DKJ juga harus mencerminkan semangat kebersamaan dalam mengelola Jabodetabekpunjur, bukan hanya fokus pada Jakarta saja. Nirwono belum mendengar jika pemerintah daerah di Bodetabekpunjur telah turut dilibatkan dalam pembahasan rencana ini (Kompas.id, 19/3/2024, Bentuk Kota Aglomerasi, Ajak Bicara Pemda Se-Jabodetabekjur).

Kurangnya perhatian pada hal-hal semacam ini menghadirkan masalah ruang tinggal. Kekurangan rumah menjadi masalah klasik tiap tahunnya. Rinciannya, backlog kepemilikan rumah Jakarta mencapai 1.388.743 unit, Bodebek 1.086.363 unit, dan Tangerang (458.133 unit).

Meski begitu, angka backlog rumah di Jabodetabek justru mengalami pengurangan. Dari total angka backlog rumah pada 2020 sebanyak 3.011.806 unit, berubah menjadi 78.567 unit pada tahun 2021. Secara numerik, perubahan drastis ini seolah menunjukkan ketercapaian solusi masalah.

Padahal dalam realitanya, angka tersebut mewakili fenomena atas kian tersingkirnya masyarakat kelas menengah-bawah menjauh dari Jakarta. Kelompok rentan ini melihat ketercapaian membeli rumah menjadi kian rendah, sehingga memutuskan untuk membeli rumah di luar Jakarta, bahkan Jabodetabek (Kompas.id, 11/2/2023, Jabodetabek Masih Kekurangan 2,9 Juta Rumah).

Realita demikian menunjukkan fenomena segregasi sosial, antara masyarakat miskin kota dan kelompok menengah-atas yang mampu mengakses pemukiman di kota. Pemisahan hunian ini merupakan konsekuensi logis dari perbedaan kelas sosial ekonomi. Sekalipun masyarakat miskin kota dapat menetap di wilayah Jakarta, mereka hanya dapat menempati area perkampungan.

Ketimpangan serupa juga terjadi atas aspek-aspek lain, seperti misalnya infrastruktur transportasi, biaya harian, dan fasilitas kota lainnya. Jakarta sebagai “pusat” telah begitu lengkap dengan segala prioritasa pembangunan atasnya.

Oleh karenanya, kembali merujuk pada Nirwono, penting agar suara pemimpin daerah dan masyarakat wilayah lain dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Memasukkan kepentingan daerah penyangga turut penting untuk menghadirkan integrasi yang lebih holistik.

Besarnya kepentingan yang terkandung di dalam Jabodetabekpunjur bahwa membuat Nirwono memandang agar RUU DKJ diganti menjadi RUU Jakarta Raya yang akan dipimpin satu kepala daerah (Kompas.id, 19/3/2024, Bentuk Kota Aglomerasi, Ajak Bicara Pemda Se-Jabodetabekjur).

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Lanskap metropolitan Jakarta, menjelang malam, Rabu (11/12/2019). Praktik desentralisasi asimetrik sudah berlangsung di Provinsi DKI Jakarta. DKI Jakarta menerapkan model desentralisasi asimetrik karena latar belakang ibu kota negara, Jakarta juga potensial sebagai wilayah otonomi khusus dengan latar belakang ekonomi bersama-sama dengan Bali dan Kepulauan Riau.

UU Nomor 2 Tahun 2024

Pada 25 April 2024 menjadi UU Nomor 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta. Dengan Undang-Undang ini, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta diubah menjadi Provinsi Daerah Khusus Jakarta.

Provinsi Daerah Khusus Jakarta merupakan daerah otonom pada tingkat provinsi yang berkedudukan sebagai Pusat Perekonomian Nasional dan Kota Global.

Pusat Perekonomian Nasional adalah pusat aktivitas ekonomi dan bisnis nasional berskala global yang menjadi penopang pembangunan perekonomian nasional secara berkelanjutan.

Sedangkan Kota Global adalah kota yang menyelenggarakan kegiatan internasional di bidang perdagangan, investasi, bisnis, pariwisata, kebudayaan, pendidikan, kesehatan, dan menjadi lokasi kantor pusat perusahaan dan lembaga baik nasional, regional, maupun internasional, serta menjadi pusat produksi produk strategis internasional, sehingga menciptakan nilai ekonomi yang besar, baik bagi kota yang bersangkutan maupun bagi daerah sekitar.

Penyelenggara Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Jakarta terdiri atas Gubernur dan DPRD dibantu oleh perangkat daerah. Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Jakarta dipimpin oleh satu orang Gubernur dibantu oleh satu orang Wakil Gubernur yang dipilih secara langsung melalui pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Budiman, H. (2020). Sudah Senja di Jakarta: Ideologi, Kebijakan Publik, Politik, dan Ruang Ibu Kota. Dalam H. B. et al., Jakarta: Narasi Identitas Nasional,, Modernitas, dan Ibu Kota Baru (hal. 1-96). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
  • Imawan, R. P. (2020). Di Balik Kehendak Rakyat. Dalam H. Budiman et al., Sudah Senja di Jakarta: Ideologi, Kebijakan Publik, POlitik, dan Ruang Ibu Kota (hal. 311-362). Jakarta: Populi Center.
Jurnal
  • Montgomery, M. R. (1988). How Large Is Too Large? Implications of the City Size Literature for Population Policy and Research. Economic Development and Cultural Change, 691-720.
  • Mauleny, A. T. (2015). Aglomerasi, Perubahan Sosial Ekonomi, dan Kebijakan Pembangunan Jakarta. Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 6, No. 2, 147-162.
  • Claudio, G., & Fahmi, E. (2020). Rencana Sabuk Hijau Timur Kotabaru Kebayoran: Kebijakan Setengah Hati? Studi Tentang Transformasi Kawasan . Jurnal Muara Sains, Teknologi, Kedokteran, dan Ilmu Kesehatan Vol. 4, No. 2, 295-310.
Arsip Kompas

• Kompaspedia. (2023, Juni 22). Sejarah Pembangunan Jakarta Era Soekarno. Diambil kembali dari Kompaspedia.Kompas.id: https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/sejarah-pembangunan-jakarta-era-soekarno
• Kompaspedia. (2023, Mei 11). Urbanisasi: Definisi, Sejarah, dan Dampaknya . Diambil kembali dari Kompaspedia.Kompas.id: https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/urbanisasi-definisi-sejarah-dan-dampaknya
• Kompas. (2001, Juli 18). Jabotabek Disiapkan Menjadi Kawasan Jabodetabek. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 17.
• Kompas.id. (2024, April 2). Menuju DKJ, Kawasan Aglomerasi Bodetabekjur Perlu Kepastian Hukum. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/nusantara/2024/04/02/kawasan-aglomerasi-jakarta-perlu-kepastian-hukum
• Kompas.id. (2024, Maret 19). Bentuk Kota Aglomerasi, Ajak Bicara Pemda Se-Jabodetabekjur. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/metro/2024/03/19/ruu-dkj?open_from=Section_Artikel_Terkait
• Kompas.id. (2023, Februari 11). Jabodetabek Masih Kekurangan 2,9 Juta Rumah. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/metro/2023/02/10/jabodetabek-masih-kekurangan-29-juta-rumah

Aturan
  • Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur. Jakarta.
  • Undang-undang (UU) Nomor 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta

Artikel terkait