KOMPAS/PRIYOMBODO
Peragaan busana di zebra cross di jalan Tanjung Karang di kawasan Dukuh Atas, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Jumat (22/7/2022) sore. Kawasan yang populer di media sosial itu menjadi tempat berkumpul anak-anak muda yang datang dari berbagai daerah. Popularitas kawasan tersebut berawal dari peragaan busana anak-anak muda yang dinamai Sudirman, Citayam, Bojonggede, dan Depok atau SCBD.
Fakta Singkat
- Citayam Fashion Week menjadi bukti pentingnya kebutuhan ruang publik masyarakat.
- Diskusi atas ruang publik telah hadir sejak kisaran tahun 427 SM, dalam konteks dialog terbuka pada masyarakat Yunani kuno. Kehadiran ruang publik pada masa itu terwakili pada ruang agora.
- Kehadiran ruang publik di Indonesai diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2021 dan Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007.
- Pada 2018, Jawa Tengah menjadi provinsi dengan jumlah desa/kelurahan terbanyak yang memiliki ruang publik. Jumlahnya mencapai 3.636, atau setara dengan 18 persen total ruang publik di Indonesia.
- Di Jakarta hanya terdapat 214 desa/kelurahan yang memiliki ruang publik.
- Sejumlah masalah dalam ruang publik Indonesia adalah ketimpangan akses dan infrastruktur, manajemen perawatan yang buruk, dan politisasi ruang publik.
Citayam Fashion Week sempat menjadi topik urban utama dalam diskursus publik. Popularitasnya begitu mengemuka mulai Juni 2022, seperti diberitakan pada berbagai kanal berita dan menjadi trending topic.
Namun kini pamornya kian melesu, setidaknya sejak pertengahan Agustus lalu. Meski begitu, kehadiran Citayam Fashion Week telah membuka realita perebutan ruang kota di Indonesia.
Sulit untuk mengurai titik awal kehadiran Ciyatam Fashion Week. Kehadirannya tidak tercipta secara instan lewat konstruksi kebijakan maupun sosialisasi yang disengaja. Sebaliknya, Citayam Fashion Week merupakan ekspresi masyarakat di ruang kota yang dimulai dari fenomena tongkrong anak-anak muda. Kebanyakan dari mereka berasal dari daerah-daerah penyangga atau daerah satelit sekitar Jakarta, seperti Citayam di Depok, Bojonggede di Bogor, Tangerang, hingga Bekasi (Kompas.id, 9/7/2022, “‘Citayam Fashion Week’, Kembalinya Kota untuk Warga”).
Selain identitas daerah, para anak muda ini juga lekat dengan identitas usia remaja, sehingga biasa disebut sebagai Anak Baru Gede (ABG). Leksikon tersebut digunakan untuk mendefinisikan jenjang pertumbuhan yang tengah memasuki fase peralihan dari anak-anak ke dewasa. Dengan gabungan identitas spasial dan usia tersebut, kelompok muda ini pun dilekatkan dengan terminologi “ABG Citayam”.
Sebagai ruang berekspresi, para ABG Citayam memilih kawasan kota Dukuh Atas, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat sebagai ruang untuk mereka berekspresi. Di sekitar area Stasiun Sudirman, mereka bercengkerama di pedestrian, duduk-duduk di taman, dan berpakaian dengan atribut yang khas. Sementara itu, di sekeliling mereka berdiri megah gedung-gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, hingga kondominium.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Bio, Imeng, dan Gabi (kiri ke kanan) remaja dari Tanah Abang berpose saat difoto di kawasan Dukuh Atas, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Jumat (22/7/2022). Mereka mengakui kawasan Duku Atas itu merupakan tempat nongkrong yang kerap dikunjungi jauh sebelum viral dengan Citayam Fashion Week.
Mengacu pada tulisan Hikmat Budiman dalam buku Sudah Senja di Jakarta: Ideologi, Kebijakan Publik, Politik, dan Ruang Kota, kehadiran ruang kota demikian menjadi simbol modernitas sekaligus elitisme. Kawasan yang dilalui oleh Jalan Jendral Sudirman tersebut merupakan area yang dibangun untuk melayani kepentingan ekonomi. Di dalam situasi demikianlah, konflik perebutan ruang publik kerap terjadi.
Kehadiran ABG Citayam sendiri diidentikkan sebagai representasi kelompok kelas menengah ke bawah dari pinggiran Ibukota. Mereka pun dianggap sebagai antagonis dari elitisme kawasan Sudirman tersebut. Dengan pandangan demikian, seiring kian ramainya kehadiran ABG Citayam di Dukuh Atas, kian ramai pula cibiran dan cemoohan terhadap mereka. Sinisme datang dari para pesohor bahkan politisi, yang justru menjadi duta ekslusivisme ruang kota.
Pengamat komunikasi dan gaya hidup Idi Subandy menyampaikan, keramaian Dukuh Atas terjadi karena kerinduan besar anak muda akan ruang berekspresi pasca-pandemi dan kebutuhan ruang publik yang layak untuk hiburan dan rekreasi.
Pada titik ini, Citayam dan daerah terkait lainnya menjadi representasi ruang yang terpinggirkan secara spasial maupun psikologis. Berbanding terbalik dengan kawasan Dukuh Atas yang menjadi pusat ekonomi.
“Kehadiran mereka di sana, termasuk masyarakat kelompok ekonomi bawah, menunjukkan siapa pun bisa merebut ruang itu dan kesenjangan seolah hilang,” kata Idi. Ia juga menekankan bahwa fenomena demikian, yang muncul secara organik dan tanpa penggerak, bisa bertahan lebih lama, bahkan ditiru daerah lain. “Biasa yang tumbuh dari bawah akan sulit hilang, kecuali interaksi yang terjadi membuatnya menjadi ruang interaksi yang negatif,” ujar Idi (Kompas, 24/7/2022, “Kami Cuma Butuh Ruang…”).
Mirisnya, apa yang diperingatkan oleh Idi sungguh terjadi. Kawasan Dukuh Atas akhirnya justru menjadi ruang interaksi yang negatif. Mereka yang tadinya mencemooh ABG Citayam, malah menjadi kelompok yang ikut turun dan berlenggak-lenggok mencuri popularitas.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Sejumlah remaja berjalan di Taman Stasiun MRT Dukuh Atas, Jakarta, Jumat (8/7/2022). Para remaja usia belasan tahun ini berusaha tampil keren dengan mengenakan busana yang mereka anggap menarik. Mereka seolah beradu gaya dengan remaja lain yang memadati taman khususnya sore menjelang senja. Sebagian besar para remaja ini berasal dari sejumlah daerah sekitaran Jakarta seperti Citayam, Bogor, dan Depok. Keberadaan mereka dengan busananya ini memunculkan istilah Citayam Fashion Week.
Memasuki bulan Juni 2022, seiring dengan libur sekolah dan kemudahan akses pasca-pandemi, pamor kawasan ABG Citayam kian meningkat. Dimulai dari tren di media sosial Tiktok, berbagai kamera dan berita pun membidik fenomena tersebut.
Menyadari potensi popularitas yang kian besar, para politisi dan pesohor pun berdatangan. Ikut berdandan dan berbusana, mereka datang lengkap dengan fotografer profesional dan tim media sosial, menyingkirkan para ABG Citayam yang hanya bermodalkan telepon pintar.
Populisme Citayam Fashion Week pun diwarnai dengan kapitalisasi, termasuk ketika artis Indonesia Baim Wong mengklaim hak kekayaan intelektual atas nama Citayam Fashion Week. Ruang Dukuh Atas pun, kembali direbut oleh kelompok kelas atas.
Seiring dengan berbagai polemik dan interaksi negatif yang muncul, nama Citayam Fashion Week pun memudar. Kini, para ABG Citayam kian kehilangan “kuasanya” atas kawasan tersebut, terutama setelah pemerintah lokal turun tangan dan melakukan penertiban. Ruang publik kota tempat mereka bisa menemukan diri tersebut, harus kembali pada kuasa elitisme urban.
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Asep Suryana, menduga bahwa meredupnya Citayam Fashion Week disebabkan terutama sekali oleh kehadiran pihak yang menunggangi ketenaran anak-anak ABG Citayam. “Apresiasi kepada anak-anak ini yang kreatif. Lalu muncul kelompok yang memanfaatkan ketenaran anak-anak itu agar kelompok mereka juga diakui publik,” kata Asep. Padahal seharusnya, ruang publik demikian bebas dari kepentingan sekelompok tertentu (Kompas, 27/8/2022, “Menjaga Asa Kaum Muda di Dukuh Atas”).
Citayam Fashion Week menjadi contoh eksplisit dari perebutan ruang publik di tanah air. ABG Citayam pun menjadi sosok sub-ordinat yang harus berhadapan dengan para penguasa, baik kelas atas maupun pemerintah, dalam perebutan ruang tersebut. Dalam waktu singkat, Dukuh Atas pernah menghidupi dirinya sebagai ruang publik dengan sifat kepublikkan (bagi kepentingan bersama). Namun kini, ia kembali kehilangan makna inklusifnya dalam dinamika kekuasaan urban.
KOMPAS/ADI SUCIPTO
Suasana alun-alun merdeka di Kota Pangkal Pinang, Bangka Belitung, Selasa (28/4/2015) pagi. Alun-alun merupakan salah satu area publik yang bisa dinikmati warga untuk menikmati udara segar.
Definisi Ruang Publik
Dalam kebahasaan Indonesia, frasa ruang publik merupakan kesatuan dari dua term, yakni “ruang” dan “publik”. Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), term pertama merujuk pada tempat, “rongga yang berbatas atau terlingkung oleh bidang” atau “tempat segala yang ada”. Sementara publik didefinisikan sebagai “orang banyak (umum)” atau “semua orang yang datang (menonton, mengunjungi, dan sebagainya)”.
Kedua kata tersebut lantas berdiri bersama dan membentuk frasa ruang publik. Mengacu pada masing-masing definisi tersebut, frasa “ruang publik” secara harafiah dimaknai sebagai tempat yang ditujukkan bagi umum atau orang banyak.
Dengan revolusi digital, pemaknaan atas ruang menjadi kian luas dan turut mencakup dunia maya. Begitu pula ruang publik maya, yang kehadirannya dapat ditemukan pada media-media sosial. Meski begitu, tulisan ini berfokus pada kehadiran ruang publik fisik, sebagai perwujudan yang telah hadir selaras dengan usia peradaban manusia itu sendiri.
Bila ditarik ke belakang, kehadiran ruang publik dan diskusinya telah hadir sejak era Yunani kuno. Pada tahun 427 SM, sosok filsuf Plato lahir dan mengembangkan ajaran pendahulunya, Sokrates. Mengacu pada buku Platon: Lakhes (Tentang Keberanian) oleh Setyo Wibowo, Plato percaya bahwa dialog merupakan sarana utama manusia untuk saling merefleksikkan kehidupan.
Dengan pikiran demikian, pengajaran filsafat Plato mementingkan perjumpaan konkret dengan sesama. Perjumpaan tersebut dilakukan di ruang publik, yang pada masyarakat Yunani saat itu disebut sebagai “agora”. Bentuk dan konsep agora merupakan representasi dari ruang publik masa kini, secara khusus perwujudan pasar rakyat. Kehadirannya terletak sentral di negara-kota (polis) Yunani kuno, yang dihadirkan untuk mengakomodasi interaksi sosial dan kebutuhan politik. Arti harfiah dari agora sendiri adalah “tempat berkumpul” atau “pertemuan”.
Kehadiran ruang publik pada wujud kota kuno atau polis tersebut menunjukkan pentingnya wadah perjumpaan masyarakat yang terbuka dan egaliter. Tak hanya itu, diskusi Plato menunjukkan pentingnnya elemen ruang publik di ruang kota, selain gedung dan bangunan. Keberadaan ruang publik memegang peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan warga dan lingkungannya, termasuk memberikan kebebasan dan keterbukaan ekspresi.
Diskusi atas ruang publik memperoleh perhatian khusus dari sosiolog Jerman, Jurgen Habermas. Dalam buku The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society, Habermas menggunakan istilah Öffentlichkeit dalam Bahasa Jerman, atau public sphere dalam Bahasa Inggris, untuk merujuk pada ruang publik. Ia memandang bahwa kebebasan dalam ruang publik memiliki kekuatan dalam membangun dialog dan kesetaraan.
Dicontohkan secara konkret oleh Habermas, kehadiran warung kopi di Inggris atau salon di Perancis sebagai ruang publik memberikan pengaruh pada situasi di negara masing-masing. Lewat ruang-ruang tersebut, dimampukan timbulnya kesetaraan (egaliter) antara kaum borjuis dan kaum proletar.
Dari kemampuan ruang publik demikian, Habermas mendefinisikan tiga syarat ruang publik yang ideal, yakni adanya status yang merata, topik yang bersifat umum, dan inklusif. Artinya, dalam sebuah ruang publik, simbol dan dialog yang berlangsung haruslah tidak menonjolkan satu golongan semata. Dominasi hanya akan membuat komunikasi yang terjadi di dalamnya berlangsung tidak setara, dan membuat sifat “publik” dari ruang tersebut berkurang atau bahkan menghilang. Bagi Habermas, sebuah ruang publik yang sehat hanya akan tercipta apabila memiliki ketiga syarat tersebut.
Lebih lanjut, optimisme Habermas akan potensi ruang publik dilanjutkan dengan mengonseptualisasikan demokrasi deliberatif. Model demokrasi tersebut merupakan gagasan terhadap penciptaan kebijakan yang lahir tidak semata dari lembaga formal negara, melainkan juga masyarakat keseluruhan. Dengan begitu, masyarakat terlibat dalam prosedur deliberasi (musyawarah) pembuatan kebijakan.
Habermas menekankan bahwa model demokrasi deliberatif dapat tercipta melalui ruang publik yang sehat. Dalam taraf demikian, ruang publik akan berfungsi sebagai wahana demokrasi untuk menghimpun solidaritas masyarakat mengimbangi mesin ekonomi maupun politik. Pada konteks ini, demokrasi bagi Habermas tak semata prosedur pembuatan kebijakan atau persoalan pemilu belaka. Lebih daripada itu, demokrasi menyangkut bagaimana pembuatan prosedur kebijakan dibuat dan sejauh apa peran warga bagi negaranya.
Secara teoritis, Syarif Maulana lewat artikel akademik “Ruang Publik dan Intelektual Organik”, mendefinisikan ruang publik sebagai ruang yang terbuka terhadap berbagai kemungkinan orang untuk masuk ke dalamnya (open and accessible). Dalam ruang publik, terdapat kesetaraan dan kebebasan, sehingga tidak ada otoritas tertentu yang bisa membatasi hak seseorang. Namun, hak tersebut juga dibatasi dari tindakan mengganggu orang lain atau merusak properti publik.
Oleh karena sifatnya demikian, Maulana menekankan bahwa ruang publik seharusnya jauh dari kesan elitis dan ekslusif. Kehadirannya harus bisa dimasuki oleh berbagai orang dari berbabagi kaum dan golongan, bukan sebaliknya.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Warga berjalan di area taman terbuka hijau Taman Puring, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (16/1/2020). Meski belum diresmikan pasca revitalisasi, banyak warga yang sudah berkegiatan dan menikmati waktu di Taman Puring. Sejumlah fasilitas yang tersedia antara lain wahana bermain anak, jalur pejalan kaki dan jalur skateboard. Keberadaan taman kota selain menjadi ruang interaksi sosial bagi warga juga berfungsi sebagai paru-paru kota.
Artikel Terkait
Ruang Publik di Indonesia
Ruang publik, dalam penelitian yang dilakukan Kurniawan di Indonesia, merupakan wadah spasial yang difungsikan untuk menampung aktivitas dari warganya. Penampungan tersebut harus dilakukan bagi individu maupun kelompok dan diberikan secara gratis tanpa mengambil keuntungan. Dalam penelitian tersebut, ruang publik dibagi menjadi 11 jenis, di antaranya taman, lapangan, pasar, mal, jalan, tempat bermain, ruang komunitas, hingga waterfront seperti bantaran sungai, danau, dan pantai (Kompas, 28/1/2018, “Gratis ke Pantai Ancol”).
Dalam pemahamannya pada konteks kebijakan di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) memasukkan pemahaman atas ruang publik demikian dalam konsep “ruang publik terbuka”. Definisi dari ruang publik terbuka adalah “ruang/lahan umum yang peruntukkan utamanya sebagai tempat warga/masyarakat untuk bersantai/bermain tanpa perlu membayar”. Sebagai contoh, termasuk ruang publik terbuka adalah alun-alun, taman, dan tempat bermain.
Dalam konteks kebijakan, kehadiran ruang publik diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Kehadirannya sendiri mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Kehadiran produk hukum tersebut menunjukkan kesadaran pemerintah Indonesia akan pentingnya ruang publik dan kebutuhan masyarakat terhadapnya.
Pada produk hukum yang disebutkan terakhir, ketersediaan ruang publik dijadikan suatu keharusan yang kehadirannya diatur oleh pemerintah tingkat kabupaten/kota. Pada Pasal 28, ditetapkan bahwa pemerintah kabupaten/kota harus membuat rincian terhadap penyediaan ruang terbuka hijau dan nonhijau. Sementara pada Pasal 29 Ayat (3), ditetapkan indikator objektif bahwa ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota harus dibandung setidaknya sebesar 20 persen dari total luas wilayah kota.
Pasal 28 juga menegaskan bahwa rincian-rincian pembangunan ruang demikian harus dimasukkan dalam perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/kota terkait. Kehadiran PP Nomor 21 Tahun 2021 menegaskan kembali ketentuan-ketentuan atas indikaotr ruang publik tersebut. Pasal 21 dan 22 juga menetapkan secara lebih detail rincian isi dari Rencana Tata Ruang Wilayah Kota, termasuk terkait rencana pendirian, pemanfaatan, dan pendistribusian ruang terbuka hijau publik.
Secara formil, kehadiran produk-produk hukum tersebut telah membuka pintu bagi pembangunan ruang publik dan ketersediaannya bagi dinamika masyarakat yang sehat. Namun, dalam pelaksanaannya, kehadiran ruang publik, terutama di kawasan kota, masih menjadi momok yang membutuhkan perhatian.
Ketersediaan kuantitatif ruang publik tampak melalui data BPS pada tahun 2018. Secara periodik, BPS mendata jumlah daerah setingkat desa/kelurahan yang memiliki ruang publik terbuka. Data tersebut lantas digolongkan ke dalam tingkat provinsi, sehingga menunjukkan jumlah desa/kelurahan yang memiliki ruang publik di tiap provinsi.
Sumber: BPS, 2018
Infografis: Jumlah ruang publik di berbagai provinsi
Dari data tersebut, dapat diperoleh sejumlah temuan menarik. Yang pertama, penyediaan ruang publik ternyata masih berpusat di Pulau Jawa. Hanya tiga provinsi yang memiliki lebih dari 2000 desa/kelurahan dengan ruang publik. Ketiganya adalah provinsi dari Pulau Jawa, sekaligus menjadi pemuncak tertinggi dari seluruh provinsi di Indonesia.
Temuan kedua yang menarik, data tersebut menunjukkan pada Jawa Tengah menjadi provinsi dengan desa/kelurahan terbanyak yang memiliki ruang publik. Sebanyak 3.636 desa/kelurahan di Jawa Tengah memiliki ruang terbuka publik. Jumlah ini bahkan setara dengan 18 persen desa/kelurahan di seluruh Indonesia yang memiliki ruang terbuka publik.
Meski begitu, ketika dibaca secara lebih mikro, Jawa Tengah sendiri memiliki total jumlah desa/kelurahan mencapai 8.559 daerah. Meski demikian, angka tersebut tak sampai setengah dari total desa/kelurahan di Jawa Tengah memiliki ruang terbuka publik (42 persen). Secara formal penyediaan ruang publik terbuka adalah tanggung jawab pemerintah di tingkat kabupaten/kota.
Sementara temuan penting ketiga adalah Jakarta, sebagai megapolitan sekaligus ibu kota Indonesia, tidak masuk dalam 10 besar provinsi yang paling banyak memiliki desa/kelurahan dengan ruang publik terbuka. Sebaliknya, Provinsi DKI Jakarta berada di urutan enam terbawah, dengan hanya 214 desa/kelurahan yang memiliki ruang terbuka publik. Hal tersebut menunjukkan kritisnya ketersediaan ruang publik di Jakarta, dan secara tidak langsung menunjukkan masalah eksklusivitas kota urban.
Perebutan Ruang Publik
Jurgen Habermas dalam buku Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas yang ditulis oleh Budi Hardiman, di dalam ruang publik terkandung berbagai ragam kepentingan. Hal demikian berangkat dari latar belakangnya sebagai wadah yang hadir di lingkup spasial terbuka, dengan pembangunan yang melibatkan berbagai pihak, dan hadir untuk mengakomodasi kepentingan luas.
Di ruang kota, variasi kepentingan tersebut hadir dengan kuantitas yang berkali-kali lipat. Akibatnya, konflik perebutan ruang publik di kota pun menjadi lebih radikal. Berbagai kelompok berusaha untuk mengakomodir kepentingannya masing-masing. Apalagi dengan ketersediaan ruang publik yang terbatas dan kualitasnya yang juga kerap timpang dibandingkan satu sama lain.
Harian Kompas (21/9/2022, “Kapitalisme dan Perjuangan Kelompok Terpinggirkan”) menulis konflik yang terjadi dalam ruang publik mampu terjadi sebagai akibat pertentangan kepentingan pada dimensi kelas dan budaya. Perebutan ruang oleh para ABG Citayam menunjukkan usaha mereka untuk melakukan mobilitas sosial vertikal, dalam rupa “naik-kelas”. Kehadiran ruang publik memapukan mereka menjadi bagian dari lingkup ekonomi yang mapan di kota. Untuk itu, mereka hadir di ruang tersebut dengan membawa serta budaya busananya sendiri.
Dalam diskusi atas ruang publik, Hikmat Budiman dalam buku Sudah Senja di Jakarta: Ideologi, Kebijakan Publik, Politik, dan Ruang Kota juga menjelaskan bahwa di dalam ruang terkandung simbol-simbol. Ruang menjadi representasi sekaligus dinamika politik, sehingga menimbulkan dinamika politik ruang.
Hal ini bisa terjadi karena dalam ruang terdapat pihak-pihak berkepentingan dengan kekuasaan yang bervariasi. Kehadiran simbol politik tersebut terkandung lewat penggunaan bahasa, patung, arsitektur, hingga kebijakan di dalamnya. Simbol yang mendominasi sebuah ruang publik menunjukkan sosok kekuasaan di dalamnya.
Dengan kehadiran kepentingan dan simbol politik demikian, ruang publik pun kerap menjadi arena perebutan kekuasaan. Masyarakat haus untuk memenuhi kebutuhan akan akses dan kepemilikan ruang. Kehadiran fenomena Citayam Fashion Week menjadi wujud usaha perebutan ruang untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Disampaikan oleh sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, fenomena Citayam Fashion Week adalah contoh nyata perlawanan ruang terhadap kebudayaan kota yang mapan. Ruang publik kota yang selama ini didominasi oleh kelompok dengan kultur dan ekonomi menengah ke atas, dihadapkan oleh subkultur baru (Kompas, 28/7/2022, “Lebih Baik Menduplikasi ‘Haradukuh'”).
KOMPAS/RIZA FATHONI
Situ Lembang yang menyediakan kolam dan taman menjadi alternatif tempat rekreasi bagi warga, Jakarta, Jumat (10/8/2018). Keberadaan taman di tengah kota ini dapat menjadi ruang terbuka hijau dan oase di tengah sesaknya kawasan tengah kita ibukota yang dapat dimanfaatkan sebagai ruang publik warga.
Masalah-Masalah dalam Ruang Publik Indonesia
Telah tampak pada narasi di atas sejumlah masalah pada dimensi ruang publik. Konflik perebutan terjadi karena adanya ketimpangan kelas yang menguasai suatu ruang dan terbatasnya kuantitas ketersediaan ruang publik itu sendiri. Meski begitu, di kota-kota besar secara khusus, masih dapat ditemukan sejumlah permasalahan lain. Masalah-masalah ini menjadi pendorong bagi konflik perebutan ruang publik yang kian luas dan akses terhadapnya yang kian timpang.
Masalah pertama yang dapat ditemukan adalah ketimpangan akses maupun infrastruktur ruang publik. Narasi demikian tampak secara konkret pada kasus perebutan ruang di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Sebelum dilakukan penertiban pada kisaran tahun 2019, para pedagang kaki lima (PKL) memandang trotoar, halte, dan stasiun sebagai ruang tanpa pemilik. Ketika banyak orang lalu lalang, PKL menemukan nilai aksesibilitas yang sangat tinggi dari ruang tersebut. Perlahan-lahan ruang publik tersebut pun direbut oleh tenda para PKL.
Pada situasi yang sama, perebutan ruang publik Tanah Abang oleh para PKL juga menunjukkan kurangnya penyediaan ruang yang cukup. Tidak ada infrastruktur yang memadai untuk mengakomodasi model karakteristik ekonomi masyarakat seperti yang terjadi di trotoar Tanah Abang, yakni impulse buying.
Para PKL membutuhkan orang-orang yang lalu lalang antar-moda transportasi di stasiun dan halte Tanah Abang sebagai fondasi bisnis mereka. Pada ruang-ruang publik tersebut, tidak ada infrastukrur yang memadai untuk mengakomodasi interaksi demikian. Sebagai akibatnya, para PKL pun membangun tenda/bangunan semipermanen.
Sebagai solusi, pemerintah daerah memindahkan para PKL ke Pasar Blok G. Berbagai infrastruktur dipenuhi, yakni akses tangga, eskalator, hingga promosi iklan. Namun lagi-lagi, para PKL kembali ke tempat lama mereka. Ternyata yang menjadi masalah, aksesibilitas Pasar Blok G kurang memadai dibandingkan ruang publik yang pernah mereka okupasi. Kedua ruang tersebut sama-sama ditujukan bagi publik. Namun, ruang yang satu lebih sulit dijangkau oleh orang-orang dibandingkan ruang publik yang lainnya (Kompas, 4/1/2018, “Perebutan (R)uang di Tanah Abang”).
Narasi masalah yang sama juga dapat ditemukan pada fenomena Citayam Fashion Week. Para ABG Citayam menemukan bahwa infrastruktur ruang publik di daerah asal merekadi pinggiran Jakarta) tidak sebaik ruang publik di Dukuh Atas. Ridho (18), salah satu ABG Citayam menyampaikan kawasan Dukuh Atas adalah ruang menyenangkan dan aman yang tidak ada di tempat asalnya. “Saya main jauh ke sini juga karena merasa aman. Bekasi enggak ada kayak beginian. Selain mengamen, saya lari ke sini ketemu teman-teman,” ujar pemuda asal Bekasi, Jawa Barat ini.
Tak hanya infrasturktur, aksesibilitas yang baik juga memampukan Dukuh Atas menjadi ruang publik yang inklusif. Kehadiran stasiun Moda Raya Terpadu atau Mass Rapid Transit (MRT) dan Kereta Rel Listrik (KRL) memungkinkan akses ke kawasan ini begitu terbuka. “Dari awal sampai ramai kemarin (dan sekarang), kami menggunakan kereta dan angkutan umum. Yang meramaikan (bukan yang dari awal main di Dukuh Atas) membawa kendaraan pribadi. Seharusnya gunakan kereta biar enggak ada parkir liar,” kata Candra, ABG Citayam asal Ciledug, Kota Tangerang (Kompas, 27/8/2022, “Menjaga Asa Kaum Muda di Dukuh Atas”).
Masalah lain dari ruang publik di kota-kota Indonesia adalah manajemen perawatannya yang kurang, sehingga menimbulkan fasilitas yang tidak terawat dan memungkinkan vandalisme. Penyediaan ruang publik secara fisik tidak diiringi dengan manajemen kontrol dan perawatan kualitas yang memadai. Sementara mengacu pada KBBI, vandalisme adalah perbuatan perusakan dan penghancuran secara kasar dan ganas.
Masalah kota demikian selaras dengan pantauan Kompas terhadap ruang publik di Kota Tangerang dan Bekasi pada Agustus lalu. Di kota pertama, pantauan dilakukan terhadap Benteng Jaya atau Cisadane Walk seluas 12.480 meter persegi di tepi Sungai Cisadane yang membelah ”Kota Benteng” Tangerang. Kondisi ruang publik tersebut begitu memprihatinkan, kotor dan tidak terawat. Tangganya tampak mulai keropos bahkan berbau pesing. Kehadiran taman di sekelilingnya juga tidak terurus. Hal demikian membuat warga sekitar risih untuk beraktivitas di ruang publik tersebut.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Anggota Kelompok seni Keraton Yogyakarta Kawedanan Hageng Punokawan (KHP) Kridomardowo melakukan tari flashmob Beksan Golek Menak bersama pengunjung kawasan Titik Nol, Yogyakarta, saat hari bebas kendaraan bermotor Selasa Wagen, Selasa (14/1/2020). Ajang Selasa Wagen yang digelar setiap sebulan sekali menjadi sarana bagi warga dan wisatawan untuk memanfaatkan kawasan Malioboro dan Titik Nol sebagai ruang publik yang nyaman.
Di Kota Bekasi, pemerintah daerah menyediakan ruang publik bagi anak muda lewat kehadiran skatepark. Terdapat dua skatepark yang dipantau, yakni Skatepark Jatiasih dan Skatepark Cipendawa. Lokasi ruang publik yang pertama disebut berada di kolong Tol Jatiasih, Kecamatan Jatiasih. Taman bermain tersebut baru dibangun pada tahun 2019, namun kini telah berada dalam kondisi yang semrawut, kotor, dan mengenaskan.
Sementara Skatepark Cipendawa terletak di kolong Jalan Layang Cipendawa di Rawalumbu. Di ruang ini, ditemukan begitu banyak vandalisme coretan tembok. Lebih parah lagi, skatepark ini baru saja dibangun pada tahun 2021 lalu. Di kedua ruang publik tersebut, tidak banyak orang yang tampak beraktivitas. Mereka malas dengan kondisi skatepark yang menyingkirkan rasa nyaman dan aman. Dalam kondisi mengenaskan, akhirnya ruang-ruang publik yang telah disediakan tersebut sepi ditinggalkan (Kompas, 5/8/2022, “Warga Kota Rindu Ruang Publik Tertata”).
Vandalisme juga menyasar ruang-ruang publik untuk mendukung transportasi masyarakat, termasuk kereta api. Data PT Kereta Api Indonesia (KAI) mencatat bahwa pada tahun 2018 saja, terdapat 369 kasus vandalisme. Bentuk vandalisme yang dimaksud, antara lain, pelemparan dan pengrusakan fasilitas kereta sebagai bagian dari ruang bersama.
Selain kondisi-kondisi demikian, ruang publik juga rentan dipolitasi dan menjadi arena perebutan ruang elektoral. Hal ini tak lepas dari kemampuan ruang publik dalam memiliki sekaligus menunjukkan simbol-simbol. Dengan politisasi, kualitas pembangunan dan penyediaan ruang publik pun digadaikan. Semua dilakukan semata demi popularitas dan memenuhi ambisi estetika. Padahal dalam tata kota, perlu juga diperhatikan aspek-aspek historis, moral, dan keberfungsian.
Kurator dan pengamat seni rupa publik Amir Sidharta memberikan perhatian secara khusus pada hal ini, dalam tulisannya pada buku Politik Kota dan Hak Warga Kota: Masalah Keseharian Kota Kita. Ruang publik sebagai kontestasi arena politik diterapkan oleh dua pemimpin Indonesia pertama, yakni Soekarno dan Soeharto.
Sebagai pemimpin sebuah negara yang sangat baru, Soekarno ingin menunjukkan kedigdayaan Indonesia kepada dunia. Ia lantas menjadikan Jakarta sebagai representasi kemajuan tersebut. Maka dari itu, dibangunlah berbagai ruang-ruang kota yang menunjukkan kebesaran, seperti Monumen Nasional (Monas), dan Stadion Gelora Bung Karno. Soekarno juga giat melakukan pantungisasi ruang publik. Pada zamannya, berdirilah Patung Pahlawan di Jakarta Pusat dan Patung Dirgantara di Jakarta Selatan. Pembangunan demikian menjadi simbol kekuataan negara Indonesia, sekaligus pendorong semangat bangsa.
Namun, sebagai konsekuensinya, pembangunan ala Soekarno kerap tidak memperhatikan faktor fungsionalitas, tujuan jangka panjang, bahkan pembiayaan. Pendirian Monas sebagai contohnya, terpaku pada pembangunan berdasarkan kaidah numerologika. Pembangunannya menyimbolkan tanggal kelahiran negara Indonesia, berdiri di atas denah bujur sangkar dengan tiap sisi sepanjang 45 meter dan tinggi 17 meter, dan obelisnya yang juga berbentuk bujur sangkar membentang delapan meter di tiap sisi. Hal-hal seperti demikain menyebabkan era Orde Lama harus ditutup dengan utang luar negeri yang begitu besar.
Di sisi lain, pembangunan ruang publik di zaman Soeharto dijadikan sarana politik melemahkan nama Soekarno dalam ingatan masyarakat. Dalam kampanye kedekatan Soekarno dengan komunisme, dibangunlah ruang-ruang peringatan seperti Monumen Pancasila Sakti yang merekonfirmasi peristiwa G30S pada tahun 1965.
Hikmat Budiman menyoroti pula bahwa pada era rezim Orde Baru ini, Indonesia kian dekat dengan pasar bebas dan model ekonomi kapitalisme. Pada titik tersebut, ruang-ruang kota pun kian dibuka untuk menjadi simbol pelayanan kepentingan bagi modernitas dan ekonomi. Kehadiran Taman Mini Indonesia (TMII) menjadi wujud nyata modernitas tersebut, yang diilhami oleh kunjungan Soeharto ke Disneyland di Amerika Serikat, sebagai negara kapitalisme terbesar pada masa itu.
Sebagai konsekuensi pembangunan demikian, kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi mewarnai pembangunan era Orde Baru. Ketimpangan dan kemiskinan yang melesat akhirnya mendorong rezim Soeharto jatuh lewat dorongan masif publik.
Mengacu pada tulisan Hikmat Budiman dan Hartanto Rosojati, kecenderungan politik ruang demikian kembali jamak terjadi di Ibukota Jakarta selama periode 2017 hingga 2022. Selama itu, ruang publik menjadi sarana populisme untuk merawat dukungan politik penguasanya.
Hartanto Rosojati, dalam buku Sudah Senja di Jakarta: Ideologi, Kebijakan Publik, Politik, dan Ruang Kota, menuliskan bahwa selama waktu tersebut ruang elite seperti Pantai Maju, yang dihadirkan lewat reklamasi pantai utara Jakarta, sangat mudah didirikan. Berbagai gerai makanan dengan target pasar kelompok menengah ke atas dihadirkan. Padahal, reklamasi seharusnya menghadirkan ruang tambahan bagi kebutuhan kawasan publik dan hunian masyarakat. Di sisi lain, kampung-kampung kumuh tetap lestari.
Dalam periode ini, pembangunan fasilitas dan ruang publik memang gencar. Dari infrastruktur kecil hingga besar, berbagai jembatan penyeberangan, halte busway, taman publik, hingga stadion dibangun dengan nilai estetika tinggi. Anggaran ke Pemerintah Pusat yang diajukan ke pemerintah pusat pun sangat besar, mencapai Rp571 triliun untuk sektor pembangunan semata.
Namun, sebagaimana ditulis Rosojati, pembangunan ruang publik tersebut nyatanya menjadi pemuas mata semata. Akibatnya, ketimpangan dalam ruang publik itu sendiri masih terjadi, karena orientasi penyediaannya hanya berfokus pada dimensi fisik dan estetika semata. Selain itu, pembangunan ruang publik menjadi sarana politik yang menutupi masalah-masalah lebih besar lain di Jakarta, termasuk kemiskinan dan kemacetan.
KOMPAS/LASTI KURNIA
Instalasi seni dengan tema-tema ramah lingkungan membuat cantik suasana Taman Langsat yang lahir kembali dalam acara Revealing Hidden Park, Barito, Jakarta, Sabtu (3/11/2012). Untuk memperingati Hari Tata Ruang, kegiatan ini berupaya menghidupkan kembali fungsi publik dari taman kota.
Mencapai Ruang Publik Berkeadilan
Dengan berbagai manfaat dan fungsi yang telah disampaikan sebelumnya, kehadiran ruang publik yang sehat menjadi tanggung jawab besar pemerintahan suatu daerah. Ruang publik yang berkeadilan merupakan sebuah kebutuhan. Berkaca pada Citayam Fashion Week, pengamat isu perkotaan Nirwono Yoga menyimpulkan bahwa fenomena Dukuh Atas bisa menjadi contoh nyata ruang publik yang berkeadilan.
Di dalamnya, siapa pun dapat berkumpul di tempat terbuka tanpa khawatir hal buruk, seperti kekerasan jalanan, tawuran, dan narkoba. Dengan manfaat demikian, pemerintah seharusnya sadar dan terlibat aktif dalam menjaga ruang publik. “Itu kenapa ruang publik begitu penting. Rasa aman di ruang publik pun harus dijaga oleh pemerintah,” ujar Nirwono (Kompas, 27/8/2022, “Menjaga Asa Kaum Muda di Dukuh Atas”).
Namun, sebelum sampai pada titik lebih jauh tersebut, perlu dilakukan perbaikan cara pandang atas ruang publik itu sendiri terlebih dahulu. Hal demikian disampaikan oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid. Hilmar mengingatkan bahwa sebelum lebih jauh membahas pengembangan ruang publik, kesadaran pembangunan atas ruang publik itu sendiri harus diperbaiki.
Ia menyadarkan bahwa selama ini, pembangunan ruang publik di Indonesia selalu berorientasi pada “ruang” semata, tetapi justru melupakan “publik” itu sendiri. “Ketika berbicara ruang publik, berarti ruang yang membuat publik merasa diterima, nyaman, dan jadi bagian di dalamnya,” ucap Hilmar. Dengan paradigma demikian, penyediaan ruang publik pun dapat dimulai dengan keberpihakan nyata pada orientasi humanisme.
Selaras dengan Hilmar, arsitek dan pendiri Rumah Asuh, Yori Antar, berpandangan bahwa pembangunan dan pengembangan ruang publik di Indonesia selama ini tidak mengusung paradigma manusia, terutama manusia Indonesia. Akomodasi ruang publik mengacu pada konsep luar negeri, di mana pembangunannya berada di dalam gedung. Padahal, belajar dari masyarakat tradisional Indonesia, rumah mereka berorientasi outdoor sehingga bisa dipakai sebagai ruang publik.
Pada 2016, Yori secara langsung terlibat dalam penyediaan ruang publik yang sehat, yakni revitalisasi kawasan Kalijodo, Jakarta Barat. Ruang terbuka hijau di kawasan tersebut dialihkan dari sebuah ruang prostitusi yang tidak bersahabat, menjadi ruang publik yang mempertemukan berbagai kelompok usia dan lapisan masyarakat. Di ruang publik baru tersebut, masyarakat luas bisa beraktivitas olahraga dan berinteraksi sosial (Kompas, 19/6/2020, “Konsep Ruang Publik Berubah”).
Selain pengadaan demikian, solusi konkret dari pemerintah lainnya adalah membuka akses ruang publik secara gratis. Berbagai jenis ruang publik banyak telah dibangun di kota-kota besar di Indonesia. Namun, tidak semua ruang aktivitas bersama tersebut menjadi ruang publik yang bisa diakses warga secara gratis. Berbagai ruang publik seperti kebun binatang, museum, bahkan taman menarik biaya untuk tiket masuk. Di pusat perbelanjaan, meski tidak ada tiket masuk, di dalamnya justru melanggengkan segregasi antarkelas ekonomi.
Seperti dilakukan oleh pemerintah Jakarta yang membuka akses gratis obyek wisata Taman Impian Jaya Ancol bagi siswa penerima Kartu Jakarta Pintar (KJP), kebijakan serupa dapat diterapkan oleh pemerintah daerah lainnya. Hal demikian berdampak positif pada warga kebanyakan, terbukti jajak pendapat Kompas awal Januari 2018 menunjukkan, 61 persen responden menilai program pantai gratis efektif memberikan hiburan dan rekreasi.
Dengan pembukaan akses gratis, dilengkapi tata manajemen yang baik, ruang publik mampu menjadi wadah inklusif bagi masyarakat dengan berbagai kegiatan. Termasuk seperti relaksasi, bermain, berolahraga, hingga juga berekreasi. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Kompas. (2018, Januari 28). “Gratis ke Pantai Ancol”. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 12.
- Kompas. (2018, Januari 4). “Perebutan (R)uang di Tanah Abang”. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 7.
- Kompas. (2020, Juni 19). “Konsep Ruang Publik Berubah”. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 4.
- Kompas. (2022, Juli 24). ““Kami Cuma Butuh Ruang…””. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 1 & 15.
- Kompas. (2022, September 21). “Kapitalisme dan Perjuangan Kelompok Terpinggirkan”. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 6.
- Kompas. (2022, Agustus 27). “Lebih Baik Menduplikasi “Haradukuh””. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 12.
- Kompas. (2022, Agustus 27). “Menjaga Asa Kaum Muda di Dukuh Atas”. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 12.
- Kompas. (2022, Agustus 5). “Warga Kota Rindu Ruang Publik Tertata”. Jakarta: Harian Kompas.Hlm 12.
- Kompas.id. (2022, Juli 9). ““Citayam Fashion Week”, Kembalinya Kota untuk Warga”. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/08/citayam-fashion-week-kembalinya-kota-untuk-warga
- Badan Pusat Statistik. (2018). Banyaknya Desa/Kelurahan Menurut Ketersediaan Ruang Publik Terbuka, Gedung Bioskop, Pub/Diskotek/Karaoke, dan Pusat Kebugaran (Desa), 2014-2018. Diambil kembali dari bps.go.id: https://www.bps.go.id/indicator/168/976/1/banyaknya-desa-kelurahan-menurut-ketersediaan-ruang-publik-terbuka-gedung-bioskop-pub-diskotek-karaoke-dan-pusat-kebugaran.html
- Badan Pusat Statistik. (t.thn.). Jumlah Kecamatan dan Desa/Kelurahan Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah 2016-2018. Diambil kembali dari jateng.bps.go.id: https://jateng.bps.go.id/indicator/101/279/2/jumlah-kecamatan-dan-desa-kelurahan-menurut-kabupaten-kota-di-provinsi-jawa-tengah.html
- Budiman, H. (2020). “Jakarta: Narasi Identitas Nasional, Modernitas, dan Ibu Kota Baru”. Dalam P. Center, Sudah Senja di Jakarta: Ideologi, Kebijakan Publik, Politik, dan Ruang Kota (hal. 1-96). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan Populi Center.
- Habermas, J. (1991). The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. Massachusetts: The MIT Press Cambridge.
- Hardiman, f. B. (2009). Demokrasi Deliberatif: Menimbang negara hukum dan ruang publik dalam teori diskursus Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius.
- Rosojati, H. (2021). “Reklamasi, dan Cerita-cerita Lain tentang Politik, dan Siasat Ruang di Jakarta”. Dalam H. B. et al, Sudah Senja di Jakarta: Ideologi, Kebijakan Publik, Politik, dan Ruang Kota (hal. 143-186). Jakarta: Populi Center.
- Sidharta, A. (2006). “Soekarno dan Monumen. Dalam S. H. et al”, Politik Kota dan Hak Warga Kota: Masalah Keseharian Kota Kita (hal. 209-212). Jakarta: Kompas Media Nusantara.
- Wibowo, S. (2021). Platon: Lahkes (Tentang Keberanian). Yogyakarta: PT Kanisius.
- Maulana, S. (2015). “Ruang Publik dan Intelektual Organik”. Jurnal Ilmu Komunikasi Volume 12, Nomor 1, 119-134.
- Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang