Paparan Topik | Ibu Kota Baru

Potret Pemindahan Ibu Kota Negara di Berbagai Negara

Indonesia bukan negara pertama yang melakukan rencana pemindahan ibu kota negara (IKN). Ada banyak negara lain di dunia yang juga pernah memindahkan ibu kotanya dengan latar belakang yang beragam. Kendati prosesnya tidak mudah, banyak negara di dunia yang berhasil dengan keputusannya memindahkan IKN.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Presiden Joko Widodo bersama Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor meninjau lokasi calon ibu kota negara di kawasan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Selasa (17/12/2019). Presiden berharap pemindahan ibu kota tidak sekadar memindahkan fisik kantor atau gedung pemerintahan dari Jakarta. Menurutnya, dengan pindahnya ibu kota, diharapkan ada sebuah transformasi budaya kerja, sistem kerja, dan pola pikir bangsa.

Fakta Singkat

Dalam 100 tahun terakhir, lebih dari 31 negara telah memindahkan ibu kota negaranya.

Negara yang memindahkan ibu kotanya, antara lain:

  • Brasil
  • Amerika Serikat
  • Australia
  • Malaysia
  • Korea Selatan

Alasan pemindahan ibu kota:

  • Politik
  • Sosio-ekonomi
  • Fisik

Pemindahan atau relokasi ibu kota negara (IKN) bukanlah fenomena baru di dunia. Banyak negara telah melakukan relokasi ibu kota negaranya. Berdasarkan pengalaman beberapa negara ada yang berhasil merelokasi ibu kotanya dan ada juga yang tidak.

Dalam 100 tahun terakhir, seperti dikutip dari Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara, Kementerian PPN/Bappenas, Juni 2021, tercatat lebih dari 31 negara telah memindahkan ibu kota negaranya. Selain itu, tercatat lebih dari 35 negara di berbagai wilayah berbeda telah aktif membahas rencana untuk memindahkan ibu kota negaranya.

Sejumlah negara yang tercatat pernah memindahkan ibu kotanya di antaranya ada Brasil, Australia, Amerika Serikat, Malaysia, Kazakhstan, Myanmar, Nigeria, Pakistan, Bolivia, dan Portugal.

Ada beragam alasan dan motivasi negara untuk memindahkan ibu kota negaranya. Deden Rukmana dalam tulisannya berjudul “Pemindahan Ibukota Negara” menyebutkan setidaknya terdapat tiga alasan umum pemindahan ibu kota, yaitu pertimbangan politik, pertimbangan sosio-ekonomi, dan pertimbangan fisik.

Pertimbangan politik acapkali menjadi pertimbangan utama dalam pemindahan ibu kota. Dalam pertimbangan in, berguna untuk meningkatkan persatuan nasional (national cohesion), membangun simbol kebangkitan negara dan merepresentasikan lebih baik keragaman suku bangsa adalah pertimbangan yang digunakan pemerintah Brazil, Nigeria, dan Pakistan dalam memindahkan ibu kota negaranya masing-masing.

Selain itu, pemindahan ibu kota juga dapat dijadikan cara untuk menegaskan arah politik negara seperti saat pemerintah Tanzania memindahkan ibu kotanya dari Dar es Salaam ke Dodoma untuk lebih mengembangkan politik Sosialisme dengan membangun kawasan pedesaan di Dodoma.

Relokasi Ibu Kota Negara-Negara di Dunia setelah Perang Dunia II

Negara Ibu Kota Lama Ibu Kota Baru Tahun Relokasi
Mauritania Saint Louis Nouakchott 1957
Pakistan Karachi Islamabad 1959
Brasil Rio de Jainero Brasilia 1960
Botswana Mafeking Gaberone 1961
Malawi Zomba Lilongwe 1965
Belize Belize City Belmopan 1970
Tanzania Dar Es Salaam Dodoma 1973
Sri Lanka Colombo Sri Jayawardenapura-Kotte 1982
Pantai Gading Abidjan Yamoussoukro 1983
Jerman Bonn Berlin 1990
Nigeria Lagos Abuja 1991
Kazakhstan Astana Almaty 1997
Malaysia Kuala Lumpur Putrajaya 2000
Myanmar Rangoon Pyinmana 2006
Korea Selatan Seoul Sejong 2012

Sumber: Corey (2004); Rawat (2005); Schatz (2003); Paddock (2006)

Pertimbangan sosio-ekonomi menjadi pertimbangan penting dalam memindahkan ibu kota khususnya untuk mengurangi ketimpangan wilayah di negara-negara tersebut. Diharapkan dengan pembangunan ibu kota baru dapat mengembangkan kawasan baru yang dapat mengurangi pemusatan kegiatan di lokasi ibukota yang lama.

Ibu kota lama, seperti Rio de Jainero, Lagos, Dar es Salaam, Zomba dan Belize City merupakan pusat pertumbuhan utama dan primate city di negaranya masing-masing.

Dalam kajian pemindahan IKN yang dilakukan oleh Bappenas, setidaknya ada lima negara yang memindahkan ibu kota negara. Dari negara-negara tersebut terlihat bahwa pemindahan ibu kota bukan sesuatu yang mudah karena selain membutuhkan dana yang besar, juga memakan waktu yang cukup lama. Berikut ini akan dipaparkan lima negara di dunia yang memindahkan ibu kota negaranya.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Presiden Joko Widodo bersama Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor meninjau lokasi calon ibu kota negara di kawasan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Selasa (17/12/2019).

Brasil: Brasilia

Brasil sempat memiliki tiga kota yang resmi menjadi ibu kota. Masing-masing terkait dengan fase yang berbeda dalam sejarah sosial dan budaya. Kota pertama yang menjadi ibu kota Brasil adalah Salvador de Bahia, yang menjadi ibu kota pada masa awal kolonial Portugis.

Kota kedua adalah Rio de Janeiro, yang menjadi ibu kota Brasil kolonial selama abad ke-19, pada masa pemerintahan kekaisaran Portugis hingga beralih ke kekaisaran Brasil, dan akhirnya menjadi ibu kota Brasil. Rio de Janeiro menjadi ibu kota Republik Brasil hingga pertengahan abad ke-20, sebelum akhirnya dipindah ke Brasilia pada 1960.

Dalam sejarahnya, pemindahan ibu kota ke Brasilia mulai diwacanakan sejak tahun 1950-an. Pemerintah saat itu ingin ibu kota negara dari pantai timur ke wilayah pedalaman yang masih jarang penduduk. Pemindahan IKN ke Brasilia adalah upaya untuk menciptakan kebanggaan nasional masyarakat Brasil dengan cara membangun IKN yang modern pada abad ke-21.

Terdapat beberapa hal penting dalam memulai proyek ini. Salah satunya adalah keinginan untuk mengintegrasikan negara secara ekonomi, politik, dan sosial. Pembangunan IKN baru juga merupakan salah satu dari rencana untuk membangun interior wilayah yang dinamakan cerrado di wilayah Amazon untuk membangun interkonektivitas antarwilayah dan untuk memindahkan pusat gravitasi ekonomi dan politik dari wilayah pesisir ke tengah wilayah Brasilia.

Tujuan utama pemindahan ibu kota adalah untuk mengintegrasikan negara dalam hal ekonomi dan politik dan menciptakan pusat pertumbuhan di tengah wilayah negara.

Pembangunan tahap awal Brasilia dilaksanakan dengan relatif cepat karena adanya desakan politik untuk memindahkan IKN dalam satu periode pemerintahan presiden (5 tahun), yang pada saat itu berada di bawah pemerintahan Presiden Juscelino Kubitschek.

Lokasi ibu kota baru berjarak 600 mil atau 934 km sebelah barat dari Rio de Janeiro dengan luas 5,814 km2 atau 581.400 ha. Lokasi Brasilia dipilih karena wilayah tersebut dinilai aman dari bencana alam, bebas polusi, dan memiliki iklim yang baik.

Perencanan kota dibuat oleh Lucio Costa dan desain kota dibuat oleh arsitek bernama Oscar Niemeyer. Konsep Brasilia dibuat berdasarkan ide modernis dari Le Corbusier tentang potensi transformasi sosial yang terkandung di konsep kota. Kota terencana harus menjadi cetak biru bagi transformasi sosial dan katalis pernbangunan negara.

Kota Brasilia direncanakan sebagai pusat administrasi pemerintahan yang inklusif dan terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat. Namun, realisasinya kota ini tidak dapat dijangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah.

Rencana induk kota ini dibuat dengan bentuk pesawat terbang yang melambangkan representasi Brasilia sebagai “the capital of the airplane”. Brasilia merupakan tempat pertama yang dibangun dengan akses jet. Hal ini kontras dengan ibu kota terdahulu yang lebih menekankan akses kapal laut yang merupakan ibu kota peninggalan. Pemindahan ibu kota adalah misi untuk menyusun dan menstimulasi teknologi dan inovasi.

Periode pembangunan selama 5 tahun dimulai pada akhir tahun 1956 hingga tahun 1961. Tema pembangunan Kota Brasilia adalah Kota Modern atau Modernist City, dengan infrastruktur yang dibangun meliputi fungsi pemerintahan, perumahan, sport center, taman, botanical garden, kebun binatang, bioskop, teater, restoran, pusat kebudayaan, perbankan, industri lokal kecil.

Adapun skema pembiayaan konstruksi awal pembangunan Brasilia menggunakan biaya APBN sebesar 8,1 miliar dollar AS untuk infrastruktur dasar dan bangunan-bangunan penunjang penting seperti pemerintahan dan tempat tinggal pegawai. Selanjutnya, pada tahap pengembangan skema pembiayaan menggunakan Land Value Capture dengan cara menjual tanah di Brasilia dengan tetap ditopang oleh APBN.

Australia: Canberra

Canberra kerap disebut ‘the bush capital’ karena lokasinya dikelilingi hutan pegunungan di pedalaman, tidak di pesisir seperti lokasi kota besar lainnya di Australia.

Canberra yang berjarak 280 kilometer dari Sydney dan 660 kilometer dari Melbourne secara formal dibentuk pada tahun 1913, setelah dua tahun sebelumnya Australian Capital Terrirory (ACT) berdiri. Canberra sekarang menjadi rumah bagi Gedung Parlemen dan Pengadilan Tinggi Australia, serta kantor pusat semua departemen pemerintah federal dan militer.

Dalam sejarahnya, keputusan untuk memindahkan ibu kota di Australia dibuat pada tahun 1908. Pada saat itu, keputusan yang diambil adalah memindahkan ibu kota ke lokasi yang berjarak sama ke kedua kota terbesar di Australia, yaitu Sydney dan Melbourne. Pembangunan ibu kota yang baru dimulai pada tahun 1913, namun sempat ditunda karena Perang Dunia I dan masalah keuangan di Australia.

Desain ibu kota dikompetisikan secara internasional pada tahun 1911 dan menghasilkan 137 skema yang diajukan. Desain yang memenangkan kompetisi saat itu adalah desain Walter Burley Griffin yang berasal dari Amerika.

Desain Griffin menggunakan bentuk segitiga sebagai struktur kunci desain perkotaan. Segitiga parliamenter dibentuk dengan tiga poros yang membentuk segitiga. Kota ini dibangun di tiga bukit yang membentuk struktur kunci dari rencana arsitektur perkotaannya.

KOMPAS/LAKSANA AGUNG SAPUTRA

Presiden Joko Widodo didampingi Chief Executive National Capital Authority Sally Barnes melihat Kota Canberra yang menghampar di bawah dari pos pandang di puncak Bukit Ainslie, daerah suburban Kota Canberra, Australia, Minggu (9/2/2020). Presiden berkomtimen memindahkan ibukota negara Indonesia sekaligus pusat pemerintahan dari Jakarta ke Kalimantan Timur mulai 2024.

Gedung pemerintahan terletak di sekitar danau buatan, dan pemukiman memiliki area terbuka yang luas. Konsep garden-city dipilih untuk diimplementasikan di Canberra sehingga masyarakat Australia menyebut ibu kota baru sebagai “the bush capital”.

Nama dan lokasi yang dipilih mempunyai arti khusus. Lokasi Canberra mengutamakan keserasian lanskap, topografi, dan keindahan alam. Nama Canberra diserap dari lokal “Kambera” yang memiliki arti “tempat berkumpul” atau the meeting place.

Pada zaman dahulu, lokasi ini merupakan tempat berkumpul orang aborigin dari berbagai suku untuk pertemuan seremonial. Banyak nama jalan di Canberra diambil dari Aborigin, dan Museum Nasional Australia memamerkan koleksi artefak kebudayaan Aborigin.

Lokasi Canberra berada di wilayah inland 280 km selatan barat daya Sydney dengan luas 814 km2. Konstruksi Canberra dimulai pada tahun 1911 dan membutuhkan waktu pembangunan selama 50 tahun sampai benar-benar selesai.

KOMPAS/JULIAN SIHOMBING

Warga Canberra, Australia mengantre untuk naik bus (31/07/1997).

Amerika Serikat: Washington DC

Amerika Serikat (AS) pernah memindahkan pusat pemerintahannya hingga sembilan kali. Dilansir dari history.com, ada delapan kota yang pernah berperan sebagai pusat pemerintahan AS sebelum akhirnya ditetapkan di Washington DC. Perjalanan pemilihan ibu kota AS terjadi selama masa awal usai deklarasi kemerdekaan pada 1776 hingga selesai dibangunnya ibu kota Washington DC pada 1800.

Pemindahan ibu kota ke Washington DC dapat dikatakan sebagai produk dari kompromi politik sebagai solusi untuk mendapatkan tempat permanen bagi Pemerintah Federal AS. Sebagai bagian dari kebijakan keuangan pada era Hamilton (Sekretaris pembendaharaan pertama AS era Presiden George Washington), Kongres mendukung Bank Amerika Serikat untuk bertempat di Philadelphia, dan sebagai gantinya, the special District of Columbia diberikan ke Kongres (Pemerintah) untuk dibangun pusat pemerintahan di sekitar Sungai Potomac.

KOMPAS/ILHAM KHOIRI

The White House alias Gedung Putih, rumah resmi presiden AS. Ikon Kota Washington DC, AS, ini menjadi salah satu tempat kunjungan favorit wisatawan (16/08/2009)

Kebijakan Hamilton mendorong konsolidasi kekuatan ekonomi di tangan para, investor, dan pedagang yang mendominasi di timur laut perkotaan, ibu kota sebagai kekuatan politik harus berada di wilayah pertanian yang lebih ke selatan dan terpisah dari para elit ekonomi.

Setelah lokasi untuk ibu kota seluas 177 km2 dipilih pada 1790, Presiden Washington menunjuk Pierre Charles L’enfant, seorang insinyur Prancis dan mantan perwira Angkatan Darat Kontinental untuk merancang dan merencanakan ibu kota baru. Konsep rencana induk yang dibuat saat itu adalah magnificent city, worthy of the nation, free of its colonial origins, and bold in its assertion of a new identity.

Rencana besarnya adalah untuk memberi kebanggaan pada Capitol yang akan dibangun di sebuah bukit yang menghadap dataran datar di sekitar Potomac. Sebuah National Mall yang menghubungkan legislatif ke sungai dan akan dibatasi oleh berbagai bangunan megah.

Di luar wilayah dirancang  sejumlah jalan luas yang salah satunya akan terhubung dengan rumah presiden. Banyak dari visi besar L’Enfant diabaikan selama abad ke-19, tetapi mulai tahun 1922 desainnya mulai diimplementasikan.

Pembangunan ibu kota baru membutuhkan waktu dan proses yang cukup lama untuk menjadi kota yang sukses dan mandiri. Desain Washington DC dirancang pada tahun 1791, namun baru diimplementasikan pada tahun 1922.

Pada tahap awal pemindahan, Washington DC sangat bergantung pada dana dari pernerintah federal selama 40 tahun, terlebih pernbangunan Washington DC sempat terhambat karena adanya perang tahun 1812 dan kebakaran the White House, the Capitol Building, dan the Library of Congress pada tahun 1814.

Masalah sosial juga timbul dari banyaknya budak dan meningkatnya angka populasi pada tahun 1960an. Tahun 1872 pemerintah distrik bangkrut sesaat setelah runtuhnya Jay Cooke and Company (Perusahaan induk Bank nasional pertama di New York dan pemegang 100 persen obligasi untuk pekerjaan umum). Namun, setelah lebih dari 200 tahun pembangunan, Washington DC mulai menjadi pusat pemerintahan dengan GDP yang tinggi dan populasi penduduk yang terus meningkat.

KOMPAS/ABUN SANDA

Amerika Serikat, negeri adidaya yang kaya raya, kini tengah sakit serius karena ekonominya terpuruk. Biang keterpurukan di antaranya karena jatuhnya bisnis properti, perbankan, dan ditambah pola hidup konsumtif. Sebuah pemandangan di Washington DC, AS (24/1/2008).

Malaysia: Putrajaya

Pada awal 1990-an, Pemerintah Malaysia mempertimbangkan enam wilayah yang bakal dijadikan pusat pemerintahan baru. Enam wilayah itu, antara lain, North West Rawang, Janda Baik, North Port Dickson, Sepang Coast, Kenaboi Plains, dan Perang Besar (Kini bernama Putrajaya).

Akhirnya, Perang Besar pun dipilih oleh pemerintah Malaysia. Alasannya, daerah itu telah memenuhi syarat biaya akuisisi tanah dan infrastruktur, lokasi yang strategis, akses jaringan transportasi yang baik, berpotensi memberikan dampak positif kepada daerah tetangganya, adanya vegetasi alami dan bentuk tanah, serta minimnya dampak negatif kepada masyarakat lokal.

Sejak mengumumkan Putrajaya sebagai pusat pemerintahan baru Malaysia pada 1993, pembangunan pertama kota baru itu baru dimulai pada Oktober 1996. Namun, proses pemindahan pusat pemerintahan Malaysia itu menghadapi tantangan besar karena kondisi perekonomian dunia tengah dilanda krisis.

Putrajaya membutuhkan waktu 12 tahun dari saat penetapan pemindahan ibu kota sampai dengan tahap pemindahan pemerintahan. Setelah lebih dari 20 tahun pembangunan, penduduk Putrajaya hanya berjumlah 85.000, masih relatif kecil dari populasi yang direncanakan.

Kebutuhan akan pusat administrasi baru di Malaysia muncul karena permasalahan kemacetan dan banjir di Kuala Lumpur. Gagasan mendirikan pusat administrasi federal di luar Kuala Lumpur dimulai pada akhir 1980-an dan diwujudkan pada tahun 1993 dengan keputusan resmi untuk memindahkan pusat administrasi Pemerintah.

Pada Juni 1999, kantor Perdana Menteri dipindahkan ke Putrajaya. Pada tanggal 1 Februari 2001, Putrajaya dinyatakan sebagai Wilayah Federal dan Putrajaya Corporation didirikan sebagai Otoritas Lokal yang bertugas mengelola kotapraja.

Total biaya konstruksi Putrajaya diperkirakan sekitar 8 miliar dollar AS. Sebagian besar didanai dari anggaran publik. Sebagian biaya pengembangan diimbangi dengan penjualan beberapa pemerintah di Kuala Lumpur, namun sebagian besar pemerintah di Kuala Lumpur dipertahankan oleh Pemerintah.

KOMPAS/ANDY RIZA HIDAYAT

Presiden Joko Widodo tiba di Kantor Perdana Menteri Malaysia Mohammad Najib Razak, Putrajaya, Malaysia, Jumat (6/2/2015). Kedatangan Presiden untuk memimpin delegasi Indonesia membicarakan sejumlah isu penting. Hasil pertemuan itu menyepakati soal perbatasan maritim yang tertunda bertahun-tahun.

Korea Selatan: Sejong

Sejong sudah diwacanakan menjadi ibu kota baru Korea Selatan sejak 2002. Namun, baru pada 2012, Sejong diresmikan menjadi ibu kota baru.

Pemerintah Korea Selatan menetapkan Sejong sebagai IKN pada tahun 2005 melalui undang-undang khusus. Sejak diresmikan sebagai ibu kota baru, 10 dari 18 kementerian Korea Selatan telah pindah ke Sejong.

Kota Sejong terletak 120 km dari Seoul. Letaknya yang berada di tengah wilayah Korea Selatan menjadikan Sejong dipilih sebagai ibu kota untuk melaksanakan pemerataan pembangunan dan mengurangi beban Seoul.

Kota Sejong dibangun sebagai pusat pemerintahan Korea Selatan dan juga sebagai pusat riset dan industri teknologi tinggi. Konstruksi pembangunan Kota Sejong dilakukan mulai tahun 2007 hingga pada tahun 2017, dalam kurun waktu 10 tahun tersebut telah terbangun 40 instansi pemerintahan dan 15 lembaga penelitian.

Rencana pembangunan Sejong mengedepankan pengalokasian ruang terbuka hijau hingga seluas 50 persen dari total luas area. Perwujudan konsep green city ini juga dilakukan dengan pengurangan penggunaan kendaraan pribadi dan memperbanyak penggunaan transportasi publik. Hal tersebut juga didorong oleh penanaman 40 juta pohon serta pembangunan jalur sepeda sepanjang 350 km.

Desain Kota Sejong berbasis pada pengembangan transportasi publik dan pedestrian dimaksudkan untuk mengakomodasi kebutuhan publik. Pengembangan transportasi publik tersebut menjadikan Kota Sejong menjadi pusat sistem transportasi nasional yang terhubung dengan kota-kota besar lainnya dalam waktu yang relatif singkat.

Untuk mengelola pembangunan dan pengembangan Kota Sejong, pemerintah membentuk MultiFunctional Administrative City Construction Agency (MACCA). Badan tersebut memiliki wewenang untuk implementasi, perizinan, perencanaan, dan konstruksi pada area pusat Kota Sejong.

Pembangunan Kota Sejong bertujuan untuk mencapai jumlah penduduk hingga setengah juta penduduk dalam rentang waktu kurang dari 25 tahun. Pada tahun 2016, populasi Kota Sejong sudah mencapai 250.000 jiwa dan pemindahan pemerintah hampir selesai.

Biaya pembangunan awal pada tahun 2005 diperkirakan sekitar 8 miliar dollar AS namun pengembangan secara menyeluruh Kota Sejong saat ini diperkirakan akan menelan biaya pemerintah sebesar 22 miliar dollar AS selama 30 tahun.

Pembebasan lahan untuk kota baru dilakukan melalui proses partisipasi publik yang melibatkan pemilik tanah yang ada di pedesaan tempat Sejong akan dibangun. Pemilik tanah bersedia untuk bernegosiasi, karena telah mendukung rencana pengembangan kota baru sejak awal. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
  • “Gerak Cepat demi Ibu Kota Negara Baru”, Kompas, 08 Januari 2022, hlm. 03
  • “Tajuk Rencana: Ibu Kota Negara Jangan Cacat”, Kompas, 17 Januari 2022, hlm. 06
  • “Perpindahan Ibu Kota Negara Disepakati dalam 43 Hari”, Kompas, 19 Januari 2022, hlm. 01, 15
  • “Presiden: Istana Negara Pindah 2024”, Kompas, 20 Januari 2022, hlm. 01, 15
  • “Otorita IKN Kental Orientasi Investasi”, Kompas, 23 Januari 2022, hlm. 01, 15
  • “Ibu Kota Negara: Otorita Diatur Detail di PP dan Perpres”, Kompas, 25 Januari 2022, hlm. 02
  • “Menjemput Asa Kota Baru Nusantara”, Kompas, 25 Januari 2022, hlm. 07
  • “Ibu Kota Negara: Teka-teki Presiden Jokowi dan Kebutuhan Otorita Nusantara”, Kompas, 27 Januari 2022, hlm. 04
  • “IKN dan Pertahanan Strategis Matra Darat”, Kompas, 27 Januari 2022, hlm. 06
Buku dan Jurnal