Paparan Topik

Potret Jakarta dari Awal Kemerdekaan hingga Reformasi

Pesatnya pembangunan Jakarta dari masa kemerdekaan hingga kini tidak terlepas dari beragam dinamika politik, sosial, ekonomi, dan budaya sebagai ibu kota negara. Sebagai pusat perekonomian dan pemerintahan, Jakarta menjadi tolok ukur kemajuan bagi kota-kota lain di Indonesia.

KOMPAS/KARTONO RYADI

Kemacetan lalu lintas di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta (19/9/1977).

 

Fakta Singkat

  • Sejak 1945–2022, Jakarta telah dipimpin oleh 17 kepala daerah.
  • Pada 30 Desember 1949 pemerintah pusat menegaskan bahwa nama Batavia sudah tidak ada lagi, dan berganti menjadi Djakarta.
  • Nama Jakarta kembali dikukuhkan pada 22 Juni 1956 oleh Walikota Jakarta Sudiro.
  • Berdasarkan Undang-Undang No.10 Tahun 1964 tertanggal 31 Agustus 1964, Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya ditetapkan sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia, dengan nama Jakarta.

Pada masa kemerdekaan, beberapa kali Jakarta mengalami pergantian nama, mulai dari  Pemerintah Nasional Kota Jakarta, Kota Praja Jakarta, Kota Praja Djakarta Raya, kemudian Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya, Jakarta, dan akhirnya menjadi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, nama yang digunakan hingga kini.

Jakarta sedikitnya telah berganti nama sebanyak 13 kali. Kota ini mendapat julukan Jakarta “kota 1001 nama”. Beragamnya nama untuk Jakarta, tidak terlepas sosok kepemimpinan Jakarta saat itu. Pada masa sekarang, bukan nama kota yang diganti. Namun, kebijakan yang berganti. Setiap kali pergantian gubernur, maka ganti pula kebijakan dan program membangun, membenahi, dan memperbaiki Jakarta.

KOMPAS/DUDY SUDIBYO

Daerah sekitar bundaran Hotel Indonesia, Rabu (19/1/1977) tergenang banjir. Kemacetan terjadi di jalan Sudirman dan MH Thamrin akibat kendaraan terjebak banjir di seputaran bundaran HI.

Era Orde Lama (1945--1965)

Kekuasaan Belanda di Indonesia berakhir setelah Jepang pada 1942 masuk ke Indonesia. Kota Batavia pun dikuasai dan jatuh ke tangan Jepang pada 5 Maret 1942. Empat hari kemudian, pada 9 Maret 1942, pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Tiga tahun lamanya Jepang menduduki Indonesia (1942–1945).

Selama Jepang berkuasa di Indonesia, pemerintah Jepang banyak mengeluarkan kebijakan dan peraturan, di antaranya Undang-Undang No.42 Tahun 1942 tentang Perubahan Tata Pemerintahan Daerah yang mengatur Pulau Jawa dibagi menjadi satuan-satuan daerah yang disebut Pemerintahan Keresidenan. Keresidenan dibagi menjadi beberapa kabupaten dan kota.

Ketika Jepang memutuskan terlibat dalam Perang Dunia II, pemerintah Jepang mengganti nama Batavia menjadi Djakarta, sebagai akronim dari Djajakarta. Pergantian nama ini bertepatan dengan perayaan Hari Asia Timur Raya pada 8 Desember 1942. Pada masa pendudukan Jepang ini, Jakarta adalah satu-satunya pemerintahan kota khusus (Takubetsu Shi) di Indonesia.¹

Seperti tercantum dalam UU No.28 Tahun 1942, kepala pemerintahan Jepang atau Gunseikan dapat membentuk Tokubetshu Shi (Stads Gemeente luar biasa). Jakarta kemudian dijadikan Djakarta Tokubetsu Shi, dipimpin oleh Tokubetsu Shityo, dan beberapa orang Zyoyaku (pegawai tinggi). Masing-masing diangkat oleh Gunseikan.

Setelah Jepang kalah dan Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, nama Jakarta tetap digunakan. Bersamaan dengan  proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, nama Jakaruta Tokubetsu Shi diubah menjadi Pemerintahan Nasional Kota Jakarta.

Namun, kekuasaan Pemerintah Nasional Kota Jakarta tidak bertahan lama. NICA (Nederlandsch Indie Civil Administratie) dan militer Belanda membuat Jakarta tidak aman bagi pemerintah republik Indonesia yang baru berdiri. NICA pelan-pelan memperkuat diri untuk menguasai Jakarta sebagai daerah pendudukan mereka.

Ketika NICA berkuasa, wali kota Jakarta dan beberapa pejabat ditangkap dan diusir. Mereka juga tidak ingin menggunakan nama Jakarta, tapi Batavia seperti saat sebelum Jepang datang. NICA menguasai Jakarta hingga akhir Desember 1949 setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949.

Agar tidak ada lagi yang menyebut Jakarta sebagai Batavia, atas nama Pemerintah Republik Indonesia, selaku Menteri Penerangan, Arnoldus Isaac Zacharias Mononutu pada 30 Desember 1949 menegaskan bahwa nama Batavia sudah tidak ada lagi, dan berganti menjadi Djakarta.

Kota Jakarta kemudian ditetapkan sebagai daerah swatantra yang disebut “Kotapradja Djakarta Raya” sesuai Keputusan Presiden No.25 Tahun 1950. Selanjutnya, pada 23 Maret 1950 Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) Soekarno mengangkat seorang wali kota Jakarta, disusul penyerahan kekuasaan pemerintah dari wakil Gubernur Distrik Federal (gubernur Batavia en Ommelanden) kepada wali kota pada 31 Maret 1950.

Dalam kedudukan Jakarta sebagai ibu kota atau kota praja Jakarta Raya, Suwiryo sebagai wali kota saat itu telah berusaha mengembangkan Jakarta sebagai kota “Metropole”.

Nama Jakarta kembali dikukuhkan pada 22 Juni 1956 oleh Walikota Jakarta Sudiro. Saat itu kedudukan Jakarta masih menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1957 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah, ada 2 macam kota otonomi, yaitu daerah tingkat I (kotapraja Jakarta Raya), kotapraja tingkat II, dan daerah tingkat III.

Sejak 1959, masa demokrasi terpimpin, yaitu sistem pemerintahan yang ditawarkan oleh Ir. Soekarno diterapkan sebagai upaya pembaharuan kehidupan politik, sosial, dan ekonomi. Perkembangan ibu kota menjadi bagian politik mercusuar yang bertujuan membuat RI sebagai inti dari The New Emerging Forces (kekuatan-kekuatan baru yang sedang tumbuh) di dunia. Ini menjadi awal kebangkitan Indonesia dalam membangun sarana publik. Indonesia ditunjuk menjadi penyelengara Asian Games IV tahun 1962. Ir Soekarno lalu membangun fasilitas olahraga Gelora Bung Karno di Senayan.

Pada 15 Januari 1960 Kotapraja Jakarta Raya ditetapkan sebagai daerah tingkat I dengan kepala daerahnya seorang gubernur. Gubernur DKI Jakarta yang pertama adalah Soemarno Sosroatmodjo  (1960-1964 dan 1965-1966), Ali Sadikin (1966-1977), Tjokropranolo (1977-1982), R Soeprapto (1982-1987), Wiyogo Atmodarminto (1987-1992), Suryadi Soedirdja (1992-1997), Sutiyoso (1997-2007), Fauzi Bowo (2007-2012), Joko Widodo (2012-2014), Basuki Tjahaya Purnama (2014-2017), Djarot Saiful Hidayat (2017), Anies Rasyid Baswedan (2017-2022).            

Karena sifat khusus yang disandang Kotapraja Jakarta Raya,  berdasarkan Undang Undang No.2 Tahun 1961 dibentuk menjadi Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya. Sejak saat itu Gedung Balai Kota di Jalan Medan Merdeka Selatan lebih difungsikan sebagai kantor Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Di tahun 1961 ini pula di Jakarta, tepatnya pada 17 Agustus 1961 pemancangan tiang pertama pembangunan Monumen Nasional (Monas).

Berdasarkan Undang-Undang No.10 Tahun 1964 tertanggal 31 Agustus 1964, Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya ditetapkan sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia, dengan nama Jakarta.  Penetapan itu berlaku surut sampai tanggal 22 Juni 1964, yaitu sejak Presiden RI mengumumkan DKI Jakarta tetap sebagai ibu kota Negara Republik Indonesia dengan tetap memakai nama Jakarta.

Pecahnya G30S/PKI tahun 1965 hanya menghentikan sejenak gerak perkembangan kota Jakarta. Pada 3 Mei 1967 di tengah kesulitan ekonomi, keuangan dan social politik, DPR-GR DKI Jakarta mengesahkan rencana Induk (Master Plan) daerah Khusus Ibukota 1965-1985.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Pengendara sepeda menembus kemacetan di jalan protokol Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, Jumat (27/2/2015). Kemacetan serta buruknya transportasi umum di ibu kota membuat sejumlah warga memanfaatkan sepeda sebagai alat transportasi.

Orde Baru (1966-1997)

 DKI Jakarta sebagai ibukota Negara Republik Indonesia yang secara administratif setingkat dengan provinsi  dikepalai oleh seorang gubernur. Gubernur mempunyai kewenangan mengelola dan mengatur wilayahnya, selain juga memiliki kewenangan mengeluarkan surat keputusan.

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta tanggal 12 Agustus 1966 No.Ib.3/I/1966 dan Vide Lembaran Daerah Khusus Ibu kota Jakarta No.4 tahun 1966 yang mengatur pembagian wilayah Jakarta menjadi lima wilayah administratif, yaitu Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, dan Jakarta Timur.

DKI Jakarta tidak hanya sebagai Daerah Tingkat I, tetapi juga sebagai kota metropolitan yang memerlukan penanganan secara khusus sebagai metropolitan. Kembalinya pemerintah Republik Indonesia ke Jakarta dan kedudukan Jakarta sebagai ibukota mengakibatkan kian meningkatnya kebutuhan kantor dan segala fasilitas umum.

Jakarta selain sebagai pusat pemerintahan, juga berkembang sebagi kota industri dan perdagangan. Segala aktivitas kehidupan terpusat di Jakarta,  mulai dari pemerintahan, bisnis, perdagangan, hingga perputaran uang. Jumlah penduduk kian bertambah padat, menimbulkan berbagai persoalan sosial, ekonomi, politik dan budaya, seperti kemacetan, kriminalitas, banjir,  dan berbagai masalah lainnya.

Sebagai catatan pada masa itu, untuk memperbaiki dan meningkatkan ekonomi nasional, Pemerintah Orde Baru memantapkan programnya dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang mulai dicanangkan pada 1 April 1968, dan pelaksanaannya pada 1 April 1969.

Di masa ini pemerintah banyak membangun bangunan monumental. Selesai dibangunnya kompleks Gelora Bung Karno, disusul berikutnya pembangunan yang bersifat monumental di kota Jakarta maupun wilayah-wilayah perumahan. Pembangunan sarana lalu lintas dan transportasi.

Untuk pelaksanaan Asian Games IV dibangun Gedung Wisma Warta, Hotel Indonesai, sejumlah patung, dan lainnya. Masa Pelita I (1969-1974) dan Pelita II (1974-1979) telah membawa perubahan besar bagi kota Jakarta dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Pembangunan prasarana umum seperti pasar, pertokoan, tempat rekreasi di daerah Ancol, Planetarium Taman Ismail Marzuki, pengadaan Gedung sekolah, rumah sakit, angkutan umum dan lainnya.

Di masa orde baru ini kota Jakarta telah memiliki sarana dan prasarana umum yang memadai.

Namun krisis ekonomi dunia tahun 1997-1998, telah membawa dampak pula bagi perekonomian nasional. Banyak pencapaian ekonomi dan sosial runtuh. Dalam situasi krisis demikian, masyarakat Indonesia menuntut adanya pemerintahan baru.

Jakarta pun berubah menjadi rusuh. Kerusuhan yang merembet ke kota-kota besar di Indonesia. Di Jakarta, kerusuhan Mei 1998 telah menghancurkan ratusan bangunan dan menelan  ratusan korban jiwa. Pada 21 Mei 1998 Soeharto menyatakan meletakkan jabatannya  sebagai presiden RI.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Kawasan Bundaran Hotel Indonesia dan Jalan MH Thamrin, Jakarta, terendam banjir luapan Sungai Ciliwung, Kamis (17/1/2013). Banjir yang menerjang berbagai kawasan membuat Jakarta lumpuh dan dinyatakan dalam kondisi darurat bencana.

Masa Reformasi (1998-sekarang)

Tragedi kerusuhan Mei 1998 yang disertai dengan aksi pembakaran sejumlah fasilitas perekonomian di Jakarta membuat tatanan sosial ekonomi ibukota porak poranda. Di tengah situasi krisis melanda saat itu, Jakarta dipimpin oleh Gubernur Sutiyoso (1997-2007).  

Beratnya tantangan yang dihadapi gubernur dalam memulihkan kembali kondisi ibu kota Jakarta. Tahun 2000 perekonomian Jakarta mulai bangkit. Sutiyoso mulai membangun dan membenahi Jakarta. Untuk mengurangi kemacetan yang menjadi masalah utama kota Jakarta, Sutiyoso meluncurkan sistem angkutan massal, sebuah sistem transportasi baru kota yang diberi  nama bus TransJakarta, atau populer disebut Busway.

Sukses dengan Koridor I pengangkutan massal dikembangkan ke koridor-koridor berikutnya. Pada 27 Januari 2007 armada TransJakarta diluncurkan untuk koridor IV, V, VI dan VII. Namun masalah kemacetan dan banjir hingga akhir masa jabatan Sutiyoso belum dapat diatasi.

Masa Gubernur Fauzi Bowo (2007-2012) terjadi banjir besar di hampir seluruh wilayah ibukota DKI Jakarta pada 1 Februari 2007. Di akhir masa jabatannya, Foke meresmikan pencanangan pembangunan proyek Mas Rapd Transit (MRT) Tahap I koridor Selatan-Utara sepanjang 15,7 km dari Lebak Buluk – Bundaran HI.

Gubernur Joko Widodo (2012-2014), menerapkan kebijakan populis, seperti Kampung Deret, Kartu Jakarta Sehat, Kartu Jakarta Pintar, perbaikan saluran air, pembenahan transportasi massal (penambahan dan peremajaan bus).

Program lainnya, reformasi birokrasi, dan menertibkan PKL di sekitar Pasar Tanah Abang.  Sepanjang tahun 2013 proyek normalisasi sungai dilakukan intensif. Pengembalian fungsi Waduk Pluit, Waduk Ria Rio, dan Kali Pesanggrahan. Pada 10 Oktober 2013 Jokowi meresmikan pembangunan MRT, juga meresmikan pembangunan jalur hijau Monorel Jakarta.

Masa Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (2014) membuat Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA), Penertiban Kalijodo, Relokasi Kampung Pulo, Penataan bantaran kali dan relokasi warga pinggir kali Ciliwung, pembangunan simpang susun Semanggi, Renovasi Lapangan Banteng, Jembatan pedestrian Manggarai, Pembangunan RSU Kecamatan tipe D, Layanan Kesehatan, membentuk satuan petugas kebersihan yang diberi nama petugas penganganan prasanan dan sarana umum (PPSU) atau dikenal dengan sebutan pasukan oranye. Banyak kemajuan dicapai ibukota Jakarta di bawah kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama.

Wakil Gubernur Djarot Saiful Hidayat menggantikan Basuki Tjahaja Purnama yang mengundurkan diri. Sebagai gubernur, Djarot melanjutnya program yang telah dijalankan gubernur sebelumnya. Djarot menjadi gubernur DKI Jakarta hanya dari Juni – Oktober 2017.

Di bawah kepemimpinan Gubernur Anies Rasyid Baswedan, MRT yang digagas sejak era Gubernur Fauzi Bowo, dan dilaksanakan pembangunannya oleh Gubernur Joko Widodo dan Basuki TJahaha Purnama akhirnya selesai dan dapat dinikmati warga DKI Jakarta. Namun di era kepemimpinan gubernur saat ini berbagai masalah utama kota Jakarta seperti banjir, kemacetan, polusi udara, dan penertiban pedagang kaki lima (PKL) masih  menjadi pekerjaan rumah yang perlu penanganan serius.(LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Hakim, Abdul. 1993. Jakarta Tempo Doeloe. Jakarta: Media Antarkota Jaya.
  • Tjandrasasmita, Oka. 2002. Sejarah Jakarta, dari Zaman Prasejarah sampai Batavia Tahun 1750. Jakarta: Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Dinas Museum dan Pemugaran.
  • Sedyawati, Edi.1986/1987. Sejarah Kota Jakarta 1950-1980. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
Jurnal
  • Erwantoro, Heru. 2009. Hari Jadi Kota Jakarta. Patanjala, Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol.1 No.3 September 2009 hal. 215-228.
Arsip Kompas

• Kompas. 2004. Sunda Kelapa, Potensi Ekonomi, Budaya, dan Pariwisata yang Terabaikan, 21 Oktober. Hal.19.
• Kompas. 2007. Sejarah Banjir: Warisan Batavia untuk Jakarta. 10 November. Hal.37.
• Kompas. 2013. Kota Tua. Oud Batavia, Setelah 370 Tahun.
• Kompas. 2018. Batavia, Kota Tiruan yang Terpuruk. 5 Februari. Hal.27.

Internet
  • Sejarah Rekayasa Air dalam Prasasti Tugu dalam https://indonesia.go.id
  • Sejarah Jakarta disarikan dari https://sejarahlengkap.com
  • Empat Abad Batavia Awal Rupa Bandar Terpenting di Asia Tenggara disarikan dari https://nationalgeographic.grid.id
  • Mengenal Sejarah Banjir di Jakarta, Sudah Terjadi Sejak Masa Kolonial Belanda disarikan dari Tribunnews.com
  • Saat Pejabat Batavia pindah ke Weltevreden, Bangunan Putih Bermunculan di Sekitar Lapangan Banteng disarikan dari Tribunnews.com

Artikel terkait