Fakta Singkat
Pilkada Pertama
Juni 2005
Dasar Hukum Pertama
UU 32/2004
Dasar Hukum Pilkada 2020
UU 6/2020
Penyelenggara
Komisi Pemilihan Umum
Pengawas
Badan Pengawas Pemilu
Pilkada Serentak 2020
270 daerah: 9 provinsi, 224 kabupaten, 37 kota
Anggaran Pilkada 2020:
Rp20,4 triliun
Mekanisme pengisian jabatan kepala daerah di Indonesia pernah mengikuti berbagai sistem sejak kemerdekaan. Retno Saraswati, dalam artikelnya di jurnal Masalah-Masalah Hukum yang berjudul “Calon Perseorangan: Pergeseran Paradigma Kekuasaan dalam Pemilu” tahun 2011, menyebutkan empat sistem pemilihan kepala daerah yang pernah digunakan di Indonesia sebelum pemilihan langsung.
Pertama, sistem penunjukan atau pengangkatan oleh pusat. Sistem ini sudah digunakan sejak masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, penjajahan Jepang, serta setelah kemerdekaan. Setelah kemerdekaan, pemerintah menggunakan sistem ini berdasarkan UU 1/1945, UU 22/1948, dan UU 1/1957.
Kedua, sistem penunjukan. Sistem ini digunakan berdasarkan Penetapan Presiden 6/1959 jo Penetapan Presiden 5/1960, UU 6/1956, dan UU 18/1956, atau yang dikenal dengan era Dekrit Presiden. Selain itu, sistem ini juga diberlakukan berdasarkan Penetapan Presiden 6/1959 jo Penetapan Presiden 5/1960 disertai alasan “situasi yang memaksa”.
Ketiga, sistem pemilihan perwakilan. Sistem ini merupakan perwujudan UU 5/1974. Dengan sistem ini, pemilihan kepala daerah dilakukan oleh lembaga DPRD. Selanjutnya, presiden akan menentukan calon kepala daerah terpilih.
Keempat, sistem pemilihan perwakilan (murni). Sistem ini mendasarkan pelaksanaannya pada UU 18/1965 dan UU 22/1999. Dengan sistem ini, kepala daerah dipilih secara murni oleh lembaga DPRD tanpa intervensi pemerintah pusat.
Selanjutnya, sejak 2005, pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung berdasarkan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dasar hukum penyelenggaraan pilkada periode 2005-2008 menggunakan undang-undang tersebut yang kemudian mengalami dua kali perubahan.
Perubahan pertama melalui UU 8/2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 menjadi Undang-Undang. Perubahan kedua melalui UU 12/2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam UU 32/2004, disebutkan bahwa partai politik merupakan satu-satunya institusi yang bisa mengajukan pasangan calon peserta pemilihan kepala daerah. Hal itu menunjukkan pilkada yang dilangsungkan pada periode 2005-2008 merupakan arena kuasa istimewa partai politik.
Dengan kata lain, partai politik memiliki posisi kuat dalam hal pengajuan pasangan calon peserta pilkada dibandingkan dengan institusi atau lembaga lain, misalnya organisasi kemasyarakatan, asosiasi, maupun lembaga berbadan hukum. Hanya melalui pintu partai politiklah seseorang atau kandidat bisa memiliki kesempatan untuk berkompetisi menjadi calon pemimpin di daerah.
Akan tetapi, berdasarkan UU 12/2008, sumber calon kepala daerah maupun wakilnya tak lagi hanya berasal dari partai politik, tetapi juga dari calon perseorangan. Munculnya kesempatan bagi calon perseorangan berawal dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 tanggal 23 Juli 2007 tentang Calon Perseorangan. Putusan MK tersebut lantas ditindaklanjuti dengan pembentukan UU 12/2008.
Dengan terbitnya UU 12/2008, terbuka kesempatan bagi calon kepala daerah untuk maju dalam pemilihan tanpa harus melalui pengajuan dari partai politik.
Pilkada langsung serentak
Seiring dengan makin maraknya penyelenggaraan pilkada di berbagai daerah, pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah menerbitkan UU 22/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. UU tersebut disahkan dan ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di pengujung masa tugasnya sebagai presiden pada 30 September 2014.
Undang-Undang tersebut mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah kepada DPRD. Namun, UU 22/2014 mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat. Oleh karena itu, pada 2015 di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, pemerintah menerbitkan UU 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Menjadi Undang-Undang.
Dengan UU tersebut, kepala daerah kembali dipilih secara langsung oleh rakyat. Regulasi ini juga menandai era pilkada serentak. Beberapa tahun sebelumnya, pilkada dilaksanakan pada tahun yang sama, tetapi pelaksanaannya belum tentu pada bulan dan tanggal yang sama.
Sesuai dengan dinamika perkembangan politik, UU 1/2015 mengalami empat kali pembaruan. Pembaruan pertama melalui UU 8/2015 tentang Perubahan atas UU 1/2015. Pembaruan kedua terjadi melalui UU 10/2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU 1/2015. Pembaruan ketiga dilakukan melalui Perppu 2/2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU 1/2015. Perppu 2/2020 ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 4 Mei 2020. Produk hukum ini mengatur perlunya penundaan pelaksanaan pilkada serentak di tengah pandemi. Perubahan keempat terjadi melalui UU 6/2020 tentang Penetapan Perppu 2/2020 Menjadi Undang-Undang.
Dengan demikian, UU 6/2010 merupakan aturan terbaru sebagai dasar penyelenggaraan pilkada serentak di tengah pandemi Covid-19. Undang-Undang ini ditandatangani Presiden Joko Widodo pada tanggal 11 Agustus 2020 tanpa banyak mengubah ketentuan syarat pencalonan kepala daerah sebagaimana tercantum dalam UU 10/2016. Teknis tahapan dan pelaksanaan pilkada di tengah pandemi selanjutnya dituangkan dalam peraturan KPU.
Semula, Pilkada Serentak 2020 akan dilaksanakan pada tanggal 23 September 2020. Akan tetapi, karena pandemi virus korona belum mereda, pelaksanaan pilkada dilaksanakan pada 9 Desember 2020. Pilkada Serentak 2020 dilaksanakan di 270 daerah, dengan perincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Pentingnya pilkada langsung
Pilkada lansung perlu dilakukan dengan berbagai alasan. Dalam artikel “Dinamika Politik Pilkada Serentak” yang diterbitkan Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI 2017, disebutkan sejumlah latar belakang perlunya penyelenggaraan pilkada langsung di negara ini.
Pertama, pilkada secara langsung diperlukan untuk memutus mata-rantai oligarki pimpinan partai dalam menentukan pasangan kepala dan wakil kepala daerah yang dipilih oleh DPRD. Selain itu, pemilihan oleh segelintir anggota DPRD pun cenderung oligarkis karena berpotensi sekadar memperjuangkan kepentingan para elite politik belaka.
Kedua, pilkada langsung diharapkan dapat meningkatkan kualitas kedaulatan dan partisipasi rakyat. Secara langsung, rakyat dapat menentukan dan memilih pasangan calon yang dianggap terbaik dalam memperjuangan kepentingan mereka.
Ketiga, pilkada langsung bagaimanapun mewadahi proses seleksi kepemimpinan secara bottom–up dan sebaliknya meminimalkan lahirnya kepemimpinan yang di-drop dari atas atau bersifat top-down.
Keempat, pilkada langsung diharapkan dapat meminimalkan politik uang yang umumnya terjadi secara transaksional ketika pemilihan dilakukan oleh DPRD. Karena diasumsikan relatif bebas dari politik uang, pimpinan daerah produk pilkada langsung diharapkan dapat melembagakan tata kelola pemerintahan yang baik dan menegakkan pemerintah daerah yang bersih.
Kelima, pilkada langsung diharapkan meningkatkan kualitas legitimasi politik eksekutif daerah sehingga dapat mendorong stabilisasi politik dan efektivitas pemerintahan lokal.
Pilkada serentak
Sementara itu, pilkada langsung yang diselenggarakan secara serentak sejak 2015 hingga sekarang dimaksudkan untuk meminimalkan biaya, baik sosial, politik, maupun ekonomi.
Sebelum dilaksanakan secara serentak, hampir setiap pekan berlangsung pilkada di daerah atau wilayah yang berbeda-beda, baik di provinsi, maupun kabupaten dan kota. Selain itu, meskipun bersifat lokal, dinamika politik pilkada berpotensi menimbulkan gejolak yang dipicu banyak faktor.
Di samping sebagai upaya meminimalkan biaya sosial, politik, dan ekonomi, pilkada langsung secara serentak diharapkan lebih efisien dari segi waktu dan biaya. Walaupun pilkada berlangsung di daerah, segenap dinamika yang menyertainya menyita perhatian dan energi. Melalui pilkada serentak, segenap dinamika yang menyertai pilkada disatuwaktukan agar perhatian dan energi bangsa selebihnya tercurah untuk pembangunan. Efisiensi yang sama diharapkan dapat dilakukan dalam pembiayaan pilkada.
Pada saat menjelang pilkada, APBD tersedot untuk segenap keperluan atas nama keberhasilan pilkada. Melalui pilkada serentak, yang sebagian pembiayaannya menjadi beban APBN, diharapkan terjadi efisiensi anggaran terkait pengeluaran untuk pesta demokrasi lokal tersebut.
Dalam rangka meminimalkan potensi konflik sosial dan gejolak politik serta demi lebih efektif dan efisien, pemerintah dan DPR bersepakat menyelenggarakan pilkada langsung secara serentak secara bertahap. Diharapkan, pilkada serentak secara nasional dapat terselenggara pada tahun 2024.
Syarat pencalonan kepala daerah
Pasangan calon kepala daerah di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota yang akan maju dalam pilkada diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
Sementara, pasangan calon kepala daerah yang akan maju melalui jalur perseorangan harus memenuhi syarat-syarat minimal dukungan. Berdasarkan UU 10/2016 Pasal 41 yang belum diubah hingga munculnya UU 6/2020, calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai calon gubernur, bupati, dan wali kota, jika memenuhi syarat dukungan mulai dari 6,5 persen hingga 10 persen dari daftar pemilih tetap (DPT) di suatu provinsi, kabupaten, atau kota yang sedang melakukan pemilihan kepala daerah (lihat catatan akhir).
Bagi calon gubernur, jumlah dukungan perlu tersebar di lebih dari 50 persen jumlah kabupaten atau kota di provinsi tersebut. Sedangkan bagi calon bupati atau wali kota, dukungan tersebut juga perlu tersebar di lebih dari 50 persen jumlah kecamatan di kabupaten atau kota tersebut.
Dukungan yang dimaksud berbentuk surat dukungan yang disertai dengan fotocopy kartu tanda penduduk elektronik atau surat keterangan yang diterbitkan oleh dinas kependudukan atau catatan sipil. Mereka yang dapat mendukung adalah mereka yang merupakan penduduk yang berdomisili di wilayah administratif yang sedang menyelenggarakan pemilihan paling singkat satu tahun. Selain itu pendukung juga harus tercantum dalam DPT dari pemilu sebelumnya di provinsi, kabupaten, atau kota yang dimaksud.
Pilkada pada masa pandemi
Pelaksanaan Pilkada Serentak di 270 daerah di Tanah Air semula dijadwalkan berlangsung pada September 2020. Namun, karena pandemi Covid-19 belum mereda, Pilkada 2020 ditunda hingga Desember 2020.
Sejumlah kalangan masih diliputi kekhawatiran bahwa pelaksanaan tahapan kampanye calon hingga pemungutan suara di bilik suara atau tempat pemungutan suara (TPS) bakal menimbulkan kluster baru kasus Covid-19. Meskipun demikian, pelaksanaan pilkada berlangsung pada 9 Desember 2020.
Pemerintah, DPR bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bersepakat membuat aturan baru agar proses Pilkada Serentak 2020 tetap berlangsung sesuai protokol kesehatan. Untuk Pilkada 2020, selain mengatur model kampanye, juga diatur model TPS untuk warga yang datang mencoblos.
Aturan tersebut terdapat dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 6 tahun 2020 yang ditetapkan pada 6 Juli 2020. Di dalamnya, diatur protokol kesehatan pada saat pemilihan, terkait TPS, petugas, dan pemilih. Di tiap TPS, jumlah total pemilih dibatasi dan akan disediakan tempat cuci tangan serta pengecekan suhu badan. Pemilih diwajibkan mengenakan masker, datang sesuai dengan jadwal yang ditentukan, hingga menjaga jarak antrean. Di sisi lain, petugas akan dites Covid-19 dan diwajibkan mengenakan sarung tangan, masker, dan face shield. (lihat catatan akhir).
Pilkada yang berlangsung di Tanah Air sejak 2005 merupakan perwujudan demokrasi dan sarana aspirasi rakyat untuk memilih pemimpin di daerahnya. Pilkada Serentak 2020 merupakan bagian pergulatan politik yang telah mewarnai pelaksanaan pilkada selama ini. Semua proses, hasil dan dampak, pilkada yang ada saat ini ditujukan agar dinamika demokrasi, politik, dan kondisi ekonomi Indonesia menjadi lebih baik. (LITBANG KOMPAS)
Catatan Akhir
Syarat dukungan calon gubernur jalur perseorangan:
- provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa harus didukung paling sedikit 10% (sepuluh persen).
- provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa harus didukung paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen).
- provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen).
- provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung paling sedikit 6,5% (enam setengah persen).
- jumlah dukungan tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kabupaten/kota di Provinsi dimaksud.
Syarat dukungan calon bupati atau wali kota jalur perseorangan:
- kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa harus didukung paling sedikit 10% (sepuluh persen).
- kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa harus didukung paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen).
- kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen).
- kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari (satu juta) jiwa harus didukung paling sedikit 6,5% (enam setengah persen).
- jumlah dukungan tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota dimaksud.
- Jumlah pemilih per-TPS dikurangi, dari maksimal 800 orang menjadi maksimal 500 orang.
- Kehadiran pemilih ke TPS diatur jamnya, setiap jam untuk sekian pemilih. Jadi, kehadiran pemilih diatur rata per jam, sehingga tidak menumpuk di pagi hari seperti sebelum-sebelumnya.
- Ketika pemilih antre di luar maupun saat duduk di dalam TPS diatur jaraknya, minimal 1 meter sehingga tidak terjadi kerumunan.
- Dilarang bersalaman, terutama antara petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dengan pemilih. Termasuk sesama pemilih.
- Disediakan perlengkapan cuci tangan portable atau wastafel dengan air mengalir dan sabun di TPS, bagi pemilih sebelum dan sesudah mencoblos.
- Petugas KPPS mengenakan masker selama bertugas, disiapkan masker pengganti sebanyak tiga buah selama bertugas. Pemilih diharapkan membawa masker sendiri dari rumah. Di area TPS hanya disediakan cadangan dalam jumlah terbatas.
- Petugas KPPS mengenakan sarung tangan selama bertugas. Setiap pemilih disediakan sarung tangan plastik (sekali pakai) di TPS.
- Petugas KPPS mengenakan pelindung wajah (face shield) selama bertugas.
- Saksi dan pengawas TPS yang hadir di TPS mengenakan masker yang menutupi hidung dan mulut hingga dagu, dan sarung tangan sekali pakai.
- Setiap pemilih diharapkan membawa alat tulis sendiri dari rumah untuk menuliskan atau memberikan tanda tangan dalam daftar hadir. Dengan cara ini, satu alat tulis tidak dipakai bergantian oleh ratusan orang.
- Di setiap TPS disediakan tisu kering untuk pemilih yang selesai mencuci tangan sebelum maupun sesudah mencoblos di TPS.
- Petugas KPPS yang bertugas di TPS harus menjalani rapid test sebelum bertugas, sehingga diyakini sehat dan tidak membahayakan pemilih selama bertugas.
- Setiap pemilih yang akan masuk ke TPS dicek suhu tubuhnya. Jika suhunya di bawah standar, dibolehkan untuk mencoblos di dalam TPS.
- Lingkungan TPS didesinfeksi sebelum maupun sesudah proses pemungutan dan penghitungan suara. Desinfeksi akan dilakukan secara berkala setiap pergantian mekanisme pemilih yang datang.
- Setiap pemilih yang selesai mencoblos tidak lagi mencelupkan jari ke dalam botol tinta, tetapi tintanya akan diteteskan oleh petugas.
- Jika terdapat pemilih bersuhu tubuh di atas standar (di atas suhu 37,3 derajat celsius), maka dipersilakan untuk mencoblos di bilik suara khusus, yang berbeda dengan bilik suara di dalam TPS, namun masih di lingkungan TPS tersebut.
Referensi
- Laman Komisi Pemilihan Umum
- Artikel: “Dinamika Politik Pilkada Serentak” diterbitkan Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, 2017
- Saraswati, Retno. Calon Perseorangan: Pergeseran Paradigma Kekuasaan dalam Pemilukada. Masalah-Masalah Hukum, [S.I.], v. 40, n. 2, p. 196-201, apr. 2011. ISSN 2527-4716. Dalam https://ejournal.undip.ac.id/index.php/mmh/article/view/10470/8346, doi: http://dx.doi.org/10.14710/mmh.40.2.2011.196-201.
- UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
- UU No. 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020
- Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 6 tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pilkada di tengah Pandemi Covid-19