KOMPAS/PAT HENDRANTO
Sementara beberapa foto menunjukkan kegiatan Presiden soeharto didampingi Mendagri Amir Mahmud, Sudharmono dan Gubernur Ali Sadikin (4/7/1971).
Fakta Singkat
Latar Belakang:
- Munculnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membuat hasil Pemilu 1955 dibubarkan oleh Presiden Soekarno
- Tragedi 1965 membuat parlemen diubah dengan dikeluarkannya anggota-anggota yang dituduh berhubungan dengan kelompok kiri
- Krisis ekonomi dan politik pasca tragedi 1965 membuat Presiden Soekarno diturunkan dan digantikan oleh Soeharto
Dasar Hukum:
- UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu Anggota-anggota Badan Pemusyawaratan/Perwakilan Rakyat.
- UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
Peserta Pemilu 1971:
Golongan Karya (Golkar), Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), dan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).
Artikel terkait
Dekrit Presiden yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 membuat hasil Pemilu 1955 dibubarkan. Presiden Soekarno kemudian memilih anggota parlemen sesuai dengan kehendaknya. Sejak saat itu, Presiden Soekarno menjalankan pemerintahan berdasarkan Demokrasi Terpimpin yang terpusat pada dirinya sendiri.
Sistem pemerintahan yang diatur oleh Presiden Soekarno inilah yang berujung pada ketidakstabilan politik di Indonesia. Perebutan kekuasaan antara Angkatan Darat dan kelompok kiri untuk saling mendekati Presiden Soekarno. Puncaknya adalah pada peristiwa 1965 yang menyeret nama Partai Komunis Indonesia sebagai dalang pemberontakan. Angkatan Darat pun bergerak untuk menangkapi anggota PKI.
Krisis politik pasca-1965 membuat Presiden Soekarno dicabut jabatannya sebagai presiden tidak lama setelah Pidato Nawaksara 1966. Soeharto pun naik menggantikannya, mula-mula sebagai Pejabat Presiden pada 1967 dan Presiden secara resmi pada 1968.
Dalam mengatasi krisis politik dan ekonomi, Presiden Soeharto perlu menata kembali sistem pemerintahannya yang berdasarkan pada demokrasi. DPR-GR dan MPRS pasca 1965 adalah bentukan Orde Lama. Oleh karena itulah, Presiden Soeharto ingin mengadakan pemilihan umum untuk memilih anggota-anggota parlemen. Apalagi pemilu terakhir diadakan pada 1955 yang dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada 1955.
Bubarnya Hasil Pemilu 1955
Hasil pemilihan umum 1955 ternyata tidak membawa kisah sukses dalam perkembangannya. Perebutan kekuasaan di antara partai-partai politik, Angkatan Darat, dan Presiden Soekarno membuat pemerintahan sarat akan konflik. Apalagi sejak diumumkannya UU Darurat Militer tahun 1957 membuat Angkatan Darat meningkatkan pengaruhnya di dalam pemerintahan. Sedangkan Kabinet Karya yang dipimpin oleh Perdana Menteri Ir. Djuanda lebih banyak diisi oleh orang-orang partai yang memiliki kepentingan.
Baru pada tahun 1958 setelah pemberontakan PRRI/Permesta, Presiden Soekarno dan militer mulai ikut campur dalam kekuasaan partai-partai politik. Menurut buku Pemilu Indonesia 1955-2009 dari Soekarno hingga Yudhoyono, antara bulan Juli hingga November 1958 Presiden Soekarno dan Angkatan Darat merancang Dewan Nasional yang bertujuan untuk menyederhanakan sistem kepartaian dan menciptakan Organisasi Front Nasional non-partai serta kelompok parlemen dengan wakil kelompok fungsional.
Namun peranan Angkatan Darat belum menonjol dalam Dewan Nasional. Pada Pembebasan Irian Barat, Angkatan Darat baru memainkan peranan dengan membentuk Front Nasional Pembebasan Irian Barat oleh Mayjen A.H. Nasution Kepala Staf Angkatan Darat. Sejak saat itu meningkatlah peranan Angkatan dengan membentuk Badan Kerja Sama (BKS) antara militer-sipil seperti BKS Pemuda-Militer dan BKS Ulama-Militer.
Peningkatan peranan Angkatan Darat dengan membentuk hubungan antara militer-sipil juga sebagai bagian untuk mengimbangi Partai Komunis Indonesia yang saat itu juga memiliki organisasi onderbouw. PKI secara perlahan mengembangkan pengaruhnya ke dalam Front Nasional, di sisi lain militer dan kelompok Islam berusaha membendung PKI. Sementara, Presiden Soekarno justru condong ke kiri, sehingga memberi angin segar bagi kelompok PKI.
Pada 5 Juli 1959 Presiden Soekarno juga mengeluarkan Dekrit Presiden yang menyatakan DPR hasil Pemilu 1955 dibubarkan. Alasannya karena saat itu anggota DPR menolak Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Presiden Soekarno pun kemudian membentuk DPR-GR dan MPRS yang semua anggotanya diangkat oleh Presiden.
Presiden Soekarno juga mengungkapkan manifesto politiknya dengan menggandeng UUD 1945 yaitu menyangkut tentang Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia. Semua terkandung dalam istilah Manipol-Usdek. Sejak saat itulah Presiden Soekarno mencanangkan Demokrasi Terpimpin yang di mana seluruh kekuasaan pemerintahan terpusat pada Presiden Soekarno.
Semenjak diberlakukannya Demokrasi Terpimpin, kekuatan di dalam partai-partai politik semakin dibatasi. Apalagi dengan adanya UU Darurat Militer 1957 berdampak pada dihapuskannya perwakilan partai di kabinet, dibatasinya ruang gerak mereka di parlemen, dan menutup kemungkinan partai-partai membuat keputusan besar di tingkat nasional.
Walaupun keberadaan dan fungsi partai semakin kecil di dalam parlemen dan kabinet, PKI dan sayap organisasinya semakin agresif. Kondisi ini seturut dengan keadaan di tingkat pemerintahan di mana Presiden Soekarno bersamaan dengan Manipol-Usdek-nya memberikan perhatian pada kekuatan kiri. Akibatnya, PKI saat itu dikenal begitu dekat dengan Presiden Soekarno.
Sepanjang tahun 1959–1965 pemerintahan Indonesia bagaikan segitiga dengan Presiden Soekarno berada di puncaknya, sedangkan di kanan-kirinya ada Angkatan Darat dan PKI. Ketiga kekuatan inilah yang saling memperebutkan kekuasaan di Jakarta. Apalagi Angkatan Darat dan PKI bersaing mendekati Presiden Soekarno untuk mendapatkan kepercayaan dari Sang Proklamator.
Persaingan antara ketiga kekuatan ini ternyata membawa dampak besar di dalam perjalanan Republik. Peristiwa 30 September 1965 menyeret nama PKI sebagai dalang kudeta pemerintahan Indonesia. Angkatan Darat bergerak cepat untuk melenyapkan PKI. Kontestasi dalam meraih kekuasaan pun akhirnya jatuh kepada Angkatan Darat setelah terbitnya Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang memerintahkan Jenderal Soeharto untuk menyelesaikan dampak peristiwa 1965.
Supersemar kemudian membawa Jenderal Soeharto naik takhta setelah Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS. Alasannya, karena dalam Pidato Nawaksara Presiden Soekarno tidak memberikan pertanggungjawaban pada peristiwa 1965. Hal ini membuat Soeharto dipilih oleh MPRS untuk menjadi Pejabat Presiden pada tahun 1967 dan Presiden tahun 1968. Sejak saat itu dimulailah pemerintahan Orde Baru.
Dalam buku Kisah Seorang Jenderal Idealis: H.R. Dharsono, konsep Orde Baru muncul sebagai alternatif untuk memulihkan kehidupan politik yang porak-poranda pada lima tahun terakhir masa Demokrasi Terpimpin. Penggunaan istilah Orde Baru sebagai kekuatan kontra terhadap Orde Lama pertama kali digunakan dalam kesatuan-kesatuan aksi di Jawa Barat ketika menyongsong Sidang Umum MPRS IV 20 Juni 1966.
Artikel terkait
KOMPAS/PAT HENDRANTO
Pertemuan antar partai politik di Jakarta (4/7/1971).
Rencana Pemilu
Setelah Soeharto diangkat sebagai Pejabat Presiden tahun 1967, Pemilu ternyata tidak segera digelar. Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 mengamanatkan agar Pemilu diselenggarakan selambat-lambatnya pada 5 Juli 1968. Hal ini disebabkan karena situasi politik saat itu sedang dalam krisis. Pejabat pemerintahan era Soekarno banyak yang ditangkap karena dituduh terlibat dalam peristiwa 1965. Sedangkan partai politik juga menekan pemerintahan yang baru agar segera menyelenggarakan pemilu untuk menggantikan pemerintahan yang lama.
Namun, dalam Sidang Istimewa MPRS tahun 1967, Pejabat Presiden Soeharto menyetujui Ketetapan MPRS Nomor XLII Tahun 1968, yang isinya menetapkan, pemilu digelar selambat-lambatnya tanggal 3 Juli 1971. Alasan mundurnya jadwal Pemilu ini karena pemerintah butuh waktu untuk menyelenggarakannya. Pada 14 Oktober 1969, Presiden Soeharto dalam konferensi kerja para gubernur se-Indonesia menyatakan perlu adanya persiapan meliputi cara mengamankan dan menyuksekannya, baik ditinjau dari perundang-undangan, pembiayaan, maupun persiapannya.
Presiden Soeharto bekerjasama dengan MPRS dan DPR-GR warisan dari pemerintahan sebelumnya untuk membentuk undang-undang Pemilu. Namun, ada beberapa tokoh-tokoh yang diganti karena dituduh terlibat dalam peristiwa 1965. Undang-undang yang perlu disusun adalah undang-undang tentang penyelenggaraan pemilu dan undang-undang tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama pemerintah bersama dengan DPR-GR berhasil menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu Anggota-anggota Badan Pemusyawaratan/Perwakilan Rakyat dan UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
Widjanarko Puspoyo dalam bukunya Pemilu Indonesia 1955-2009 dari Soekarno hingga Yudhoyono, menyatakan bahwa di dalam UU Pemilu tersebut mengandung beberapa butir konsensus. Pertama, Pancasila dan UUD 1945 tidak boleh diubah. Kedua, Pemilu harus memenangkan Orde Baru. Ketiga, ABRI tidak ikut Pemilu tetapi diangkat dan memiliki wakil di DPR-MPR 75 orang. Keempat, ada pengangkatan bagi anggota DPR Golkar non ABRI sebesar 25 persen. Kelima, pengangkatan anggota MPR dari utusan golongan dan utusan daerah. Keenam, jumlah anggota DPR ditetapkan 460 orang terdiri dari 360 anggota dipilih lewat Pemilu dan 100 orang diangkat. Ketujuh hingga kesembilan, sistem pemilihannya adalah proporsional representasi terbatas, stelsel pemilihannya stelsel daftar, dan daerah pemilihannya daerah tingkat I (Provinsi).
Konsensus nasional Orde Baru bertujuan untuk melaksanakan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Latar belakang munculnya konsensus ini adalah situasi dan pengalaman traumatis sepanjang masa Orde Lama. Dengan adanya konsensus ini harapannya dapat tercapai kestabilan politik dan keamanan demi mewujudkan pembangunan ekonomi nasional.
Pemerintah juga menyusun peraturan untuk membentuk badan penyelenggara Pemilu melalui Keputusan Presiden No. 3 Tahun 1970 tentang Lembaga Pemilihan Umum (LPU). Badan ini diketuai oleh Menteri Dalam Negeri dan tidak terikat pada tugas-tugas departemen sehingga statusnya yaitu otonom.
Dalam buku Nuansa Pemilihan Umum yang diterbitkan oleh Komisi Pemilihan Umum disebutkan bahwa LPU terdiri dari Dewan Pimpinan, Dewan Pertimbangan, dan Sekretariat Umum LPU. Pada LPU diadakan panitia yang disebut sebagai Panitia Pemilihan Indonesia yang terbagi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Di tingkat kecamatan disebut Panitia Pemungutan Suara, di kelurahan disebut Panitia Pendaftar Pemilih. Selain itu juga diatur panitia untuk pemilih yang tinggal di luar negeri.
Pemerintah juga melakukan pendataan ulang siapa saja yang berhak untuk melakukan pemilihan pada saat pemilu nantinya. Pendaftaran pemilih juga berbarengan dengan kegiatan sensus penduduk. Menurut Undang Undang No. 6/1960, tiap sepuluh tahun sekali diadakan sensus penduduk oleh Biro Pusat Statistik untuk mengetahui jumlah serta perkembagan penduduk di Indonesia. Sensus penduduk yang terakhir diadakan pada tahun 1961. Sehingga, sensus penduduk berikutnya jatuh pada tahun 1971.
Pada Juli 1970 diadakan pendaftaran pemilih dan pendaftaran penduduk warga negara Indonesia oleh Panitia Pendaftaran Pemilih, sementara Biro Pusat Statistik melaksanakan pembentukan blok sensus dan pendaftaran rumah tangga.
Dari hasil sensus tahun 1970, jumlah penduduk Indonesia (WNI) yang berhak memilih dalam pemilu adalah 57.750.615 orang. Ini berarti 50,23 persen dari seluruh WNI yang tercatat, yakni 114.972.428 jiwa. Jumlah ini termasuk 52.000 orang yang tinggal di luar negeri, di antaranya 19.490 telah terdaftar sebagai pemilih.
KOMPAS/PAT HENDRANTO
Terakhir masa kampanye NU, PNI dan Partai Katolik mengadakan rapat umum di Istora Senayan Jakarta (26/6/1971).
Partai Politik
Pasca-peristiwa 1965, partisipasi masyarakat di dalam politik muncul kembali. Menurut R. William Liddle dalam bukunya yang berjudul Pemilu-pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik, sejumlah kelompok dan individu berebut posisi dalam rezim baru dan berusaha untuk menerapkan konsepsi-konsepsi mereka tentang tata politik yang paling tepat untuk Indonesia. Maka dari itu, tidak heran muncul kelompok-kelompok baru yang ingin mendirikan parpol baru atau membangkitkan parpol yang dibekukan oleh rezim terdahulu.
Keadaan tersebut membuat pemerintah Orde Baru perlu menyeleksi kembali partai-partai politik yang diperbolehkan untuk ikut serta dalam Pemilu 1971. Partai politik yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam pemberontakan dilarang untuk ikut bahkan harus dibubarkan. Setidaknya menurut pemerintah partai politik yang diizinkan haruslah mereka yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945 serta tidak pernah mengkhianati negara.
Pemerintah juga tidak menutup kemungkinan munculnya partai baru dan diizinkannya kembali partai-partai yang dibekukan oleh pemerintahan sebelumnya. Pemerintah tidak menyatakan keberatannya, tetapi partai baru tersebut hanya bisa dibentuk dengan memenuhi persyaratan yang dikehendaki oleh pemerintah.
Salah satu partai baru yang ikut dalam Pemilu 1971 adalah Partai Muslimin Indonesia atau Parmusi yang disahkan oleh Presiden Soeharto pada 20 Februari 1968. Parmusi dibentuk untuk menampung partai-partai Islam yang sudah ada dengan ormas-ormasnya seperti Muhammadiyah, HMI, Ansor, dan semua ormas Islam lainnya difusikan menjadi satu.
Selain itu, pada Pemilu 1971 juga terdapat Golongan Karya atau Golkar. Pada awal pembentukannya, organisasi ini diresmikan oleh Presiden Soekarno dan dikenal sebagai Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Golkar sendiri adalah anggota dari Front Nasional yang dibentuk oleh Presiden Soekarno bersama dengan Angkatan Darat untuk menyeimbangkan kekuatan dengan partai-partai politik.
Dalam perkembangan selanjutnya Golkar ikut menjadi anggota DPR-GR. Seperti yang terlihat dalam laporan Kompas pada 25 Februari 1968 bahwa sesuai dengan Sidang Pleno DPR-GR tanggal 17 Februari 1968 ditetapkan adanya tiga fraksi bagi Golongan Karya. Mereka sangat giat melakukan pembersihan kelompok-kelompok kiri yang terlibat di dalam peristiwa 1965. Golkar berpendirian bahwa mereka dibentuk sebagai organisasi yang “memurnikan kembali” UUD 1945 dan menentang kelompok-kelompok anti-Pancasila.
Saat itu, Golkar muncul sebagai kekuatan baru di dalam pemerintahan Orde Baru. Golkar diidentikkan dengan pembangunan dan menjadi pendukung utama Orde Baru. Hal ini sesuai dengan slogan dari pemerintahan Orde Baru, yakni “Politik No, Pembangunan Yes”. Upaya ini dimaksudkan untuk menumbuhkan wajah baru betapa pentingnya pembangunan ekonomi nasional dan menjadi titik awal semangat Orde Baru.
Langkah-langkah Golkar yang didukung oleh Angkatan Darat membuat mereka cukup disegani di dalam parlemen. Tidak mengherankan sejak peristiwa 1965, nama Golkar pun naik daun dan mendapatkan tempat di tengah masyarakat. Meskipun begitu Golkar tidak menganggap dirinya sebagai partai tetapi sebagai sekretariat bersama (sekber), namun memiliki hak untuk dipilih setara dengan partai-partai politik lainnya.
Akhirnya, terpilih sembilan partai dan Golongan Karya. Sembilan partai yang terpilih adalah Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), dan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).
Partai lain seperti Masjumi dan PSI dibubarkan pada tahun 1960. Murba pernah dibekukan akhir tahun 1965, tetapi kemudian direhabilitasi Orde Baru. Ada dua partai yang diakui pada tahun 1960, tetapi tidak diikutkan pada pemilu 1971, yaitu PKI dan Partindo. PKI telah dibubarkan dengan TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966. Partindo tidak ikut Pemilu 1971 karena tidak lama setelah peristiwa 1965, keanggotaannya di DPR-GR dibekukan.
Sesaat setelah diumumkan tanggal kepastian Pemilu 1977, para peserta partai politik dapat melakukan kampanye. Kegiatan ini sebagai salah satu wahana bagi parpol untuk mempengaruhi masyarakat pemilih melalui program-program yang ditawarkan. Harapannya mereka dapat memberikan dukungan suara sebanyak-banyaknya kepada parpol dalam pemungutan suara nanti.
Bentuk-bentuk kampanye yang diperbolehkan adalah rapat umum, pawai, keramaian umum, pesta umum, pertemuan umum, penyiaran melalui RRI/TVRI, penyebaran kepada umum dan/atau penempelan di tempat umum berupa poster, plakat, spanduk, brosur, tulisan, dan penggunaan media massa serta alat peraga lainnya.
Pelaksanaan kampanye selama 60 hari dengan masa tenang 7 hari. Setelah kampanye Pemilu berakhir, dilanjutkan dengan masa tenang di mana para parpol tidak diperbolehkan untuk melakukan kegiatan kampanye dalam bentuk apapun sampai hari pemungutan suara. Selama masa tenang, seluruh alat peraga kampanye dalam radius 200 menter di sekitar TPS harus dibersihkan. Sedangkan para pemilih pada masa tenang diberi kesempatan untuk memahami dan menilai program-program yang ditawarkan parpol.
KOMPAS/PAT HENDRANTO
Suasana di tempat pemungutan suara (3/7/1971).
Pelaksanaan dan Hasil Pemilu
Pemilu 1971 akhirnya dilaksanakan secara serentak pada 3 Juli 1971. Pemilu tersebut merupakan Pemilu pertama pada masa Orde Baru dan Pemilu yang kedua setelah Indonesia berhasil menyelenggarakannya pada tahun 1955. Sistem pemungutan suara Pemilu 1971 tidak berbeda dengan Pemilu 1955. Para pemilih datang ke tempat pemungutan suara lalu mencoblos parpol di surat suara setelah itu baru dimasukkan ke dalam kotak suara.
Berikut ini hasil perolehan suara pada Pemilu 1971.
No. | Partai | Suara | Persentase |
1 | Golongan Karya (Golkar) | 34.348.673 | 62,80 |
2 | Nahdlatul Ulama (NU) | 10.213.650 | 18,67 |
3 | Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) | 2.930.746 | 5,36 |
4 | Partai Nasional Indonesia (PNI) | 3.793.266 | 6,94 |
5 | Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) | 1.308.237 | 2,39 |
6 | Partai Kristen Indonesia (Parkindo) | 733.359 | 1,34 |
7 | Partai Katolik | 603.740 | 1,10 |
8 | Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) | 381.309 | 0,70 |
9 | Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) | 338.403 | 0,09 |
10 | Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) | 48.126 | 0,09 |
Jumlah | 54.699.509 | 100,00 |
Sumber: Komisi Pemilihan Umum
Melihat hasil Pemilu 1971, Golkar sebagai pendatang baru langsung menggebrak dengan perolehan suara lebih dari lima puluh persen dari total pemilih. Hal ini jugalah yang membuat parlemen pada masa Orde Baru dikuasai oleh Golkar. Pengaruh dari konsensus nasional yang disetujui pada pembentukan UU Pemilu memberikan Golkar suara terbanyak untuk mendapatkan jatah kursi lebih banyak di DPR.
Selain itu, selama berkampanye Golkar selalu menyuarakan slogan tentang Pembangunan Indonesia. Jargon ini sama dengan program pemerintahan Presiden Soeharto yang ingin mempercepat pembangunan untuk mendukung perekonomian Indonesia. Tentu saja hal ini didukung oleh masyarakat yang ingin lepas dari jeratan krisis ekonomi 1960-an.
Menurut R. William Liddle selain trauma politik dan faktor ekonomi, kepatuhan dan ketakutan kepada penguasa adalah unsur terpenting di dalam kemenangan Golkar. Secara tidak langsung pengaruhnya masuk melalui pemimpin-pemimpin desa dan meresap di kalangan warga desa biasa.
Kompas yang terbit tanggal 22 Juli 1971 membahas beberapa faktor yang membuat Golkar bisa meraih suara banyak. Analisa yang dikemukakan oleh Dr Median Sirait, salah seorang eksponen Golkar, mengemukakan ada enam faktor penyebab kemenangan Golkar.
Pertama, pembangunan yang dilakukan pemerintah memperlihatkan dan mengindentikan Golkar dengan Pemerintah. Kedua, kelemahan-kelemahan parpol pada masa lampau. Ketiga, kampanye Golkar menemukan sasaran di hati rakyat, karena Golkar mengkampanyekan hal-hal yang nyata/konkrit seperti masalah-masalah pembangunan, pertanian, industri, dan sebagainya. Keempat, organisasi Golkar sangat efektif hingga menjalar sampai ke desa-desa. Kelima, peranan kaum cendekiawan dalam Golkar sangat menonjol. Keenam, peranan unsur-unsur kesatuan aksi sebagai penerus perjuangan angkatan ’66 sangat menonjol dalam Golkar
Akibatnya, banyak dari pendukung parpol lain kemudian bergabung dengan Golkar supaya tidak berurusan dengan pihak keamanan. Salah satu contohnya adalah beberapa anggota dari PNI yang berbondong-bondong untuk pindah haluan kepada Golkar. Terlihat dalam perolehan suara di mana pada Pemilu 1955 PNI adalah pemenang Pemilu dengan mayoritas kursi di parlemen. Namun, pada Pemilu 1971 tidak sampai sepuluh persen yang memilih partai peninggalan Soekarno tersebut.
Fenomena yang menarik pula di mana tiga besar perolehan suara Pemilu 1971 selain dikuasi oleh Golkar terdapat dua partai Islam yang mendapatkan suara lebih banyak dari partai nasionalis. NU memperoleh persentase suara sebanyak 18,67% dan Parmusi sebanyak 5,36%. Kondisi ini memperlihatkan bahwa masyarakat masih menjadi pemilih yang aman dengan memilih partai-partai Islam. Tentu saja tujuannya adalah untuk mengamankan diri supaya tidak dituduh komunis.
Akibatnya, partai politik yang berhaluan nasionalis diambang kehancuran. Memang mereka tidak terlibat secara langsung di dalam peristiwa 1965, namun PNI terlalu identik dengan Soekarno yang dituduh mendukung kelompok kiri. Masyarakat hanya dihadapkan pada dua pilihan, yakni memilih partai-partai Islam atau memilih Golkar yang menjadi pilihan paling aman. Pemilu 1971 menunjukkan awal dominasi Golkar pada masa Orde Baru. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Aly, Rum. 2023. Kisah Seorang Jenderal Idealis: H.R. Dharsono. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
- Thahir, Samad. Tanpa tahun terbit. Nuansa Pemilihan Umum di Indonesia. Jakarta: Komisi Pemilihan Umum.
- Liddle, R. William. 1992. Pemilu-pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik. Jakarta: LP3ES.
- Puspoyo, Widjanarko. 2012. Pemilu Indonesia 1955-2009: Dari Soekarno Hingga Yudhoyono. Solo: Era Adicitra Intermedia.
- Reeve, David. 2013. Golkar: Sejarah yang Hilang, Akar Pemikiran & Dinamika. Depok: Komunitas Bambu.
- “Presiden Sambut Golongan Karya”. KOMPAS, 20 September 1965.
- “Tiga fraksi Gol. Karya dlm DPR-GR”. KOMPAS, 26 Februari 1968.
- “Djenderal Soeharto Tentang: Kemungkinan Terbentuknja Partai baru”. KOMPAS, 12 Mei 1967.
- “Partai Muslimin Indonesia disjahkan”. KOMPAS, 21 Februari 1968.
- “Presiden Soeharto: Pemilu Harus Sekaligus Sederhanakan Struktur Politik”. KOMPAS, 15 Oktober 1969.
- “Mengapa Partai-partai Politik Surut? * Berbagai Alternatif Untuk Mengatasinja”. KOMPAS, 10 Desember 1969.
- “Sensus penduduk dan pendaftaran pemilu”. KOMPAS, 10 April 1970.
- “Djumlah Penduduk Indonesia Jang Berhak Memilih 57.750.615 Orang * Berarti 50,23% Dari Seluruh Warganegara”. KOMPAS, 22 April 1971.
- “Pegawai2 Pemerintah Harus Berloyalitas Tunggal Pada Pemerintah”. KOMPAS, 13 Mei 1971.
- “Hasil resmi Pemilu 3 Djuli 1971”. KOMPAS, 10 Agustus 1971.
- “Parlementaria: Sebab2 kemenangan Golkar dan artinja bagi parpol”. KOMPAS, 22 Juli 1971.
- “Pemilu: Pemilu Pertama Rezim Orde Baru * Rumah Pemilu 2019”. KOMPAS, 19 Januari 2019.
- Selma, Muhammad Yahya. 2009. “Perjalanan Panjang Pemilu di Indonesia”, dalam Jurnal Konstitusi. Palembang: PKK-FH Universitas Muhammadiyah Palembang.