Paparan Topik | Bencana

Mitigasi Bencana: Hidup Berdampingan dengan Bencana

Wilayah berisiko bencana alam di Indonesia kian banyak. Lemahnya antisipasi bencana berpotensi mengancam keselamatan jiwa dan kerugian ekonomi yang kian besar. Mitigasi bencana menjadi upaya nyata untuk mereduksi kerugian akibat bencana.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Foto keluarga yang ditemukan di lokasi tanah longsor di Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Banjarnegara, Minggu (14/12/2014). Sampai pukul 17.00 WIB, total jumlah korban longsor yang berhasil dievakuasi sebanyak 39 orang.

Fakta singkat

  • Mitigasi diartikan sebagai setiap tindakan berkelanjutan yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko jangka panjang terhadap harta dan jiwa manusia.
  • Pada kurun 2000–2022 intensitas bencana alam meningkat rata-rata hingga 26 persen per tahun.
  • Tingkat bahaya akibat bencana secara nasional menunjukkan tren semakin tinggi apabila dibandingkan dengan dua dekade sebelumnya.
  • Sebanyak 8 dari 34 provinsi termasuk dalam wilayah bencana kategori bahaya tinggi.
  • Rutinitas ribuan bencana memberikan efek negatif bagi 3,2 juta manusia setiap tahunnya.

 

 

 

 

Ribuan peristiwa bencana terjadi di beberapa lokasi di Indonesia setiap tahunnya. Sebanyak 8 dari 34 provinsi termasuk dalam kategori bahaya tinggi karena luasnya cakupan area terdampak dan tingginya intensitas bencana di wilayah bersangkutan.

Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) 2022, tingkat bahaya secara nasional menunjukkan tren semakin tinggi apabila dibandingkan dengan dua dekade sebelumnya.  Rutinitas ribuan bencana yang terjadi memberikan efek negatif terhadap 3,2 juta manusia setiap tahunnya. Angka ini kemungkinan terus meningkat seiring bertambah tingginya frekuensi kejadian bencana di Indonesia. 

Pada kurun 2000–2022, intensitas bencana alam meningkat rata-rata hingga 26 persen per tahun. Hal ini memiliki dua makna pemahaman. Pertama, semakin banyak wilayah yang terdampak bencana dan yang kedua mengindikasikan frekuensi kejadian bencana di suatu wilayah juga semakin besar.

Sebaran bencana di Indonesia tergolong merata di berbagai lokasi menunjukkan bahwa tidak ada wilayah yang benar-benar aman dari kejadian bencana.

Data Potensi Desa dari Badan Pusat Statistik (BPS) turut merekam dengan jelas wilayah-wilayah yang paling terdampak bencana dan paling buruk dalam sistem mitigasi. Analisis tiga periode pencatatan, yaitu 2014, 2018, dan 2021, memberikan gambaran jelas betapa bahayanya sejumlah wilayah di Indonesia.

Wilayah paling terdampak biasanya memiliki sejarah kejadian bencana yang cenderung terus berulang dalam tempo yang lama. Bisa menjadi siklus tahunan, lima tahunan, setiap dekade, atau bahkan hingga 50 tahunan atau lebih. Wilayah-wilayah yang ajek atau selalu terdampak dapat dikategorikan sebagai wilayah paling berbahaya.

Biasanya, wilayah atau daerah tersebut memiliki sejumlah faktor kunci yang memicu terjadinya bencana berbahaya, seperti berada pada posisi sesar penyebab gempa, alih fungsi lahan di hulu yang menyebabkan banjir bandang, dan buruknya perencanaan wilayah sehingga menjadi langganan banjir.

Salah satu karakteristik bencana yang sangat mematikan adalah munculnya efek domino, di mana suatu peristiwa bencana memicu kejadian bencana lainnya.

Salah satu contohnya adalah gempa bumi di Palu berkekuatan M 7,4 pada akhir September 2018. Bencana geologi ini menyebabkan gelombang tsunami di sepanjang pesisir bagian teluk Sulawesi Tengah dan diikuti likuifaksi di tiga titik wilayah. Efek domino serupa terjadi setelah gempa di Cianjur pada 2022 yang menyebabkan longsoran besar di daerah perbukitan.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Kondisi kerusakan akibat gempa bumi di Jalan Cisarua, Sarampad, Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Rabu (23/11/2022). Selain menimbulkan korban, longsor, dan kerusakan bangunan, gempa bermagnitudo 5,6 di Cianjur juga merusak infrastruktur jalan.

Upaya Mereduksi Risiko

Mitigasi acap menjadi salah satu titik lemah dalam keseluruhan proses pengelolaan tindakan dalam menghadapi bencana di negeri ini. Mitigasi diartikan sebagai setiap tindakan yang berkelanjutan yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko jangka panjang terhadap harta dan jiwa manusia. Jadi mitigasi dapat dikatakan sebagai sebuah mekanisme agar masyarakat dapat menghindari dampak dari bencana yang potensial terjadi.

Tindakan-tindakan ini dapat berfokus pada penghindaran bencana, khususnya menghindari penempatan manusia dan harta benda di daerah yang berbahaya, dan usaha-usaha untuk mengendalikan bahaya melalui berbagai pembangunan fasilitas khusus dan penerapan teknologi tertentu.

Kedua jenis proses mitigasi ini memerlukan pengetahuan mengenai kemungkinan timbulnya risiko terjadinya bahaya. Pencegahan dan sistem mitigasi terdiri dari organisasi-organisasi yang berkaitan dengan manajemen berencana, pencegahan, pengendalian, dan penyelamatan.

Regulator perlu membangun sebuah sistem menyangkut perlindungan dan pengendalian dari bencana sesuai dengan tingkat perkembangan sosial ekonomi. Sebuah sistem integral yang memadukan rekayasa teknologi dengan berbagai aspek lain seperti aspek legal, administrasi, ekonomi, manajerial, dan pendidikan sebagai “pengaman” bagi stabilitas sosial dan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

Sistem tersebut mencakup aktivitas dan kebijakan perlindungan yang memiliki jangkauan luas yang dapat dimulai dari hal-hal yang bersifat fisik, seperti konstruksi bangunan yang lebih kuat sampai dengan yang berkaitan dengan masalah prosedur dan hukum, begitu juga dengan teknik standar untuk memperhitungkan ancaman dan perencanaan manfaat lahan. Keberadaan sistem ini berfungsi untuk mengamankan pembangunan dan stabilitas sosial, walaupun “diterjang bencana”. 

Namun, banyak pihak masih memiliki pemahaman yang kurang komprehensif terhadap mitigasi, yang sekadar diartikan mengurangi risiko. Masih banyak yang mengartikan mitigasi sebagai tindakan mengurangi penderitaan korban yang kehilangan harta akibat bencana alam dalam skala besar.

Sebagian masyarakat menganggap bahaya akibat ancaman bencana dapat terjadi tanpa diduga. Namun hal ini harus diimbangi dengan upaya memperbaiki kemampuan masyarakat untuk meminimalkan kerusakan.  

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Seorang warga menunggu angkutan menuju pengungsian di sekitar rumah mereka yang roboh akibat gempa di Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Selasa (22/11/2022). Kondisi kerusakan akibat gempa yang melanda Cianjur pada Senin (21/11/2022) terlihat pada sejumlah wilayah desa yang terdampak. Selain kerusakan parah, gempa darat dengan berkekuatan 5,6 SR ini juga menimbulkan korban jiwa lebih dari 165 jiwa dan ratusan lainnya luka-luka. Warga yang selamat pun mengungsi ke sejumlah ruang terbuka sekitar rumah mereka. Selain mengungsi, warga jg membutuhkan membutuhkan bantuan tenda yang layak huni di musim hujan, makanan, obat-obatan, dan air bersih.

Isu Utama dalam Mitigasi Bencana

Seperti halnya perang melawan penyakit, perang melawan bencana harus dilakukan secara bersama-sama oleh setiap orang. Upaya ini harus melibatkan sektor pemerintah dan swasta, perubahan dalam perilaku sosial dan perbaikan dalam praktik-praktik individu.

Pada tingkat individu, seperti halnya pada tingkat institusi, mitigasi umumnya berkaitan dengan memahami dan menghindari risiko yang tidak perlu.

Dalam mitigasi bencana terdapat sejumlah isu utama, yakni sasaran mitigasi; mengurangi bahaya dan kerawanan; peralatan, kekuasaan, anggaran; dan waktu.

Prinsip utama dalam mitigasi adalah menyelamatkan jiwa dan harta. Hal paling buruk akibat terjadinya suatu bencana adalah kematian dan cedera yang dialami oleh penduduk. Skala bencana dan jumlah korban yang mungkin ditimbulkan adalah alasan utama yang mendasari pentingnya mitigasi. Memahami bagaimana orang tewas dan cedera pada saat terjadinya bencana adalah prasyarat utama mengurangi jumlah korban.

Memahami bagaimana sebuah ancaman atau kecelakaan menjadi sebuah bencana memudahkan untuk meramalkan situasi yang kemungkinan dapat berubah menjadi bencana. Mengidentifikasi elemen mana yang paling berisiko dapat menjadi tolok ukur untuk menentukan prioritas dalam melakukan mitigasi.

Dengan mengidentifikasi situasi dan lokasi di mana kombinasi risiko muncul secara bersamaan, elemen-elemen yang paling berisiko dapat lebih mudah ditentukan.

Elemen paling berisiko berarti elemen-elemen, seperti bangunan, jaringan, dan kelompok sosial, yang menjadi faktor utama pencetus kerugian yang terjadi akibat bencana yang terjadi di masa datang.

Dapat pula menimbang elemen-elemen yang paling menderita atau mengalami kerusakan paling parah akibat bencana. Elemen-elemen ini ditengarai memiliki kemungkinan paling kecil untuk pulih setelah terjadi bencana. Dengan demikian elemen tersebut dapat ditempatkan sebagai prioritas dalam tindakan mitigasi.

Perlindungan terhadap ancaman  terjadinya bencana dapat dicapai dengan melakukan modifikasi atau menyingkirkan penyebab ancaman yang berarti, untuk mengurangi bencana. Bisa juga mengurangi dampaknya atau mengurangi tingkat kerawanannya. Misalnya kebijakan penerapan rencana umum tata ruang suatu wilayah untuk mencegah terjadinya banjir.

Bagi sebagian besar jenis bencana alam, adalah tidak mungkin untuk menghindari dari peristiwa bencana yang akan terjadi. Fokus utama kebijakan mitigasi untuk jenis bahaya ini adalah mengurangi tingkat kerawanan elemen yang memungkinkan terkena dampak bencana. 

Pengurangan risiko bencana sejatinya merupakan hal yang kompleks dan perlu dibangun melalui serangkaian aktivitas yang dilakukan bersama. Pemangku wilayah misalnya, dapat memanfaatkan berbagai peralatan dan wewenang yang dimilikinya dalam banyak  cara untuk menjamin keselamatan masyarakat.

Kekuasaan menetapkan peraturan, fungsi administratif, pengeluaran dan usulan proyek semuanya adalah sarana yang bisa dimanfaatkan untuk melakukan mitigasi bencana.

Dari sisi waktu, kebijakan mitigasi untuk mengurangi risiko sering dilakukan sebelum bencana. Kenyataannya, waktu yang paling tepat untuk mengimplementasikan kebijakan mitigasi adalah setelah bencana. Kesadaran masyarakat akan bahaya yang ditimbulkan akibat bencana akan menjadi tinggi, begitu pula kemauan politik untuk melaksanakannya biasanya juga sedang tinggi. 

KOMPAS/PRIYOMBODO

Petugas gabungan bersama-sama melakukan pencarian korban hilang yang tertimbun tanah longsor dampak dari gempa bumi bermagnitudo 5,6 di Desa Cijedil, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Rabu (27/11/2022). Evakuasi korban masih menjadi prioritas petugas SAR gabungan di hari ketiga pasca bencana gempa bumi.

Praktik nenek moyang

Beragamnya jenis bencana yang melanda di suatu wilayah membuat skema mitigasi bencana menjadi sangat kompleks. Perlu kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan langkah pencegahan. Tujuannya, tercipta informasi dan kolaborasi yang kuat mengenai langkah mitigasi bencana secara umum, mulai dari pencegahan, kondisi darurat, hingga pemulihan pascabencana. Semakin baik informasi yang dimiliki pemerintah dan masyarakat, maka akan semakin tinggi pula tingkat keselamatan yang tercipta saat terjadi bencana sesungguhnya.

Adopsi kearifan lokal direkomendasikan untuk mencegah bencana dan timbulnya korban jiwa. Hal ini sebetulnya telah dipraktikkan nenek moyang dan diwariskan dari generasi ke generasi.

Kearifan lokal masyarakat Baduy Dalam di Banten, misalnya, membangun rumah tanpa mengubah struktur dan kemiringan tanah. Tiang penyangga rumah disesuaikan dengan kemiringan tanah sehingga permukaan lantai tetap datar. Dengan tidak mengubah kontur tanah, jika hujan turun, air dapat tetap mengalir dan potensi banjir bisa dihindari (Kompas.id, 30/10/2019).

Kearifan lokal juga terkandung di naskah La Galigo, naskah kuno masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan. Salah satu cerita di naskah itu berkisah soal dewi padi Sangiang Serri dan kucing hitam loreng. Keduanya berkelana mencari manusia berbudi baik. Dalam perjalanan, mereka sempat tinggal di rumah panggung kayu milik warga. Rumah panggung dulu umum dijumpai di Sulawesi pada masa lampau.

Akhirnya, keselamatan lebih dari 270 juta jiwa penduduk Indonesia adalah prioritas. Tidak hanya nyawa yang dapat terselamatkan, tetapi dampak lainnya, seperti ekonomi, juga dapat terus diminimalkan.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, kerugian ekonomi akibat bencana bisa mencapai puluhan triliun rupiah, sedangkan alokasi APBN untuk penanggulangan risiko hanya sekitar Rp 10 triliun per tahun. Semakin baik langkah mitigasi, maka semakin efisien anggaran yang disediakan dan semakin banyak nyawa yang bisa terselamatkan serta meminimalkan kerugian harta. (LITBANG KOMPAS)

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Deretan rumah gadang di Jorong Baruh Bukit, Nagari Andaleh Baruh Bukit, Kecamatan Sungayang, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, Minggu (19/2/2012). Rumah gadang menjadi salah satu konstruksi bangunan tradisional yang telah terbukti tahan terhadap guncangan gempa.

Referensi

Arsip Kompas
  • Besarnya Kesenjangan Antara Mitigasi Dan Risiko Bencana Di Indonesia. KOMPAS(Nasional) – Selasa, 13 Desember 2022 Halaman: A
  • Saatnya Melepas Ego Sektoral. KOMPAS(Nasional) – Kamis, 08 Desember 2022   Halaman: 14
  • Mitigasi Bencana: Zona Gempa dan Rumah Tahan Gempa. KOMPAS(Nasional) – Kamis, 24 November 2022   Halaman: 1 dan 15
  • Kearifan Lokal untuk Cegah Bencana. KOMPAS(Nasional) – Senin, 21 November 2022   Halaman: 5
  • Peringatan Dini Berbasis Komunitas Bisa Diandalkan. KOMPAS(Nasional) – Jumat, 07 Oktober 2022   Halaman: 8
Buku
  • Permana, Cecep Eka. 2010. Kearifan lokal masyarakat Baduy dalam mitigasi bencana. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
  • Diposaptono, Subandono. 2007. Mengantisipasi bencana:gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur Sidoarjo. Bogor: Penerbit Buku Ilmiah Populer.
  • Sudibyakto, HA. 2011. Manajemen bencana di Indonesia ke mana? Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  • Anies. 2017. Negara sejuta bencana: identifikasi, analisis & solusi mengatasi bencana dengan manajemen kebencanaan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
  • Susanto, AB. 2006. Disaster management: di negeri rawan bencana. Jakarta: Jakarta Consulting Group – Eka Tjipta Foundation.
  • Tanusaputra, Jozef. 2015. Bertahan hidup di negeri bencana: pola pikir dan cara hidup dalam menghadapi segala bencana. Jakarta: Elex Media Komputindo.
  • Sinha, Dilip Kumar. 2007. Natural disaster reduction: South East Asian realities, risk perception and global strategies. London: Anthem Press.