Paparan Topik | Pemilihan Umum

Merunut Jejak Penyelenggaraan Pemilu 1955 – 2019

Pemilihan umum atau pemilu menjadi agenda penting bagi negara demokrasi. Pemilu merupakan ajang perwujudan ”kedaulatan rakyat”, sekaligus proses demokrasi untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat.

IPPHOS

Presiden RI Soekarno sedang memasukkan tanda gambar yang telah dicoblosnya ke dalam kotak suara pada Pemilu 1955.

Fakta Singkat

Pemilu 1955 – 2019

Partai Pemenang Pemilu

  • 1955: Partai Nasional Indonesia (PNI)
  • 1971: Golongan Karya (Golkar)
  • 1977: Golkar
  • 1982: Golkar
  • 1987: Golkar
  • 1992: Golkar
  • 1997: Golkar
  • 1999: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P)
  • 2004: Golkar
  • 2009: Partai Demokrat
  • 2014: PDI-P
  • 2019: PDI-P

Presiden dan Wakil Presiden Terpilih

  • 2004: Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla
  • 2009: Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono
  • 2014: Joko Widodo-Jusuf Kalla
  • 2019: Joko Widodo-Ma’aruf Amin

 

Di Indonesia, pemilu pertama kali diselenggarakan pada 1955, pada era Soekarno. Hingga saat ini pemilu sudah terselenggara sebanyak 12 kali, yakni tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019.

Pemilu 2024 yang akan diselenggarakan pada 14 Februari 2024 akan menjadi pemilu yang ke-13 bagi Indonesia. 

Sejak 1955 hingga saat ini, pemilu telah mengalami banyak perkembangan. Mulai dari aspek kerangka hukum, penyelenggaraan, tahapan, kelembagaan, peserta, pengawasan, manajemen pelaksanaan, hingga sengketa dan pelanggaran.

IPPHOS

Wakil Presiden RI Mohammad Hatta memberikan hak pilihnya pada Pemilihan Umum 1955.

Pemilu 1955

Pemilu 1955 adalah pemilu pertama yang bersifat nasional di Indonesia. Pemilu nasional pertama ini disiapkan dan diselenggarakan oleh tiga kabinet yang berbeda. Persiapannya dilakukan oleh Kabinet Wilopo, sedangkan pelaksanaannya dilakukan oleh Kabinet Ali Sastroamidjojo dan Kabinet Burhanuddin Harahap.

Pemilu dilakukan dalam dua tahap, yang pertama pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR. Tahap kedua dilaksanakan tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Dewan Konstituante.

Untuk menyelenggarakan pemilu, dibentuk Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) sebagai badan penyelenggara pemilihan, dengan berpedoman pada Surat Edaran Menteri Kehakiman Nomor JB.2/9/4 Und. Tanggal 23 April 1953 dan 5/11/37/KDN tanggal 30 Juli 1953.

Dasar hukum penyelenggaraan Pemilu 1955 adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Indonesia dibagi dalam 16 daerah pemilihan. Namun dalam pelaksanaannya, Irian Barat gagal melaksanakan pemilu karena daerah tersebut masih dikuasai oleh Belanda sehingga hanya tersisa 15 daerah pemilihan.

Pemilu diselenggarakan dengan sistem perwakilan proporsional. Dengan sistem ini setiap daerah pemilihan mendapatkan sejumlah kursi berdasarkan jumlah penduduknya. Namun, dalam ketentuannya setiap daerah berhak memperoleh jatah minimum enam kursi di Konstituante dan tiga kursi di Parlemen. Di setiap daerah pemilihan, kursi diberikan kepada partai-partai dan calon-calon anggota lainnya sesuai dengan jumlah suara yang mereka peroleh.

Tercatat ada 36 parpol, 34 ormas, dan 48 perorangan dalam pemilu anggota DPR untuk memperebutkan 260 kursi. Jumlah kursi ini berasal dari ketentuan bahwa masing-masing anggota DPR yang dipilih mewakili 300.000 orang.

Sementara pemilu anggota Konstituante diikuti 39 parpol, 23 ormas, dan 29 perorangan untuk memperebutkan 520 kursi. Jumlah kursi anggota Konstituante adalah hasil bagi antara total jumlah penduduk Indonesia dengan 150.000 dibulatkann ke atas.

Pada saat itu, tercatat ada sebanyak 43.104.464 orang yang terdaftar sebagai pemilih dari total 77.987.879 penduduk Indonesia. Syarat untuk dapat tercatat sebagai pemilih adalah telah berumur 18 tahun atau yang sudah menikah terlebih dahulu.

Pada pemilu tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR, total suara sah tercatat sebanyak 37.875.299 orang atau sekitar 87,65 persen dari 43.104.464 orang yang terdaftar sebagai pemilih.

Sementara pada pemilu 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante pun tingkat partisipasi pemilih juga tinggi. Jumlah orang yang memberikan suara mencapai 89,33 persen dari seluruh pemilih yang terdaftar.

Merujuk Naskah Sumber Arsip Jejak Demokrasi Pemilu 1955 yang ditulis oleh ANRI, berdasarkan hasil perhitungan suara, Partai Nasional Indonesia (PNI) berhasil keluar sebagai pemenang. PNI berhasil meraup sekitar 8,4 juta suara di Pemilu DPR atau jika diakumulasi sekitar 22,3 persen dari keseluruhan suara. Dengan jumlah itu, PNI berhak atas 57 kursi di DPR.

Grafik:

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Di posisi kedua, ada Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang meraih sekitar 7,9 juta suara (20,9 persen) dan berhak atas 57 kursi di DPR. Disusul Nahdatul Ulama (NU) dengan perolehan 6,9 juta suara (18,4 persen) dengan 45 kursi DPR, dan Partai Komunis Indonesia (PKI) 6,1 juta suara (16,3 persen) dengan 39 kursi DPR. Setelah keempat partai ini, partai-partai lainnya memperoleh suara yang jauh lebih kecil.

Hasil penghitungan suara pemilihan anggota Konstituante juga menunjukan hal yang serupa. Secara berurutan PNI, Masyumi, NU, dan PKI menjadi empat partai dengan jumlah suara terbanyak.

Grafik:

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

PNI meraup total 9 juta atau 23,9 persen total suara. PNI pun memperoleh 119 kursi di Dewan Konstituante. Masyumi meraup sebesar 7,7 juta suara (20,5 persen) dengan 112 kursi Konstituante. NU meraup 6,9 juta suara (18,4 persen) dengan 91 kursi di Konstituante. Serta, PKI meraup 6,2 juta suara (16,4 persen) dengan 80 kursi Konstituante.

Biaya yang dikeluarkan pada Pemilu 1955 mencapai Rp 479.891.729. Biaya sebanyak itu digunakan untuk mendanai para panitia penyelenggara, sosialisasi pemilu, pencetakan surat suara, pembuatan bilik-bilik pencoblosan, dan distribusi surat ke seluruh rakyat Indonesia. Adapun seluruh pengeluaran yang digunakan untuk mendanai Pemilu 1955 dianggarkan oleh Kementerian Dalam Negeri dan disalurkan melalui Bank Indonesia.

Pemilu 1971

Pemilu 1971 merupakan pemilu pertama pada masa Orde Baru dan pemilu yang kedua setelah Indonesia berhasil menyelenggarakannya pada tahun 1955. Pemilu digelar pada 3 Juli 1971 untuk memilih anggota anggota DPR, DPRD Tingkat I, dan DPRD Tingkat II.

Pemilihan dilaksanakan di bawah payung hukum Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilu. Sistem pemilu yang dianut melanjutkan sistem proporsional. Namun, struktur pemilihan yang digunakan adalah sistem daftar tertutup. Para pemilih hanya memilih salah satu partai yang tersedia, bukan memilih kandidat.

Untuk menyelenggarakan pemilu, Lembaga Penyelenggara Pemilu (LPU) dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1970 diketuai oleh Menteri Dalam Negeri. LPU keanggotaannya terdiri dari Dewan Pimpinan, Dewan Pertimbangan, dan Sekretariat Umum.

Pemilu pertama Orde Baru ini diikuti 10 partai politik. Terdiri dari Nahdlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Golongan Karya (Golkar).

Kursi DPR yang diperebutkan sebanyak 460 kursi. Dengan rincian 360 kursi diperebutkan melalui pemilu dan 100 kursi diangkat oleh presiden, terdiri dari kalangan angkatan bersenjata (ABRI) sebanyak 75 kursi dan golongan fungsional sebanyak 25 kursi.

Jumlah penduduk Indonesia yang berhak memilih dalam Pemilu 1971 ada sebanyak 57.750.615 orang. Ini berarti 50,23 persen dari seluruh penduduk Indonesia yang tercatat dalam sensus tahun 1970, yakni 114.972.428 jiwa. Jumlah ini termasuk 52.000 orang yang tinggal di luar negeri, di antaranya 19.490 telah terdaftar sebagai pemilih (“Djumlah Penduduk Indonesia Jang Berhak Memilih 57.750.615 Orang * Berarti 50,23% Dari Seluruh Warganegara”, Kompas, 22 April 1971).

Golkar sebagai pendatang baru langsung menjadi pemenang pada pemilu pertama Orde Baru ini dengan meraih 34.348.673 suara atau sekitar 62,8 persen dari total 54.651.770 suara sah. Dengan perolehan ini, Golkar mendapatkan 236 kursi di DPR. Disusul NU di posisi kedua, yang mendapatkan 10,213,650 suara (18,6 persen) dan 58 kursi di DPR (“Hasil resmi pemilihan umum 3 Djuli 1971”, Kompas, 9 Agustus 1971).

Grafik:

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Sedangkan PNI, partai pemenang Pemilu 1955 berada di posisi ketiga. Perolehan suara PNI merosot tajam dibandingkan pemilu sebelumnya, yakni dari sekitar 9 juta suara (23,9 persen) menjadi 3,793,266 suara (6,9 persen). Jumlah kursi PNI juga berkurang jauh dari 119 kursi menjadi 20 kursi di DPR.

Parmusi memperoleh 2.930.746 suara (5,36 persen) dan 24 kursi di DPR; Parkindo memperoleh 733.359 suara (1,34 persen) dan 7 kursi DPR; Partai Katolik 603.740 suara (1,10 persen) dan 3 kursi DPR; dan Perti 381.309 suara (0,69 persen) dan 2 kursi DPR. Sementara itu, perolehan IPKI 338.403 suara (0,61 persen) dan Murba 48.126 (0,08 persen) tidak berhasil memenuhi angka untuk mendapatkan kursi DPR.

Berdasarkan arsip harian Kompas, biaya yang dihabiskan untuk penyelenggaraan pemilu 1971 mencapai Rp 16 miliar yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) (“Pemerintah supaja laporkan penggunaan dana pemilu”, Kompas, 13 Juli 1971).

KOMPAS/PAT HENDRANTO

Presiden Soeharto didampingi Mendagri Amir Mahmud, Sudharmono dan Gubernur Ali Sadikin di tempat pemungutan suara (4/7/1971).

Pemilu 1977

Pemilu 1977 diselenggarakan pada 2 Mei 1977 untuk memilih anggota DPR dan DPRD. Pemilu ini terlambat 1 tahun dari yang seharusnya berlangsung pada tahun 1976.

Pada pemilu kedua Orde Baru ini, hanya ada tiga partai politik yang berlaga, yakni Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Menyusutnya jumlah partai yang mengikuti pemilu merupakan hasil dari penyederhanaan atau penggabungan partai politik pada tahun 1973. Fusi partai politik ini merupakan kebijakan Presiden Soeharto untuk menciptakan stabilitas politik kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Fusi partai politik tersebut menghasilkan dua partai baru. Pertama adalah PPP yang terbentuk 5 Januari 1973. Partai ini berlandaskan nilai-nilai Islam, gabungan dari, antara lain, NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Kemudian PDI yang terbentuk 10 Januari 1973, berlandaskan pada nasionalisme. Partai ini gabungan, antara lain, PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo. Formasi kepartaian ini, yakni Golkar, PPP, dan PDI terus dipertahankan hingga Pemilu 1997.

Pemilu 1977 diselenggarakan dengan landasan Undang-Undang UU Nomor 4 Tahun 1975 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Angota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat. Sistem pemilu yang digunakan masih sama dengan Pemilu 1971, yakni menggunakan sistem proporsional daftar tertutup. Jumlah kursi DPR yang diperebutkan melalui pemilu sebanyak 360 kursi.

Jumlah pemilih yang terdaftar dalam Pemilu 1977 ada sebanyak 70.378.750 orang atau sekitar 54,2 persen dari total penduduk Indonesia saat itu yang berjumlah 129.806.083 orang. Ini berarti terjadi kenaikan jumlah penduduk sebanyak 12,9 persen dan pemilih sebanyak 20,1 persen dari pemilu sebelumnya.

Dari 70.378.750 pemilih, jumlah suara yang sah mencapai 63.998.344 suara atau sekitar 90,9 persen.

Grafik:

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Golkar tampil kembali sebagai pemenang. Namun, persentase suara dan jumlah kursi yang didapat menurun. Golkar meraih 39.750.096 suara atau 62,1 persen dan mendapatkan 232 kursi, kehilangan 4 kursi dari pemilu 1971 (“Hasil final pemilu untuk keanggotaan DPR: PPP 99 kursi, Golkar 232 dan PDI 29”, Kompas, 9 Juni 1977). 

Posisi kedua ditempati oleh PPP. Partai ini berhasil meraih 18.743.491 suara (29,2 persen), yang membuatnya mendapatkan 99 kursi, bertambah 5 kursi dibanding gabungan kursi 4 partai Islam dalam Pemilu 1971. Kemudian PDI, meraih 5.504.757 suara (8,6 persen) dan 29 kursi atau berkurang 1 kursi di banding gabungan suara PNI, Parkindo, dan Partai Katolik.

Biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan Pemilu 1977 mencapai Rp 60 miliar, yang dikeluarkan dalam tiga tahap tahun anggaran sejak 1975 sampai 1977. Biaya tersebut digunakan untuk belanja pegawai, belanja barang, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan, dan pos lain-lain. Biaya tersebut belum termasuk biaya pengamanan (“Beaya pemilu 77 bisa mencapai Rp 80 – Rp 90 milyar”, Kompas, 9 April 1977).

 KOMPAS/DUDY SUDIBYO

Pengumuman Hasil Pemilu 1977. Sebelah kiri (duduk), dari kiri : Abdul Majid (sasksai dari PDI), E.E. Manihuruk (Golkar), dan Nurhassan Ibnuhajar (PPP). Acara berlangsung di Gedung Sekretariat Kabinet, dihadiri para anggota PPI (Panitia Pemilihan Indonesia), pimpinan Parpol dan Golkar, para menteri, ketua lembaga tinggi negara, pimpinan MPR/DPR, para gubernur, serta para pejabat tinggi sipil dan militer, termasuk Kas Kopkamtib, Jaksa Agung dan Kapolri (9/6/1977).

 

Pemilu 1982

Pemilu 1982 diadakan pada tanggal 4 Mei 1982. Pemilu ketiga pada era Orde Baru ini tidak mengalami perubahan berarti dari edisi pemilu Orde Baru sebelumnya. Partai peserta pemilu hanya 3, yakni Golkar, PPP, dan PDI. Sistem pemilu menggunakan sistem proporsional daftar tertutup. Penyelenggara pemilu adalah LPU.

Perubahan yang terjadi hanya berkaitan dengan landasan hukumnya saja. Untuk Pemilu 1982 landasan hukumnya adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1980 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1975. Meskipun demikian, tetap tidak ada perubahan berarti dalam setiap perubahan UU Pemilu tersebut.

Perubahan kecil yang terjadi hanyalah terkait mulai dilibatkannya setiap wakil partai politik sebagai anggota PPI, PPD 1, PPD II, dan panitia pemungutan suara, meski peran yang diberikan sangat terbatas. Selain itu, juga diperkenalkan adanya badan baru, yakni Panitia Pengawas Pelaksanaan (Panwaslak) Pemilu, yang akan terlibat mendampingi LPU. Adapun latar belakang dari perubahan ini adalah adanya tuntutan masyarakat terhadap pelaksanaan pemilu yang bersih.

Pada Pemilu 1982, untuk pertama kalinya Timor-Timur (kini Timor Leste) ikut pemilu Indonesia. Provinsi baru ini memperoleh jatah 4 kursi/wakil yang dipilih di provinsi tersebut. Jatah kursi itu diambil dari alokasi 25 kursi golongan fungsional yang dipilih oleh presiden. Dengan demikian, kursi anggota DPR yang dipilih melalui pemilu berjumlah 364. Sedangkan alokasi kursi DPR yang dipilih tinggal 21 kursi (“Hasil Final Pemilu 1982: PPP 94 kursi, Golkar 246 dan PDI 24”, Kompas, 15 Juni 1982).

Pada Pemilu 1982, penduduk yang terdaftar menjadi pemilih sekitar 82.134.195 orang atau sekitar 56 persen dari total penduduk Indonesia saat itu yang kurang lebih berjumlah 146.532.397. Dari jumlah tersebut, pemilih yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 75.126.306.

Golkar kembali keluar sebagai pemenang bahkan persentase suara dan kursinya meningkat. Berdasarkan hasil penghitungan suara, Golkar memproleh 48.334.724 suara atau 64,4 persen dan mendapatkan 246 kursi di DPR. Artinya, secara nasional Golkar berhasil menambah 12 kursi di DPR.

Sementara PPP tetap berada di posisi kedua dan PDI di posisi ketiga. PPP memperoleh 20.871.880 (27,7 persen) suara dan 94 kursi. PDI memperoleh 5.919.702 suara (7,8 persen) dan 24 kursi. Keduanya kehilangan masing-masing 5 kursi dibanding pemilu sebelumnya.

Di sisi lain, yang menarik pada pemilu kali ini adalah menguatnya gerakan Golongan Putih (Golput). Gerakan ini sejatinya telah muncul sejak menjelang Pemilu 1971, yang lahir sebagai sebuah ungkapan kekecewaan serta bentuk protes dari kelompok pemuda dan mahasiswa atas pelaksanaan Pemilu perdana pada era Orde Baru tersebut, khususnya terkait pembubaran dan pelarangan beberapa partai politik oleh pemerintah.

Dipakai istilah ”putih” karena gerakan ini menganjurkan agar mencoblos bagian putih di kertas atau surat suara di luar gambar parpol peserta pemilu kalau tak menyetujui pembatasan pembentukan partai-partai oleh pemerintah Orde Baru. Jadi, golput bisa diartikan menolak untuk memberikan suara. 

Biaya yang dianggarkan untuk pelaksanaan Pemilu 1982 mencapai sebesar Rp 130 miliar. Dana tersebut disalurkan secara bertahap, sebesar Rp 18 miliar pada tahun anggaran 1980/1981, Rp 81 miliar pada 1981/1982, dan Rp 21 miliar pada 1982/1983 (“Rp 130 Milyar, Biaya Pemilu 1982”, Kompas, 7 Januari 1982).

 KOMPAS/DUDY SUDIBYO

Presiden Soeharto dan Ny. Tien Soeharto Selasa (4/5/1982) di TPS 11, Jalan Cendana 33, Jakarta Pusat memberikan hak suaranya dalam Pemilu 1982. Tampak kepala negara menerima kartu suara sebelum menuju bilik suara untuk memberikan hak suaranya.

Pemilu 1987

Pemilu 1987 dihelat pada 23 April 1987. Kontestan pemilu dan sistem pemilu yang digunakan masih sama dengan edisi pemilu sebelumnya.

Pada pemilu kali ini, pemerintah kembali merevisi UU Pemilu. Pemilu dilaksanakan dengan landasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1985 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat sebagaimana telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1975 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1980. Berdasarkan UU Pemilu yang baru ini, Dewan Pertimbangan Lembaga Pemilihan Umum yang sebelumnya hanya dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri, kini ditambah sejumlah menteri dan juga panglima ABRI. Hal ini menandai makin kuatnya hegemoni pemerintah dalam pelaksanaan pemilu.

Tak hanya itu, pemerintah juga mengubah UU Parpol dan Golkar melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. UU ini menyebabkan berakhirnya pluralisme politik, sebab setiap partai diharuskan memiliki asas yang sama, yakni Pancasila. Partai yang menolak Pancasila sebagai asas dilarang dan dibubarkan.

Kebijakan itu disinyalir merupakan upaya pemerintah untuk meredam kegiatan politik Islam yang kian menguat sekaligus melemahkan PPP yang merupakan partai berbasis Islam. Pada pemilu-pemilu Orde Baru sebelumnya, PPP selalu mampu meraup suara terbanyak kedua. Bahkan, pada Pemilu 1977, di DKI Jakarta, Aceh, Serang, Pekalongan, Bukit Tinggi, Padang, serta sejumlah daerah dengan basis Islam kuat, perolehan suara PPP mampu mengungguli Golkar.

Dampak dari kebijakan asas tunggal ini sangat dirasakan oleh PPP pada Pemilu 1987. PPP terpaksa harus mengubah asasnya dari Islam menjadi Pancasila dan mengganti lambangnya dari Ka’bah dengan gambar bintang.

Pada pemilu 1987, jumlah penduduk Indonesia ada 162.851.993 dengan pemilih terdaftar sebanyak 93.737.633. Dari jumlah pemilih tersebut, suara yang sah dalam pemungutan suara sebanyak 85.869.816.

Jumlah alokasi kursi DPR mengalami peningkatan. Anggota DPR ditetapkan sebanyak 500 orang, terdiri atas 400 orang dipilih dalam pemilu dan 100 orang diangkat. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975

Hasil Pemilu kali ini ditandai dengan meningkatnya persentase suara dan perolehan kursi Golkar dan PDI secara cukup signifikan. Golkar sebagai pemenang pemilu meraup 62.783.680 suara atau 73,17 persen dan mendapatkan 299 kursi, bertambah 53 kursi dari pemilu sebelumnya. Adapun PDI, meraup 9.384.708 suara dan mendapatkan 40 kursi. Meski masih tetap berada di posisi ketiga, PDI mampu menambah 16 kursi di DPR atau hampir dua kali lipat dari pemilu sebelumnya (“Penghitungan Resmi Terakhir: Golkar Tambah 53 Kursi, PDI 16, PPP Kehilangan 33”, Kompas, 7 Juni 1987).

Sedangkan PPP, perolehan suaranya merosot tajam, yakni hanya 13.701.428 dengan 61 kursi. Artinya, PPP kehilangan 33 kursi di DPR. Anjloknya suara dan kursi PPP ini merupakan dampak kebijakan asas tunggal Pancasila dan penarikan diri Nahdlatul Ulama dari politik praktis PPP.

Anggaran Pemilu 1987 mencapai Rp 132 Miliar. Disediakan untuk kegiatan di pusat sebesar 16 persen dan di daerah 84 persen, belum termasuk bantuan pemerintah untuk setiap kontestan pemilu. Adapun anggaran tersebut disalurkan secara bertahap; tahun anggaran 1985/1986 sebesar 30,3 persen; 1986/1987 sebesar 60,3 persen; dan sisanya pada tahun anggaran 1987/1988 (“Anggaran pemilu 1987 sama dengan pemilu 1982”, Kompas, 17 Januari 1986).

KOMPAS/JAMES LUHULIMA

Pemilihan umum yang berlangsung di Propinsi Timor Timur berlangsung dengan lancar. Sekitar 99 persen dari penduduk yang mempunyai hak pilih yakni sebanyak 360.144 jiwa menggunakan haknya tersebut. Hasilnya, untuk DPR, Partai Persatuan Pembangunan mendapatkan 2.654 suara, Golongan Karya 339.231 dan PDI 20.163 suara. Gambar disalah satu TPS di Dilli, Timor Timur (27/4/1987).

Pemilu 1992

Pemilu 1992 diselenggarakan pada 9 Juni 1992. Pemilih yang terdaftar sebanyak 107.565.697 atau sekitar 60,6 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 177.489.747 jiwa. Sementara jumlah suara sah dalam pemungutan suara sebanyak 97.789.534 suara.

Pada pemilu kelima era Orde Baru, tidak banyak hal yang berubah. Hanya saja kali ini pemerintah Orde Baru membuat suatu aturan baru yang mewajibkan setiap calon anggota legistaltif (Caleg) mengikuti Penelitian Khusus (Litsus) untuk mendapatkan surat keterangan tidak terlibat (SKTT) organisasi terlarang seperti PKI.

Penyaringan ini lebih pada upaya Orde Baru mencegah orang-orang yang berlawanan dengan pemerintah masuk ke dalam sistem politik formal daripada mencari calon anggota DPR yang berkualitas. Pelaksanaan Litsus sendiri diatur oleh Panglima ABRI, selaku Ketua Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstanas).

Dari hasil penghitungan suara, pemilu dimenangkan oleh Golkar dengan total suara yang diraih mencapai 66.599.331 (68,1 persen) dan 282 kursi. Meski demikian, jika dibandingkan dengan Pemilu 1987, persentase perolehan suara Golkar kali ini merosot merosot 5,06 persen. Golkar juga kehilangan 17 kursi dibanding pemilu sebelumnya.

PPP mempertahankan posisinya sebagai peringkat kedua dengan meraih 16.624.647 suara (17 persen) dan 62 kursi. Meski persentase perolehan suara menurun sekitar 1,5 persen dari pemilu sebelumnya, jumlah kursi PPP bertambah satu kursi.

Sementara PDI meraih 14.565.556 suara (14,9 persen) dan 56 kursi. Pada Pemilu 1992, PDI berhasil menambah perolehan suara sekitar 4 persen dan kursi sebanyak 16 kursi dibandingkan pemilu tahun 1987 (“PPI Sahkan Perolehan Suara dan Kursi DPR: PPP Mendapat 62 Kursi, Golkar 282, dan PDI 56”, Kompas, 30 Juni 1992).

Dana yang dianggarkan untuk Pemilu 1992 mencapai Rp 199,8 miliar atau meningkat sekitar 50 persen dari anggaran Pemilu 1987. Kenaikan anggaran ini disebabkan beberapa faktor, antara lain, meningkatnya jumlah pemilih, bertambahnya badan pelaksana pemilu, hingga pembelian peralatan baru. 

Dari jumlah tersebut akan dialokasikan untuk pemilu di pusat Rp 41,9 miliar dan untuk daerah Rp 157,9 miliar. Adapun penyalurannya dilakukan dalam tiga tahap. Tahun anggaran 1990/1991 sebesar 20 persen, 1991/1992 sebesar 75 persen, dan 5 persen pada tahun anggaran 1992/1993 (“Biaya pemilu 1992 Rp 199,8 milyar”, Kompas, 12 September 1990).

KOMPAS/JULIAN SIHOMBING

Para karyawan instansi komplek perkantoran Manggala Wanabakti, Jakarta Pusat, antre di TPS Pemilu 1992, hari Selasa pagi (9/6/1992).

Pemilu 1997

Pemilu 1997 dilakukan pada 29 Mei 1997. Ini menjadi pemilu terakhir era Orde Baru sebelum Indonesia memasuki masa reformasi. 

Situasi pemilu 1997 berbeda dari yang sebelum-sebelumnya. Pemerintah Orde Baru berada pada posisi kritis. Publik semakin jenuh dengan kuatnya cengkeraman otoriterisme pemerintah Orde Baru.

Sejak beberapa tahun sebelum Pemilu 1997, desakan perubahan untuk adanya demokratisasi di Indonesia sudah semakin menguat dan disuarakan banyak pihak di berbagai daerah. Demonstrasi mahasiswa terjadi silih berganti menyuarakan dihapuskannya KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), yang diarahkan ke keluarga Presiden Soeharto.

Untuk menurunkan tensi, dua tahun jelang pemilu, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1995 tentang Susunan dan Kedudukan Anggota Lembaga Legislatif yang mengatur pengurangan jumlah kursi ABRI di DPR dari 100 menjadi 75. Dengan demikian, kursi DPR yang dipilih melalui pemilu bertambah 25 menjadi 425 kursi.

Namun di sisi lain, banyak regulasi pemilu, termasuk peraturan kampanye, sengaja dibuat oleh pemerintah untuk membatasi pengaruh partai politik. Salah satunya mengenai penggunaan alat peraga yang harus diberitahukan dulu kepada kepala kepolisian setempat, serta pencatatan kendaraan bermotor.

Berbagai rekayasa politik untuk memenangkan Golkar pun masih banyak dilakukan. Peristiwa Kerusuhan 27 Juli 1996 atau yang dikenal dengan Kudatuli, diduga terjadi karena adanya campur tangan pemerintah Orde Baru.

Pada saat itu, PDI terbagi dua antara pendukung Megawati dan Soerjadi. Pada Kongres Luar Biasa PDI di Surabaya, Jawa Timur, Megawati Soekarnoputri terpilih secara aklamasi sebagai ketua umum. Namun, kekhawatiran akan membesarnya partai banteng ini membuat Megawati disingkirkan diam-diam.

Ketidaksukaan pemerintah Orde Baru terhadap popularitas Megawati yang merupakan putri Soekarno membuat pemerintah mendukung Soerjadi kembali memimpin pada Kongres PDI Medan tahun 1996. Di sisi lain, Megawati tetap menyatakan dirinya sebagai Ketua Umum DPP PDI 1993 – 1998 yang sah, serta didukung rakyat.

Singkat cerita, konflik internal pun pecah menjadi kerusuhan. Massa PDI pendukung Soerjadi dengan menggunakan delapan kendaraan truk menggruduk pendukung PDI kubu Megawati saat fajar 27 Juli 1996. Bentrokan antara kedua kubu tidak terhindarkan. Puluhan orang jatuh menjadi korban.

Dengan konteks dan lanskap politik saat itu, Golkar tetap menjadi pemenang. Bahkan perolehan suara Golkar naik 6,41 persen dibandingkan Pemilu 1992. Dengan raihan 74,51 persen suara, Golkar mendapat 325 kursi DPR. Terpaut jauh di peringkat kedua, PPP memperoleh 22,43 persen suara dan mendapat 89 kursi di DPR (“Golkar 325, PPP 89, PDI 11 Kursi”, Kompas, 24 Juni 1997).

Grafik:

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Di sisi lain, perolehan suara PDI terpuruk pada Pemilu 1997. Jika pada Pemilu 1992 PDI meraih 14,89 persen suara, pada Pemilu 1997 PDI hanya mampu meraih 3,06 persen dengan 11 kursi. Merosotnya perolehan suara PDI ini merupakan dampak dari konflik kepengurusan internal, campur tangan pemerintah, sekaligus instruksi Megawati Soekarnoputri agar PDI pro-Mega tidak ikut kampanye atas nama PDI.

Dari segi keikutsertaan, ada sebanyak 124.740. 987 pemilih terdaftar dengan jumlah suara sah mencapai 112.991.160 pemilih atau 90,58 persen dari pemilih terdaftar. Secara persentase, masih di bawah keikutsertaan pemilih dalam Pemilu 1987 yang 91,32 persen, dan Pemilu 1992 yang 90,91 persen.

Untuk menyelenggarakan Pemilu 1997, anggaran yang disediakan mencapai Rp 214,5 miliar. Anggaran untuk pemilu tersebut dialokasikan dalam tiga tahun anggaran, yaitu biaya persiapan pemilu pada tahun anggaran 1995/1996, biaya pelaksanaan pemilu tahun anggaran 1996/1997, dan biaya penyelesaian administrasi untuk tahun anggaran 1997/1998.

Untuk biaya persiapan pemilu, dialokasikan dana sebesar Rp 75,1 milyar dalam tahun anggaran 1995/1996. Untuk biaya pelaksanaan pemilu, dalam tahun anggaran 1996/1997 dialokasikan pembiayaannya sebesar Rp 128,7 milyar. Sedangkan untuk biaya penyelesaian administrasi, dalam RAPBN 1997/1998 disediakan anggaran sebesar Rp 10,7 milyar (“Dana Pemilu 1997 Rp 214,5 Milyar”, Kompas, 28 Januari 1997).

 KOMPAS/JOHNNY TG

Suasana Pemilu 1997. Pelaksanaan pemilihan umum 1997 berjalan tertib, aman, dan lancar. Semua warga negara yang mempunyai hak pilih melaksanakan haknya di TPS masing-masing. Pemantauan Kompas secara acak di wilayah Jakarta, partai Golkar unggul terlebih di kantor-kantor instansi pemerintah. Partai berlambang Banteng (PDI) pimpinan Megawati terpuruk kalah dengan PPP. Gambar kegiatan penghitungan hasil pemilu di TPS VIII Kelurahan Rawa Barat Jakarta Timur (29/5/1997).

Pemilu 1999

Pemilu 1999 dilaksanakan pada 7 Juni 1999. Pemilu ini merupakan pemilu pertama pasca-tumbangnya Orde Baru yang ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.

Pemilu ”dimajukan” dari jadwal semula yang seharusnya tahun 2002 setelah Pemilu 1997. Keputusan ini diambil setelah terjadi kerusuhan di sejumlah kota di Indonesia dan gelombang demonstrasi akibat tekanan krisis ekonomi dan gerakan menuntut reformasi pemerintahan. Salah satu tuntutan reformasi adalah mempercepat pemilu dari yang semula dijadwalkan pada 2002 tetapi dimajukan pada 1999.

Selain itu, pertimbangan diselenggarakannya pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya.

Mengacu buku Pemilu Indonesia dalam Angka dan Fakta Tahun 1955-1999, untuk menyelenggarakan pemilu, pemerintah menyiapkan paket UU di bidang politik yang mencerminkan koreksi sistem dan politik pemilu era Orde Baru. Paket UU tersebut terdiri dari: Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik; Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum; dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pemerintah juga membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menggantikan LPU sebagai penyelenggara pemilu. KPU didirikan berdasarkan Keputusan Presiden 16 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Pemilihan Umum dan Penetapan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Umum Komisi Pemilihan Umum. Keanggotaannya terdiri dari wakil-wakil parpol peserta pemilu ditambah beberapa orang wakil dari pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat, sedangkan pengawasan masih dilakukan oleh Panwaslak Pemilu.

Pemilu 1999 masih menerapkan sistem proporsional tertutup seperti masa Orde Baru. Namun pada pemilu kali ini, berbeda dengan pemilu sebelumnya. Calon legislatif ditentukan berdasarkan peringkat perolehan suara partai politik di daerah pemilihan tersebut. Maksudnya, sebagai contoh, pada Pemilu 1977 calon nomor urut pertama dalam daftar calon legislatif otomatis terpilih apabila partai itu mendapatkan kursi; sedangkan pada Pemilu 1999, calon terpilih ditetapkan berdasarkan suara terbesar atau terbanyak dari daerah di mana seseorang dicalonkan.

Pada Pemilu 1999, terdapat sebanyak 116.254.217 pemilih yang terdaftar atau 55,5 persen dari 209.389.000 penduduk Indonesia. Jumlah pemilih yang terdaftar ini lebih sedikit dari Pemilu 1997. Hal ini disebabkan beberapa faktor, antara lain, belum siapnya pemilih dan petugas pendaftaran menghadapi sistem pendaftaran aktif, pendeknya waktu mempersiapkan pemilu, dan terdapat sejumlah provinsi yang dilanda kerusuhan seperti Aceh, Kalimantan Barat, dan Maluku.

Mengacu UU No. 4 Tahun 1999, jumlah kursi anggota DPR sebanyak 500 orang, 462 dipilih melalui pemilu dan 38 orang diangkat dari TNI/Polri. Dengan demikian, ada pengurangan jumlah kursi ABRI di DPR sebanyak 37 kursi.

Pemilu ini menjadi momentum keterbukaan masyarakat setelah 32 tahun dikekang rezim Soeharto. Keterbukaan ini tecermin dari banyaknya jumlah partai politik yang mendaftar pemilu. Sampai hari terakhir pendaftaran parpol di Departemen Kehakiman, Senin (22/2/1999), tercatat dari 148 parpol yang mendaftar, 129 di antaranya telah dinyatakan sah dan akan dimuat dalam Berita Negara (“Persiapan Partai Politik Menjelang Pemilu: Antara Diskriminasi Legal dan Kendala Internal”, Kompas, 1 Maret 1999).

Sebanyak 48 parpol dinyatakan berhak ikut dalam pemilu 7 Juni 1999. Parpol yang berhak ikut pemilu itu lalu disahkan melalui Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri/Ketua Lembaga Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 1999. 895.610.

Berdasarkan perhitungan yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum, dari 48 parpol, hanya 21 parpol yang berhasil mendapatkan kursi di DPR. PDI-P keluar sebagai pemenang dengan perolehan suara sebanyak 35.689.073 suara (33,76 persen) dan memperoleh 153 kursi di DPR. Diikuti Golkar di posisi kedua dengan 23.741.758 suara (22,44 persen) dan 120 kursi (“Presiden: Hasil Pemilu Sah”, Kompas, 27 Juli 1999).

Grafik:

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Sedangkan PPP ada di posisi keempat dengan meraih 11.329.905 suara (10,71 persen) dan 58 kursi. Di atasnya ada Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang berada pada posisi ketiga dengan 13.336.982 suara (12,61 persen) dan 51 kursi.

Kemudian dari hasil Sidang Umum MPR, Abdurrahman Wahid dan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dilantik menjadi presiden dan wakil presiden yang terpilih. Pasangan Abdurrahman Wahid-Megawati Soekarnoputri kemudian digantikan oleh pasangan Megawati Soekarnoputri-Hamzah Haz melalui Sidang Istimewa MPR, 23 Juli 2001.

Untuk menyelenggarakan pemilu, pemerintah menganggarkan dana penyelenggaraan pemilu lebih dari Rp 1,3 triliun yang dibebankan dalam dua tahun anggaran. Dana ini dibagi dalam empat pos besas: biaya pegawai, biaya barang, biaya operasi, dan biaya lain-lain. Masing-masing pos dibagi lagi ke dalam dua bidang, dana untuk pusat dan daerah (“Ke Mana Larinya Dana Pemilu?”, Kompas, 19 Juli 1999).

KOMPAS/ARBAIN RAMBEY

Pemilu di Indonesia kali ini juga mendapat perhatian dunia Internasional, seperti mantan presiden Amerika Serikat Jimmy Carter dengan Carter Center, untuk melihat bagaimana pemilu di Indonesia dijalankan. Tampak Jimmy Carter sedang meninjau salahsatu TPS di Jakarta dalam coblosan Senin (7/6/1999) lalu.

Pemilu 2004

Pemilu 2004 menjadi babak baru demokrasi Indonesia karena merupakan pemilu pertama setelah amendemen ke-4 UUD 1945. Melalui amendemen, struktur politik Indonesia diubah sedemikian rupa sehingga memengaruhi proses rekrutmen elite politik.

Menurut konstitusi 1945 hasil amendemen, pemilihan pasangan presiden dan wakil presiden tidak lagi dipilih melalui MPR, tetapi oleh rakyat langsung melalui pemilu. Sebuah lembaga baru yang bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terbentuk. Melalui amendemen itu pula, kursi wakil TNI/Polri di DPR dihapuskan.

Akibat perubahan itu, Pemilu 2004 menjadi lebih rumit dibanding pemilu-pemilu sebelumnya. Pemilunya ada dua macam, memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD (pileg) dan pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden (pilpres) yang pelaksanaannya dilakukan dalam waktu yang bebeda.

Pemilu 2004 didahului dengan pemilihan legislatif untuk memilih anggota DPR, DPRD, dan DPD yang digelar pada 5 April. Selanjutnya, pemilihan presiden dan wakil presiden diselenggarakan pada 5 Juli 2004 (putaran I) dan 20 September 2004 (putaran II).

Grafik:

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Pileg 2004 menggunakan sistem proporsional terbuka. Pemilih bisa memilih tanda gambar parpol dan nama caleg meski penentuan caleg terpilih tetap mengacu pada nomor urut, sedangkan untuk DPD menggunakan sistem distrik berwakil banyak.

Pemilu juga menerapkan sistem electoral threshold sebesar 3 persen. Electoral threshold secara sederhana dapat dipahami sebagai ambang batas perolehan kursi suatu partai politik agar dapat mengikuti pemilu berikutnya. Dengan demikian, hanya parpol yang memenuhi syarat jumlah kursi di DPR yang berhak otomatis menjadi peserta pemilu berikutnya. Sebaliknya, parpol yang tidak memenuhi electoral threshold tidak dapat mengikuti pemilu berikutnya kecuali memenuhi syarat tambahan.

KPU masih bertugas menjadi penyelenggaraan pemilu. Namun, kali ini seluruh anggota KPU tidak ada dari unsur partai politik dan pemerintah. Organisasi penyelenggara mulai dari pusat sampai daerah keanggotaannya terdiri dari perwakilan akademisi dan tokoh-tokoh masyarakat. Pada Pemilu 2004 ini, untuk pertama kali pengawasan dilakukan lembaga yang bernama Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dan kode etik oleh lembaga Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK KPU).

Dalam pemilu 2004, tercatat diikuti 24 partai politik dan lebih dari 475.000 kandidat calon anggota legislatif. Perinciannya adalah lebih dari 1.200 orang bersaing untuk 128 kursi DPD, dan 7.756 caleg memperebutkan 550 kursi DPR.

Sebanyak 16 parpol berhasil mendapatkan kursi di DPR. Namun, hanya 7 parpol yang memenuhi electoral threshold untuk mengikuti Pemilu 2009, yakni Partai Golkar 24.480.757  (21,58 persen) suara dan 128 kursi; PDI-P 21.026.629 suara (18,53 persen) dan 109 kursi; PKB 11.989.564 suara (10,57 persen) dan 52 kursi; PPP 9.248.764 suara (8,15 ) dan 58 kursi; Partai Demokrat  8.455.225  suara (7,45 persen) dan 55 kursi; PKS 8.325.020 (7,34 persen) dan 45 kursi; dan PAN 7.303.324 suara (6,44 persen) dan 53 kursi (“Baru 10 Partai Politik Tanda Tangani Hasil Pemilu”, Kompas, 6 Mai 2004).

Dari segi keikutsertaan, sebanyak 148.000.369 orang yang terdaftar sebagai pemilih, sedangkan jumlah suara sah tercatat 113.462.414 suara.

Pemilu presiden pertama berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 5 Ayat (4) UU itu menyebutkan bahwa calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15 persen dari jumlah kursi DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah secara nasional dalam pemilu anggota DPR.

Kemudian, pasangan calon presiden dan wakil presiden dinyatakan terpilih apabila mendapatkan suara melebihi 50 persen dari jumlah suara dalam pilpres, dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Apabila tidak ada pasangan calon terpilih sesuai dengan ketentuan tersebut, diadakan putaran kedua, yakni dua pasangan calon yang mendapat suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung melalui pilpres.

Kontestasi Pilpres 2004 diikuti oleh lima pasangan calon presiden dan wakil presiden, yaitu Hamzah Haz-Agum Gumelar, Amien Rais-Siswono Yudo Husodo, Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi, Wiranto-Salahuddin Wahid, dan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.

Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla memperoleh suara terbanyak. Mereka memperoleh 39.838.184 suara atau 33,57 persen. Disusul oleh pasangan Megawati-Hasyim Muzadi yang mendapatkan 31.569.104 suara atau 26,60 persen (“Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara Pemilu Presiden – Wakil Presiden 2004”, Kompas, 27 Juli 2004).

Kemudian Wiranto-Salahuddin Wahid mendapatkan 26.286.788 suara (22,15 persen); Amien Rais-Siswono Yudo Husodo 17.392.931 suara (14,66 persen); serta Hamzah Haz dan Agum Gumelar 3.569.861 suara (3,01 persen).

Jumlah pemilih yang terdaftar pada pilpres mencapai 155.048.803 orang. Dari angka itu, yang menggunakan hak pilihnya 121.293.844 orang atau 78,22 persen, lebih rendah dari pemilu legislatif yang 84,07 persen. Adapun total suara sah 118.656.868 (“Yudhoyono-Megawati Janjikan Perubahan”, Kompas, 27 Juli 2004).

Karena kelima pasangan calon presiden dan wakil presiden peserta Pemilu Presiden dan wakil presiden belum ada yang memperoleh suara lebih dari 50 persen, dilakukan pemilu presiden dan wakil presiden putaran kedua, dengan peserta dua calon presiden dan wakil presiden yang memperoleh suara terbanyak.

Pilpres putaran kedua digelar 20 September 2004. Saat itu, jumlah pemilih yang terdaftar mencapai 150.644.184 orang. Dari angka tersebut, yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 77,44 persen atau 116.662.705 orang. Lalu, dari total jumlah suara, yang dinyatakan sah sebesar 97,94 persen atau 114.257.054 suara.

Hasilnya, Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla berhasil menjadi pemenang. Pasangan ini meraih sebanyak 69.266.350 suara atau 60,62 persen. Jumlah itu jauh di atas perolehan pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi, yakni 44.990.704 suara atau 39,38 persen (“KPU Tetapkan: SB Yudhoyono Presiden Terpilih”, Kompas, 5 Oktober 2004).

Pemilihan Umum 2004 menelan dana sebesar Rp 4,45 triliun ditambah 32,367 juta dollar AS. Dana yang dihabiskan untuk Pemilu 2004 itu terdiri atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebesar Rp 3,85 triliun dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebesar Rp 600 miliar.

Adapun dana sebesar 32,367 juta dollar Amerika Serikat (AS) berasal dari bantuan negara-negara donor melalui United Nations Development Programme (UNDP). Akan tetapi, dalam praktiknya hanya digunakan sebesar 32,367 juta dollar AS, sehingga sisanya sebesar 1,434 juta dollar AS harus dikembalikan kepada UNDP (“Pemilihan Umum 2004 Habiskan Dana Rp. 4,45 triliun dan 32,367 Juta Dollar AS”, Kompas, 15 Oktober 2004). 

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Calon Presiden Dari Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono Memperlihatkan Surat Suara Sebelum Dicoblosnya Dalam Pemilu Presiden Putaran Kedua Di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 05, Desa Nagrak, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (20/9/2004).

Pemilu 2009

Sama seperti pemilu sebelumnya, Pemilu 2009 diselenggarakan untuk memilih anggota legislatif dan memilih presiden. Pemilihannya dilakukan terpisah.

Pileg 2009 diselenggarakan pada 9 April 2009 untuk memilih 560 anggota DPR, 132 anggota DPD, serta anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota periode 2009-2014.

Pemilihan menggunakan sistem proposional terbuka. Namun ada perubahan terkait regulasi penentuan caleg terpilih. Apabila pada Pemilu 2004 penentuan caleg terpilih mengacu pada nomor urut, maka pada Pemilu 2009 penentuan caleg terpilih berbasis pada caleg yang meraih suara terbanyak. Hal ini tercantum dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang dibacakan pada 23 Desember 2008.

Menarik dicatat, karena aturan tersebut, Pemilu 2009 juga diwarnai menjamurnya calon anggota legislatif dari kalangan artis dan kerabat elite politik. Dalam rangka meraih suara sebanyak-banyaknya, banyak partai memunculkan artis dalam daftar calon anggota legislatif. Dengan modal popularitas yang mereka miliki, para artis itu dianggap mampu menarik suara pemilih.

Pemilu 2009 juga masih menggunakan aturan electoral threshold bawaan Pemilu 2004 dengan tambahan ketentuan yang tercantum dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.  Berdasarkan aturan tambahan tersebut, terdapat 16 parpol yang secara otomatis terdaftar menjadi peserta Pemilu 2009, yang terdiri dari 7 parpol yang lolos electoral threshold dan 9 parpol lain yang tak lolos electoral threshold, tetapi memiliki kursi di DPR hasil Pemilu 2004.

Akhirnya, Pemilu 2009 diikuti oleh 38 partai politik. Selain itu, ada 6 partai lokal dalam pemilu legislatif di tingkat Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). MoU Perdamaian di Helsinki Tahun 2005 dan UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh merupakan landasan hukum pembentukan partai politik lokal tersebut. Karena bersifat lokal, partai tersebut hanya dapat mengikuti pemilu legislatif dan kepala daerah hanya tingkat kabupaten/kota dan provinsi.

Berdasarkan hasil rekapitulasi perolehan suara secara nasional, Partai Demokrat, Golkar, dan PDI-P menjadi tiga besar partai dengan suara terbanyak. Partai Demokrat meraih 21.703.137 suara, Golkar 15.037.757 suara, dan PDI-P dengan 14.600.091 suara (“49,6 Juta Orang Tak Memilih”, Kompas, 10 Mei 2009).

Grafik:

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Dari segi keikutsertaan, pada Pileg 2009 jumlah pemilih yang terdaftar sebanyak 171.265.442 orang. Adapun yang memiliki hak pilih, tetapi tidak menggunakan haknya mencapai 49.677.076 orang atau 29,01 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap.

Dari pemilih yang menggunakan suaranya, suara yang sah sebanyak 104.099.785 suara, sedangkan suara tidak sah mencapai 17.488.581 suara. Persentase jumlah suara sah dalam Pemilu 2009 turun drastis daripada Pemilu 2004. Suara sah dalam pemilu kali ini mencapai 60,78 persen dari total pemilih. Padahal dalam pemilu sebelumnya, suara sah mencapai 76,66 persen.

Sedangkan pilpres dilakukan dengan metode yang sama dari gelaran sebelumnya dengan beberapa penyesuaian. Salah satunya adalah terbitnya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang menggantikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003. Berdasarkan UU Pilpres yang baru tersebut, pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat 2009 yang memperoleh minimal 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari jumlah suara sah nasional.

Pilpres 2009 diselenggarakan pada 8 Juli 2009. Diikuti oleh lima pasangan calon presiden dan wakil presiden, yaitu Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto, Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, dan Jusuf Kalla-Wiranto.  

Jumlah pemilih terdaftar dalam pilpres sebanyak 176.395.915 orang, atau meningkat sebanyak 5,1 (2,98 persen) dibandingkan dengan pemilu legislatif. Dari jumlah tersebut, pemilih yang tidak menggunakan haknya mencapai 49.212.158. Sementara itu, suara yang sah dari pemilih yang menggunakan hak suaranya mencapai 121.504.481 suara (“KPU: Pilpres Satu Putaran”, Kompas, 24 Juli 2009).

Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono memenangi pemilu dengan perolehan 73.874.562 suara (60,8 persen). Dua pasangan lainnya, Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto memperoleh 32.548.105 suara (26,79 persen) dan Jusuf Kalla-Wiranto mendapat 15.081.814 suara (12,41 persen) (“SBY Presiden 2009-2014: Prabowo Ucapkan Selamat, Megawati Belum”, Kompas, 19 Agustus 2009).

Walau pilpres berlangsung satu putaran, anggaran Pemilu 2009 melonjak hampir dua kali lipat dari lima tahun sebelumnya menjadi Rp 8,5 triliun yang juga bersumber dari APBN dan APBD.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG

Calon presiden Megawati Soekarnoputri didampingi suaminya, Taufik Kiemas, memasukkan surat suara seusai mencontreng di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 26, di Kelurahan Kebagusan, Jakarta, Rabu (8/7/2009).

Pemilu 2014

Pada Pemilu 2014, pemilihan anggota legislatif dan presiden masih dilakukan secara terpisah. Pileg dilaksanakan pada 9 April 2014 dan Pemilu Presiden pada 9 Juli 2014.

Pada Pileg 2014, sistem pemilu yang digunakan masih sama dengan Pemilu 2009, yakni menggunakan sistem proporsional terbuka. Namun, aturan electoral threshold tidak lagi digunakan dan digantikan parliamentary threshold. Berbeda dengan electoral threshold yang menggunakan basis perhitungan kursi, parliamentary threshold dihitung berdasarkan jumlah suara sah nasional yang diraih partai.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Gubernur DKI Jakarta sekaligus calon presiden dari PDI-P, Joko Widodo, beserta istri mendampingi Ketua Umum DPP PDI-P Megawati Soekarnoputri dan keluarga yang memberikan suara mereka dalam Pemilu Legislatif 2014 di Tempat Pemungutan Suara 35, Kebagusan, Jakarta Selatan, Rabu (9/4/2014).

Pemilu diikuti ada 15 partai politik, terdiri dari 12 partai nasional dan 3 partai lokal Aceh yang bertarung memperebutkan 560 kursi DPR, 132 kursi DPD, 2.112 kursi DPRD Provinsi, 16.895 kursi DPRD kabupaten/kota.

Jumlah penduduk yang terdaftar sebagai pemilih sebanyak 186.569.233 orang dengan tingkat partisipasi pemilih 75,11 persen. Sementara jumlah suara sah dalam pileg tercatat 124.972.491, dan angka golput mencapai 24,89 persen (“Pilpres Paling Bergairah”, Kompas, 14 Juli 2014).

Sebanyak 10 partai lolos ambang batas untuk maju ke parlemen. Adapun parpol yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara 3,5 persen sebanyak 2 partai.

Grafik:

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Posisi teratas perolehan suara ditempati PDI-P dengan perolehan 23.681.471 suara atau 18,95 persen, diikuti Golkar dengan 18.432.312 suara (14,75 persen). Posisi ketiga dan keempat diduduki Partai Gerindra dengan 14.760.371 suara (11,81 persen) dan Demokrat dengan 12.728.913 (10,19 persen) (“Rekapitulasi: KPU Tetapkan Hasil Pileg”, Kompas, 10 Mei 2014).

Sedangkan Pilpres 2014 hanya diikuti oleh dua pasang calon, yaitu Prabowo Subianto yang berpasangan dengan Hatta Rajasa dan Joko Widodo yang berpasangan dengan Jusuf Kalla.

Pilpres dimenangi oleh pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Pasangan ini meraih kemenangan dengan perolehan 70.997.833 suara (53,15 persen). Mengalahkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, yang meraih 62.576.444 suara (46,85 persen) (“Presiden Terpilih Ditetapkan”, Kompas, 22 Juli 2014).

Pada pilpres pemilih yang terdaftar sebanyak 190.307.134 orang. Meningkat 2.454.142 orang dari pemilih terdaftar pada pileg. Namun, angka partisipasinya hanya 70 persen atau 5 persen lebih rendah dari partisipasi pileg.

Anggaran Pemilu 2014 tercatat mencapai Rp 15,62 triliun, naik hampir dua kali lipat dari anggaran Pemilu 2009.

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Pemilu 2019

Pemilu 2019 menjadi tonggak sejarah baru bagi pemilu di Indonesia. Untuk pertama kalinya pemungutan suara untuk menentukan presiden dan wakil presiden, serta anggota badan legislatif pusat dan daerah dilakukan secara berbarengan. Pemungutan suara dilakukan serentak pada 17 April 2019.

Pemilu serentak merupakan gagasan yang diajukan oleh Effendi Gazali bersama Koalisi masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak. Pada awal 2013, Effendi Gazali bersama koalisi mengajukan uji materi UU Pilpres ke Mahkamah Konstitusi. Dia menilai pemilu presesiden setelah pemilu legislatif bertentangan dengan UUD 1945 dan merupakan suatu pemborosan anggaran. Selain itu, juga meningkatkan politik transaksional dan konflik antarpendukung atau pemilih.

Singkat cerita, MK kemudian melakukan peninjauan ulang UU Pilpres dan mengabulkan gugatan dengan mengeluarkan Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013, yang menyatakan penyelenggaraan pemilihan umum presiden dan wakil presiden setelah pemilihan umum anggota legislatif  inkonstitusional.

Akan tetapi, mengingat persiapan Pemilu 2014 saat itu sudah berlangsung dan memasuki tahap akhir, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, pemilu serentak baru bisa dilaksanakan mulai Pemilu 2019 dan seterusnya (“Uji Materi Pemilu Presiden: Pemilu Serentak 2019, Ambang Batas Capres Tak Dibatalkan”, Kompas, 24 Januari 2014).

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Petugas Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, bersama para saksi menyelesaikan rekapitulasi penghitungan suara Pemilu 2019 di Gedung Akademi Manajemen Informatika dan Komputer (AMIK) Wahana Mandiri, Pondok Cabe Udik, Pamulang, Tangerang Selatan, Senin (6/5/2019).

Dengan pemilu serentak—biasa pula disebut dengan “pemilu lima kotak”, Pemilu 2019 menjadi pemilu yang paling kompleks sepanjang sejarah penyelenggaraan pemilu di Indonesia saat itu. Sebab, dalam satu perhelatan, ada tiga sistem pemilu yang berjalan simultan. Pertama, anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, dipilih dengan sistem proporsional terbuka, di mana pemilih bukan hanya mencoblos tanda gambar partai, tapi juga nama caleg. Kedua, anggota DPD dipilih dengan sistem distrik berwakil banyak. Ketiga, capres-cawapres dipilih dengan sistem pemilu mayoritas dua putaran.

Tiga sistem pemilu ini berkonsekuensi pada berbedanya desain surat suara. Memilih presiden relatif sederhana, cukup mencoblos foto capres-cawapres. Memilih anggota DPD pun demikian, cukup mencoblos foto calon anggota DPD. Namun, untuk memilih calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, cara memberikan suaranya adalah dengan mencoblos tanda gambar partai dan nama caleg.

Meski demikian, mencoblos partai saja dan mencoblos caleg saja tetap sah, dengan konsekuensi berbeda dalam penghitungan suara. Jika yang dicoblos partai, maka suaranya jatuh kepada partai, dan suara tersebut digunakan untuk menghitung perolehan kursi partai, namun tidak digunakan untuk menentukan calon terpilih. Sedangkan, jika mencoblos caleg saja, efeknya sama dengan mencoblos partai dan caleg, yaitu suara tersebut jatuh kepada partai dan caleg, dan digunakan untuk menghitung perolehan kursi partai maupun penentuan calon terpilih.

Pada Pemilu 2019, KPU menetapkan ada 16 partai nasional peserta pemilu dan 4 partai lokal Aceh. Mereka akan bertanding memperebutkan 575 kursi DPR, 2.207 kursi DPRD Provinsi, dan 17.610 kursi DPRD Kabupaten/Kota.

Sementara untuk pilpres, ada dua pasang calon yang ikut serta dalam kompetisi pemilu, dengan kontestasi ulang antara Joko Widodo dengan Prabowo Subianto. Namun masing-masing calon presiden tersebut menggandeng calon wakil presiden baru. Joko Widodo berpasangan dengan Ma’ruf Amin, sedangkan Prabowo Subianto berpasangan dengan Sandiaga Uno. 

Jumlah penduduk yang terdaftar sebagai pemilih sebanyak 192.770.61 orang dengan tingkat partisipasi sebesar 81,69 persen.

Berdasarkan data Hasil Rekapitulasi Suara Nasional Pemilu 2019, ada 9 partai yang lolos memperoleh suara melebihi batas ambang parlemen. PDI-P berhasil memperoleh suara tertinggi, yakni 27.053.961 suara (19,33 persen). Dengan demikian PDI-P berhasil mempertahankan posisinya sebagai partai pemenang dua pemilu berturut-turut, tahun 2014 dan 2019.

Grafik:

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Setelah PDI-P, posisi berikutnya ditempati Partai Gerindra 17.594.839 suara (12,57 persen) dan Golkar 17.229.789 suara (12,31 persen) yang merupakan partai urutan kedua dan ketiga tertinggi dalam perolehan suara. Urutan keempat hingga terakhir secara berurutan meliputi PKB, Nasdem, PKS, Demokrat, PAN, dan PPP. Adapun tujuh partai meraih suara di bawah ambang batas parlemen adalah Perindo, Berkarya, PSI, Hanura, PBB, Garuda, dan PKPI.

Sedangkan untuk pilpres, pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin memperoleh 85.607.362 suara atau 55,50 persen, dan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno memperoleh 68.650.239 suara atau 44,50 persen. Dengan perolehan suara tersebut, KPU menetapkan Joko Widodo-Ma’ruf Amin sebagai pemenang.

Meski pemilu serentak berhasil dilaksanakan. Sebagai catatan, penyelenggaraan pemilu serentak ini diwarnai tragedi yang banyak menelan korban. Karena beban kerja yang jauh lebih berat, ratusan penyelenggara pemilu ad hoc jatuh sakit dan bahkan meninggal dunia.

Berdasarkan data KPU, ada 894 orang petugas KPPS, PPK, dan PPS yang meninggal dunia dan 5.175 petugas lainnya sakit setelah proses penghitungan suara di tempat pemungutan suara tempat mereka bertugas. Sebagian besar korban ditengarai mengalami kelelahan fisik dan mental akibat lamanya waktu serta beban penghitungan surat suara.

Anggaran Pemilu 2019 yang dialokasikan adalah sebesar Rp27.479.557.699.000. Adapun realisasinya adalah Rp 23.722.964.620.432 atau 86,3 persen. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Feith, Herberth. 1999. Pemilihan Umum 1955 di Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
  • Liddle, R. William. 1992. Pemilu-pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik. Jakarta: LP3ES.
  • Pamungkas, Mudanto, dkk. 2019. Naskah Sumber Arsip: Jejak Demokrasi Pemilu 1955. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia.
  • Pamungkas, Sigit. 2009. Perihal Pemilu. Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada.
  • Puspoyo, Widjanarko. 2012. Pemilu Indonesia 1955-2009: Dari Soekarno Hingga Yudhoyono. Solo: Era Adicitra Intermedia.
  • Santoso, Topo dan Ida Budiarti. 2018. Pemilu di Indonesia: Kelembagaan, Pelaksanaan, dan Pengawasan. Jakarta: Sinar Grafika.
  • Komisi Pemilihan Umum. 2019. Penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019. Jakarta: Komisi Pemilihan Umum.
  • Biro Humas Komisi Pemilihan Umum. 2000. Pemilu Indonesia dalam Angka dan Fakta Tahun 1955-1999. Jakarta: Komisi Pemilihan Umum.
Arsip Kompas
  • “Djumlah Penduduk Indonesia Jang Berhak Memilih 57.750.615 Orang * Berarti 50,23% Dari Seluruh Warganegara”, Kompas, 22 April 1971.
  • “Hasil resmi pemilihan umum 3 Djuli 1971”, Kompas, 9 Agustus 1971.
  • “Pemerintah supaja laporkan penggunaan dana pemilu”, Kompas, 13 Juli 1971.
  • “Hasil final pemilu untuk keanggotaan DPR: PPP 99 kursi, Golkar 232 dan PDI 29”, Kompas, 9 Juni 1977.
  • “Beaya pemilu 77 bisa mencapai Rp 80 – Rp 90 milyar”, Kompas, 9 April 1977.
  • “Hasil Final Pemilu 1982: PPP 94 kursi, Golkar 246 dan PDI 24”, Kompas, 15 Juni 1982.
  • “Rp 130 Milyar, Biaya Pemilu 1982”, Kompas, 7 Januari 1982.
  • “Penghitungan Resmi Terakhir: Golkar Tambah 53 Kursi, PDI 16, PPP Kehilangan 33”, Kompas, 7 Juni 1987.
  • “Anggaran pemilu 1987 sama dengan pemilu 1982”, Kompas, 17 Januari 1986.
  • “PPI Sahkan Perolehan Suara dan Kursi DPR: PPP Mendapat 62 Kursi, Golkar 282, dan PDI 56”, Kompas, 30 Juni 1992.
  • “Biaya pemilu 1992 Rp 199,8 milyar”, Kompas, 12 September 1990.
  • “Golkar 325, PPP 89, PDI 11 Kursi”, Kompas, 24 Juni 1997.
  • “Dana Pemilu 1997 Rp 214,5 Milyar”, Kompas, 28 Januari 1997.
  • “Persiapan Partai Politik Menjelang Pemilu: Antara Diskriminasi Legal dan Kendala Internal”, Kompas,1 Maret 1999.
  • “Presiden: Hasil Pemilu Sah”, Kompas, 27 Juli 1999.
  • “Ke Mana Larinya Dana Pemilu?”, Kompas, 19 Juli 1999.
  • “Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara Pemilu Presiden – Wakil Presiden 2004”, Kompas, 27 Juli 2004.
  • “Yudhoyono-Megawati Janjikan Perubahan”, Kompas, 27 Juli 2004.
  • “KPU Tetapkan: SB Yudhoyono Presiden Terpilih”, Kompas, 5 Oktober 2004.
  • “Pemilihan Umum 2004 Habiskan Dana Rp 4,45 Triliun dan 32,367 Juta Dollar AS”, Kompas, 15 Oktober 2004.
  • “49,6 Juta Orang Tak Memilih”, Kompas, 10 Mei 2009.
  • “KPU: Pilpres Satu Putaran”, Kompas, 24 Juli 2009.
  • “SBY Presiden 2009-2014: Prabowo Ucapkan Selamat, Megawati Belum”, Kompas, 19 Agustus 2009).
  • “Pilpres Paling Bergairah”, Kompas, 14 Juli 2014.
  • “Hekapitulasi: KPU Tetapkan Hasil Pileg”, Kompas, 10 Mai 2014.
  • “Presiden Terpilih Ditetapkan”, Kompas, 22 Juli 2014.
  • “Pemilu Terakhir Orde Baru”, Kompas, 23 Februari 2023.
  • “Pemilu 1999, Pemilu Pertama Pasca-Orde Baru”, Kompas, 8 Juni 2023.
  • “Kilas Balik Kampanye Pemilu dari Waktu ke Waktu”, Kompas, 29 November 2023.
  • “Potret Pemilu Paling Demokratis di Indonesia”, Kompas, 13 Desember 2023.
  • “Arsip Foto ”Kompas”: Pemilu Era Orde Baru, Fusi Partai, dan Dominasi Golkar”, Kompas, 15 Desember 2023.
  • “Anggaran Pemilu dari Masa ke Masa: Pengeluaran atau Investasi Negara?”, Kompas, 15 Desember 2023.
  • “Arsip Foto ”Kompas”: Pemilu 2004, Pilpres Langsung Pertama Indonesia”, Kompas, 30 Desember 2023.
  • “Pemilu 1955: Jejak Demokratis Pertama di Indonesia”, Kompaspedia, 21 Agustus 2023.
  • “Pemilu 1971: Pemilu Pertama Orde Baru dan Awal Dominasi Golkar”, Kompaspedia, 2 Oktober 2023.
Internet

• Kpu.go.id
• Mkri.id
• peraturan.bpk.go.id
• rumahpemilu.org
• perludem.org