Paparan Topik | Bahan Pokok

Komoditas Kakao: Sejarah, Manfaat, Produsen Dunia, dan Ekspor Indonesia

Cokelat merupakan minuman dan camilan yang tidak bisa dipisahkan dalam keseharian masyarakat. Cokelat dihasilkan dari biji kakao yang telah mengalami serangkaian proses pengolahan. Biji Kakao dihasilkan dari buah tanaman kakao (Theobroma Cacao) yang sudah matang.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Petani kakao, Jonewas Wenda memanen buah kakao yang telah matang di kebunnya di Kampung Utikini 2, Disrik Kuala, Kabupaten Mimika, Papua, Jumat (18/3/2022). Setiap minggu sekitar 20 kilogram buah kakao bisa dipanen di kebun ini.

Fakta Singkat:

  • Indonesia setiap tahun mampu memproduksi biji kakao sekitar 700.000 ton
  • Pada 2022, Indonesia memproduksi kakao sebanyak 667.300 ton biji kakao.
  • Provinsi penghasil kakao terbesar adalah Sulawesi Tengah, yang berkontribusi 19,11 persen dari total produksi Indonesia
  • Sebagian besar produksi kakao Indonesia diekspor ke mancanegara.
  • Pada 2021, sebanyak 382.710 ton ton biji kakao diekspor ke luar negeri dengan total nilai sebesar 1,21 milyar dollar AS
  • Lima besar negara pengimpor kakao Indonesia adalah Malaysia, China, India, Amerika, dan Filipina.
  • Produksi kakao secara global mencapai 4,82 juta ton pada 2021-2022.
  • Benua Afrika menghasilkan biji kakao terbesar yakni 75,2 persen secara global.
  • Pantai Gading menjadi negara yang paling banyak memproduksi kakao di dunia pada 2021-2022. Jumlahnya tercatat mencapai 2,12 juta ton.

 

Biji kakao merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan. Sektor perkebunan peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan, dan devisa negara. Sektor ini berkontribusi sekitar 4 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) dan penyedia lapangan pekerjaan bagi sekitar 22,7 juta penduduk.

Indonesia setiap tahun mampu memproduksi biji kakao sekitar 700.000 ton. Namun, produksi kakao Indonesia terus menurun dalam tiga tahun terakhir. Tahun 2022, Indonesia memproduksi kakao sebanyak 667.300 ton biji kakao. Produksi itu menurun tiga persen dibandingkan pada 2021 sabanyak 688.200 ton, Sementara produksi 2021 itu turun hampir tiga persen dibanding tahun sebelumnya yang tercatat 720.660 ton. 

Pulau Sulawesi merupakan penghasil kakao terbesar di Indonesia. Sementara, provinsi penghasil kakao terbesar adalah Sulawesi Tengah, yang berkontribusi 19,11 persen dari total produksi Indonesia. Selanjutnya Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Barat diurutan kedua dan ketiga dengan masing-masing berkontribusi 17,05 persen dan 16,33 persen produksi kakao nasional.

Sebagian besar produksi kakao Indonesia diekspor ke mancanegara. Pada 2020, sebanyak 377.850 ton biji kakao diekspor ke luar negeri dengan total nilai sebesar 1,24 milyar dollar AS. Setahun berselang yakni pada 2021 volumenya meningkat menjadi 382.710 ton dengan total nilai sebesar 1,21 milyar dollar AS. Pada tahun 2021, lima besar negara pengimpor kakao Indonesia adalah Malaysia, China, India, Amerika, dan Filipina.

KOMPAS/RENY SRI AYU

Annas melihat buah kakao di kebunnya di Kuajang, Binuang, Polman, Sumbar pertengahan Agustus (18/8/2018). Walau sedang musim kering, tanaman kakaonya tetap berbuah.

Sejarah

Kakao (Theobroma Cacao) merupakan komoditas perkebunan yang sudah dimanfaatkan sejak berabad silam. Kakao berasal dari hutan tropis di Amerika Tengah dan Amerika Selatan bagian utara. Habitat asli kakao adalah hutan tropis dengan pepohonan tinggi. Penduduk pertama yang menggunakan kakao sebagai bahan makanan dan minuman adalah suku Indian Maya dan suku Aztek (Aztec).

Mereka memanfaatkan kakao sebelum orang-orang kulit putih di bawah pimpinan Christopher Colombus menemukan Amerika. Suku Indian Maya merupakan suku yang mendiami wilayah yang kini disebut Guatemala, Yucatan, dan Honduras (Amerika Tengah).

Pada abad ke-14, bangsa Spanyol datang ke suku Aztek dan melihat mereka menanam kakao. Mereka melihat suku Aztek menanam dan mengembangkan kakao serta mengolahnya menjadi bahan minuman. Oleh bangsa Aztek minuman  yang rasanya pahit dan berbusa dari biji kakao itu disebut Xocolat . Menurut para ahli ahli etimologi, asal kata cokelat adalah kata Aztec yang merujuk pada minuman pahit berbusa dari biji kakao yang dinamakan Xocolat.

Pada masa Aztec, kelompok etnis Meksiko tengah menguasai sebagian besar mesoamerika pada abad ke-14 sampai ke-16, disebutkan jika minuman itu untuk kaum bangsawan. Menurut para ahli sejarah, biji kakao yang merupakan bahan cokelat itu juga digunakan seperti mata uang di banyak bagian Amerika pra-Kolombus. Orang-orang Maya dan Aztec meyakini biji itu memiliki khasiat magis.

Dalam perkembangannya, orang-orang Spanyol yang pertama mengenal minuman itu kemudian mencoba mengolah kakao dengan caranya sendiri, yaitu dengan menumbuk dan menambahkan pemanis yang terbuat dari air tebu. Pengolahan dengan cara itu menghasilkan minuman yang memiliki cita rasa lebih lezat.

Pada 1525, orang-orang Spanyol membawa pulang kakao yang telah mereka olah ke negaranya, lalu mempersembahkannya kepada raja Charles V. Pada masa itulah kakao pertama kali diperkenalkan kepada orang-orang Eropa.

Pada tahun 1550, pengenalan kakao semakin meluas di seluruh Eropa. Pabrik cokelat mulai berdiri di beberapa tempat di Eropa seperti di Lisbon (Portugal), Genoa, Turin (Italia), dan Marseilles (Prancis). Biji kakao untuk bahan baku pabrik cokelat itu didatangkan dari benua Amerika.

Perdagangan biji kakao antara Amerika dan Eropa pun berkembang pesat. Amerika Selatan mendominasi produksi kakao dunia sebelum periode 1919—1920 dengan produsen utamanya Ekuador dan Brasil. Afrika lalu mengambil alih posisi itu pada 1920—1921 dengan andil produksi 50—70 persen.

Sampai periode 1976—1977, produsen utama kakao dunia adalah Ghana. Setelah itu, posisinya digantikan oleh Pantai Gading sampai saat ini dengan kapasitas produksi 2.121.000 ton. Sementara posisi kedua dan ketiga berturut turut ditempati oleh Ghana dan Ekuador. Indonesia sendiri masuk dalam 10 besar produsen kakao dunia dengan produksi mencapai 700.000 ton biji kakao.

 KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Beragam varietas kakao dari jaman kolonial koleksi Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka) dipamerkan di Pusat Informasi Puslitkoka, Nogosari, Jember, Jawa Timur, Kamis (11/1/2018). Puslitkoka berdiri pada 1 Januari 1911 dengan nama Besoekisch Proefstation. Sejak 1981, lembaga non profit ini memegang mandat meneliti dan mengembangkan komoditas kopi dan kakao secara nasional.

Kakao di Indonesia

Indonesia mengenal kakao sejak abad ke-15. Pada 1560, orang-orang Spanyol datang ke tanah air dengan membawa kakao yang bibitnya dari Filipina dan memperkenalkannya kepada warga di Minahasa, Sulawesi Utara. Orang Belanda kemudian tertarik menyebarkan dan memperkenalkan budidaya tanaman kakao ke daerah Sumatera dan Batavia. Sejak saat itu, tanaman anggota famili Sterculiaceae itu berkembang di Indonesia.

Pada 1806, tanaman kakao mulai diperkenalkan di Pulau Jawa dengan cara ditanam di sela-sela pohon kopi. Percobaan menanam kakao di sela-sela pohon kopi ini dilakukan karena kopi Arabika rusak akibat penyakit karat daun.

Pada 1825—1838, Indonesia telah mengekspor 92 ton kakao dari Pelabuhan Manado ke Manila, Filipina. Namun, nilai ekspor itu dikabarkan menurun karena adanya serangan hama pada tanaman kakao. Pada 1919 Indonesia masih mampu mengekspor 30 ton kakao dan pada 1928 ekspor itu akhirnya terhenti.

Sekitar 1880, ada percobaan penanaman kakao di kebun kopi milik orang-orang Belanda yang tinggal di wilayah Jawa Tengah. Percobaan itu juga dilakukan di Jawa Timur karena kopi arabika di wilayah itu mengalami kerusakan akibat serangan karat daun.

Pada tahun 1888 oleh Henri D. MacGilavry yang mengenal sifat-sifat baik kakao Venezuela terutama mengenai mutunya, didatangkan puluhan semaian baru dari Venezuela. Namun, sangat disayangkan karena yang bertahan hidup hanya satu pohon.

Pada saat tanaman kakao tersebut mulai menghasilkan, ternyata buahnya kecil-kecil, bijinya gepeng, tetapi setelah biji-biji yang dihasilkan tersebut ditanam kembali, ternyata dapat menghasilkan tanaman yang sehat, buah dan bijinya besar, serta tidak disukai hama penggerek buah kakao.

Dari pohon-pohon yang baik tersebut dipilih beberapa pohon sebagai pohon induk dan dikembangkan secara klonal. Upaya ini dilakukan di Perkebunan Djati Runggo (dekat Salatiga, Jawa Tengah), sehingga klon-klon yang dihasilkan diberi nama DR atau kependekan dari Djati Runggo. Berkat penemuan klon-klon DR (DR 1, DR 2, dan DR 3) ini perkebunan kakao ini dapat bertahan, bahkan selain di Jawa Tengah berkembang juga perkebunan kakao di Jawa Timur.

Pada 1938 terdapat sekitar 29 perkebunan besar di Hindia Belanda yang menjadikan kakao sebagai komoditi utamanya. Pada tahun ini, cokelat mengalami masa keemasannya. Sebanyak 13 kebun baru dibuka di Jawa Barat, 7 di Jawa Tengah, dan 9 di Jawa Timur. Setelah Indonesia merdeka, perkebunan-perkebunan itu dinasionalisasi pascaproklamasi.

Ada tiga varietas kakao yang ditanam di Indonesia yakni Criolo, Forastero, dan Trinitario. Criolo (fine cocoa atau kakao mulia) termasuk jenis yang menghasilkan biji kakao dengan mutu terbaik sebagai kakao mulia diantaranya: fine flovour cocoa, choiced cocoa dan edel cocoa. Jenis varietas Criolo mendominasi pasar kakao hingga pertengahan abad 18, akan tetapi saat ini hanya beberapa saja yang masih diusahakan.

Varietas Forastero merupakan kelompok varietas terbesar yang diolah dan ditanami. Kakao jenis ini umumnya termasuk kakao bermutu sedang atau bulk cocoa atau lebih dikenal dengan ordinary cocoa. Sementara Trinitario merupakan hasil persilangan antara jenis Forastero dan Criolo.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Soni menjemur kakao di tepi jalan di kawasan Geliting, Kecamatan Kewapante, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kamis (18/8/2016). Setelah kering, kakao tersebut biasanya dijual ke pengepul di Maumere seharga Rp 22 ribu per kilogram.

Pengolahan kakao

Proses pengolahan buah kakao menentukan mutu produk akhir kakao yakni cokelat, karena dalam proses ini terjadi pembentukan cita rasa khas kakao (cokelat). Proses itu melalui beberapa tahap yakni pemanenan, pengeraman, pengupasan, fermentasi, perendaman dan pencusian, dan terakhir pengeringan, penyortiran, dan penyimpanan.

Setelah panen, buah kakao dikumpulkan dan dikelompokkan berdasarkan kelas kematangannya. Biasanya dilakukan pemeraman untuk memperoleh keseragaman kematangan buah dan memudahkan pengeluaran biji dari buah kakao.

Selanjutnya, buah kakao dipecah atau dibelah untuk mendapatkan biji kakao. Biji kakao dikeluarkan lalu dimasukkan dalam wadah yang bersih, sedang empulur yang melekat pada biji dibuang.

Selanjutnya, dilakukan proses fermenrasi tujuannya untuk mematikan lembaga biji agar tidak tumbuh sehingga terjadi perubahan pada warna keping biji, peningkatan aroma dan rasa, perbaikan konsistensi keping biji dan lepasnya selaput lendir. Fermentasi itu memerlukan waktu 6 hari. Dalam proses fermentasi terjadi penurunan berat sampai 25 persen.

Setelah proses fermentasi biji, selanjutnya dilakukan proses perendaman dan pencucian untuk menghentikan proses fermentasi dan memperbaiki kualitas fisik biji. Selama proses perendaman berlangsung, sebagian kulit biji kakao terlarut sehingga kulitnya lebih tipis dan rendemannya berkurang.

Setelah perendaman, dilakukan pencucian untuk mengurangi sisa-sisa lendir yang masih menempel pada biji dan mengurangi rasa asam pada biji sehingga mempercepat proses pengeringan.

Setelah direndam dan dicucik, biji mengalami proses pengeringan yang menurunkan kadar air dalam biji dari 60 persen sampai kadar air dalam biji  mencapai 7-8 persen. Dengan kadar air tersebut, maka tidak dapat menurunkan kualitas biji dan biji tidak ditumbuhi cendawan.

Pengeringan dapat dilakukan dengan dengan menjemur di bawah sinar matahari atau secara buatan dengan menggunakan mesin pengering atau kombinasi keduanya. Dengan sinar matahari dibutuhkan waktu 2-3 hari, tergantung kondisi cuaca, sampai kadar air biji menjadi 7-8 persen. Sedangkan dengan pengeringan buatan berlangsung pada temperatur 65° – 68° C.

Setelah kering, dilakukan proses penyortiran atau pengelompokan. Tujuannya, biji kakao kering dibersihkan dari kotoran dan dikelompokkan berdasarkan mutunya. Sortasi dilakukan setelah 1-2 hari dikeringkan agar kadar air seimbang, sehingga biji tidak terlalu rapuh dan tidak mudah rusak, sortasi dapat dilakukan dengan menggunakan ayakan yang dapat memisahkan biji kakao dari kotoran.

Setelah bersih, biji kakao kering disimpan dimasukkan ke dalam karung goni. Tiap karung goni diisi 60 kg biji kakao kering kemudian karung tersebut disimpan dalam ruangan yang bersih, kering dan memiliki lubang ventilasi udara.

Jenis cokelat

Biji kakao bisa menghasilkan aneka jenis cokelat yang dikelompokkan sesuai dengan warna dan unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Setidaknya terdapat tujuh jenis cokelat hasil pengolahan biji kakao yang biasa dimanfaatkan dalam aneka makanan dan minuman.

Cokelat bubuk adalah jenis cokelat yang paling populer di masyarakat. Cokelat bubuk biasanya sering digunakan untuk membuat kue dan minuman. Cokelat ini berbentuk bubuk dan terbuat dari biji kakao asli yang dikeringkan. Rasa dari cokelat ini cenderung asam dan tidak ada rasa manis sama sekali. Jenis cokelat ini memiliki manfaat baik bagi kesehatan tubuh karena mengandung lemak cokelat dan antioksidan.

Jenis berikutnya Dark chocolate yang sehat untuk dikonsumsi. Meskipun rasanya pahit, cokelat ini mampu meningkatkan mood dan menghasilkan energi. Dark chocolate adalah olahan cokelat yang mengandung kadar pasta cokelat tinggi, sehingga membuat warnanya gelap dan memiliki rasa pahit.

Dark chocolate dibedakan jadi dua jenis yakni, semisweet dan bittersweet. Jenis semisweet memiliki rasa cenderung manis. Sebaliknya, bittersweet lebih cenderung pahit dengan kandungan kakao minimal 35 persen. Bittersweet dan semisweet akan pas untuk kudapan yang dibuat dengan cara dipanggang, cooking (masakan biasa), atau konsumsi langsung.

Kemudian ada  produk hasil olahan biji kakao lainnya yakni Unsweetened chocolate. Cokelat ini dibuat dari hasil fermentasi dan pengeringan biji kakao berupa pasta dan lemak cokelat yang memiliki rasa cenderung pahit. Biasanya, jenis cokelat ini digunakan sebagai bahan dasar cokelat jenis lain seperti cokelat putih.

Jenis lainnya yakni Milk chocolate yang rasanya gurih dan banyak disukai. Seperti namanya, cokelat ini mengandung tambahan susu yang membuat rasanya lebih gurih dan teksturnya lumer di mulut. Umumnya, milk chocolate mengandung setidaknya 10 persen kakao, lebih dari 3 persen lemak mentega dan 12 persen padatan susu.

Dari segi tekstur, milk chocolate lebih lembut daripada dark chocolate. Warna cokelat lebih terang dan rasa cokelat yang tidak terlalu terasa, namun rentan terhadap panas berlebih. Karena teksturnya, milk chocolate cocok untuk dijadikan bahan pembuatan saus cokelat, es krim, atau kudapan ringan untuk anak.

Jenis yang banyak beredar di pasaran yakni white chocolate. Cokelat putih tidak mengandung padatan kakao, namun mengandung mentega kakao atau cocoa butter hingga 20 persen dan 14 persen susu, krim, atau padatan susu. Cokelat putih terbilang sangat manis dan lembut, tanpa kompleksitas pahit seperti halnya cokelat biasa.

Lantas ada Semi-sweet chocolate yakni cokelat yang ditambahkan sedikit gula sehingga mempunyai rasa sedikit manis meskipun masih terasa agak pahit. Meski begitu, semi-sweet chocolate ini sering digunakan untuk bahan memasak.

Jenis lainnya yakni couverture chocolate yang berasal dari bahasa Prancis yakni cokelat premium yang sering dijumpai hanya di restoran bintang lima biasa digunakan sebagai lapisan makanan mulai dari kue hingga dessert. Sementara Gianduja chocolate berasal dari Italia yang terbuat dari perpaduan biji kakao dan 30 persen hazelnut. Jenis cokelat ini sangat enak untuk dikonsumsi sebagai camilan.

 KOMPAS/RIZA FATHONI

Pekerja mengemas bubuk cokelat di pabrik PT Bumitangerang Mesindotama di kawasan Cibodas, Tangerang, Banten, Rabu (15/12/2010). Industri ini memproduksi kakao olahan “BT Cocoa” . Perusahaan ini mampu memproduksi 48.000 metrik ton per tahun, sebagian diekspor. Perusahaan ini menargetkan peningkatan kapasitas produksi menjadi 80.000 metrik ton per tahun mulai tahun 2011. 

Manfaat cokelat

Dalam 100 gram biji kakao yang telah dihaluskan ada berbagai zat gizi yang terkandung, yaitu 228 kalori yang berasal dari  14 gamr lemak, 58 gram karbohidrat, 2 gram gula, dan 20 gram protein. Selain itu, juga mengandung 21 mg natrium, 33 gr serat makanan, kalsium dan zat besi.

Biji kakao yang sudah dihaluskan yang sudah disajikan dalam bentuk minuman atau coklat batangan memiliki sejumlah manfaat antara lain tinggi kandungan antioksidan yang dihasilkan dari kandungan flavonoid sebagai bagian dari senyawa polifenol. Keduanya merupakan antioksidan alami. Antioksidan adalah zat yang bertugas untuk menangkal efek buruk dari radikal bebas, yang dapat memicu timbulnya berbagai penyakit dalam tubuh.

Manfaat berikutnya yakni mengurangi risiko serangan jantung dan stroke berkat kandungan flavonoidnya yang tinggi, jika dikonsumsi bisa memperkecil resiko serangan jantung dan stroke. Pasalnya, flavonoid akan berperan dalam meningkatkan oksida nitrat di dalam darah yang akan melebarkan arteri dan pembuluh darah dalam tubuh, sehingga aliran darah meningkat.

Mengonsumsi kakao atau cokelat bisa mengurangi gejala depresi, karena cokelat sudah lama dikenal bisa memperbaiki suasana hati seseorang sekaligus mengatasi depresi. Efek positif ini didapat dari kandungan senyawa flavanol yang mampu menstabilkan serotonin, yakni zat kimia dalam tubuh yang berperan mengendalikan emosi.

Cokelat juga bisa menunjang dan memperbaiki fungsi otak berkat kandungan senyawa polifenol dalam bubuk kakao yang bisa menurunkan risiko penyakit neurodegeneratif dengan cara memperbaiki fungsi otak dan aliran darah dalam tubuh. Selain itu, polifenol juga dapat memengaruhi produksi nitrit oksida, yang akan melemaskan otot-otot pembuluh darah dan meningkatkan suplai darah untuk otak.

Cokelat mampu menurunkan tekanan darah berkat kandungan flavonoid dalam bubuk kakao yang dapat memperbaiki kadar oksida nitrat dalam darah. Hal ini juga secara bersamaan akan meningkatkan fungsi pembuluh darah dan menurunkan tekanan darah.

Selain itu, konsumsi cokelat secara tidak berlebihan baik untuk penderita diabetes. Kandungan flavanol sebagai antioksidan di dalam biji coklat murni ini ternyata bisa membantu memperlambat pencernaan dan penyerapan karbohidrat di dalam usus. Biji cokelat itu juga mampu meningkatkan sekresi insulin, mengurangi peradangan, dan meningkatkan kendali gula darah di dalam tubuh.

Manfaat lainnya bagi kesehatan yakni cokelat membantu meringankan asma berkat kandungan senyawa antiama pada biji coklat, yaitu teobromin dan teofilin. Teobromin merupakan senyawa yang bisa membantu meringankan batuk terus-menerus akibat adanya sumbatan di jalur napas. Sementara itu, teofilin merupakan senyawa yang membantu paru-paru melebar sehingga otomatis jalan napas pun tak lagi tersumbat.

KOMPAS/LASTI KURNIA

Produksi cocoa liquor, powder , dan butter di PT Bumitangerang Mesindotama (BT Cocoa), Cibodas, Tangerang, Banten, Kamis (18/3/2010). Kapasitas produksi BT Cocoa sebesar 48.000 metrik ton per tahun dengan 40 persen untuk pasar lokal dan 60 persen ekspor. Asosiasi Industri Kakao Indonesia mencatat total produksi biji kakao Indonesia sebesar 500.000 ton per tahun, tetapi baru 10 persen difermentasi. 

Produsen kakao

Berdasarkan data International Cocoa Organization (ICCO), produksi kakao secara global mencapai 4,82 juta ton pada 2021-2022. Jumlah tersebut menurun delapan persen dibandingkan pada periode sebelumnya sebanyak 5,24 juta ton. Benua Afrika menghasilkan biji kakao terbesar yakni 75,2 persen dari total produksi dunia, sementara Benua Amerika berkontribusi 19,2 persen, dan Asia 5,7 persen.

Pantai Gading menjadi negara yang paling banyak memproduksi kakao di dunia pada 2021-2022. Jumlahnya tercatat mencapai 2,12 juta ton pada periode tersebut. Jumlah ini naik 6,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya.  Pantai Gading punya populasi sekitar 27 juta orang per 2021. Diperkirakan sekitar 6 juta di antaranya bekerja di industri kakao. Negara yang terletak di Afrika Barat ini memasok 40 persen kakao dunia.

Grafik:

Ghana menyusul di urutan kedua dengan produksi kakao sebanyak 689.000 ton pada periode 2021-2022. Produksi itu menurun sekitar 28 peren dibandingkan periode 2020-2001 yang tercatat 883.000 ton. Produksi kakao Ghana menyumbang sekitar 30 persen total ekspor. Pantai Gading dan Ghana berkontribusi sekitar 60 persen dari total produksi kakao dunia.

Selanjutnya ada Ekuador dan Kamerun yang masing-masing memproduksi kakao sebanyak 370.000 ton dan 295.000 ton. Produksi dua negara itu meningkat dibandingkan periode 2020-2021 yang tercatat 300.000 ton dan 270.000 ton. Kakao Ekuador dikenal di seluruh dunia karena rasa yang kompleks. Rasa kakao dari Ekuador terkenal “halus” dengan aroma bunga.  Sementara Kamerun sekitar 37 persen lahanya untuk budidaya kakao. Budidaya kakao juga jadi sumber pencaharian untuk penduduk pedesaan di Kamerun.

Nigeria penghasil kakao terbesar ke-5 dunia. Negara ini juga menghasilkan kakao sebanyak 280.000 ton. Produksi kakao di Nigeria mengalami tren penurunan lantaran cuaca yang kering ditambah pandemi covid-19. Pada periode 2020-2021 produksi kakao negara itu tercatat 270.000 ton.

Ada pula Brasil dengan memproduksi komoditas tersebut sebesar 220.000 ton. Produksi itu meningkat dibandingkan periode sebelumnya yakni 180.000 periode 2020-2021. Sektor kakao serta produk turunannya seperti cokelat dan permen di Brazil bisa menghasilkan pendapatan bersih hampir 17 miliar real Brazil di tahun 2019. 

Indonesia berada di urutan ketujuh dengan angka produksi kakao sebanyak 180.000 ton pada 2021-2022. Indonesia Sama seperti Nigeria, tren produksi kakao di Indonesia juga mengalami penurunan. Berdasarkan laporan ICCO, penurunan mencapai 20.000 ton pada periode 2019-2020. Hal ini disebabkan oleh pandemi Covid-19 yang berpengaruh pada permintaan industri kakao.

Berikutnya Papua Nugini yang menghasilkan kakao sebesar 42.000 ton di posisi ke-8. Produksi itu meningkat dibandingkan pada periode 2020-2021 yang tercatat 35.000 ton kakao.  Meskipun jumlah ini tampak kecil dibandingkan negara penghasil kakao lain, kakao dari Papua Nugini disebutkan ICCO sebagai salah satu kualitas terbaik dunia.

Meski menurut data ICCO, Indonesia di posisi ketujuh dari produsen dunia dengan produksi rata-rata 180.000 ton per tahun, namun jika mengaju produksi pada Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik yang mencatat produksi Indonesia rata-rata sekitar 600-700 ribu per tahun, posisi Indonesia di peringkat ke-3 yakni dibawah Ghana yang produksinya  sekitar 1 juta ton.

KOMPAS/ASWIN RIZAL HARAHAP

Pekerja mengemas biji kakao di Kawasan Industri Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (11/6/2012). Krisis yang kian parah melanda Eropa menyebabkan harga biji kakao ekspor terus menurun dari 2.350 dollar AS menjadi 2.050 dollar AS per ton selama dua minggu terakhir.

Produksi Kakao Indonesia

Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan Indonesia yang diminati pasar internasional. Namun, produksi kakao Indonesia terus menurun dalam tiga tahun terakhir. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2022, Indonesia memproduksi kakao sebanyak 667.300 ton biji kakao. Produksi itu menurun tiga persen dibandingkan pada 2021 sabanyak 688.200 ton. Sementara produksi 2021 itu turun hampir tiga persen dibanding tahun sebelumnya yang tercatat 720.660 ton.  

Jika ditelisik lebih jauh, pada 2017 produksi biji kakao sebesar 585.250 ribu ton tercatat sebagai produksi terendah,  namun tiga tahun kemudian produksi kakao naik menjadi 720.660 ton pada tahun 2020 atau terjadi kenaikan  23,14 persen.  Sementara dalam satu dekade terakhir, produksi kakao terbesar Indonesia tercatat pada 2018, yakni mencapai 767.400 ton.

Pulau Sulawesi merupakan penghasil kakao terbesar di Indonesia. Sementara Provinsi penghasil kakao terbesar pada 2021 adalah Sulawesi Tengah, yakni mencapai 131.550 ton atau 19,11 persen dari total produksi Indonesia. Selanjutnya Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Barat dengan produksi kakao masing-masing 114.800 ton (17,05 persen) dan 107.700 ton (16,33 persen).

Sentra produksi kakao di Sulawesi Tengah terdapat di Kabupaten Parigi Moutong yang berkontribusi tak kurang dari 21 persen terhadap produksi kakao provinsi tersebut. Selanjutnya, Kabupaten Poso 19,45 persen, Kabupaten Sigi Biromaru 15,42 persen, dan Kabupaten Donggala 13,85 persen, dan  Kabupaten Banggai Kepulauan sebesar 11,58 persen.

Sementara sentra produksi kakao di Sulawesi Selatan yakni Luwu Utara (21,13 persen) dan Luwu (19,72 persen). Sedangkan di Sulawesi Tenggara sebagai sentra produksi kakao tertinggi ketiga di Indonesia terdapat di Kolaka Utara, Kolaka Timur, Kolaka, dan Konawe.

Tingginya produksi kakao di Pulau Sulawesi tak bisa lepas dari luasnya lahan perkebunan kakao di pulau tersebut. Provinsi Sulawesi Tengah merupakan provinsi dengan areal perkebunan kakao yang  terluas di Indonesia yaitu 278 ribu hektar atau 18  persen dari total luas areal perkebunan kakao di Indonesia. Kemudian Sulawesi Tenggara seluas 237 ribu (16 persen), dan Sulawesi Selatan 182 ribu (12 persen).

Berdasarkan status pengusahaannya, tahun 2020 sebanyak 99,44 persen produksi biji kakao atau 716,60 ribu ton biji kakao berasal dari perkebunan rakyat, sementara 0,43 persen (3.080 ton) dari perkebunan besar swasta dan 0,14 persen (980 ton) dari perkebunan besar negara. Sementara pada tahun 2021 sebesar 688.210 ton biji kakao atau (99,74 persen) dari perkebunan rakyat, 1.600 ton (0,23 persen) dari perkebunan besar swasta dan 170 ton (0,02 persen) dari perkebunan besar negara.

KOMPAS/LASTI KURNIA

Biji kakao dikeringkan di pengepul biji kakao milik Tukinem di Sukaraja, Semaka, Kabupaten Tanggamus, Lampung, Rabu (8/12/2010). Akibat serangan jamur pada tanaman kakao di kawasan Tanggamus, produksi kakao turun lebih dari 75 persen. Serangan jamur yang menyebabkan buah busuk meluas dipicu oleh tingkat kelembaban tinggi sepanjang tahun karena curah hujan yang tinggi. 

Ekspor Impor Kakao

Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan Indonesia yang diminati di pasar internasional. Nilai ekspor komoditas ini pun masih tergolong cukup tinggi di masa pandemi Covid-19. Menurut data Badan Pusat Statistik, total ekspor kakao lima tahun terakhir mengalami fluktuatif, peningkatan berkisar antara 1,29 sampai dengan 7,31 persen per tahun sedangkan penurunan mencapai 5,87 persen.

Pada tahun 2017 total volume ekspor mencapai 354.880 ton dengan total nilai sebesar 1,12 milyar dollar AS, kemudian tahun 2018 naik menjadi 380.830 ton dengan total nilai sebesar 1,24 milyar dollar AS. Untuk tahun 2019 total ekspor mengalami penurunan sebesar 5,87 persen menjadi 358.480 ribu ton dibanding tahun 2018.

 

Pada tahun 2020 total volume ekspor naik menjadii 377.850 ton dengan total nilai sebesar 1,24 milyar dollar AS, setahun berselang naik menjadi 382.710 ton dengan total nilai sebesar 1,21 milyar dollar AS.

Sebagian besar produksi kakao di Indonesia diekspor ke mancanegara dan sisanya dipasarkan di dalam negeri. Pada tahun 2021, lima besar negara pengimpor kakao Indonesia adalah Malaysia, China, India, Amerika, dan Filipina.

Volume ekspor ke Malaysia mencapai 55,91 ribu ton atau 14,61 persen dari total volume ekspor kakao Indonesia dengan nilai 132,57 juta dollar AS. Peringkat kedua adalah China, dengan volume ekspor sebesar 51,76 ribu ton atau 13,52 persen dari total volume kakao Indonesia dengan nilai 135,85 juta dollar AS. Peringkat ketiga adalah India, dengan volume ekspor sebesar 50,38 ribu ton atau 13,17 persen dari total volume ekspor kakao Indonesia dengan nilai 151,97 juta dollar AS.

Negara tujuan ekspor berikutnya yakni Amerika dengan volume ekspor 47.000 ton atau sekitar 12,28 persen dari total volume kakao Indonesia dengan nilai 215,91 juta dollar AS. Peringkat kelima adalah Filipina dengan volume ekspor 20.440 ton atau 5,34 persen dari total volume ekspor kakao dengan nilai 46,92 juta dollar AS.

Selain mengekspor kakao, Indonesia juga mengimpor kakao dari negara lain. Total volume impor kakao selama lima tahun terakhir cenderung mengalami kenaikan, penurunan hanya terjadi pada tahun 2020. Total volume impor kakao pada tahun 2017 tercatat sebesar 270.170 ton dengan nilai 646,34 juta dollar AS.

 

 

Pada tahun 2018 terjadi kenaikan impor kakao sebesar 6,94 persen. Pada tahun 2019 mengalami kenaikan sebesar 7,20 persen dari tahun 2018. Pada tahun 2020 impor kakao mengalami penurunan yaitu 21,44 persen dan tahun 2021 kembali mengalami kenaikan sebesar 25,08 persen atau menjadi 304,36 ribu ton dengan nilai 804,30 juta dollar AS. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Hulu Hilir Kakao, Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian, 2019
  • Statistik Kakao Indonesia 2021, Badan Pusat Statistik, 2022