Paparan Topik | Demografi

Generasi Z: Definisi, Profesi, dan Gaji

Generasi Z atau Gen-Z merupakan kelompok usia penduduk Indonesia yang banyak menjadi pusat perhatian dalam beberapa tahun ini. Populasi Gen-Z di Indonesia mencapai hampir 75 juta jiwa atau 27 persen dari total populasi nasional.

KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA

Laila, seorang generasi Z, menonton salah satu unggahan di Youtube Shorts, Kamis (12/10/2023).

Fakta Singkat

  • Generasi Z atau Gen-Z merupakan salah satu kategori penduduk berdasarkan usia, yaitu penduduk yang lahir di antara tahun 1997 – 2012
  • Dibanding generasi atau kategori usia lainnya, Gen-Z dikenal memiliki beberapa keunikan diantaranya erat dengan penggunaan media sosial, tech-savvy, serta peduli terhadap isu-isu sosial dan lingkungan disekitarnya.
  • Sebagai pekerja, Gen-Z juga dikenal memiliki preferensi akan posisi pekerjaan yang berhubungan dengan sosial media, seperti social media specialist dan digital marketing, serta menyukai pola kerja yang fleksibel dan mengedepankan work-life balance.
  • Di Indonesia, pekerja Gen-Z rata-rata mendapat upah yang cukup rendah, yaitu sekitar Rp1,7 juta – Rp2,5 juta per bulannya.
  • Rendahnya upah tersebut juga dipengaruhi oleh besarnya Upah Minimum Provinsi (UMP) di setiap daerah di Indonesia.
  • Rendahnya pendapatan yang diterima pekerja Gen-Z turut menimbulkan masalah-masalah baru, terutama bagi pekerja Gen-Z yang hidup ditengah kemiskinan serta masih harus membiayai pendidikan mereka sendiri.

Generasi Z atau Gen-Z merupakan kelompok usia penduduk Indonesia yang banyak menjadi pusat perhatian dalam beberapa tahun ini. McKinsey & Company mendefinisikan Gen-Z sebagai ‘kelompok individu yang lahir dalam rentang tahun 1997 hingga 2012.’ Dengan demikian pada tahun ini, Gen-Z di Indonesia terdiri dari penduduk dalam kelompok usia 12 hingga 27 tahun.

Gen-Z memiliki banyak keunikan dibanding kelompok umur/generasi penduduk lainnya. Mulai dari julukan tech-savvy atau memiliki pemahaman yang tinggi untuk penggunaan teknologi dalam kehidupan sehari-hari, hingga kecenderungan untuk memiliki kepedulian yang tinggi terhadap isu-isu sosial dan lingkungan di kehidupan nyata. Adapun keunikan-keunikan tersebut juga terdapat pada aspek karir, terutama menekankan pada prospek Gen-Z yang berpeluang untuk menjadi kelompok usia produktif paling banyak di tahun 2045 mendatang.

Menurut statistik yang dikeluarkan oleh Kementrian Ketenagakerjaan Republik Indonesia tahun 2021, populasi Gen-Z di Indonesia diketahui mencapai hampir 75 juta jiwa atau 27 persen dari total populasi nasional. Hal ini menjadikan Gen-Z sebagai kelompok usia dengan populasi terbanyak di Indonesia. Adapun menurut data tersebut, dari total populasi pekerja di Indonesia, kelompok Gen-Z memiliki total jumlah lebih dari 20 juta jiwa, lagi-lagi merupakan jumlah terbanyak dibanding kategori kelompok usia lainnya.

Grafik:

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Pencari kerja antre untuk memasuki ajang bursa kerja di Istora Senayan, Jakarta, Rabu (12/12/2018). Memasuki revolusi industri 4.0 yang terus bergulir, persaingan tenaga kerja kompeten terutama untuk memenuhi kebutuhan dalam industri digital terus meningkat.

Meskipun demikian, kondisi kesejahteraan pekerja Gen-Z di Indonesia perlu mendapat perhatian khusus. Terutama setelah dalam beberapa tahun belakangan ini. Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk mendorong produktivitas kerja Gen-Z bahkan dari sejak usia pendidikan yang tercermin dari program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) serta kurikulum Merdeka Belajar.

Sementara itu, definisi pekerja atau buruh yang disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah ‘semua orang yang bekerja untuk seseorang dan mendapat upah.’ Istilah buruh juga kerap dikaitkan dengan istilah ‘pekerja.’ Meskipun demikian, KBBI memberikan definisi yang sama bagi keduanya yaitu sebagai orang yang bekerja dan menerima upah/bayaran dari orang lain.

Preferensi Profesi Kerja

Dilansir dari data Statista dalam survei-nya bersama Markplus.Inc, pada tahun 2022 sebanyak 58 persen dari populasi pekerja Gen-Z di Indonesia menjatuhkan pilihan tempat bekerja pada instansi Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Sementara dari sisi profesi, bidang kerja pemasaran (Marketing) menjadi pilihan teratas Gen-Z. Pilihan profesi tersebut sangat berkaitan dengan salah satu karakteristik Gen-Z yang dekat dengan penggunaan media sosial. Sehingga aspek-aspek pekerjaan seperti Digital Marketing dan Social Media Specialist menjadi beberapa opsi yang paling banyak diminati Gen-Z, pada umumnya bahkan sudah digeluti sejak sebelum memperoleh gelar kuliah.

Adapun seiring dengan maraknya perkembangan perusahaan-perusahaan startup di Indonesia sejak pasca-2015, profesi di bidang marketing semakin diminati oleh Gen-Z. Selain karena kedekatan hubungan kerjanya dengan penggunaan media sosial, banyak perusahaan startup ternama di Indonesia seperti Shopee hingga Ruangguru banyak bertumpu pada bidang marketing sebagai salah satu ‘ujung tombak’ bisnis.

Perbedaan preferensi jenis profesi ini sangat terlihat apabila dibandingkan dengan Generasi X atau yang biasa disebut Gen-X. Generasi ini terdiri dari mereka yang lahir dalam rentang tahun 1965 hingga 1980.

Preferensi profesi Gen-X dapat dikategorikan ke dalam posisi senior, erat dengan kepemimpinan, hingga lebih diasosiasikan dengan korporat atau perusahaan swasta. Menurut survei yang dilakukan oleh World Economic Forum melalui kerjasama dengan Business Insider, posisi Chief Executive Officer atau CEO menempati urutan pertama sebagai jenis profesi yang paling diminati Gen-X. Posisi tersebut kemudian diikuti oleh Chief Operating Officer atau COO serta Strategy Manager di urutan kedua dan ketiga.

Selain memiliki citra sebagai pengguna media sosial yang aktif, pekerja Gen-Z juga diidentikkan dengan keinginan yang tinggi akan pekerjaan yang mengutamakan work-life balance. Beberapa survey yang dilakukan oleh IDN Research Institute, McKinsey & Company, serta Center for Digital Society menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen pekerja Gen-Z menyetujui akan pentingnya work-life balance dalam pekerjaan mereka.

Terminologi work-life balance didefinisikan oleh Maura Thomas melalui artikelnya di Forbes sebagai “pembatasan waktu bekerja untuk menjaga kesehatan fisik, emosi serta kreativitas.” Dalam tulisannya, Thomas menekankan pentingnya menjaga kestabilan ketiga komponen tersebut agar seorang pekerja dapat terhindar dari stress, burnout dan tekanan pekerjaan, serta membantu untuk mengasah kreativitas dan inovasi dalam bekerja. Agaknya, hal ini dapat dikaitkan dengan perhatian Gen-Z yang tinggi terhadap isu kesehatan mental, dimana banyak Gen-Z berpendapat bahwa work-life balance merupakan kunci untuk menjaga dan melindungi kesehatan mental.

Terakhir, pekerja Gen-Z juga sangat memperhatikan fleksibilitas dalam pola dan budaya pekerjaannya. Aspek fleksibilitas dalam pekerjaan tersebut dicerminkan 75 persen pekerja Gen-Z yang memilih memiliki jadwal kerja yang fleksibel sebagai salah satu prioritas tertinggi dalam hidupnya. Selain itu, presentase pekerja Gen-Z yang memilih pola kerja campuran (hybrid) yaitu gabungan antara bekerja dari rumah dan kantor lebih tinggi dibanding yang memilih untuk bekerja dari kantor (work from office/WFO) yaitu 36 persen berbanding 32 persen.

Grafik:

Seiring dengan meningkatnya presentase pekerja Gen-Z dalam pasar kerja, perhatian terhadap pola kerja yang fleksibel juga semakin meningkat dan mendalam. Artikel dari Harvard Business Review bertajuk The Future of Flexibility of Work membahas bahwa pola kerja fleksibel beserta implementasinya (yang juga dipengaruhi oleh munculnya pandemi COVID-19), perlu didefinisikan secara jelas baik dari sisi karyawan dan pimpinan.

Selain itu, artikel tersebut juga menekankan pentingnya adanya pola kerja fleksibel bagi seluruh segi industri, serta pembedahan mengenai indikator fleksibilitas yang mencakup jam kerja, tempat bekerja, beban pekerjaan serta kontinuitas dalam bekerja.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Para pencari kerja antri untuk memasuki arena bursa kerja yang diadakan di Gedung Smesco, Jakarta, Jumat (17/2/2017). Menurut Badan Pusat Statistik, tingkat pengangguran terbuka pada Agustus 2016 adalah sebanyak 7,03 juta orang.

Realita Kesejahteraan Gen-Z

Dibalik segala keunikan yang ditunjukkan oleh buruh Gen-Z, terdapat pula aspek kesejahteraan kerja yang memerlukan perhatian. Kesejahteraan kerja dalam hal ini dapat dilihat dari rata-rata pendapatan yang diterima, serta tingkat kemiskinan yang dialami oleh buruh Gen-Z.

Pertama-tama dari segi pendapatan, survei dari Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2023 menunjukkan bahwa pekerja kelompok usia 15-24 tahun pada sektor formal memperoleh rata-rata pendapatan sebesar Rp1,7 juta. Sektor formal dalam hal ini meliputi para buruh dengan status kerja tetap yang bekerja di berbagai bidang industri, mulai dari pemerintahan hingga sektor swasta.

Sejalan dengan BPS, hasil survey Indonesia Gen-Z Report 2023 yang dipaparkan dalam kegiatan Indonesia Milennial and Gen-Z Summit 2023 menjabarkan pembagian yang lebih detail mengenai rata-rata pendapatan buruh Gen-Z.

Menurut survei tersebut, 56 persen buruh Gen-Z menyatakan menerima pendapatan dibawah Rp2.500.000 tiap bulan. Disusul dengan 26 persen dengan pendapatan Rp2,5 juta hingga Rp5 juta per bulan. Sementara hanya 3 persen yang memperoleh pendapatan diatas angka Rp10 juta.

Grafik:

 

Rendahnya pendapatan dari mayoritas pekerja Gen-Z tersebut juga diperparah oleh sistem pengupahan yang juga rendah, terutama di daerah-daerah dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) terendah. Salah satu daerah tersebut adalah provinsi Jawa Tengah.

Tercatat menurut data Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), provinsi Jawa Tengah berada di urutan ketiga dalam provinsi dengan UMP terendah, yaitu dengan angka Rp2,18 juta.

 

Grafik:

 

Statistik BPS menunjukkan bahwa jumlah pekerja Gen-Z (usia 15-24 tahun) di provinsi tersebut mencapai lebih dari 2 juta individu, atau hampir 13 persen dari total populasi provinsi. Namun terdapat perbedaan pada segi preferensi pekerjaan, dimana di ketiga provinsi ini pekerjaan sebagai buruh di sektor agraris menjadi preferensi favorit dengan diminati oleh hampir 25 persen dari populasi pekerja Gen-Z.

Grafik:

 

Upah terendah diterima oleh para pekerja Gen-Z yang berada di daerah pedesaan. Di provinsi Jawa Tengah sendiri, rata-rata upah pekerja di pedesaan hanya berkisar di angka Rp1,9 juta, lebih kecil dibanding upah di daerah perkotaan yang mencapai angka Rp2.300.000.

Grafik:

 

Jumlah pendapatan tersebut tentu dapat dikatakan jauh dari cukup apabila kita mengacu pada standar pengupahan di Indonesia yaitu UMP. Sebagai catatan, daerah dengan UMR terendah di Indonesia adalah Kabupaten Wonogiri dengan Rp2.047.000 dan yang tertinggi adalah Kota Bekasi dengan jumlah Rp5.343.430.

Adapun Provinsi DKI Jakarta tercatat memiliki UMP sejumlah Rp.4.901.798. Apabila diumpamakan para buruh Gen-Z dengan rata-rata pendapatan terendah tersebut seluruhnya tinggal di daerah dengan UMR terendah, penerimaan mereka masih jauh dari kata sejahtera.

Apalagi jika dibandingkan dengan DKI Jakarta, pendapatan tersebut sangat jauh dibawah UMR, ditambah dengan rata-rata biaya hidup Jakarta yang diprediksi BPS dapat menyentuh angka rata-rata Rp2.100.000 per bulannya.

Grafik:

 

Penyebab dan Dampak Pendapatan Rendah Gen-Z

Dennis A. Rondinelli dan John D. Kasarda dalam buku Third World Cities: Problems, Policies, and Prospects mengemukakan bahwa rendahnya penghasilan mayoritas pekerja di negara berkembang dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Faktor-faktor tersebut meliputi bertambahnya jumlah pekerja di suatu negara dalam rentang waktu yang singkat, ketidakmampuan sektor publik dan swasta untuk menyediakan lapangan kerja mengikuti pertambahan jumlah pekerja, serta lowongan pekerjaan yang didominasi oleh sektor informal serta agraris dimana keduanya hanya menghasilkan upah yang rendah bagi pekerjanya.

Dengan kisaran pendapatan tersebut, dapat dipahami bagaimana mayoritas Gen-Z di Indonesia masih hidup dibawah garis kemiskinan. BPS sendiri mendefinisikan penduduk miskin sebagai penduduk yang hidup dibawah rata-rata Garis Kemiskinan yaitu sekitar Rp2,1 juta.

Upah yang rendah ditambah dengan tanggungan pendidikan tersebut memunculkan masalah-masalah baru seperti putus sekolah/pendidikan dan kemudian pengangguran akibat minimnya kualifikasi. Melihat hal ini, upaya peningkatan kesejahteraan buruh dan fleksibilitas kerja perlu diberi perhatian, terutama untuk mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Jurnal
  • Badan Pusat Statistik. (2023). Booklet Sakernas 2023. Jakarta: Direktorat Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan.
  • Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah. (2023). Profil Ketenagakerjaan Jawa Tengah: Hasil Sakernas Agustus 2022. Semarang: BPS Provinsi Jawa Tengah.
  • Bidang Pengelolaan Data Ketenagakerjaan. (2022). Ketenagakerjaan Dalam Data: Edisi 4 Tahun 2021. Jakarta: Pusat Data dan Teknologi Informasi Ketenagakerjaan.
  • Rondinelli, D. A., & Kasarda, J. D. (1993). Job Creation Needs in Third World Cities. In J. D. Kasarda, & A. M. Parnell, Third World Cities: Problems, Policies, and Prospects (pp. 92-119). California: Sage Publications, Inc.
Buku
  • Rondinelli, D. A., & Kasarda, J. D. (1993). Job Creation Needs in Third World Cities. In J. D. Kasarda, & A. M. Parnell, Third World Cities: Problems, Policies, and Prospects (pp. 92-119). California: Sage Publications, Inc.
Internet