Paparan Topik | Demografi

Generasi “Sandwich”: Definisi, Beban, dan Tantangan

Tingginya harapan hidup dan bonus demografi justru membuka peluang bagi besarnya angka generasi “sandwich” di Indonesia. Pemerintah perlu mengambil peran penanggulangan dan pencegahan.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Para pekerja berhamburan keluar dari Stasiun Sudirman, Jakarta Pusat, menuju tempat kerja masing-masing, Jumat (19/11/2021). Tidak sedikit para pekerja di Jakarta adalah generasi sandwich. Yaitu mereka yang harus bekerja untuk menghidupi keluarga dan di waktu bersamaan harus menopang ekonomi orang tua.

Fakta Singkat

Generasi Sandwich

  • Generasi “sandwich” mengacu pada kelompok usia produktif yang terhimpit untuk memenuhi kebutuhan setidaknya dua generasi dan dirinya sendiri.
  • Istilah generasi “sandwich” sudah muncul sejak tahun 1981 melalui kajian akademisi perempuan Dorothy A. Miller dan Elaine M. Brody.
  • Kemunculan generasi “sandwich” mulai masif pasca-Perang Dunia II, selaras dengan meningkatnya angka harapan hidup manusia yang menambah jumlah lansia atau generasi tidak produktif.
  • Angka harapan hidup di Indonesia konsisten meningkat tiap tahunnya, mencapai rata-rata 72,18 tahun pada 2023.
  • Jajak pendapat Kompas menemukan bahwa 67 persen responden tergolong sebagai generasi sandwich­­––di mana bila diproporsikan secara nasional, sama dengan 56 juta jiwa penduduk.
  • Generasi Y menjadi kelompok generasi “sandwich” terbesar dengan mencapai rasio 43,6 persen dari total responden.
  • Meski memberikan potensi besar, hadirnya bonus demografi juga menghadirkan ancaman besar akan meningkatnya jumlah generasi “sandwich”.
  • Sebanyak 79,4 persen rumah tangga lansia mengandalkan kebutuhannya pada anggota rumah tangga yang bekerja.
  • Menabung, memperbaiki konstruksi sosial, pemberian bantuan sosial, dan peningkatan kapasitas generasi “sandwich” bisa menjadi solusi bagi masalah ini.

Istilah generasi “sandwich” atau generasi roti lapis telah begitu umum beredar di tengah masyarakat Indonesia. Marak didapati konsep ini terucap di media sosial dan menjadi perbincangan kaum muda urban. Marak pula ditemukan sosok-sosok yang lantas mengidentifikasikan dirinya sebagai generasi sandwich.

Kebangkitan tren peristilahan ini tidak lepas dari kebangkitan demografis angkatan produktif di Indonesia. Jumlah kaum muda produktif yang besar memang memberikan potensi masif bagi pertumbuhan nasional. Namun di sisin lain, apa yang kerap disebut “bonus demografi” ini juga harus berhadapan dengan beban sebagai generasi “sandwich”.

Bagaimana keterkaitan atas hal-hal tersebut berlangsung? Bagaimana pula persoalan generasi “sandwich” di Indonesia harus dihadapi?

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Para pencari kerja antre untuk mencari lowongan pekerjaan pada acara”Jakarta Job Fair” di PGC Cililitan, Jakarta, Kamis (28/7/2022). Sebagian dari mereka adalah generasi “sandwich” yang menanggung kehidupan orang tua dan keluarga.

Definisi dan Konsep Generasi “Sandwich”

Mengacu pada Kompas (8/9/2022, “Generasi ‘Sandwich’ Membayangi Semua Tingkatan Ekonomi”), generasi “sandwich” merujuk pada kelompok masyarakat produktif, biasanya dalam rentang usia 15 – 65 tahun, yang harus memikul beban berlapis. Mereka harus menanggung beban nafkah bagi tiga generasi, yakni anak kecil sebagai generasi di bawahnya, diri mereka sendiri, sekaligus kebutuhan hidup lansia atau generasi di atas mereka.

Dalam banyak kasus, konsep ini bisa saja berkembang. Seorang pekerja yang harus menafkahi saudara kandung dan orang tuanya dapat pula tergolong sebagai generasi sandwich. Yang jelas, terdapat tekanan ganda dari dua generasi berbeda terhadap sosok yang menafkahi—layaknya isian “sandwich” yang terhimpit di antara dua lapisan roti.

Meski mengalami tren dalam beberapa waktu belakangan, namun generasi “sandwich” bukanlah konsep baru. Pada tahun 1981, seorang profesor di Universitas Kentucky, Amerika Serikat, Dorothy A. Miller telah menggunakan istilah ini dalam artikel akademiknya, “The ‘Sandwich’ Generation: Adult Children of The Aging. Dalam artikel tersebut, Miller menggunakan istilah  generasi “sandwich” untuk merujuk pada posisi manusia yang menjadi penyokong bagi hidup orang tua dan anak mereka sendiri.

Selain Miller, juga terdapat Elaine M. Brody, seorang sosiolog Amerika Serikat, yang juga menulis hal serupa pada 1981. Dalam artikel berjudul “’Women in the Middle” and Family Help to Older People”, Brody mendeskripsikan perempuan dalam rentang usia 30 – 40-an yang terjepit karena harus merawat orang tua dan anak-anak mereka secara sekaligus.

Dalam konteks terkini, definisi atas generasi “sandwich” telah sedikit mengalami pergeseran. Beban himpitan yang diperoleh tidak semata soal merawat, namun juga menanggung beban ekonomi dari generasi sebelumnya sekaligus membiayai hidup generasi yang lebih muda.

Kemunculan konsep generasi “sandwich” juga tidak dapat dilepaskan dari catatan historis masyarakat kala itu. Pasca-Perang Dunia II (1939 – 1945), terjadi lonjakan jumlah penduduk dalam jumlah besar. Situasi damai dan kestabilan politik global setelah bertahun-tahun berada dalam situasi konflik yang intens mendorong harapan hidup manusia yang semakin tinggi.

Dalam konteks demikian, tingginya angka harapan hidup manusia berpotensi untuk memperlebar peluang lahirnya generasi “sandwich” pada angkatan usia di bawahnya. Semakin banyak manusia yang menyentuh usia lanjut, sementara di rentang usia tersebut, manusia sudah tidak lagi produktif dan membutuhkan dukungan yang kian besar.

Lebih lanjut, tidak semua lansia telah mempersiapkan kebutuhan finansial pada masa senja mereka. Dampaknya, kebutuhan ini harus dipenuhi oleh generasi yang masih produktif. Itulah sebab keamanan dan kestabilan politik berkorelasi dengan konsep generasi “sandwich”.

Dalam keterkaitan demikian, maka dapat ditelisik bahwa generasi “sandwich” telah muncul sejak generasi baby boomers––yang bertepatan dengan masuknya sebuah dunia yang lebih damai dan stabil pasca-Perang Dunia II. Fenomena generasi “sandwich” pun bertahan hingga kini, terus turun-temurun selama empat generasi hingga menggapai generasi Z.

Beban Generasi “Sandwich”

Situasi generasi “sandwich” di Indonesia bisa ditelisik dari data demografis terhadap angka harapan hidup masyarakat. Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), angka harapan hidup di Indonesia konsisten mengalami peningkatan.

Pada tahun 2023, angka harapan hidup laki-laki mencapai 70,17 tahun, sementara perempuan 74,18 tahun––membuat rata-rata harapan hidup manusia Indonesia mencapai 72,18 tahun. Angka rata-rata ini meningkat dari tahun 2022 yang mencapai 71,88 tahun. Pada tahun tersebut, usia rata-rata laki-laki Indonesia adalah 69,93 tahun dan perempuan 73,83 tahun.

Menurut Peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (UGM) Sukamdi, jumlah generasi “sandwich” akan terus bertambah lantaran usia harapan hidup orang Indonesia yang terus meningkat. Banyak penduduk kurang beruntung yang hidupnya harus ditanggung oleh anaknya yang juga memiliki beban sendiri (Kompas.id, 21/11/2021, “Akrobatik Generasi ‘Sandwich’”).

Selain merunut dari angka harapan hidup, besarnya jumlah generasi “sandwich” bisa ditelisik dari jajak pendapat Litbang Kompas atas identifikasi masyarakat terhadap diri mereka. Jajak pendapat yang dilaksanakan pada 9 – 11 Agustus 2022 dengan melibatkan 504 responden dari 34 provinsi memperoleh gambaran kondisi terkini generasi ”sandwich” di Indonesia.

Jajak pendapat tersebut mencapai hasil bahwa 67 persen responden mengaku menanggung beban sebagai generasi sandwich. Apabila angka ini diproporsikan dengan populasi usia produktif nasional yang berjumlah 206 juta jiwa, diperkirakan akan ada 56 juta jiwa manusia Indonesia yang menjadi generasi sandwich.

Sebaran identitas generasi “sandwich” Indonesia juga menggapai semua kelompok generasi, mulai dari generasi Z, Y, X, bahkan baby boomers. Namun, data survei menunjukkan bahwa proporsi terbesar berada di kelompok generasi Y (24 – 39 tahun), yakni 43,6 persen, diikuti generasi X (40 – 55 tahun) sebesar 32,6 persen. Mirisnya, generasi “sandwich” juga ditemukan cukup besar di kalangan generasi Z (kurang dari 24 tahun) dengan mencapai 16,3 persen. Padahal, kelompok usia ini tergolong sebagai masyarakat yang baru memasuki dunia kerja.

Jajak Pendapat Litbang Kompas

Kemirisan lain turut ditunjukkan hasil jajak pendapat dalam topik status sosial-ekonomi. Beban sebagai generasi “sandwich” paling banyak dipikul justru oleh masyarakat kelas menengah-bawah Indonesia, yakni 44,8 persen, diikuti kelas bawah 36,2 persen. Artinya, peluang mereka untuk bangkit dari keterpurukan finansial menjadi semakin berat.

Lebih jauh, situasi sosial-ekonomi demikian dapat dipandang sebagai keniscayaan. Dengan sumber penghasilan yang lebih besar, kelompok ekonomi menegah-atas juga lebih memiliki peluang menabung dan mempersiapkan hari tua­––menjadi upaya pencegahan untuk lantas harus bergantung pada generasi selanjutnya. Sementara itu, kelompok ekonomi yang kurang beruntung sulit untuk memikirkan kesiapan hari tua ketika kebutuhan harian pun masih diwarnai dengan ketidakpastian.

Tak ayal, hal ini juga berdampak pada kemampuan besaran biaya bantuan yang dikeluarkan dalam menanggung beban generasi “sandwich”. Mayoritas kelompok ekonomi bawah (55,5 persen) dan kelompok ekonomi menengah-bawah (58,3 persen) memberikan bantuan kurang dari Rp 1 juta.

Sebaliknya, bagi kelompok ekonomi atas, kebanyakan (22,2 persen) memberikan besaran bantuan dalam rentang Rp 1 – 1,9 juta. Bahkan, besaran bantuan lebih dari Rp 4 juta berada di peringkat tertinggi ketiga yang dipilih oleh responden di kelompok ekonomi ini.

Grafik:

 

Generasi “Sandwich” dan Bonus Demografi

Selain terkait dengan angka harapan hidup dan situasi sosial-ekonomi, konsep generasi “sandwich” juga jamak diperbincangkan dalam konteks bonus demografi––sebuah hal yang terus dinarasikan pemerintah dalam visi “Indonesia Emas 2045”.

Periode bonus demografi sendiri dipahami sebagai masa di mana kelompok usia produktif (15 – 64 tahun) mendominasi proporsi demografis dibanding usia non-produktif (65 tahun ke atas). Hingga tahun 2040, Indonesia akan berada dalam periode demikian. Dengan melimpahnya sumber daya manusia (SDM) produktif, bahkan mencapai 60 persen dari total populasi, bonus demografi mengusung begitu banyak peluang bagi pertumbuhan suatu bangsa.

Meski demikian, peluang demikian akan sulit tercapai apabila SDM produktif ini tidak memiliki kualitas dan kemampuan yang juga produktif. Temuan jajak pendapat Kompas cukup menjadi alarm bahwa sebagian besar masyarakat berusia produktif menanggung beban ekonomi dua lapis.

Perhatian ini dituliskan Dosen Politeknik Statistika Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Margaretha Ari Anggorowati dalam artikel Kompas (13/9/2022, “Beban Generasi ‘Sandwich’ dan Peluang Bonus Demografi”) bahwa beban generasi “sandwich” bisa menghambat optimalisasi peluang bonus demografi, selain secara langsung akan berdampak pada kualitas manusia Indonesia.

Di satu sisi, kebanyakan generasi “sandwich” memang tergolong dalam kelompok usia produktif. Namun di sisi lain, kelompok usia ini dapat terhambat menjadi produktif karena besarnya beban-beban yang harus ditanggung.

Margaretha begitu menyoroti dalam psikis yang tidak terlihat dari generasi sandwich. Menurutnya, menanggung beban tiga lapis generasi akan memberikan stres personal maupun sosial ini. Perasaan atas kehidupan sosial yang berat, seperti tingkat stres yang tinggi, lantas dapat mengganggu produktivitas dari mereka yang ada di usia produktif.

Selain itu, kekhawatiran atas hal-hal yang lebih tampak juga terpaparkan dalam Kompas.id (14/10/2022, “Antisipasi ‘Ledakan’ Generasi ‘Sandwich’ Pascabonus Demografi”). Beban tambahan anggota keluarga yang ditanggung akan menciptakan dampak jangka panjang, mulai dari individu penanggung beban tersebut hingga pembangunan nasional.

Pertama, beban tambahan tersebut membatasi kemampuan generasi “sandwich” yang produktif untuk menabung. Ekses finansial untuk membiayai diri tak bisa ditabung karena harus digunakan bagi pembiayaan atas orang tua dan anak. Akibatnya, angka tabungan nasional sebagai salah satu sumber pembiayaan investasi menjadi rendah. Implikasi makro dari hal ini adalah rendahnya kemampuan pembiayaan investasi nasional, menciptakan ketergantungan pada investasi asing, menghambat laju pertumbuhan ekonomi.

Kedua, persoalan alokasi waktu. Masyarakat produktif diharuskan untuk membagi waktunya yang terbatas untuk beragam aktivitas, mulai dari bekerja hingga mengurus anak dan orang tua. Sebagai implikasi, waktu-waktu yang seharusnya dapat dilakukan untuk produktivitas dan pengembangan diri menjadi terbatas.

Ketiga, keterbatasan biaya tabungan dan alokasi waktu menghambat pembangunan manusia secara keseluruhan. Semua berada dalam situasi serba terbatas akibat tingginya beban, termasuk keterbatasan untuk pembiayaan pendidikan, kesehatan, dan gizi. Pengembangan kualitas SDM Indonesia pun menjadi stagnan. Belum lagi tekanan-tekanan psikologis yang akhirnya muncul dan memengaruhi kesehatan jiwa.

Secara keseluruhan, apabila hal-hal demikian tidak disikapi dan disiapkan dengan baik, bonus demografi justru akan berdampak pada ledakan beban demografi. Indonesia pasca-2040 justru akan dihadapkan pada situasi kesenjangan dan tingkat kemiskinan yang masif.

Kondisi demikian terutama muncul akibat tidak terpenuhinya kualitas SDM yang disyaratkan untuk mengisi pos-pos penting pembangunan. Selain itu, kegagalan nasional demikian juga dapat tercipta akibat ketidakseimbangan antara jumlah penduduk dan lapangan pekerjaan yang tersedia, keterbatasan pangan dan nutrisi, serta kesempatan menempuh pendidikan yang tidak merata.

Padahal, pada usia produktif-lah manusia diharapkan dapat mengembangkan dirinya dan juga sekitarnya. Kelompok usia ini dinilai optimal untuk membuat inovasi, perubahan, dan kemajuan. Namun, beban tambahan membuat harapan tersebut tak terwujud.

Berbagai masalah yang sudah dihadapi, utamanya beban finansial, membuat mereka sibuk dengan masalahnya sendiri. Kumpulan manusia-manusia produktif yang menjadi tidak produktif ini lantas berdampak pada kerugian lebih besar bagi sebuah negara dengan komposisi generasi “sandwich” yang tergolong besar.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Ike Noorhayati Hamdan, seorang financial planner atau perencana keuangan bekerja dari tempat usaha suaminya di bilangan Pondok Ranji, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (16/11/2021). Ike tertarik belajar menjadi perencana keuangan karena dulu mesti akrobatik mengatur keuangan keluarga, termasuk menyokong orang tua dan membiayai adiknya. Kini sebagian besar klien Ike adalah generasi sandwich yang memiliki persoalan yang kurang lebih sama yang dia alami dulu.

Tantangan Generasi Sandwich

Dengan berbagai situasi demikian, hadirnya himpitan lintas generasi menjadi begitu disayangkan ketika generasi produktif seharusnya bisa menyelesaikan berbagai masalah bangsa. Kemampuan inovasi mereka jelas dibutuhkan. Namun, tekanan tambahan membuyarkan semua itu.

Dalam kemirisan demikian, berbagai kalangan dapat menawarkan bantuan bagi generasi sandwich. Secara garis besar, tawaran demikian dapat diberikan oleh pihak keluarga dan/atau komunitas terdekat dan pemerintah.

Pada dasarnya, himpitan lintas generasi datang dari tuntutan sosial vang dibebankan kepada individu. Dalam kultur sosiologis Indonesia, ada “keharusan” bagi mereka yang sudah dianggap berhasil untuk membantu mereka yang memerlukan. Konstruksi sosial bahwa anak memiliki kewajiban kepada orangtua juga membutuhkan penjernihan kembali.

Untuk itu, solusi paling umum yang dapat dilakukan oleh keluarga dan komunitas terdekat adalah mengurangi sejumlah tuntutan dari lingkungan keluarga dan sosial, termasuk dalam wacana “anak yang harus mengembalikan investasi” dari orang tua. Penjernihan diperlukan agar konstruksi tersebut tidak selamanya menjadi beban pada generasi yang lebih muda.

Besarnya tanggungan terhadap orang tua ditunjukkan oleh Statistik Penduduk Lanjut Usia 2021, di mana sumber pembiayaan terbesar rumah tangga lansia berasal dari anggota rumah tangga yang bekerja. Hal ini bahkan terjadi pada 79,4 persen rumah tangga lansia.

Di luar itu, hanya 5,48 persen rumah tangga lansia yang mengandalkan dana pensiun dan 0,6 persen lainnya yang menggunakan dana dari investasi untuk membiayai hidup sehari-harinya. Data demikian menunjukkan rendahnya kemampuan rumah tangga lansia dalam memenuhi kebutuhannya tanpa harus bergantung pada kelompok usia produktif.

Inilah yang membuat generasi “sandwich” berlangsung turun-temurun dan konstruksi sosial tersebut kian terlanggengkan. Dengan demikian, anggota keluarga dapat mulai melakukan perencanaan finansial untuk hari tua untuk memotong warisan status generasi sandwich.

Keluarga dapat mulai melakukannya dengan menyisihkan pendapatan untuk dana pensiun. Bentuknya bisa tabungan, aset, atau berbagai jenis investasi. Persiapan juga dapat dilakukan dengan mengikuti asuransi kesehatan untuk diri sendiri maupun anggota keluarga (Kompas, 11/9/2022, “Potret Generasi ‘Sandwich’ sebagai Tumpuan Hidup Keluarga”).

Selain itu, tokoh masyarakat juga perlu dilibatkan untuk memberikan pemahaman baru atas keadaan yang menimpa generasi produktif––termasuk dalam kaitannya dengan segala beban ekonomi yang harus ditanggung, konstruksi sosial yang berlangsung, dan besarnya harapan keluarga.

Tokoh masyarakat, apalagi tokoh kultural, memiliki pengaruh yang besar dalam arus utama wacana kebudayaan yang beredar di tengah masyarakat. Selain memiliki kedekatan dengan elemen budaya, tokoh masyarakat juga dekat secara jarak dan relasi dengan masyarakat (Kompas.id, 10/9/2022, “Tekanan pada Usia Produktif”).

Pemerintah perlu sadar atas tingginya risiko yang ternyata diusung oleh gelombang generasi “sandwich” terhadap sebuah bangsa dan negara. Lebih-lebih dalam konteks Indonesia, pembiaran atas fenomena ini dibiarkan akan memusnahkan potensi bonus demografi, bahkan visi besar “Indonesia Emas 2045”.

Untuk itu, pemerintah dapat melakukan intervensi atas situasi yang berlangsung. Secara umum, hal yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kapasitas generasi “sandwich” sehingga karier dan daya tawar mereka juga meningkat. Terobosan yang mungkin dilakukan adalah membangun “jeda” dari tekanan, sehingga generasi “sandwich” bisa mengurangi masalah mereka (termasuk masalah mental) dan menavigasi kembali upaya pemenuhan kebutuhan.

Saat ini, salah satu solusi yang diberikan pemerintah adalah dengan menyalurkan bantuan ekonomi. Dalam hal ini, pemerintah ikut mengambil kontribusi atas ragam bantuan ekonomi yang harus diberikan generasi “sandwich” terhadap orang tua, saudara kandung, dan anggota keluarga besar lainnya.

Secara umum, bantuan yang diberikan berupa subsidi untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, seperti pangan, listrik, air, dan bahan bakar––sesuai dengan tujuan bantuan ekonomi yang biasa diberikan oleh generasi sandwich. Selain itu, ada pula subsidi atas biaya pendidikan dan biaya kesehatan.

Meski begitu, Tantan Hermansah, sosiolog dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, mengatakan bahwa selama ini nasib generasi “sandwich” di Indonesia hanya ramai dibahas di media sosial. Belum ada perhatian besar yang diberikan oleh negara terhadap permasalahan ini (Kompas.id, 8/11/2022, “Beban Berat Generasi ‘Sandwich’”).

Dalam konteks bonus demografi, persoalan generasi “sandwich” harus segera ditangani secara serius. Bila tidak, dampak sosial yang berentetan dari persoalan ini hanya akan kian membesar, dan akhirnya menggunung sebagai permasalahan bangsa. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Jurnal
  • Montgomery, M. R. (1988). “How Large Is Too Large? Implications of the City Size Literature for Population Policy and Research”. Economic Development and Cultural Change, 691-720.
  • Mauleny, A. T. (2015). “Aglomerasi, Perubahan Sosial Ekonomi, dan Kebijakan Pembangunan Jakarta”. Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 6, No. 2, 147-162.
Buku
Internet

Artikel terkait