KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Aksi dari pesawat tempur milik Tentara Nasional Indonesia dalam Upacara Hari TNI ke-72 di Dermaga Indah Kiat, Cilegon, Banten, Kamis (5/10/2017). Dalam arahannya, Presiden Joko Widodo meminta agar TNI profesional, tidak berpolitik praktis, dan loyal kepada negara.
Fakta Singkat
Hukum Internasional tentang Kedaulatan Udara
- Konferensi Paris 1919 – Convention for the Regulation of Aerial Navigation
- Konvensi Chicago 1944 – Convention on International Civil Aviation (CICA)
- Konvensi Tokyo 1963 – Convention on Offences And Certain Other Acts Committed on Board Aircraft
Hukum Indonesia tentang Kedaulatan Udara
- UU 43/2008 Tentang Wilayah Negara Republik Indonesia
- UU 1/2009 Tentang Penerbangan
- PP 4/2018 Tentang Pengamanan Wilayah Udara Republik Indonesia
Jumlah pelanggaran kedaulatan udara RI:
- 311 kasus (2017-pertengahan 2019)
Kekuatan udara Indonesia
- 20 satuan radar
- 8 skadron
- 9 lanud induk
- 33 lanud operasi
- Peringkat ke-28 dunia (Global Fire Power)
Anggaran militer Indonesia (semua matra):
- Rata rata 7,7 juta dollar AS per tahun (2014-2019)
Setiap negara di dunia memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udara yang berada di atas wilayah kekuasaannya. Pengakuan tersebut ditegaskan dalam Convention on International Civil Aviation 1944 (Chicago Convention 1944). Dengan demikian, tidak ada pesawat terbang milik pemerintah suatu negara yang boleh melewati wilayah udara negara lain tanpa izin.
Untuk menegaskan kedaulatan wilayahnya, termasuk wilayah udara, Indonesia menetapkan berbagai aturan tentang wilayah negara, penerbangan, serta pengamanan wilayah udara. Selain itu, diperlukan pengamanan wilayah udara demi mempertahankan kedaulatan wilayah udara Indonesia.
Pertahanan kedaulatan udara merupakan bagian penting dalam menjaga kedaulatan suatu negara secara keseluruhan. Bahkan, sering dikatakan bahwa siapa yang menguasai udara, secara umum akan menguasai daratan (dan lautan).
Pertahanan kedaulatan udara membutuhkan penguasaan teknologi kedirgantaraan hingga ketersediaan radar, pesawat, dan lapangan udara.
Kedaulatan udara dalam ketentuan internasional
Kemajuan teknologi pesawat udara berkembang pesat pada masa Perang Dunia I sehingga mendapatkan perhatian internasional. Pada Konferensi Paris 1919 yang menandai berakhirnya Perang Dunia I diaturlah hukum internasional tentang kedaulatan udara. Dalam konferensi tersebut ditentukan bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udara yang berada di atas wilayah darat dan lautnya. Ketentuan ini lalu dikenal sebagai Convention for the Regulation of Aerial Navigation.
Perkembangan teknologi pesawat terbang kian maju pada masa Perang Dunia II sehingga pada masa itu berbagai negara mulai mendiskusikan soal penerbangan sipil. Pada 1 November 1944, pada masa akhir Perang Dunia II, Presiden Amerika Serikat, F.D. Roosevelt mengundang negara-negara Sekutu dan negara netral lainnya ke Chicago untuk suatu konferensi tentang penerbangan sipil. Konferensi ini berlangsung selama tujuh minggu dan diakhiri dengan penandatanganan beberapa dokumen. Salah satu dokumen penting dari konferensi tersebut ialah Convention on International Civil Aviation (CICA) yang lalu dikenal sebagai Chicago Convention 1944. Konferensi ini juga memutuskan dibentuknya International Civil Aviation Organization (ICAO) sebagai salah satu organ Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang mengatur persoalan penerbangan sipil internasional.
CICA mengatur koordinasi antarnegara terkait penerbangan sipil internasional. Pada Pasal 3, CICA membedakan antara pesawat sipil (civil aircraft) dan pesawat pemerintah (state aircraft). Ketentuan dalam CICA hanya berlaku bagi pesawat sipil dan tidak berlaku bagi pesawat pemerintah. Terkait pesawat pemerintah, CICA menyebutkan bahwa tidak ada pesawat terbang milik pemerintah suatu negara yang boleh melewati wilayah udara negara lain atau mendarat di negara tersebut tanpa izin maupun melalui perjanjian khusus.
Terkait kedaulatan udara, CICA meneguhkan prinsip kedaulatan yang telah digariskan dalam Konferensi Paris 1919. Dalam Pasal 1 CICA ditetapkan bahwa negara-negara peserta konvensi mengakui bahwa setiap negara di dunia memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udara yang berada di atas wilayah kekuasaannya.
KOMPAS/RENE PATTIRADJAWANE
Pasukan Khas TNI AU (Paskhas TNI AU) dengan latar belakang pesawat tempur A4 Skyhawk dalam upacara militer berdirinya Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) ke-29 di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma Jakarta Timur, Sabtu (8/2/1991).
Artikel Terkait
Wilayah udara Indonesia
Mengikuti ketentuan internasional di atas, wilayah udara Indonesia ditentukan berdasarkan wilayah daratan dan lautan Indonesia. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara Republik Indonesia. Secara khusus, Pasal 6 Angka 1 Pokok c menyebutkan bahwa di udara mengikuti batas kedaulatan negara di darat dan di laut, dan batasnya dengan angkasa luar ditetapkan berdasarkan perkembangan hukum internasional. Oleh karena itu, untuk mengetahui wilayah kedaulatan udara Indonesia, perlulah diketahui wilayah daratan dan lautan Indonesia.
Wilayah kedaulatan Indonesia mempunyai ciri yang berbeda dari negara lainnya sebab wilayah Indonesia merupakan wilayah kepulauan yang luas, dengan pulau-pulau yang terpisah dan lautan di antaranya. Bila mengikuti ketentuan Pemerintah Hindia Belanda tahun 1939, wilayah Nusantara hanyalah daratan pulau-pulau dan laut di sekitar pulau itu yang berjarak 3 mil dari garis pantai. Hal itu berarti, ada wilayah lautan di antara pulau-pulau Indonesia yang tidak termasuk wilayah kedaulatan Nusantara dan kapal asing dengan bebas dapat berlayar di sana. Dari ketentuan itu, wilayah kedaulatan Indonesia lantas tampak seperti pulau-pulau yang terpisah.
Akan tetapi pada 23 Desember 1957, Deklarasi Djuanda, yang dipelopori oleh Djuanda Kartawidjaya, menyatakan kepada dunia bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia meliputi seluruh kepulauan Indonesia beserta lautan yang mengitarinya. Deklarasi Djuanda dalam hal ini menganut prinsip Negara Kepulauan (Archipelagic State). Ketentuan ini pada awalnya mendapat tentangan keras dari negara-negara lain, terutama negara yang termasuk jenis negara daratan.
Dokumen ini lalu diajukan dalam United Nations Convention on the Law Of the Sea (UNCLOS) yang pertama dilaksanakan di Jenewa pada tahun 1958. Tahun 1960, Indonesia meneguhkan kembali ketentuan Deklarasi Djuanda dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1960 Tentang Perairan Indonesia. Akhirnya pada UNCLOS tahun 1982 ketentuan ini ditetapkan sebagai hukum laut internasional. Dengan ketentuan tersebut, batas teritorial ditentukan sejauh 12 mil dari garis yang menghubungkan titik terluar Kepulauan Indonesia. Dengan demikian, wilayah Indonesia menjadi 5.193.250 kilometer persegi, dari semula 2.027.087 kilometer persegi.
KOMPAS/IWAN SANTOSA
Seorang perwira TNI AU dalam overall oranye mengoperasikan radar intai di perut pesawat intai Boeing 737-200, (3/12/2004). Radar tersebut mampu menjejak sasaran dalam wilayah seluas 200 mil laut.
Ketentuan mengenai wilayah kedaulatan udara Indonesia lalu diatur kembali dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan. Pada Pasal 1 Angka 2 dijelaskan bahwa wilayah udara adalah wilayah kedaulatan udara di atas wilayah daratan dan perairan Indonesia. Pasal 5 menegaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia tersebut.
Dalam UU 1/2009 juga dijelaskan pula bahwa Indonesia berdaulat bukan hanya pada wilayah udara di atas wilayah daratan dan perairan Indonesia, melainkan juga pada wilayah udara di atas Zona Ekonomi Eksklusif, landas kontinen, dan zona tambahan. Wilayah udara ini disebut sebagai wilayah udara yurisdiksi. Hal itu berarti bahwa dalam wilayah tersebut berlaku hukum Indonesia dan pelanggaran hukum dapat dikenai sanksi sesuai peraturan hukum Indonesia. Peraturan internasional yang mengatur hal ini adalah Konvensi Tokyo 1963.
Akan tetapi, dalam UU 1/2009 belum ditetapkan batas kedaulatan wilayah udara secara eksplisit. Mengingat pentingnya keamanan informasi dan kedaulatan wilayah Indonesia secara keseluruhan, diperlukan suatu undang-undang yang secara khusus menetapkan batas wilayah kedaulatan udara Indonesia.
KOMPAS/PURNAMA K
Sebagian dari persenjataan TNI Angkatan Udara saat ini (1974). Tampak peluru kendali (rudal) “surface-to-air” buatan Rusia tipe SA-75. Rudal-rudal ini diterima Indonesia dari Rusia sekitar tahun 1960. Pesawat yang tampak paling ujung adalah MIG-17, pesawat buatan Rusia yang sekarang masih bisa digunakan (1974).
Artikel Terkait
Pelanggaran Kedaulatan negara di ruang udara
Pasal 63 UU 1/2009 Tentang Penerbangan menjelaskan bahwa pesawat udara yang dapat dioperasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah pesawat udara Indonesia dan pesawat udara asing yang telah mendapat izin dari kementerian terkait. Perizinan untuk pesawat udara asing tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2018 Tentang Pengamanan Wilayah Udara Republik Indonesia.
Bab III dari PP 4/2018 yang secara khusus mengatur soal pelanggaran kedaulatan negara di ruang udara menyebutkan beberapa izin yang perlu diperoleh oleh pesawat asing untuk dapat beroperasi di wilayah udara Indonesia. Dalam ketentuan tersebut, sama seperti CICA, PP 4/2018 membedakan antara pesawat negara, pesawat sipil terjadwal, dan pesawat sipil tidak terjadwal.
Berikut beberapa izin yang mesti dipenuhi pesawat asing untuk dapat memasuki atau melewati wilayah udara Indonesia.
- Pesawat udara negara asing yang terbang ke dan dari atau melalui wilayah udara Indonesia, harus memiliki izin diplomatik (diplomatic clearance) dan izin keamanan (security clearance).
- Pesawat udara sipil asing tidak terjadwal yang terbang ke dan dari atau melalui wilayah udara Indonesia harus memiliki izin diplomatik (diplomatic clearance), izin keamanan (security clearance), dan persetujuan terbang (flight approval).
Mengenai izin-izin tersebut, izin diplomatik diberikan oleh Kementerian Luar Negeri. Sedangkan, izin keamanan diberikan oleh Kementerian Pertahanan. Sementara, persetujuan terbang diberikan oleh Kementerian Perhubungan.
KOMPAS/JULIAN SIHOMBING
Pemantauan pesawat di Pusat Radar Lanud Iswahyudi, Madiun pada Latihan Gabungan ABRI II-1992 di Jawa Timur (20 Oktober – 12 November 1992).
Hal yang tidak diatur dalam PP 4/2018 adalah mengenai pesawat udara sipil asing berjadwal. Ketentuan kategori ini ditetapkan dalam UU 1/2009 pada Bab X tentang Angkutan Udara. Dalam UU 1/2009, pesawat udara sipil asing dibedakan antara angkutan udara niaga dan angkutan udara bukan niaga.
Angkutan udara niaga adalah pesawat umum yang mengangkut penumpang dengan berbayar. Pada umumnya, angkutan sipil niaga adalah pesawat udara berjadwal, tetapi beberapa juga merupakan pesawat udara tidak berjadwal. Dalam ketentuan Bab X UU 1/2009, pesawat udara niaga asing berjadwal hanya dapat beroperasi di wilayah Indonesia setelah ada persetujuan bilateral atau multilateral antara Indonesia dengan pemerintah asal pesawat tersebut.
Mengenai pesawat sipil niaga asing yang tidak terjadwal, UU 11/2020 atau UU Cipta Kerja memberikan peraturan baru yang mengubah ketentuan dalam Pasal 93 UU 1/2009. Sebagai konteks luasnya, perubahan-perubahan tentang soal penerbangan pada UU 1/2009 ditetapkan dalam Pasal 58 UU Cipta Kerja. Dalam ketentuan UU Cipta Kerja, pesawat sipil niaga asing yang tidak berjadwal, baik yang pesawat niaga nasional dari suatu negara atau pesawat yang dimiliki oleh badan niaga asing, mesti mendapatkan persetujuan terbang dari Pemerintah Pusat Indonesia untuk dapat memasuki wilayah udara Indonesia.
Lebih detail lagi, terkait pesawat sipil niaga asing tidak terjadwal, Pasal 94 UU 1/2009 yang telah diperbarui UU Cipta Kerja juga menentukan bahwa pesawat tersebut tidak boleh mengangkut penumpang dari Indonesia kecuali penumpang tersebut adalah penumpang pesawat itu yang diturunkan dalam penerbangan sebelumnya. Sementara pasal berikutnya, yakni Pasal 95, menggariskan bahwa pesawat tersebut juga tidak boleh mengangkut kargo dari Indonesia kecuali diberi izin langsung dari Pemerintah Pusat. Sanksi atas pelanggaran ketentuan-ketentuan mengenai pesawat sipil niaga asing tidak terjadwal ini digariskan dalam Pasal 418 UU 1/2009 yang telah diperbarui pada UU Cipta Kerja.
Pesawat asing yang memasuki wilayah Indonesia tanpa mengikuti ketentuan-ketentuan di atas melakukan pelanggaran atas kedaulatan negara di ruang udara. Hal ini disebut sebagai aerial intrusion. Hal ini dapat terjadi karena kesengajaan sehingga tergolong sebagai penerbangan gelap (black flight) dengan tujuan-tujuan tertentu, maupun tanpa disengaja, seperti misalnya pada kasus pesawat yang tersesat (aircraft in distress).
Pasal 28 PP 4/2018 menyebutkan bahwa pesawat udara TNI akan melakukan penghalauan atau pemaksaan mendarat terhadap pesawat udara negara asing maupun pesawat udara sipil asing yang memasuki wilayah udara Indonesia tanpa izin yang memadai. Hal ini dilakukan demi melindungi kedaulatan Indonesia. Pemeriksaan lebih lanjut lantas akan dibuat oleh TNI dan sanksi diberikan sesuai dengan kasus pelanggaran yang terjadi.
KOMPAS/KORANO NICOLASH LMS
Pilot maupun petugas pendukung salah satu pesawat tempur F-16 Fighting Falcon dari Skuadron 3 TNI Angkatan Udara, yang home base-nya di Pangkalan Udara Iswahyudi, Madiun, Jawa Timur, Kamis (10/3/2005), tampak bersiap-siap melakukan penerbangan patroli di perairan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II maupun di wilayah perbatasan yang diklaim Malaysia sebagai wilayah mereka, di wilayah Ambalat, Laut Sulawesi.
Artikel Terkait
Beberapa pelanggaran wilayah udara Indonesia
Sepanjang tahun 2017 hingga pertengahan tahun 2019 terdapat 311 kasus pelanggaran kedaulatan udara Indonesia. Di tahun 2017 tercatat terjadi 19 kasus, di tahun 2018 terjadi 127 kasus, dan dari Januari sampai Juni 2019 terjadi 165 kasus.
Kasus-kasus tersebut meliputi kasus aerial intrusion dari pesawat negara asing maupun pesawat sipil asing. Beberapa contoh kasus yang terjadi dijelaskan di bawah ini.
- Pada Juli 2003, lima pesawat militer F-18 Hornet milik Amerika Serikat melintasi Pulau Bawean, Jawa Timur, tanpa izin. Pesawat TNI-AU lalu mengejar dan memperingatkan mereka hingga pergi keluar dari wilayah udara Indonesia.
- Pada November 2012, pesawat sipil milik wakil Perdana Menteri Papua Nugini memasuki wilayah Indonesia tanpa izin. Pesawat ini lantas dikawal ketat oleh pesawat militer TNI-AU selama 37 menit tanpa ada aksi pendaratan paksa.
- Pada September 2012, pesawat Cessna 208 dari Amerika Serikat melintas tanpa izin dan dipaksa untuk mendarat di Bandara Sepinggan, Balikpapan.
- Pada tahun 2014, pada bulan April sebuah pesawat dari Swedia dipaksa turun di Lanud Soewondo, Medan. Pada bulan Oktober, pesawat asal Australia dipaksa turun di Lanud Sam Ratulangi, Manado. Pada bulan yang sama, pesawat militer Singapura dipaksa mendarat di Lanud Supadio, Pontianak. Pada bulan November, satu pesawat Saudi Arabia Airlines dipaksa mendarat di Bandara El Tari, Kupang.
- Pada Januari 2019, pesawat sipil asing tidak berjadwal Ethiopian Airlines ET 3728 memasuki wilayah Indonesia tanpa izin resmi dan dipaksa turun oleh TNI-AU. Kasus ini menimbulkan kontroversi penafsiran peraturan legal sebab Ethiopian Airlines berpendapat bahwa penerbangan ini merupakan jenis penerbangan tidak berjadwal Dalam pernyataannya, Ethiopian Airlines berpendapat bahwa penerbangan yang berdasarkan ketentuan Pasal 5 Chicago Covention 1944 diperbolehkan melintas tanpa izin terlebih dahulu. Penafsiran tersebut bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia dan penafsiran lain yang menganggap bahwa Pasal 5 tersebut mesti dimengerti dalam kaitannya dengan Pasal 1 yang meneguhkan kedaulatan penuh dan hak eksklusif wilayah udara suatu negara.
Wilayah Indonesia yang luas serta letaknya yang strategis membuat wilayah udara Indonesia rentan mengalami aerial intrusion. Salah satu upaya menegakkan dan mempertahankan kedaulatan adalah menetapkan sanksi atas pelanggaran kedaulatan udara. Berbagai sanksi pelanggaran kedaulatan negara di ruang udara diatur dalam undang-undang, misalnya UU 1/2009 dan PP 4/2018 menegaskan sanksi bagi pelanggaran kedaulatan udara Indonesia, baik dengan pidana penjara hingga dua tahun maupun denda hingga Rp 5 miliar.
Pelaksanaan pertahanan keamanan wilayah udara Indonesia dalam rangka mewujudkan kedaulatan dan keutuhan NKRI diselenggarakan oleh Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) yang dibentuk pada tahun 1962. Dalam melaksanakan tugasnya, Kohanudnas bekerja secara mandiri maupun bekerja sama dengan Komando Operasi Nasional lainnya. Sejak 26 Mei 2020, Panglima Kohanudnas dijabat oleh Marsda TNI M. Khairil Lubis.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Teknisi sedang menyiapkan pesawat Sukhoi milik TNI Angkatan Udara sebelum terbang di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (13/8/2014). Sukhoi merupakan salah satu jenis pesawat tempur untuk pertahanan dan menjaga keamanan wilayah Indonesia.
Artikel Terkait
Kekuatan pertahanan udara Indonesia
Secara umum, pertahanan kedaulatan wilayah udara memerlukan tiga hal penting, yakni radar, pesawat, serta lapangan udara.
Radar diperlukan untuk mendeteksi keberadaan pesawat asing. Secara ideal, Indonesia memerlukan 32 satuan radar (satrad) untuk memantau dengan baik wilayah udara Indonesia yang luas. Saat ini, Indonesia memiliki 20 satuan radar (satrad). Kebanyakan dari radar tersebut beroperasi 12-18 jam per hari. Hanya 4 dari 20 radar tersebut beroperasi 24 jam.
Dalam hal pesawat terbang, berdasarkan Laporan Harian Kesiapan Radar TNI-AU tertanggal 1 Agustus 2018, terdapat delapan skadron (squadron) yang disiapkan menjaga kedaulatan udara Indonesia di berbagai wilayah. Delapan skadron tersebut berada di Madiun (3), Pekanbaru (2), Pontianak, Makassar, dan Malang.
Hal ketiga yang diperlukan dalam penjagaan wilayah udara adalah keberadaan pangkalan udara. TNI AU yang dipercaya oleh Pasal 8 UU 1/2009 untuk menjalankan tugas penjagaan kedaulatan ini memiliki 42 lapangan udara (lanud), 9 di antaranya adalah lanud induk (home base) dan 33 lainnya adalah lanud operasi yang hanya digunakan dalam kurun waktu tertentu. Dari 9 lanud induk tersebut, sejumlah 6 lanud berada di Pulau Jawa dan 3 sisanya di luar Pulau Jawa.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Menara radar milik TNI Angkatan Udara tampak mengawasi wilayah udara di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, Rabu (8/9/2010). Radar yang tersebar di berbagai wilayah ini berperan besar untuk melindungi dan mengamankan wilayah udara Indonesia dari ancaman luar.
Selain tiga hal di atas, kekuatan militer udara Indonesia termasuk tinggi, berada di urutan ke-28 di dunia berdasarkan pemeringkatan Global Fire Power pada tahun 2021. Sebagai perbandingan, Thailand mendapatkan peringkat ke-20, Vietnam mendapatkan peringkat ke-41, Singapura di peringkat ke-44, Malaysia di peringkat ke-61, dan Australia di peringkat ke-30. Dalam catatan Global Fire Power, Indonesia memiliki:
- 41 unit pesawat fighters
- 38 unit pesawat dedicated attack
- 64 unit pesawat angkut (transport)
- 109 unit pesawat latih (trainers)
- 17 unit pesawat special mission
- 1 unit pesawat tanker fleet
- 188 unit helikopter
- 15 unit helikopter penyerbu (attack helicopters)
Selain kekuatan militer udara, secara umum Global Fire Power menempatkan Indonesia sebagai kekuatan militer terbesar di kawasan ASEAN, bahkan lebih besar daripada Australia. Kekuatan militer Indonesia berada di posisi ke-16, melampaui Vietnam (24), Thailand (26), Myanmar (38), Singapura (40), dan Malaysia (44). Di luar ASEAN, Australia menempati urutan ke-19.
Kekuatan militer Indonesia di atas didukung dengan alokasi belanja militer. Dari data yang dihimpun Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), total anggaran militer Indonesia sejak tahun 2014 berkisar pada rata-rata 4,6 persen dari total pengeluaran negara (2014: 4,2%, 2015: 5%, 2016: 4,7%, 2017: 5,2%, 2018: 4,4%, 2019: 4,1%).
Proporsi tersebut terbilang lebih kecil bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga Indonesia, seperti Malaysia (5,3%), Filipina (5,4%), Thailand (6,5%), dan Singapura (21,3%). Akan tetapi, bila dilihat dari besaran anggaran yang dikeluarkan sejak 2014-2019, Indonesia menghabiskan rata-rata 7.656,7 juta dollar AS per tahun (kurs Februari 2021). Angka itu cukup besar bila dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran anggaran bidang militer negara tetangga, seperti Malaysia (4.059,1 dollar AS), Filipina (3.363,5 dollar AS), dan Thailand (6.307,1 dollar AS).
Sebagai upaya mengembangkan kapasitas pertahanan udara Indonesia, Kebijakan Pokok Pertahanan Negara tahun 2021 menempatkan modernisasi alutsista sebagai pokok keempat. Selain itu, pokok kelima dari kebijakan tersebut juga berkaitan dengan upaya peningkatan kapasitas pertahanan udara, yakni pembangunan komponen cadangan militer.
Kebijakan pertahanan tersebut sejalan dengan Perpres 8/2021 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara Tahun 2020-2024 yang disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada 6 Januari 2021. (LITBANG KOMPAS)
KOMPAS/PURNAMA K
Peluru kendali darat-udara (SAM) Kohanudnas meluncur pesat keangkasa, menyemburkan api dan asap. Sebuah peluru lainnya tampak siap menyusul di tempat peluncuran daerah Tangerang, (15/7/1975).
Artikel Terkait
Catatan Akhir
Skadron (squadron) yang disiapkan menjaga kedaulatan udara Indonesia.
Kesatuan | Jenis Pesawat | Total Kekuatan | Siap | Posisi |
Skadron 1 | Hawk 109/209 | 18 | 5 | Pontianak |
Skadron 3 | F-16 A/B C/D | 19 | 9 | Madiun |
Skadron 11 | SU-27/30 | 16 | 7 | Makassar |
Skadron 12 | Hawk 109/209 | 14 | 4 | Pekanbaru |
Skadron 14 | F-5 Tiger | – | – | Madiun |
Skadron 15 | T-50i | 16 | 8 | Madiun |
Skadron 16 | F-16 A/B C/D | 15 | 8 | Pekanbaru |
Skadron 21 | EMB-314/Pro | 16 | 10 | Malang |
Referensi
- UU 11/2020 Tentang Cipta Kerja
- UU 43/2008 Tentang Wilayah Negara
- UU 1/2009 Tentang Penerbangan
- PP 4/2018 Tentang Pengamanan Wilayah Udara Republik Indonesia
- UU 3/2002 Tentang Pertahanan Negara
- Perpres 8/2021 Tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara 2020-2024
- Permenhub 66/2015 Tentang Kegiatan Angkutan Udara Bukan Niaga dan Angkutan Udara Niaga Tidak Berjadwal Luar Negeri Dengan Pesawat Udara Sipil Asing ke dan dari Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
- Buku Putih Pertahanan Indonesia 2015
- Meilinger, Colonel Phillip S. 1995. 10 Propositions Regarding Air Power. Washington DC: Air Force History and Museum Program.
- Baiq Setiani. (2017). “Konsep Kedaulatan Negara di Ruang Udara dan Upaya Penegakan Pelanggaran Kedaulatan oleh Pesawat Udara Asing”. Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 3, September 2017.
- Danang Risdiarto. (2016). “Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Wilayah Udara Yurisdiksi Indonesia Oleh Pesawat Terbang Asing Tidak Terjadwal”. Jurnal Rechtsvinding. Volume 5, Nomor 1, Tahun 2016.
- Harry P. Haryono. (2009). “Wilayah Udara Indonesia: Sudahkan Kita Memanfaatkan dan Menjaganya?”. Indonesia Journal of International Law. Volume 6, Nomor 4, Tahun 2009.
- Koesnadi Kardi. 2019. “Konsekuensi Logis UNCLOS’82, Kembalinya FIR ke Indonesia.” Pusat Studi Air Power. Edisi 1: Januari-Maret 2019.
- Kolonel Pnb Dedy Susanto. 2019. “Optimalisasi Pengamanan Ruang Udara Guna Penegakan Hukum di Wilayah Udara Nasional Dalam Rangka Menegakkan Kedaulatan Negara.” Angkasa Cendekia. Edisi April 2019.
- Prita Amalia. 2019. “Kontroversi Kedaulatan Udara: Complete and Exclusive Sovereignty.” Pusat Studi Air Power. Edisi 1: Januari-Maret 2019.
- Rohannisa Naja Rachma Savitri dan Adya Paramita Prabandari. (2020). “TNI Angkatan Udara dan Keamanan Wilayah Udara Indonesia”. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia. Volume 2, Nomor 2, Tahun 2020.
- Vera W. S. Soemarwi. (2016). “Kedaulatan Udara Indonesia dan Upaya-upaya Perlindungannya”. Era Hukum Nomor 1, Tahun 16, Juni 2016.
- Yan Jefry Barus, Arif Arif, Sutiarnoto Sutiarnoto. (2014). “Yurisdiksi Wilayah Udara Suatu Negara Dalam Perspektif Hukum Internasional”. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.