Paparan Topik | Lingkungan

Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2024: Saatnya Memulihkan Kesehatan Lahan

Sebagai komitmen terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan, Hari Lingkungan Hidup Sedunia menjadi refleksi arah pembangunan yang ramah lingkungan. Pada tahun ini, diangkat isu restorasi lahan dan kekeringan yang masif.

KOMPAS/EMANUEL EDI SAPUTRA

Seremonial penanaman pohon di lingkungan Kantor Gubernur Kalimantan Barat pada Jumat (7/6/2024) dalam rangka Hari Lingkungan Hidup Sedunia.

Fakta Singkat

Hari Lingkungan Hidup Sedunia

  • Setiap tahunnya, masyarakat dunia memperingati Hari Lingkungan Hidup pada tanggal 5 Juni.
  • Hari Lingkungan Hidup Sedunia menjadi pengejawantahan dari SDGs, terutama poin 15 (Life on Land) dan poin 17 (Partnerships for the Goals).
  • Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2024 mengangkat slogan “Our land. Our future. We are #GenerationRestoration” dan dihelat di Arab Saudi.
  • Data UNCCD menyebutkan bahwa 40 persen lahan di seluruh dunia telah terdegradasi, dengan jumlah lahan terdegradasi tiap tahunnya mencapai 100 juta hektare.
  • Hari Lingkungan Hidup Sedunia pertama kali diperingati pada tahun 1973, setelah sebelumnya ditetapkan secara resmi pada Konferensi Lingkungan Hidup 1972 di Stockholm.

 

UN Convention to Combat Desertification (UNCCD) menyatakan degradasi lahan di seluruh dunia telah mencapai 40 persen. Situasi ini berdampak pada setengah dari populasi dunia dan mengancam sekitar setengah dari PDB global (US$ 44 triliun). Sejak tahun 2000, jumlah dan durasi kekeringan meningkat sebanyak 29 persen. Jika diabaikan, kekeringan dapat berdampak pada lebih dari tiga perempat populasi dunia pada tahun 2050.

Menilik permasalahan yang demikian, restorasi lahan telah menjadi salah satu pilar utama dari Dekade Restorasi Ekosistem PBB (2021 – 2030), sebagai sebuah panggilan untuk melindungi dan menghidupkan kembali ekosistem di seluruh dunia. Tujuannya, demi mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs).

Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, atau World Environment Day, yang dirayakan setiap tanggal 5 Juni mewujud menjadi salah satu upaya dalam mengatasi permasalahan lingkungan tersebut. Khususnya, pada peringatan pada tahun 2024, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengusung slogan “Our land. Our future. We are #GenerationRestoration”.

Pemilihan tema ini juga menandai peringatan 30 tahun Konvensi PBB untuk Memerangi Penggurunan. Tema besar dari Hari Lingkungan Hidup 2024 sendiri diumumkan oleh Program Lingkungan Hidup PBB (United Nations Environment Programme/UNEP) dan Arab Saudi sebagai “restorasi lahan, penggurunan, dan ketahanan terhadap kekeringan”.

Hari Lingkungan Hidup Sedunia telah diperingati setiap tahun sejak ditetapkan oleh PBB pada tahun 1972. Sejak itu, Hari Lingkungan Hidup telah menggerakkan puluhan juta orang untuk berpartisipasi secara daring dalam ragam aksi di seluruh dunia. Hari Lingkungan Hidup Sedunia telah tumbuh menjadi salah satu ruang internasional terbesar untuk menjangkau isu lingkungan hidup.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Aktivis yang tergabung dalam Aksi Peduli Monyet (Aipom) dan Animal Friends Jogja (AFJ) menggelar aksi teatrikal di seberang Kantor Dinas Lingkungan Hidup DI Yogyakarta, Gondokusuman, Yogyakarta, Rabu (5/6/2024). Dalam aksi untuk memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia itu para pengunjukrasa memprotes maraknya alih fungsi lahan untuk keperluan pengembangan pariwisata di Gunung Kidul yang mengakibatkan semakin terhimpitnya habitat alami monyet ekor panjang dan satwa liar lainnya.

Urgensi Hari Lingkungan Hidup

Bumi merupakan ibu bagi keberlangsungan kehidupan manusia. Manusia tidak hanya tinggal di atas bumi. Sebanyak 95 persen makanan berasal dari lahan yang sehat. Begitu pula dengan pakaian, mata pencaharian, dan barang-barang yang digunakan sebagai penunjang kehidupan.

Lahan yang sehat melindungi manusia dari berbagai bencana alam seperti kekeringan, banjir, dan kebakaran hutan. Global Land Outlook (GLO) menyebutkan bahwa sekitar USD 44 triliun output ekonomi yang mana lebih dari setengah PDB global cukup atau sangat bergantung pada modal alam.

Sayangnya, manusia tidak menjaga bumi selayaknya bumi menjaga keberlangsungan hidup manusia. Akibat dari pola dominasi aktivitas manusia tanpa prinsip keberlanjutan, secara global terjadi restorasi lahan, penggurunan, dan kekeringan. UN Convention to Combat Desertification (UNCCD) menyebutkan bahwa hingga 40 persen lahan di seluruh dunia telah terdegradasi. Setiap detiknya, terdapat lahan yang seluas empat lapangan sepak bola terdegradasi. Total lahan yang terdegradasi mencapai 100 juta hektare per tahun.

Indonesia menduduki peringkat ke-15 sebagai negara terbesar berdasarkan luas daratannya yang mencapai 1.904.569 km2 dan menjadi negara kepulauan terbesar di dunia. Sejak terakhir kali dihitung pada tahun 2011, Indonesia memiliki lahan pertanian (area budidaya) dan kawasan hutan sebesar 30,08 persen menurut data dari Bank Dunia. Sedangkan pada tahun 2013, Kementerian Kehutanan menyatakan bahwa terdapat 66,70 persen luas lahan pertanian (area budidaya) dan kawasan hutan.

Kementerian Kehutanan melaporkan bahwa sebanyak 24,3 juta hektare lahan di Indonesia telah mengalami degradasi pada tahun 2013. Penyebab dari degradasi lahan yang terjadi di Indonesia ini, antara lain, penggunaan lahan yang tidak tepat, tidak ada tindakan konservasi tanah dan air yang diterapkan di daerah-daerah tersebut sehingga terjadilah erosi parah, sedimentasi dan degradasi kondisi air (kuantitas dan kualitas) di daerah hilir.

Melihat kondisi tersebut, Indonesia perlu melakukan Netralitas Degradasi Lahan atau Land Degradation Neutrality (LDN) untuk memulihkan lahan ke dalam kondisi di mana jumlah sumber daya lahat sehat dan produktif, tetap stabil atau meningkat dalam skala temporal dan spasial tertentu. Rehabilitasi lahan dan hutan bersih ditargetkan seluas 5,5 hektare dalam 5 tahun.

Dalam rangka mencapai Land Degradation Neutrality (LDN), lahan terdegradasi di Indonesia dapat dikurangi sebesar 27,5 juta ha pada tahun 2040. Land Degradation Neutrality (LDN) dapat dicapai di Indonesia pada tahun 2040 dengan catatan tidak ada penambahan lahan terdegradasi.

Perubahan penggunaan lahan adalah faktor utama dan penting untuk keberlangsungan hidup manusia. Lahan menjadi tulang punggung bagi kegiatan pertanian, industri, pertambangan, perumahan, dan kegiatan manusia lainnya. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi dan kemajuan sosial sangat bergantung pada perubahan penggunaan lahan.

Tentunya peningkatan populasi penduduk ini turut meningkatkan permintaan akan pemukiman, industri, pertambangan, kebutuhan pangan termasuk produk pertanian yang diperlukan untuk meningkatkan ketahanan pangan, serta kebutuhan menghasilkan pendapatan tidak hanya bagi masyarakat pedesaan, tetapi juga bagi investor skala besar di sektor pertanian komersial.

Indonesia terus mengalami kenaikan jumlah penduduk. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada 2010 terdapat 237.424.363 jiwa dengan persentase 50,20 persen penduduk pedesaan dan 49,80 persen penduduk perkotaan.

Namun, perlu disadari bahwa perubahan penggunaan lahan yang dilakukan tanpa pendekatan keberlanjutan berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan (Kompaspedia, 10/7/2021, “Hari Populasi Sedunia: Ledakan Penduduk dan Degradasi Lingkungan”).

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Spanduk untuk mengkampanyekan penggunaan sepeda sebagai salah satu cara untuk mencegah perubahan iklim dipampang di depan rombongan pesepeda yang bersepeda bersama untuk memeringati Hari Lingkungan Hidup Sedunia di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Minggu (5/6/2022). Sepeda bersama ini digelar oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan komunitas sepeda Bike to Work. Hari Lingkungan Hidup Sedunia diperingati setiap 5 Juni. Satu Bumi untuk Masa Depan menjadi tema yang dipilih Kementrian Lingkungan Hidup dalam peringatan hari lingkungan hidup tahun ini.

Sebagai negara yang menduduki peringkat ke-4 negara dengan jumlah penduduk terbesar dan peningkatan populasi penduduk yang terus terjadi dari tahun ke tahun, degradasi lahan di Indonesia terjadi akibat aktivitas manusia yang mencakup deforestasi, penghilangan vegetasi alami, dan perluasan wilayah perkotaan.

Selain itu, banyak pula praktik manajemen penggunaan lahan pertanian yang tidak berkelanjutan termasuk penggunaan dan penyalahgunaan pupuk, pestisida, dan alat berat, rotasi tanaman yang tidak tepat, praktik pengairan yang buruk, dan sebagainya.

Aktivitas-aktivitas yang dilakukan tanpa pendekatan keberlanjutan tersebut menimbulkan konsekuensi berupa banjir, polusi, kekeringan, tanah longsor, dan sedimentasi badan air dan waduk. Selain itu, peningkatan populasi penduduk juga berdampak pada terus berkurangnya luas tutupan hutan secara signifikan, terutama selama periode tahun 1990 – 2020.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa 1.205 bencana alam telah terjadi dari 1 Januari 2021 hingga 30 April 2021. Banjir merupakan bencana yang paling sering terjadi sebanyak 501 kali, disusul angin puting beliung sebanyak 339, dan tanah longsor sebanyak 233 (Kompaspedia, 10/7/2021, “Hari Populasi Sedunia: Ledakan Penduduk dan Degradasi Lingkungan”).

Tujuan Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia

Mengusung topik restorasi lahan, penggurunan, dan ketahanan terhadap kekeringan peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia ditujukan untuk mendorong kemajuan dalam dimensi lingkungan hidup dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, utamanya memenuhi poin 15, yaitu Ekosistem Daratan (Life on Land) dan poin 17, yaitu Menguatkan Sarana Pelaksanaan dan Merevitalisasi Kemitraan global untuk Pembangunan Berkelanjutan (Partnerships for the Goals).

Tujuan dari poin 15 SDGs adalah “Melindungi, Merestorasi dan Meningkatkan Pemanfaatan Berkelanjutan Ekosistem Daratan, Mengelola Hutan Secara Lestari, Menghentikan Penggurunan, Memulihkan Degradasi Lahan, serta Menghentikan Kehilangan Keanekaragaman Hayati”.

Tujuan dari poin tersebut diuraikan dalam beberapa target. Termasuk di dalamnya adalah melakukan restorasi dan pemanfaatan berkelanjutan dari ekosistem daratan dan perairan darat serta jasa lingkungannya, menghentikan deforestasi menghentikan penggurunan, memulihkan lahan dan tanah kritis (termasuk lahan yang terkena penggurunan, kekeringan dan banjir), dan berusaha mencapai dunia yang bebas dari lahan terdegradasi.

Sementara itu, tujuan dari poin 17 SDGs adalah “Memperkuat Sarana Pelaksanaan dan Merevitalisasi Kemitraan Global untuk Pembangunan Berkelanjutan”. Beberapa target yang ingin dicapai, yaitu memperkuat mobilisasi sumber daya domestik, memobilisasi tambahan sumber daya keuangan untuk negara berkembang, membantu negara berkembang untuk mendapatkan keberlanjutan utang jangka panjang, dan penyebaran teknologi yang ramah lingkungan kepada negara berkembang,

KOMPAS/NIKSON SINAGA

Elang bondol (Haliastur indus) dilepasliarkan ke habitatnya di hutan mangrove di Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, Selasa (5/6/2018). Tujuh elang bondol hasil pengembalian dan sitaan dari warga dilepasliarkan dalam memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia, 5 Juni.

Selain itu, ada juga target untuk meningkatkan dukungan internasional bagi negara berkembang untuk mendukung rencana nasional dalam melaksanakan seluruh poin SDGs, meningkatkan keterpaduan kebijakan untuk pembangunan berkelanjutan, dan meningkatkan kemitraan global untuk pembangunan berkelanjutan.

Terkait poin ke-17 ini, KKSDA Bappenas memperkirakan bahwa pada tahun 2030, tutupan hutan yang bisa dipertahankan berkisar seluas 86 juta hektare untuk skenario “fair atau 88 juta hektare untuk skenario ambitious. Upaya memulihkan tutupan hutan dan penambahan jumlah vegetasi akan berdampak selaras dengan pemulihan kekeringan dan degradasi lahan.

Sejarah Hari Lingkungan Hidup

Penetapan Hari Lingkungan Hidup bermula dari Konferensi Lingkungan Hidup pertama yang digelar pada tahun 1972. Bertempat di Stockholm, Swedia, kala itu Majelis Umum PBB menetapkan 5 Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Bersamaan dengan peristiwa tersebut, dibentuk pula lembaga UNEP yang merupakan otoritas global di bidang lingkungan hidup.

Tepat setahun kemudian, untuk pertama kalinya Hari Lingkungan Hidup Sedunia dirayakan. Peringatan pada tahun 1973 tersebut mengangkat tema “Only One Earth” dengan pusat perayaan di Swiss.

Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia tersebut berhasil mengajak masyarakat yang berasal dari 150 negara lebih, untuk berpartisipasi merayakan aksi lingkungan hidup guna menciptakan dunia yang berkelanjutan. Sejak itu pula, UNEP konsisten menjadi penyelenggara bagi peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia.

Pada tahun 1998, Hari Lingkungan Hidup Sedunia mengangkat tema “For Life on Earth – Save Our Seas”. Ini menjadi kali pertama dipilihnya tema terkait ancaman terhadap ekosistem laut—sekaligus untuk mendukung “Tahun Laut Internasional” yang juga berlangsung pada tahun tersebut. Isu yang diangkat adalah peningkatan tekanan lingkungan laut dalam rupa penangkapan ikan berlebihan, degradasi garis pantai, dan perusakan terumbu karang.

Peringatan menarik lainnya terjadi pada tahun 2005 dengan tema “Green Cities: Plan for the Planet!”. Tema ini menyoroti isu yang timbul dari peningkatan pesat proporsi penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan.

Diprediksi kala itu, bahwa penduduk akan meningkat lebih dari 60 persen pada tahun 2030. Dikutip dari situs resmi PBB (news.un.org), urbanisasi yang pesat menghadirkan tantangan besar, mulai dari kemiskinan dan pengangguran hingga kejahatan dan kecanduan narkoba.

Lebih lanjut, perayaan pada tahun 2022 turut menjadi momentum yang bersejarah. Tahun tersebut menandakan usia 50 tahun Konferensi Lingkungan Hidup pertama di dunia. Untuk itu, acara Hari Lingkungan Hidup Sedunia diperingati di Stockholm, sembari mengangkat tema “A healthy planet for the prosperity of all – our responsibility, our opportunity”.

Dalam momentum tersebut, permasalahan yang sedang memanas, yaitu pemanasan global, kehancuran lingkungan dan merosotnya keanekaragaman hayati, serta masalah polusi, khususnya polusi udara menandai bahwa kondisi bumi 50 tahun pasca-konferensi justru semakin parah (Kompas.id, 3/5/2022, “50 Tahun Pasca-Deklarasi Stockholm)”.

Dalam perhelatan terakhirnya pada tahun 2023, Hari Lingkungan Hidup Sedunia mengangkat permasalahan soal polusi plastik, melalui tema “Solutions to Plastic Pollution #BeatPlasticPollution”. Seruan akan pentingnya tindakan kolektif dan transformatif untuk mengatasi polusi plastik digaungkan.

Dikutip dari Kompas.id (12/6/2023, “Peringati Hari Lingkungan Hidup, PLN Bersihkan Pantai Blabak dan Tanam Mangrove”), di Indonesia sendiri, tepatnya di sepanjang pesisir Pantai Blabak, Sekuro, Jepara, Jawa Tengah, diadakan kegiatan bersih-bersih yang diselenggarakan oleh Pembangkit Listrik Negara (PLN) Unit Induk Pembangkitan (UIK) Tanjung Jati B.

Pada bulan yang sama, di kawasan Bundaran HI, Jakarta Pusat, sejumlah sukarelawan berkumpul dalam karnaval dengan membawa poster yang menyuarakan kritik seputar isu lingkungan (Kompas.id, 04/06/2023, “Karnaval Peringatan Hari Lingkungan Hidup”).

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Para relawan saat memungut sampah-sampah yang menyangkut diantara bebatuan di Sungai Ciliwung yang melintasi wilayah Kelurahan Sindangrasa, Bogor, Kota Bogor, Jawa Barat, dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang digelar oleh Komunitas Peduli Ciliwung, Sabtu (5/6/2021). 

Relasi Filosofis Manusia dengan Lingkungan

Masifnya kerusakan lingkungan, yang terjadi secara terus menerus, tidak lepas dari bagaimana manusia memandang lingkungan di sekitarnya. Mengacu pada Balairung (2018), ada tiga model paradigma etika lingkungan, yakni antroposentrisme, biosentrisme, dan ekosentrisme. Paradigma antroposentrisme, dalam hal ini, menjadi cara pandang yang menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan.

Raja, dalam artikel akademik “Manusia dalam Disekuilibrium Alam: Kritik atas Ekofenomenologi Saras Dewi”, mendefinisikan antroposentrisme sebagai teori etika lingkungan yang menempatkan manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dianggap sebagai satu-satunya entitas yang memiliki nilai tertinggi. Sementara eksistensi entitas lain, seperti tumbuhan, hewan, dan segala macam makhluk hidup lain, hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.

Berdasarkan pandangan ini, manusia memantapkan diri sebagai pemilik hak terbesar sehingga “patut” untuk mengeksploitasi alam semesta sesuai keinginan. Paradigma antroposentris menganggap manusia sebagai penguasa dan pemilik alam. Dari sikap ini, antroposentrisme diyakini sebagai penyebab dari rusaknya alam semesta karena eksploitasi berlebih yang dilakukan oleh manusia.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA 

Pekerja mendorong keranjang berisi botol plastik yang berhasil dipilah dari sampah kiriamn warga di TPA Jambangan pada hari yang diperingati sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (5/6/2018) Pemerintah Kota Surabaya terus melakukan terobosan terkait pengelolaan sampah plastik, yang terbaru dengan pengadaan bus umum yang ongkosnya bukan uang tunai melainkan botol plastik.

Dasar terbentuknya antroposentrisme terletak pada kesadaran manusia atas eksistensinya. “Kesadaran” dinilai sebagai keistimewaan yang hanya dimiliki manusia dan membedakannya dengan entitas lain. Perkembangan teknologi semakin memperkuat keunggulan manusia di atas makhluk hidup lain. Maka dari itu, alam semesta terus tereduksi menjadi objek eksploitasi guna memuaskan kebutuhan manusia.

Paradigma demikian dapat pula ditemukan dalam filsafat positivisme yang diteorikan oleh August Comte pada abad ke-19. Comte memandang bahwa di dalam perkembangan kehidupan manusia, selalu terdapat keniscayaan akan kemajuan. Manusia memiliki kecenderungan yang mengarahkan dirinya pada kesempurnaan moral. Menurut Comte, adalah tujuan ilmu pengetahuan untuk membantu manusia mengarahkan diri pada kekuasaan.

Lagi-lagi, keyakinan tersebut mendorong manusia pada sifat yang superior, mengejar hedonisme, dan mengesampingkan kerusakan alam semesta akibat eksploitasi yang dilakukan. Nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan mengalami kemerosotan. Manusia tereduksi ke dalam pikiran fisik tanpa kepedulian.

Mengacu pada artikel Kompas (6/6/2023, “Kepenatan Lingkungan”), filsafat positif memperburuk situasi lingkungan dengan menggambarkan kemajuan umat manusia sebagai hal yang tak terhindarkan, tak terbendung, dan tak dapat diubah. Di dalamnya, terkandung wacana optimisme mutlak bahwa semua kemajuan hanya akan berujung pada kesempurnaan moral.

Paradigma dan sikap filosofis demikian menegasikan aspek keberlanjutan. Dorongan manusia ke dalam industrialisasi yang masif menunjukkan bagaimana ketamakan dan hedonisme diagungkan. Pemahaman demikian menonjolkan sikap “take-make-waste” yang eksploitatif dan abai, sehingga menanggalkan keberlangsungan kelestarian sumber daya alam.

Peringatan 50 tahun Konferensi Lingkungan Hidup pada 2022 dengan kondisi alam yang lebih tragis dari 50 tahun yang lalu menandakan kemunduran manusia dalam merawat alam semesta.

Hari Lingkungan Hidup 2024

Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2024 akan dipimpin dan dihelat oleh Arab Saudi sebagai tuan rumah. Dengan mengusung tema restorasi lahan dan kekeringan, peringatan tahun ini diharapkan dapat menjadi panggilan kepada seluruh manusia di dunia untuk menyembuhkan kembali lahan-lahan yang rusak, mengembalikan ibu bumi sebagai tempat penghidupan yang nyaman untuk seluruh makhluk hidup.

Sudah setengah dekade lebih peringatan ini dirayakan setiap tahunnya. Alih-alih hanya menjadi ajang formalitas belaka, sudah semestinya seluruh entitas manusia bekerja sama menjaga dan memperbaiki lingkungan dari degradasi lahan, pegunungan lahan, dan kekeringan.

Sebagaimana salah satu kutipan dalam sastra suci umat Hindu, AtharvaVeda 12.1.12, disebutkan “bagwa Mata bhumi putro’haṁ pṛthivyah”—berarti, “Bumi adalah ibuku dan Aku adalah putra Bumi Pertiwi”.

Dalam rangka perbaikan ini diperlukan kebijakan yang berorientasi pada lingkungan. Pada Road Map SDGs 2023-2030, sebagai upaya mempertahankan tutupan hutan di Indonesia, pemerintah telah menyusun berbagai kebijakan, di antaranya kebijakan Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup dan kebijakan Pembangunan Rendah Karbon yang telah tertuang pada RPJMN 2020 – 2024 serta kebijakan prioritas pasca-2024.

Tentunya kebijakan ini harus dijalankan dengan konsisten dan memprioritaskan kesehatan lingkungan. Pemerintah juga perlu menanamkan pendidikan, salah satunya lewat intervensi pada kurikulum pendidikan, terkait lingkungan hidup guna menghadapi paham industrialisasi yang masif (Kompas.id, 04/06/2023, “Karnaval Peringatan Hari Lingkungan Hidup”).

Dengan kembali mengacu pada paham antroposentrisme dan positivisme yang menyatakan bahwa manusia memiliki kesadaran yang menjadi keistimewaannya, semestinya kelebihan manusia tersebut dapat membawa peradaban pada kesadaran untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
Artikel Akademik
  • Raja, Muhammad Unies Ananda. 2018. Manusia dalam Disekuilibrium Alam: Kritik atas Ekofenomenologi Saras Dewi. Balairung: Jurnal Multidisipliner Mahasiswa Indonesia Vol. 1 No. 1. Hlm 42-57.
Buku
  • Kementerian PPN/BAPPENAS. 2023. Peta Jalan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2023-2030. Jakarta.
Jurnal
  • UNCCD & Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2015. Indonesia-Land Degradation Neutrality National Report. Jakarta.
Internet

Artikel terkait