Paparan Topik | Lingkungan

Hari Gunung Internasional dan Keseimbangan Ekosistem Kehidupan

Pesan dari peringatan Hari Gunung Internasional yakni mengajak masyarakat dunia untuk memahami dan menyadari pentingnya manfaat gunung bagi kesimbangan kehidupan. Di Indonesia, peringatan ini menjadi relevan dengan tingginya aktivitas pariwisata di kawasan gunung.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Warga mengusung tumpeng dengan latar belakang Gunung Merapi saat menggelar tradisi Tungguk Tembakau di Desa Senden, Kecamatan Selo, Kebupaten Boyolali, Jawa Tengah, Kamis (3/8/2023). Mereka menggelar ritual Tunggguk Tembakau sebagai ungkapan syukur atas hasil panen yang melimpah. Selain tanaman sayur, komoditas tembakau menjadi andalan ekonomi para petani di sebagian lereng Gunung Merbabu dan Merapi.

Fakta Singkat

Hari Gunung Internasional

  • Sejak tahun 2003, Majelis Umum PBB menetapkan 11 Desember untuk diperingati sebagai Hari Gunung Internasional setiap tahunnya.
  • Penetapan Hari Gunung Internasional berangkat dari presentasi Mountains Agenda di UNICED pada 1992 dan dilanjutkan dengan penetapan tahun 2002 sebagai Tahun Pegunungan Internasional.
  • Hari Gunung Internasional bertujuan untuk membangun kesadadaran akan pentingnya ekosistem gunung, menggarisbawahi potensi dan hambatan pembangunan gunung, serta mendorong jejaring perubahan dalam isu gunung di seluruh dunia.
  • Ekosistem gunung merupakan rumah bagi 15 persen populasi dunia – menunjukkan tingginya keanekaragaman flora dan fauna di kawasannya.
  • Ekosistem gunung terus mengalami ancaman degradasi lingkungan. Sebanyak 84 persen spesies endemik di wilayah pegunungan juga terancam punah.
  • Indonesia merupakan negara dengan jumlah gunung api terbanyak, yakni mencapai jumlah 127 gunung api. Dari jumlah tersebut, mayoritas berada di Pulau Jawa dengan 34 gunung api.
  • Ketiga puncak tertinggi di Indonesia berada di Pulau Papua, yakni Puncak Jaya Wijaya (4.884 mdpl), Puncak Mandala (4.760 mdpl), dan Puncak Trikora (4.750 mdpl).
  • Pendakian gunung memberikan kesegaran batiniah bagi masyarakat urban, terutama dengan memberikan kesejukkan dan rasa memiliki terhadap alam.
  • Pendakian gunung telah menjadi budaya populer, baik di dunia maupun Indonesia. Menjadikannya sebagai rekreasi yang diminati massa dalam jumlah besar.
  • Penelitian Svarstad menunjukkan, semakin tingkat keseriusan pendaki dalam melakukan pendakian berbanding lurus dengan kepedulian lingkungan terhadap gunung.

Dalam kalender internasional, PBB telah menetapkan Hari Gunung Internasional atau International Mountain Day untuk diperingati oleh masyarakat global. Hari tersebut jatuh pada tanggal 11 Desember dan diperingati setiap tahunnya.

Sebagai perayaan internasional, maka penyelenggaranya Hari Gunung pun dikoordinasikan oleh lembaga internasional, yakni Organisasi Pangan dan Pertanian PBB atau Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO).

Penetapan Hari Gunung Internasional sendiri dapat ditilik sejak tahun 1992, melalui  United Nations Conference on Environment and Development atau UNCED. Konferensi yang juga dikenal sebagai “The Earth Summit” itu bertujuan untuk mempromosikan kesadaran akan pembangunan ekonomi yang mengedepankan ekologi bumi. UNCED diselenggarakan di Brasil pada tanggal 3-14 Juni.

Dalam penyelenggaraan tersebut, sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional berinisiatif untuk ikut turut serta dengan memasukkan presentasi Mountains Agenda. Presentasi pada pertemuan tersebut memuat isu-isu ekologi di daerah pegunungan yang terus mengalami ancaman eksploitasi. Situasi demikian mengancam warisan historis gunung dan menuntut pemerintah untuk segera mengambil langkah melalui pembuatan kebijakan.

Dengan peringatan ini, PBB kian memandang ekosistem gunung sebagai salah satu isu penting. Majelis Umum PBB lantas mendeklarasikan tahun 2002 sebagai Tahun Pegunungan Internasional PBB. Tahun tersebut digunakan untuk mengampanyekan kesadaran akan pentingnya pegunungan bagi dunia dan perlunya melestarikan sumber daya alam yang rapuh melalui pembangunan berkelanjutan serta menindaklanjuti pertemuan Mountains Agenda UNICED pada 1992.

PBB juga menetapkan perlunya suatu hari khusus untuk secara konsisten menyadari dan mengingat isu-isu pegunungan. Untuk itu, masih di tahun yang sama, PBB menetapkan pelaksanaan Hari Gunung Internasional untuk diperingati setiap tahunnya pada tanggal 11 Desember. Peringatan Hari Gunung Internasional pertama pun jatuh pada tahun berikutnya, 2003.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Pekerja memperbaiki saluran air di jalur evakuasi bencana Gunung Merapi di Desa Kaliurang, Srumbung, Magelang, Jawa Tengah, Jumat (31/3/2023). Perbaikan jalur evakuasi Merapi terus dilakukan di sejumlah titik seiring masih berlangsungnya status Siaga Gunung Merapi sejak 5 November 2020.

Tujuan Hari Gunung Internasional

Secara garis besar, Hari Pegunungan Internasional menjadi momen untuk menumbuhkan kesadaran yang lebih besar terhadap isu-isu pegunungan. Mengacu pada situs resmi FAO sebagai lembaga koordinator resminya, terdapat beberapa beberapa tujuan yang ingin dicapai dari pembangunan kesadaran tersebut.

Yang pertama, kesadaran yang terbangun pada Hari Gunung Internasional diharapkan dapat menggapai wacana akan pentinganya eksositem gunung bagi kehidupan masyarakat. Kedua, peringatan ini juga diharapkan dapat menggarisbawahi potensi sekaligus hambatan bagi pengembangan gunung. Sementara yang ketiga, adalah untuk mendorong terciptanya jejaring perubahan positif bagi masyarakat dan lingkungan pegunungan di seluruh dunia.

Tujuan-tujuan Hari Gunung Internasional tak lepas dari poin-poin Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) yang ditetapkan pada 2015 lalu. Hari Gunung Internasional merupakan pengejawantahan dari poin 15 SDGs yakni “Melindungi, memulihkan, dan mendorong pemanfaatan ekosistem darat secara berkelanjutan, mengelola hutan secara berkelanjutan, memerangi penggurunan, dan menghentikan serta membalikkan degradasi lahan dan menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati”.

Sebagai bagian dari kehidupan darat, ekosistem gunung pun menjadi bagian tak terlepaskan. Oleh karena pertautannya pada poin SDGs tersebut, Hari Gunung Internasional tidak hanya secara ekslusif dan terbatas mengakomodasi isi-isu pegunungan semata. Lebih daripada itu, FAO dan berbagai pihak koordinator lainnya juga menggunakan peringatan ini untuk mendorong soal keberlanjutan kehidupan di wilayah darat dan partisipasi para stakeholder.

Dalam cakupannya yang luas tersebut, peringatan ini memandang isu gunung secara luas. Sebagai bagian dari penampakan lahan dan daratan, gunung tidak hanya menyimpan isu soal pemulihan ekosistem, turut juga terakomodasi berbagai tema lain. Sebagai contoh, Hari Gunung Internasional 2015 mengusung tema pangan melalui judul “Promoting Mountain Products for Better Livelihoods”.

Produk-produk pegunungan terkenal dengan kualitas kemurniannya yang berkualitas tinggi. Meskipun secara harga produk-produknya sulit bersaing dengan pertanian/perkebunan di dataran rendah, namun nama baik tersebut dapat menjadi nilai jual tersendiri. Sebagai contoh, terdapat produk-produk kopi, kakao, madu, jamu, rempah-rempah, hingga kerajinan tangan.

Lebih luas lagi, produk pegunungan tidak hanya terbatas pada komoditas barang. Terdapat pula penyediaan produk jasa, khususnya jasa pariwisata. Layanan pariwisata ski, pendakian, jalur alam, dan warisan budaya menjadi variasi jasa pariwisata yang acap ditawarkan eksositem gunung. Dengan berbagai kekayaan tersebut, baik ekstraksi komoditas barang maupun pariwisata harus dikelola dengan kesadaran berkelanjutan.

KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA 

Tenda menghadap laut dan Gunung Rinjani (16/7/2023)

Tema dan Urgensi Hari Gunung Internasional 2023

Melanjutkan konsistensi pada tahun-tahun sebelumnya, masyarakat dunia kembali memperingati Hari Gunung Internasional pada 11 Desember 2023 yang tahun ini jatuh pada hari Senin. Untuk itu, PBB telah menetapkan tema “Memulihkan Ekosistem Pegunungan” (Restoring Mountain Ecocystemi).

Melalui penetapan tema tersebut, Hari Gunung Internasional 2023 akan menjadi kesempatan untuk meningkatkan kesadaran tentang relevansi ekosistem pegunungan terhadap masyarakat dan mendorong solusi terbaik untuk menjaga relevansi tersebut. Selain itu, peringatan ini akan digunakan untuk menyerukan investasi pembangunan yang berbasis ketahanan, mengurangi kerentanan, dan meningkatkan adaptasi ekosistem gunung terhadap ancaman harian maupun kejadian iklim ekstrem.

Hal ini penting untuk kembali digaungkan mengingat degradasi ekosistem gunung yang terjadi secara konstan – meski gunung memainkan peran vital bagi kehidupan masyarakat. Dikutip dari situs resmi PBB, peran vital tersebut ditunjukkan dengan status gunung sebagai rumah bagi 15 persen populasi dunia. Wilayah gunung juga mengalirkan air bersih sebagai pendukung pertanian dan kehidupan harian manusia.

Tak hanya itu, ekosistem gunung juga menjadi rumah bagi setengah keanekaragaman macam hayati dunia. Kayanya keanekaragaman ini semakin mencolok pada sektor pangan. Di dunia, terdapat 20 macam spesies tumbuhan yang memasok 80 persen pangan dunia. Dari jumlah tersebut, enam di antaranya bertumbuh dan berkembang pesat di daerah gunung antara lain: jagung, kentang, jelai (tumbuhan biji-bijian), sorgum, tomat, dan apel.

 Pentingnya peran gunung bagi kehidupan tidak dibarengi dengan kesadaran dan kepedulian untuk menjaga ekosistemnya. Masih dilansir dari PBB, ekosistem gunung terancam oleh perubahan iklim, eksploitasi berlebih, dan kontaminasi alam sebab kemurnian gunung digadaikan demi konsumsi berlebih terhadap sumber-sumber dayanya.

Akibatnya, lebih dari 311 juta masyarakat yang masih menetap di pedesaan pegunungan di negara berkembang kini tinggal di lahan yang telah terdegradasi. Sebanyak 178 orang di antaranya dihadapkan pada kerentanan pangan. Tak hanya itu, 84 persen spesies endemik di wilayah pegunungan juga terancam punah.

Begitu besarnya peran manusia dalam kerusakan ini yang ditandai dengan yang paling miris, penemuan polusi mikroplastik di puncak Gunung Everest, Nepal, sebagai gunung tertinggi di dunia dari permukaan laut.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Kawasan savana atau padang rumput di lereng bukit dalam kawasan Gunung Bromo di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), Jawa Timur di daerah Jemplang, Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur mulai terlihat hijau, Sabtu (28/10/2023). Kawasan tersebut hangus saat kerbakaran lahan akibat kegiatan foto pranikah menggunakan suar pada 6 September 2023 lalu.

Gunung-Gunung di Indonesia

Hari Gunung Internasional relevan untuk turut diperingati di Indonesia. Tidak hanya karena statusnya sebagai anggota PBB, namun juga karena secara geografis Indonesia memiliki bentangan gunung dan pegunungan yang begitu masif.

Hampir seluruh pulau besar di Indonesia memiliki gunung, kecuali Pulau Kalimantan. Tampakan dataran demikian dikarenakan lokasi Indonesia yang berada di zona penunjaman/subduksi lempeng, yaitu lempeng Indo-Australia menuju lempeng Eurasia.

Mengutip dari situs Departemen Geografi Lingkungan, Universitas Gadjah Mada (UGM), hingga 2018, Indonesia memiliki 129 gunung api dengan status aktif atau setara dengan 13 persen total gunung aktif dunia dan 500 gunung dengan status tidak aktif. Terbaru, pada 2023, jumlah gunung aktif tersebut berkurang menjadi 127. Dengan jumlah ini, Indonesia masih menempati predikat negara dengan jumlah gunung api terbanyak di dunia.

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) adalah bagian dari Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (EDSM). Lembaga inilah yang memegang mandat untuk mendata sekaligus memperbaharui informasi mengenai gunung-gunung api di Indonesia.

Mengacu pada situs resminya (magma.esdm.go.id), PVMBG mengelompokkan gunung api ke dalam tiga tipe, A, B, dan C. Tipe A adalah kelompok gunung api yang memiliki sejarah letusan sejak tahun 1600. Jumlahnya mencapai 76 gunung api. Tipe B berjumlah 30 gunung, yang merupakan kelompok gunung yang telah meletus sejak sebelum tahun 1600. Sementara Tipe C adalah kelompok gunung yang tidak memiliki sejarah letusan namun tetap menunjukkan aktivitas vulkanik. Jumlahnya adalah 21 gunung api.

Sumber: Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi

Dari pengelompokkan tersebut, jumlah gunung api terbanyak berada di Pulau Jawa dengan 34 gunung api. Di peringkat kedua, terdapat Pulau Sumatera dengan 30 gunung api. Sementara di peringkat berikutnya terdapat Pulau Bali dan Nusa Tenggara yang memiliki 29 gunung api, diikuti dengan Sulawesi yang menyimpan 18 gunung api.

Selaras dengan persebaran gunung api, persebaran puncak-puncak gunung tertinggi juga merata di seluruh Indonesia. Dalam konteks pariwisata, puncak-puncah tertinggi menjadi objek pariwisata tersendiri yang menarik kalangan pendaki.

Menariknya, tiga puncak tertinggi di Indonesia berada di Pulau Papua, yakni Puncak Jaya Wijaya (4.884 mdpl), Puncak Mandala (4.760 mdpl), dan Puncak Trikora (4.750 mdpl). Ketiganya merupakan bagian dari deretan pegunungan.

Di peringkat keempat, terdapat Gunung Kerinci (3.805 mdpl) yang terletak di perbatasan Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Barat.

Lalu berturut-turut setelah Kerinci adalah Gunung Rinjani (3.726 mdpl), Gunung Semeru (3.676 mdpl) di Jawa Timur, Gunung Sanggar (3.492 mdpl) di Nusa Tenggara Barat, Gunung Rantemario (3.478 mdpl) dan Gunung Rantekambola (3.455 mdpl) di Sulawesi Selatan, serta Gunung Slamet (3.428 mdpl) di Jawa Tengah.

KOMPAS/EDDY HASBY

Sebuah mobil dengan latar belakang Gunung Merapi, Yogyakarta (28/5/2023).

Industri Pariwisata Gunung di Indonesia

Wacana kepedulian dan perhatian yang diusung melalui Hari Gunung Internasional relevan ketika dibawa dalam konteks Indonesia. Tidak hanya karena tercatat bahwa bentangan alam Indonesia begitu kaya akan gunung dan pegunungan, namun juga karena status gunung sebagaizsalah satu komoditas vital dalam industri pariwisata nasional yang menarik jutaan wisatawan mengunjungi berbagai gunung di Indonesia.

Sejak sebelum pandemi Covid-19, gunung telah menarik kunjungan wisatawan yang begitu besar. Pendakian gunung dan berkemah menjadi pilihan utama. Lebih-lebih pada musim liburan atau momen hari besar tertentu, kegiatan wisata tersebut akan menjadi semakin ramai.

Memasuki Tahun Baru 2020 misalnya, Kepala Resor Taman Wisata Alam Kawah Ijen Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur Sigit Waribowo memprediksi bahwa puncak Gunung Ijen akan dipadati oleh lebih dari 2.500 pendaki untuk merayakan momen tahun baru. Peningkatan pengunjung bahkan sudah terasa sejak enam hari sebelum momen tahun baru  dengan jumlah kunjungan harian bisa mencapai 1.700 orang, dari biasanya 200-700 orang saja.

Selain itu, di Provinsi Jawa Barat, pendaki juga diprediksi akan memadati Gunung Ciremai. Untuk itu, daerah pendakian yang sempat ditutup pun kembali dibuka untuk menyambut malam tahun baru. Sementara di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Gunung Rinjani akan menjadi lokasi andalan wisatawan untuk menghabiskan pengujung 2019 (Kompas.id, 29/12/2019, Gunung Jadi Lokasi Favorit).

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO 

Guguran lava pijar dari Gunung Merapi terlihat dari Desa Kemiren, Srumbung, Magelang, Jawa Tengah, Selasa (23/5/2023) dini hari. Pada pukul 00.00-06.00 terjadi guguran lava pijar sebanyak 26 kali dengan jarak luncur maksimum 2.000 meter ke arah barat daya. Gunung Merapi berstatus Siaga.

Pada masa pandemi, giat pendakian gunung sempat meredup. Berbagai kegiatan yang menimbulkan kerumunan dibatasi, sementara kawasan-kawasan pendakian ditutup untuk mendukung kebijakan tersebut. Meski begitu, animo masyarakat terhadap pendakian bukan berarti sirna.

Terbukti, usai pembatasan dilonggarkan, industri wisata gunung kembali diserbu. Mengacu pada situs resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada 2022, kunjungan wisata alam ke kawasan konservasi mencapai 5,29 juta orang, dengan perincian 5,1 juta wisatawan domestik dan 189 ribu wisatawan mancanegara. Angka tersebut meningkat hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya, dimana kunjungan wisatawan domestik sebesar 2,9 juta orang dan wisatawan mancanegara 12 ribu orang.

Direktur Wisata Minat Khusus Kementerian Parisiwata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Itok Parikesit mengatakan, sesuai laporan Adventure Travel Trade Association, terdapat sepuluh tren aktivitas petualangan pada 2023 yang diprediksi paling diminati masyarakat secara global. Masuk dalam urutan pertama adalah mendaki/trekking.

Itok juga menjelaskan bahwa minat masyarakat dalam mendaki gunung terus mengalami peningkatan. “Mendaki gunung yang tahun sebelumnya berada di urutan ketiga, sekarang berada di peringkat pertama. Ini artinya minat masyarakat untuk mendaki gunung naik,” katanya. Bahkan untuk menjawab peningkatan ini, pemerintah telah mengembangkan sistem pendaftaran berbasis daring untuk pendaftaran kunjungan pendakian (Kompas.id, 27/9/2023, Seluruh Pendakian Gunung Akan Menggunakan Tiket Daring).

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Anggota padepokan seni Tjipta Boedaja dan komunitas Mantra Gula Kelapa melakukan panembrama dalam rangkaian kegiatan Merti Gunung di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Magelang, Jawa Tengah, Jumat (10/2/2023). Panembrama berupa nyanyian penghormatan dilakukan antara lain sebagai wujud syukur sekaligus memberi penghormatan kepada alam di sekitar lereng Gunung Merapi tersebut.

Mendaki Gunung sebagai Kultur Populer

Tingginya animo masyarakat modern terhadap aktivitas pendakian gunung tidak lepas dari situasi kontemporer yang melatarbelakanginya. Hanne Svarstad, dalam artikel akademik Why Hiking? Rationality and Reflexivity Within Three Categories of Meaning Construction, menjelaskan bahwa kegiatan mendaki gunung menyembuhkan rasa keterasingan diri yang dialami para pendaki yang ia teliti.

Dalam sistem kerja yang begitu terspesialisasi, manusia acap tersingkirkan dari perasaan “memiliki”. Kerja dan aktivitas hariannya yang terbatas membuat dirinya tidak dapat secara penuh merasakan kepemilikan, termasuk pada barang atau jasa yang ia produksi sendiri. Manusia modern pun merasakan kekosongan dan keterasingan, terutama dari kebutuhannya untuk menjalin suatu rasa kepemilikan yang hangat.

Menurut Svarstad, hal ini lantas diperoleh melalui pendakian gunung. Melalui aktivitas tersebut, dalam interaksi yang dekat dengan alam, para pendaki pun akan mengembangkan perasaan memiliki, atau menjadi bagian sebagai pemilik, dari alam yang masih asri dan menyejukkan.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Suasana Jazz Gunung Bromo yang menampilkan Mus Mujiono Feat Sweetswingnoff di Amfiteater Jiwa Jawa Resort, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jumat (21/7/2023). Jazz Gunung Bromo yang berlangsung dari 21-22 Juli menghadirkan 12 penampil.

Selain itu, masyarakat modern juga berdiri di atas fondasi kultur konsumerisme dan tempo kehidupan yang bergerak begitu cepat. Kedua hal ini mendorong manusia untuk secara konstan berada dalam tekanan akan kehidupan yang serba cepat, serba berubah, dan serba didorong untuk menjadi “eksis” lewat sikap konsumtif. Dalam tataran demikian, pendakian justru memberikan jarak pada kecenderungan-kecenderungan tersebut.

Saat berkemah, manusia justru dihadapkan pada kehidupan yang sangat sederhana. Makanan begitu seadanya dengan perlengkapan yang juga seadanya. Disimpulkan oleh Svarstad, potensi demikian membuat pendakian menjadi kesempatan rekreasi yang sangat baik. Secara khusus untuk menjadi performa fisik dan mental dalam kehidupan urban.

KOMPAS/AGUNG SETYAHADI 

Hamparan kebun sayur di Desa Sembalun Bumbung, Sembalun, Lombok Timur, yang berada di kaki Gunung Rinjani, menjadi daya tarik wisatawan dari berbagai daerah untuk berwisata, selain aktivitas petualangan mendaki Gunung Rinjani serta berkemah di sejumlah bukit di sekitarnya. Selain menjadi tujuan wisata andalan di Nusa Tenggara Barat, Sembalun merupakan sentra penghasil sayur mayur terbesar di provinsi itu. Foto diambil pada Jumat (30/6/2023).

Penelitian Svarstad ini dlakukan dengan mengambil sampel para pendaki di Norwegia. Meski begitu, Svarstad menekankan bahwa rekreasi pendakian gunung merupakan tren yang terus meningkat secara internasional di berbagai negara. Dengan latar belakang masyarakat yang mewarnainya, Svarstad menekankan bahwa pendakian gunung telah berkembang sebagai aktivitas rekreasi populer – suatu budaya popularitas tersendiri.

Ariel Heryanto, dalam buku Identitas dan Kenikmatan, memahami budaya populer sebagai bentuk-bentuk wacana yang diproduksi dan dimaknai secara massal dan komersial dengan terus berupaya menjangkau sebanyak mungkin konsumer, secara khusus dalam konteks hiburan. Artinya, dalam konteks budaya populer, ada proses memasok komoditas untuk menjadikan masyarakat sebagai konsumen.

Oleh karena kesederhanaan dan kemudahannya, konsumsi budaya populer cenderung dilakukan dengan tidak mendalam. Citra– apalagi dengan kehadiran media sosial – menjadi tujuan utama yang ingin dicapai untuk membuktikkan diri tetap eksis dan telah melakukan konsumsi budaya populer.

Di Indonesia, selain melalui media sosial, pendakian gunung sebagai budaya populer juga kian diramaikan oleh film, novel, dan acara petualangan di televisi. Sebut saja salah satunya film petualangan “5 Cm” yang rilis pada 2012 lalu. Produk-produk media populer ini kian memicu keinginan masyarakat luas untuk mendaki gunung (Kompas, 4/2/2017, Penjaga Kebersihan Gunung).

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO 

Bekas lahan yang terbakar di puncak Gunung Andong terlihat dari Desa Jogoyasan, Ngablak, Magelang, Jawa Tengah, Jumat (11/8/2023). Kebakaran terjadi sehari sebelumnya di kawasan hutan lindung di petak 27-3 dan petak 26c, pada ketinggian sekitar 1.800 meter di atas permukaan laut (mdpl) dan menghanguskan areal seluas 24,3 hektar di Gunung Andong. Jalur pendakian ke Gunung Andong ditutup sementara pascakejadian itu.

Sebagai budaya populer, pendakian gunung pun rentan mengalami reduksi makna. Berbagai dampak positif yang diusungnya seperti kebebasan dan penyegaran batiniah serta menjalin keterhubungan dengan alam, sebagaimana disampaikan Svarstad yang berisiko tereduksi, atau bahkan hilang, ketika pendakian dipandang semata sebagai sebuah tren populer yang wajib dijalani atas nama eksistensi diri.

Apalagi dengan kehadiran media sosial, pendakian gunung diwarnai dengan dorongan terhadap gembar-gembor citra. Distribusi wacana atas pendakian dilakukan atas nama popularitas semata. Hasilnya, aktivitas yang terbentuk pun cenderung tidak mendalam, sebab hanya menjadi wujud pengejaran citra semata.

Ancaman dan Pelestarian Gunung

Zhipeng Liu dkk., menyoroti risiko akan masalah popularitas tersebut. Melalui artikel akademik Effects and Functional Mechanisms of Serious Leisure nn Environmentally Responsible Behavior of Mountain Hikers, mereka menyoroti dampak ekologi pegunungan yang terdegradasi akibat aktivitas pendakian dalam skala masif.

Dipaparkan Zhipeng Liu dkk., meski hampir seluruh pendaki mengunjungi gunung karena daya tarik ekologi, namun tidak semuanya memiliki kesadaran ekologis. Masalah sampah dan pembuangannya menjadi problem teraktual dalam isu gunung yang ditemukan dari titik-titik perkemahan, hingga puncak Gunung Everest.

Di Indonesia, tepatnya di Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat, sampah dengan mudahnya ditemukan sepanjang jalur pendakian. Pantauan Kompas pada Juli 2021 menunjukkan mudahnya menemukan sampah pada jalur pendakian Sembalun, termasuk di pos-pos yang digunakan pendaki untuk istirahat. Sembari istirahat, para pendaki memang cenderung mengonsumsi asupan bekal yang telah mereka siapkan. Banyak yang tidak mengumpulkan sampah mereka dan memasukkannya kemballi ke dalam tas bawaan.

Untuk menjawab permasalahan itu, dilaksanakanlah kegiatan Rinjani Clean Up by Green Rinjani with Benjamin Nortega”. Hasilnya, selama tiga hari kegiatan (7-9 Juli 2021), berhasil terkumpul 1,6 ton sampah dari jalur pendakian Sembalun. Mayoritas sampah yang terkumpul merupakan sampah plastik, botol kaca, dan gas kaleng (Kompas, 24/7/2021, Demi Rinjani Bebas dari Sampah Pendaki).

Kembali merujuk pada Zhipeng Liu dkk., terdapat korelasi yang signifikan antara keseriusan pendaki dalam melakukan rekreasi (serious leisure) di gunung berbanding lurus dengan sikap tanggung jawab terhadap lingkungan. Penelitian mereka menunjukkan bahwa semakin serius seseorang dalam melaksanakan pendakian, semakin tinggi pula sikap kepedulian pada lingkungannya. Tingkat keseriusan ini diukur dari enam variabel, yakni ketekunan, karir, usaha, hasil, etos unik, dan identifikasi diri.

Mereka yang melaksanakan pendakian dengan serius cenderung mampu memperoleh rasa memiliki atau ikatan yang lebih mendalam dengan alam. Selain itu, mereka juga akan melakukan pendakian dengan usaha dan kegigihan yang lebih, untuk lagi-lagi mendorong rasa tanggung jawab dan kepemilikan yang lebih besar. Sebaliknya, apabila pendakian dilakukan oleh kelompok yang memang semata mencari kesenangan atau kepuasan kasual, cenderung akan menunjukkan tanggung jawab ekologis yang lebih minimal.

Hal serupa turut disampaikan oleh Ragil, pendiri Trashbag Community. Bersama kawannya, Irvan Nugraha, Ragil mengamati meningkatnya fenomena kegemaran hobi pendakian gunung. Sayangnya, antusiasme itu tak diimbangi edukasi memadai.

“Mereka nonton atau membaca soal pendakian, lalu berpikir, wow, naik gunung itu keren. Tanpa berpikir panjang, mereka pergi,” katanya. Dampaknya, anak muda lantas berbondong-bondong mendaki dan sampah di gunung pun semakin menumpuk. Belum lagi golongan berada yang tak mau ketinggalan, dengan menyewa porter untuk membawakan barang-barang mereka.

“Pertengahan Oktober 2011, saya mendaki Gunung Merbabu di Jawa Tengah. Waktu tidur, saya benar-benar berbaring di atas hamparan sampah,” kata Ragil. Bahkan di puncak Merbabu, para pendaki akhirnya berfoto hanya dengan potret dari pinggang ke atas, karena di bawahnya sampah begitu bertebaran. Kemirisan inilah yang lantas mendorong Ragil untuk mendirikan komunitas peduli sampah (Kompas, 4/2/2017, Penjaga Kebersihan Gunung).

Atas berbagai situasi yang ada inilah, upaya kesadaran masyarakat menjadi variabel yang penting untuk mendorong sekaligus memulai gerakan pemeliharaan ekosistem gunung. Dengan segala potensi dan kekayaannya, menjaga keasrian kawasan hutan menjadi hal yang mutlak harus diwujudkan. Pada titik inilah, pelaksanaan Hari Gunung Internasional menjadi sangat relevan dalam konteks Indonesia.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO 

Embusan angin kencang membuat abu vulkanik dari Gunung Merapi beterbangan di Dusun Stabelan, Desa Tlogolele, Selo, Boyolali, Jawa Tengah, Senin (13/3/2023). Salah satu dusun terdekat dengan puncak Gunung Merapi itu kembali terguyur hujan abu akibat erupsi gunung tersebut sejak tiga hari terakhir. Warga diminta menggunakan masker untuk mengurangi risiko gangguan pernafasan akibat abu vulkanik Gunung Merapi.

Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam peringatan tersebut adalah bergabung dengan diskusi daring melalui tagar #MountainsMatter. Melalui tagar tersebut, yang dapat ditemukan di platform-platform media sosial, masyarakat dapat mengikuti presentasi, diskusi, dan eksibisi foto maupun poster terkait pentingnya ekosistem gunung.

Selain itu, di Indonesia, juga telah dapat disaksikan berbagai gerakan kelingkunganan yang fokus pada isu-isu pegunungan. Selain Trashbag Community yang didirikan oleh Ragil pada 2011, juga terdapat Kelompok Pengelola Ekowisata (KPE) Dentong di Desa Tompo Bulu, Sulawesi Selatan.

KPE merupakan bentuk kerja sama pengelola kawasan wisata Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, tempat Gunung Bulusaraung berada, dengan masyarakat lokal. Pelibatan masyarakat lokal dilakukan untuk memastikan kelestarian kawasan tetap terjaga, sekaligus memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat.

KPE melakukan pengawasan dan evaluasi semua aktivitas dalam eksositem gunung, terutama untuk menjaga kelestarian flora dan fauna. Aturan pendakian di Gunung Bulusaraung pun dibuat cukup ketat, terutama terkait sampah. Pengunjung diharuskan untuk membawa turun sampah bekas kemasan makanan. Pengelola ekowisata secara rutin sebulan sekali naik ke gunung untuk mengecek kebersihan kawasan. Pengunjung tak dibolehkan menginap berhari-hari di gunung untuk mencegah potensi kerusakan lingkungan.

Beberapa tahun belakangan, pengunjung Gunung Bulusaraung terus meningkat. Pada 2018 saja, jumlah pengunjung meningkat hingga dua kali lipat dari periode lima tahun sebelumnya yang paling banyak hanya dikunjungi 100 orang per minggu. Bahkan dalam momen tertentu, seperti peringatan HUT Kemerdekaan dan Hari Sumpah Pemuda, jumlah pendaki bisa mencapai 1.000 orang sepanjang periode tersebut.

Meski begitu, berkat kedisplinan dan kesadaran ekologi, lingkungan Gunung Bulusaraung tetap terjaga. “Salah satu yang membuat kupu-kupu dan burung serta hewan lain masih mudah dijumpai di kawasan ini karena alamnya masih terjaga,” kata Anggota Staf Pengendali Ekosistem Hutan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Taufik Ismail (Kompas.id, 27/4/2019, Kawasan Terjaga, Masyarakat Berdaya).

Akhirnya, KPE di Desa Tompo Bulu, narasi kisah Ragil sebagai pendiri Trashbag Community, dan situasi populer gunung di Indonesia menjadi pesan-pesan penting yang harus diusung, secara khusus dalam menyambut Hari Gunung Internasional 2023. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Artikel Akademik
  • Högger, R., Messerli, B., & Stone, P. (1992). Mountain Agenda — UNCED 1992. Schweizerisches Jahrbuch für Entwicklungspolitik No. 11, 235-242.
  • Liu, Z., Yang, T., Yi, C., & Zhang, K. (2023). Effects and functional mechanisms of serious leisure on environmentally responsible behavior of mountain hikers: Mediating effect of place attachments and destination attractiveness. Journal of Outdoor Recreation and Tourism Volume 45, 1-11.
  • Svarstad, H. (2010). Why Hiking? Rationality and Reflexivity Within Three Categories of Meaning Construction. Journal of Leisure Research, Volume 42, No.1, 91-110
Buku
  • Heryanto, A. (2018). Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Arsip Kompas
Internet