Paparan Topik | Lingkungan

Dampak Kemarau dan Kekeringan Panjang

El Nino berdampak pada musim kemarau dan kekeringan panjang di Indonesia. Sementara, kemarau panjang berimbas pada ketersediaan air, sektor pertanian, perekonomian, dan keseimbangan lingkungan.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Warga bersiap membawa air bersih yang didistribusikan oleh Markaz Bersama Assunnah di Kampung Cihanjuang, Desa Ridogalih, Kecamatan Cibarusah, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Minggu (10/9/2023). Dalam empat bulan terakhir desa tersebut mengalami kekeringan dan krisis air bersih. Warga hanya mengandalkan bantuan air bersih dari relawan lewat truk tangki.

Fakta Singkat

  • Pada 2023, musim kemarau yang berlangsung panjang dan ekstrem dibarengi dengan fenomena El Nino.
  • El Nino adalah fenomena pemanasan suhu muka laut di atas kondisi normal di kawasan Samudra Pasifik bagian tengah. Pemanasan tersebut menciptakan efek samping penurunan curah hujan di berbagai wilayah, termasuk Indonesia.
  • Dalam kemarau ekstrem, curah hujan bisa mencapai kategori “sangat rendah” hingga 0–10 milimeter per dasarian (10 hari).
  • Sejumlah kekeringan ekstrem telah diderita oleh masyarakat Indonesia, utamanya pada tahun 1848–1849, 1962–1963, 1972–1973, 1982–1983, 1997–1998, 2015–2016, 2019, dan terakhir pada 2023 ini.
  • El Nino terparah terjadi pada kekeringan panjang tahun 1982–1983, 1997–1998, dan 2015–2016 yang ditandai dengan nilai Oceanic Nino Index (ONI) 2°C atau lebih.
  • Kekeringan panjang pada tahun 1982–1983 menyebabkan bencana karhutla pertama di Kalimantan Timur, dengan mencapai luasan terbakar 2,7 juta hektare.
  • Kekeringan panjang pada 1997–1998 berdampak pada lonjakan harga beras hingga 300 persen dan bencana karhutla di lebih dari 9,7 juta hektare kawasan hutan.
  • Akibat kekeringan panjang tahun 2015–2016, terjadi defisit air sebanyak 20 miliar meter kubik di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Lahan pertanian basah juga berkurang hingga 111 ribu hektare.
  • Kekeringan panjang pada tahun 2023 mengancam 70 persen kabupaten/kota di seluruh Indonesia (dari total 511 kabupaten/kota yang dipetakan BNPB).

Setelah terakhir ramai diperbincangkan pada 2019, bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) kembali menjadi momok luas pada tahun 2023 ini. Ribuan titik karhutla silih berkobar di berbagai wilayah di seluruh Indonesia. Wilayah-wilayah yang terbakar utamanya adalah yang memiliki kesatuan hidrologis gambut (KHG) di dalamnya.

Mengacu Kompas.id (2/11/2023, “Karhutla di Palangkaraya Belum Usai, Udara Kembali Tidak Sehat”), hingga awal November 2023, sudah terjadi 4.154 kebakaran dengan luas area yang terbakar mencapai 11.543 hektare. Sementara data Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran (BPBPK) yang didasarkan pada citra satelit, menunjukkan 18.058 hektar terbakar dengan total 64.069 titik api.

Situasi demikian berdampak langsung pada masyarakat. Hasil usaha mereka, dalam bentuk kebun atau ladang, terbakar habis. Rencana panen batal setelah pohon-pohon sawit hingga karet musnah dilalap api. Belum lagi, masalah kesehatan yang mengancam. Kabut asap menjadi objek baru yang setia mengelilingi tubuh. Sebagai contoh, kabut asap bertahan hingga hampir satu minggu di Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

Situasi karhutla demikian dilanggengkan oleh tingginya tingkat kemarau pada tahun 2023 ini. Minggu-minggu tanpa hujan berdampak pada lahan-lahan yang kering. Dalam periode yang panjang, terutama dalam lingkup KHG yang sudah rusak, kemarau menciptakan lahan yang kering dan membuka potensi besar bagi terjadinya bencana karhutla, kelaparan, dan kemiskinan.

KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN

Pengendara sepeda motor melintas di jembatan apung yang menghubungkan Kecamatan Batujajar dan Kecamatan Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Kamis (12/10/2023). Jembatan ini berada di atas Sungai Citarum dan menjadi jalan alternatif masyarakat untuk mempersingkat waktu perjalanan. Kemarau panjang yang terjadi di Kabupaten Bandung Barat membuat sungai Citarum mulai mengering. Sampah dan dasar sungai Citarum terlihat akibat kekeringan tersebut. Kemarau akibat fenomena El Nino ini diperkirakan akan terjadi hingga Oktober 2023.

Situasi Kemarau di Indonesia

Masifnya kasus-kasus karhutla di berbagai daerah dalam waktu serempak merupakan hubungan yang linear dengan panjangnya musim kemarau dan kekeringan yang melanda. Kian panjang durasi kemarau dan kekeringan tersebut, maka semakin besar pula potensi bencana karhutla yang terjadi.

Serempaknya peristiwa bencana karhutla menunjukkan adanya fenomena kemarau yang terjadi secara merata di seluruh Indonesia. Secara umum musim kemarau terjadi pada rentang bulan April hingga Desember, sedangkan musim hujan terjadi pada bulan Oktober sampai dengan Maret.

Musim kemarau disebabkan oleh curah hujan yang minim. Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan bahwa indikator musim kemarau adalah ketika dalam tiga dasarian berturut-turut nilai curah hujan kurang dari 50 milimeter. Curah hujan yang berbeda di berbagai wilayah disebabkan oleh letak geografis yang bervariasi dan faktor cuaca setempat yang tidak sama.

Pada taraf yang normal, hadirnya musim kemarau membawa dampak positif terhadap sektor pertanian. Intensitas hujan yang sedikit memberikan banyak manfaat dalam proses pembuahan tanaman yang baik. Situasi intensitas hujan yang tinggi cenderung lebih menggagalkan proses pembuahan daripada situasi tanpa hujan sama sekali. Dampaknya, petani pun mampu meraup hasil panen yang lebih besar.

Namun demikian, musim kemarau dalam intensitas dan jangka waktu yang ekstrem dapat memberikan kerugian yang begitu besar. Sebelumnya, telah dijelaskan bagaimana bencana karhutla terjadi sebagai akibat kekeringan panjang. Selain itu, dampak negatif juga muncul dengan gersangnya lahan-lahan pertanian dan usaha perikanan masyarakat, sehingga berdampak negatif pada sektor ekonomi. Belum lagi masalah kesehatan akibat langkanya air bersih.

Kemarau panjang yang ekstrem disebabkan oleh hadirnya fenomena iklim El Nino – yakni fenomena pemanasan suhu muka laut di atas kondisi normal di kawasan Samudra Pasifik bagian tengah. Pemanasan yang diakibatkan tersebut lantas menimbulkan konsentrasi pertumbuhan awan di area tersebut.

Efek sampingnya, curah hujan di wilayah Indonesia dan sekitarnya pun menurun signifikan. Musim kemarau yang disertai El Nino akan memicu bencana kekeringan melalui rendahnya curah hujan. Dalam waktu dua bulan atau lebih, sangat mungkin masyarakat tidak mengalami hujan sama sekali. Curah hujan pun dapat diprediksi sangat rendah, yakni berkisar 0–10 milimeter/dasarian.

Pada tahun 2023 ini, BMKG memprediksi kemarau akan lebih kering dalam tiga tahun terakhir akibat hadirnya fenomena El Nino dan pemanasan global. Dengan melemahnya intensitas La Nina, beberapa wilayah di Indonesia pun dengan segera mengalami musim kemarau yang lebih cepat. Termasuk dalam wilayah tersebut adalah  Sumatera Utara, sebagian wilayah Jawa, sebagian kecil Bali, sebagian Nusa Tenggara Timur, sebagian Kalimantan, dan sebagian Sulawesi.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Ketua Kelompok Tani Setia Asih, Unda Suhanda (76) berdiri disamping bendera kuning dan spanduk berisi trauma kegagalan panen di Desa Karangsetia, Kecamatan Karangbahagia, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (17/10/2023). Petani merugi Rp 10 juta untuk satu hektare areal sawah mulai dari pembibitan, pemupukan dan biaya buruh tani. Kegagalan panen ini adalah yang terparah dalam 10 tahun terakhir.

Fenomena El Nino

El Nino terjadi sebagai akibat dari interaksi antara permukaan laut dan atmosfer di wialyah Samudera Pasifik. Perubahan suhu muka laut yang terjadi di wilayah ini berdampak pada atmosfer di atasnya, yang pada kelanjutannya kembali mempengaruhi suhu dan arus laut melalui mekanisme umpan balik atmosfer-laut. Sistem hubungan atmosfer-laut ini berosilasi antara kondisi hangat dan netral.

Siklus demikian biasanya terjadi setiap 3 sampai 4 tahun dan berdampak pada pola iklim global dalam rentang waktu yang sama tersebut. Meski begitu, hadirnya siklus El Nino juga kerap mengalami variasi, misalnya pernah terjadi dalam rentang siklus 2-7 tahun.

Rata-rata rentang waktu keberlangsungan fenomena El Nino adalah 9-12 bulan. Namun demikian, sangat mungkin terjadi bahwa fenomena tersebut berlangsung dalam waktu yang lebih lama.

Saat keadaan normal, air laut bersuhu rendah bergerak naik di wilayah pantai Amerika Selatan yang berdekatan dengan Ekuador dan meluas ke Perairan Peru. Bersamaan dengan itu di atmosfer dikenal juga dengan angin yang disebut Angin Pasat Timuran (Walker Circulation) dan aliran air laut yang bergerak dari timur ke barat.

Aliran tersebut sedikit berbelok ke utara di belahan bumi utara dan menuju selatan di belahan bumi selatan. Penguapan di Samudra Pasifik akan secara nyata meningkatkan kelembaban udara di atmosfer, sehingga Angin Pasat Timuran dapat menyebabkan awan hujan muncul di wilayah di Samudra Pasifik Barat, Indonesia, dan Australia Utara.

Kemudian saat kondisi El Nino, suhu muka laut di Pasifik Timur Ekuator naik di atas rata-rata. Air laut bersuhu rendah yang mengalir di Pantai Selatan Amerika dan Pasifik timur menjadi hilang. Suhu yang lebih tinggi mengurangi tekanan udara di atas permukaan laut, sehingga udara cenderung bergerak naik dan turun di wilayah yang lebih dingin.

Sedangkan, suhu muka laut yang lebih dingin di perairan Pasifik Barat menyebabkan tekanan udara di atasnya menjadi tinggi, dan udara juga cenderung bergerak turun dan bergerak ke daerah dengan tekanan lebih rendah. Akibatnya, angin akan bergerak ke timur di atas permukaan laut Pasifik Barat equator, mendorong massa udara yang mengandung uap air di atas Australia, Indonesia, dan wilayah sekitarnya, yang secara langsung mengurangi kemungkinan hujan.

Angin Monsoon adalah angin yang berhembus secara periodik 6 bulan sekali dengan arah berlawanan. Pada saat yang bersamaan, setiap bulan Oktober-April matahari berada di bumi belahan selatan yang mengakibatkan Benua Australia mengalami musim panas.

Selanjutnya, angin muson Australia bergerak dari Benua Australia menuju Benua Asia yang membawa sedikit uap air karena melewati gurun pasir di wilayah utara Australia dan laut yang sempit. Dampak dari pergerakan ini adalah musim kemarau di wilayah Indonesia.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Salah satu warga memastikan sumurnya masih menyimpan sisa cadanngan air untuk kebutuhan mereka di Desa Kalikayen, Kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Senin (11/9/2023). Beberapa wilayah di Jawa Tengah dalam beberapa bulan ini mengalami kekeringan dan sebagian wilayah membutuhan pasokan air bersih. Pengiriman bantuan air bersih mulai dilakukan di beberapa kabupaten antara lain Boyolali, Grobogan, Wonogiri, Pati, dan Semarang.

Sejarah Kemarau Panjang di Indonesia

Kemarau panjang adalah konsekuensi pasti dari hadirnya El Nino. Dengan lokasi Indonesia yang berada di wilayah tropis, kemarau dan kekeringan panjang telah terjadi bahkan sejak era kerajaan-kerajaan tradisional dan masa penjajahan. Salah satu kekeringan terparah pra-kemerdekaan adalah pada tahun 1848/1849 – dengan masyarakat sebagai kelompok yang paling terdampak.

Mengacu pada buku Sejarah Irigasi di Indonesia 1 karya Abdullah Angoedi, kemarau panjang dan berturut-turut di kedua tahun tersebut menyebabkan kegagalan panen tanaman rakyat. Masyarakat pun kehilangan sumber-sumber pangan, sementara kemiskinan berdampak pada habisnya uang untuk membeli bahan pokok.

Begitu parahnya dampak kekeringan sehingga timbulah apa yang disebut sebagai “bala kelaparan”. Terjadi kelaparan dalam luasan yang masif, bahkan menyebabkan kematian hingga lebih dari 200.000 orang di Pulau Jawa saja. Itupun belum termasuk kematian temak, yang tak sempat diungsikan dari daerah kekeringan.

Angoedi mencatat bahwa peristiwa ini, berikut dengan segala penampakan mengerikan yang ditimbulkan pada masa itu hingga menjadi sorotan surat kabar, menjadi lembaran hitam dalam sejarah kekuasaan pemerintah kolonial Belanda.

Kehadiran mereka menjadi isu sendiri, yang dianggap melakukan pembiaran sekaligus memperburuk situasi masyarakat akibat tekanan dari program Tanam Paksa – yang menyebabkan masyarakat meninggalkan perhatian pada tanaman pangan dan terfokus pada tanaman ekspor.

Meninggalkan masa penjajahan, masyarakat Indonesia pun tetap mengalami kekeringan panjang dalam berbagai kesempatan – yang mana juga selaras dengan kehadiran fenomena El Nino di masing-masing tahun kemarau.

Tercatat, sejak 1945, terdapat kekeringan hebat pada tahun 1962/1963, 1972/1973, 1982/1983, 1997/1998, 2015/2016, dan terakhir pada 2019. Dari kejadian-kejadian tersebut, tercatat bahwa El Nino “sangat kuat” – ditandakan dengan Oceanic Nino Index (ONI) bernilai 2oC atau lebih – terjadi pada tahun 1982/1983, 1997/1998, dan 2015/2016.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Kartinah (54) menaiki bukit dengan menggendong jeriken berisi air yang diambil dari mata air di Dusun Butuh, Desa Candirejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Selasa (3/10/2023). Warga dusun itu mengalami kekeringan akibat kemarau sehingga harus mengambil air dari luar desa.

Kekeringan tahun 1962/1963 menjadi awal fenomena kekeringan pasca kemerdekaan. Kekeringan moderat sempat terjadi pada tahun-tahun selanjutnya, sebelum akhirnya mencapai situasi kekeringan panjang yang begitu buruk pada tahun 1972/1973 dengan kedatangan El Nino yang tergolong kuat.

Masyarakat pun menjadi kelompok yang paling terdampak situasi cuaca ini. Pada tahun 1972, masyarakat di daerah Cirebon, Jawa Barat sampai berani membeli air leding seharga Rp 500 per pikulnya. Sementara di Desa Sumurkondang dan Desa Seuseupan, Cirebon, harga air sungai mencapai Rp 250 sepikul. Bagi penduduk, lebih baik membeli air mahal daripada mati kehausan.

Tak hanya itu, bisnis masyarakat pun terganggu. Suhu air kolam untuk pembiakan bibit ikan di beberapa tempat di Bogor, Jawa Barat, mencapai 39 derajat celcius. Dampaknya, banyak benih-benih ikan yang mati. Bahkan separuh dari kolam perikanan penduduk mengalami kekeringan.

Pada siklus tahunan 1982/1983, angin monsun yang bergerak melewati Pasifik Tengah membawa kekeringan di Indonesia selama 10 bulan berturut-turut. El Nino tahun ini tergolong sangat kuat dengan nilai ONI – sebagai indeks yang mengukur suhu permukaan laut dan menjadi parameter bagi fenomena El Nino dan La Nina – mencapai nilai lebih dari 2. Sementara untuk tingkat El Nino kategori kuat saja minimal bernilai 1,5.

Sebagai dampaknya, kekeringan hebat pada tahun ini berdampak pada terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang begitu luas. Bencana kebakaran terburuk terjadi di wilayah Kalimantan Timur, dengan mencapai luasan 2,7 juta hektar. Dari bencana tersebut, tercatat kerugian ekonomi mencapai Rp 6 triliun rupiah (Kompaspedia, 4/10/2023, Jejak Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia).

Kekeringan hebat terjadi kembali pada tahun 1997/1998. Menurut  laporan Indonesia Country Study oleh Pusat Pengendalian Bencana Asia (ADPC), El Nino tahun 1997/1998 memiliki dampak sosial dan ekonomi yang besar. Pada sektor agrikultur dan pangan, sebagian besar wilayah Indonesia mengalami kekeringan ekstrem, yang menyebabkan kekurangan produksi beras secara besar-besaran.

Anomali curah hujan pada tahun 1997/1998 menyebabkan penurunan luas area tanam padi sebesar 380.000 hektar, atau setara dengan 3,4 persen lebih rendah dari musim hujan sebelumnya. Dampaknya, yang turut memperparah situasi pangan pada saat itu,  terjadi lonjakan harga beras hingga sekitar 300 persen yang bersinggungan dengan krisis ekonomi 1997.

Peta kekeringan yang terjadi pada 2016. Sumber: BNPB

Pada sektor kehutanan, lebih dari 9,7 juta hektar kawasan hutan rusak karena kebakaran. Meski kebakaran terjadi akibat proyek industrial Orde Baru saat itu yang giat membuka wilayah hutan gambut, namun luasan kebakaran kian parah dengan kekeringan yang melanda.

Akibat kebakaran hutan tersebut, terjadi gangguan kabut asap yang merembet ke negara tetangga. Di tahun ini, El Nino yang merembet ke permasalahan lingkungan menjadi perhatian global (Kompaspedia, 4/10/2023, Jejak Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia).

Selain itu kekeringan 1997/1998 turut meningkatkan kasus malaria di wilayah pegunungan. Artikel akademik Fenomena El Nino dan Pengaruhnya yang ditulis oleh Syahbudin mengungkap, kemarau yang panjang meningkatkan jumlah populasi nyamuk malaria.

Dampaknya, kerentanan akan ancaman malaria merebak ke berbagai kawasan – baik melalui bertahannya jumlah nyamuk dan penularan manusia yang harus turun gunung untuk mencari air bersih.

Setelah 17 tahun lamanya, kekeringan hebat kembali terjadi pada periode 2015/2016 sebagai akibat dari El Nino yang berkepanjangan dan tergolong sangat kuat. Awalnya, El Nino 2015/2016 ini diprediksi akan menyerupai tahun 1997/1998. Namun Indian Ocean Dipole (IOD) masih dalam kondisi netral (dalam nilai -0,5 sampai 0,5), maka dampak bagi Indonesia tidak akan seburuk tahun 1997/1998 sebelumnya.

Mengutip dari situs resmi Bureau of Meteorology, IOD merupakan perbedaan suhu permukaan laut antara dua area atau kutub yang kemudian disebut sebagai dipole.  Kutub barat berada di Laut Arab (Samudra Hindia bagian barat) dan kutub timur berada di Samudra Hindia bagian timur di sebelah selatan Indonesia. IOD mempengaruhi iklim Australia dan negara-negara di sekitar cekungan Samudra Hindia selain itu juga faktor utama perubahan curah hujan di daerah tersebut.

BMKG mencatat bahwa kemarau panjang yang memicu kekeringan lahan menimbulkan kebakaran hutan dan lahan serta bencana asap. Hingga Juli 2015, sebanyak 16 provinsi diantaranya 102 kabupaten/kota dan 721 kecamatan di Indonesia mengalami kekeringan. BMKG mencatat bahwa di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara mengalami defisit air sebanyak 20 miliar meter kubik. Selain itu juga berdampak pada sektor pertanian dengan berkurangnya lahan pertanian basah sebesar 111 ribu hektar.

Peta kekeringan pada 2019. Sumber: BNPB

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutan (KLHK) mencatat total area yang terbakar sebanyak 2,6 juta hektar dengan tiga wilayah terbakar intensitas tinggi yaitu Sumatera Selatan (646.299 hektar), Kalimantan Tengah (583.833 hektar), dan Papua (350.005 hektar) (Kompas.id, 4/10/23, Jejak Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia).

El Nino kemudian terjadi lagi tahun 2019, namun El Nino tahun 2019 tergolong lemah. Mengutip dari situs BMKG Dwikorita Karnawati mengungkapkan bahwa “Secara umum, kemarau 2019 lebih kering dari kemarau 2018 dan acuan normal klimatologis 1981–2010, tetapi tidak lebih kering dari musim kemarau 2015 saat El Nino kuat terjadi”.

Meskipun tergolong lemah kemarau tahun 2019 memicu kekeringan yang berdampak pada sektor pertanian, kehutanan, dan lingkungan. Kemarau panjang tahun 2019 terjadi lebaih dari 90 hari tidak turun hujan di wilayah Jawa, Bali , dan Nusa Tenggara.

Pada tahun 2023 ini, masyarakat di seluruh Indonesia kembali dihadapkan pada fenomena El Nino. Kedatangan musim kemarau yang lebih panjang pada 2023 ini telah diingatkan oleh BMKG melalui Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG A. Fachri Rajab.

Melalui acara Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) yang diselenggarakan bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika pada Juli 2023 lalu, Fachri mengungkap bahwa Pemantauan 10 hari terakhir Juli 2023, indeks El Nino-Southern Oscillation (ENSO) menunjukkan nilai sebesar +1.14. Hal ini mengindikasikan El Nino terus menguat intensitasnya sejak awal Juli.

“Di Indonesia, El Nino memberikan dampak pada kondisi lebih kering sehingga curah hujan berkurang, tutupan awan berkurang, dan suhu meningkat,” kata Fachri dalam acara yang bertajuk Waspadai Dampak El Nino tersebut. Hasil monitoring hingga pertengahan Juli 2023, sebanyak 63 persen dari zona musim telah memasuki musim kemarau.

BMKG pun memprediksi bahwa kemarau tahun ini akan lebih kering dari normalnya-dan juga lebih kering dari tiga tahun sebelumnya. Turut diprediksi pula bahwa puncak dampak El Nino akan terjadi pada Agustus-September 2023 mendatang. Fenomena El Nino pada 2023 berdampak pada pemanasan suhu muka laut hingga 60 persen dan akan menyebabkan kekeringan di Indonesia hingga Oktober 2023.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Warga Dusun Kalitlawah, Ngaren, Juwangi, Boyolali, Jawa Tengah, antre mendapatkan air bersih yang dibagikan secara gratis oleh pemuda karang taruna setempat, Kamis (14/9/2023). Musim kemarau berkepanjangan menyebabkan warga sudah lebih dari dua bulan terakhir ini kesulitan mendapatkan air bersih.

Kemarau Panjang Tahun 2023

Prediksi Kemarau 2023

BMKG melaporkan bahwa awal musim kemarau 2023 di wilayah Indonesia terjadi pada kisaran April-Juni 2023 di 430 wilayah Zona Musim (ZOM) atau setara dengan 61,52 persen dari seluruh ZOM yang berjumlah 699 zona. Musim kemarau 2023 lebih maju dan lebih hebat dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebagai akibat dari kehadiran El Nino.

Pada awal musim kemarau 2023 ini, sebagian besar wilayah memproyeksikan kemajuan tersebut. Kemarau datang lebih awal di 289 ZOM (41,34 persen). Wilayah lain diproyeksikan sama dengan waktu normal, yakni 200 ZOM (28,61 persen). Terdapat pula 95 ZOM (13,59 persen) yang mengalami keterlambatan waktu kemarau.

Puncak musim kemarau 2023 diperkirakan terjadi pada bulan Juli dan Agustus 2023. Periode ini akan dialami 507 ZOM (72,53 persen) di sebagian besar wilayah di seluruh Indonesia, dengan lama durasi 9-20 dasarian di 355 ZOM. Sementara untuk wilayah lain, musim kemarau diperkirakan maju di 185 ZOM (26,47 persen) dan mundur dari normal sebanyak 112 ZOM (16,02 persen).

Perkiraan kemarau 2023 terus berubah seiring dengan panjangnya siklus kemarau pada tahun ini. Badan Atmosfer dan Kelautan Nasional (NOAA) dari Amerika Serikat menyebutkan bahwa 95 persen kemungkinan El Nino akan berlangsung hingga Februari 2024 dengan dampak ilkim yang luas (Kompas.id, 22/8/23, El Nino Menyebabkan Kekeringan hingga Oktober). Hal ini akan berdampak pada mundurnya awal musim hujan di sebagian besar wilayah Indonesia, terutama di 446 ZOM (63,81 persen).

Dampak Kemarau

Mengutip dari (Kompas.id, 28/9/23, Bencana Kekeringan yang Makin Meluas di Indonesia) menyebutkan bahwa imbas dari kemarau panjang berdampak pada kekeringan yang meluas termasuk minimnya ketersediaan air baik untuk domestik, pertanian, perekonomian, dan lingkungan. Kekeringan melanda beberapa provinsi di Pulau Jawa, Bali, Sulawesi, dan Nusa Tenggara.

Kemarau panjang menyebabkan beberapa wilayah di Indonesia mengeluarkan status siaga darurat kekeringan karena kondisi memprihatinkan.  Wilayah tersebut adalah Kabupaten Lombok Utara, Kabupaten Manggarai Barat, Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Garut, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cimahi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Demak, Kabupaten Cilacap, dan Kabupaten Serang.

Indeks Risiko Bencana Kekeringan 2016 dan 2019

 

No.

2016

2019

Kabupaten/Kota (Provinsi)

Indeks

Kabupaten/Kota (Provinsi)

Indeks

1

Cianjur (Jawa Barat)

250.00

Maluku Barat Daya (Maluku)

223.30

2

Garut (Jawa Barat)

238.00

Majene (Sulawesi Barat)

216.08

3

Sukabumi (Jawa Barat)

231.20

Kota Gunungsitoli (Sumatera Utara)

215.60

4

Lumajang (Jawa Timur)

231.20

Purworejo (Jawa Tengah)

215.20

5

Tasikmalaya (Jawa Barat)

224.80

Pandeglang (Jawa Barat)

215.20

6

Halmahera Selatan (Maluku utara)

224.40

Lebak (Banten)

215.20

7

Maluku Barat Daya (Maluku)

223.20

Mandailing Natal (Sumatera Utara)

214.80

8

Majene (Sulawesi Barat)

221.20

Nias (Sumatera Utara)

214.00

9

Malang (Jawa Timur)

219.20

Nias Utara (Sumatera Utara)

214.00

10

Jember (Jawa Timur)

219.20

Halmahera Selatan (Maluku utara)

213.82

Tabel 1: Perbandingan 10 Kabupaten/Kota Dengan Indeks Risiko Bencana Kekeringan Tertinggi Pada El Nino Tahun 2016 dan 2019 (Sumber: BNPB).

Selain itu kemarau panjang berisiko menimbulkan bencana kekeringan di Indonesia secara luas. Dari 511 kabupaten/kota yang dipetakan BNPB berdasarkan Indeks Risiko Bencana, 70 persen di antaranya memiliki risiko besar mengalami kekeringan. Dari jumlah tersebut, 371 kabupaten/kota di antaranya memiliki indeks risiko tinggi bencana kekeringan – situasi yang serupa dengan kekeringan pada 2019 silam.

Pada sektor pertanian kegagalan panen padi dirasakan oleh masyarakat di Kabupaten Sukabumi. Kekeringan mengancam belasan hektare lahan pertanian terutama di Kecamatan Jampang Tengah. Selain itu, kekeringan juga melanda lahan pertanian di Kabupaten Bekasi. BPBD Kabupaten Bekasi menyebutkan seluas 16.353 hektar lahan terdampak gagal panen dengan total lahan yang terancam adalah 3.618,5 hektar.

Kegagalan panen berdampak pada kerugian ekonomi. Kondisi demikian seperti yang diutarakan oleh Daniel Johan Anggota Komisi IV DPR RI dalam rilisnya mengungkapkan, “kerugian yang ditimbulkan akibat gagal panen cukup besar sehingga petani kesulitan untuk menanami kembali lahan pertaniannya karena tidak ada modal”. Kegagalan tersebut tidak hanya berdampak pada sektor lokal saja, namun juga berimplikasi pada perekonomian negara dengan berkurangnya pendapatan ekonomi masyarakat.

Selain itu, panjangnya fenomena El Nino juga berdampak pada menurunnya suplai listrik dari sumber Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dalam jumlah yang signifikan. Berbagai wilayah di Provinsi Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah pun harus menerapkan kebijakan pemadaman bergilir. Dalam situasi El Nino 2023, PLTA hanya mampu memproduksi listrik hingga 200 megawatt. Sementara dalam situasi normal, produksi listrik mencapai 800 megawatt.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Warga mengambil air dari ceruk pada dasar sungai yang kering di Dusun Bogor Krajan, Desa Bojong, Wonosegoro, Boyolali, Jawa Tengah, Senin (4/9/2023). Kemarau membuat warga dusun itu mengalami krisis air dan sebagian harus membeli air bersih dengan harga Rp 5.000 per jeriken berkapasitas 50 liter. Warga berharap pemerintah mengaktifkan kembali fasilitas Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) yang telah dibangun di dusun itu namun tidak berfungsi.

Upaya Menghadapi El Nino

Mengacu kembali pada situs BNPB, Kepala Badan Nasional Penanggulan Bencana (BNPB) Suharyanto menjelaskan BNPB telah menyiapkan dua langkah untuk menghadapi kekeringan akibat El Nino. Pertama, mengimbau daerah untuk memastikan ketersediaan air di wilayah-khususnya di daerah yang diprediksi akan mengalami kekeringan cukup signifikan.Mitigasi yang dilakukan ialah memastikan ketersediaan air dengan cara menampung air hujan yang saat ini masih terjadi.

Pun, BNPB bekerjasama dengan BMKG dan BRIN juga telah melakukan rekayasa menurunkan hujan melalui teknologi modifikasi cuaca (TMC) untuk mengairi danau, embung, sungai, dan sumur. “Kami juga membuat sumur bor baru sehingga apabila kekeringan datang dengan lebih besar dan dahsyat air ini bisa digunakan masyarakat,” kata Suharyanto. Langkah kedua, mewaspadai terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

BNPB telah melakukan apel kesiapan dan kesiapsiagaan di enam provinsi prioritas rawan karhutla seperti Sumsel, riau, Jambi, Kalbar, Kalsel, dan Kalteng. Saat ini pasukan darat sudah melakukan kesiapsiagaan dan pembaharuan alat untuk melakukan operasi pemadaman. “Jika kebakaran membesar, BNPB sudah menyiapkan 31 unit helikopter untuk melakukan water bombing,” kata Suharyanto.

Terakhir, dampak El Nino tidaklah main-main dan tentunya BMKG tidak bisa bekerja sendirian. Dibutuhkan kerjasama antar stakeholder baik kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dan masyarakat untuk saling berperan dan bergandeng tangan untuk meminimalisir dampak dari fenomena kekeringan akibat El Nino tahun ini. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Asian Disaster Preparedness Center (ADPC). (2000). Indonesia Country Study. Pathumthani: Asian Disaster Preparedness Center (ADPC).
  • Badan, Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. (2020). Tanya Jawab: La Niña, El Niño dan Musim di Indonesia. Jakarta: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika.
  • Komite Nasional Indonesia. (1984). Sejarah Irigasi di Indonesia 1. Jakarta: International Commission on Irrigation and Drainage (ICID).
Artikel Akademik
  • Syahbudin, B. (2000). Fenomena El Nino dan Pengaruhnya. Jurnal Lapan: Berita Dirgantara Majalah Ilmiah Semi Populer. Hlm 25-29.
  • Tongkukut, S. H. (2011). El Nino dan Pengaruhnya Terhadap Curah Hujan Di Manado Sulawesi Utara. Jurnal Ilmiah Sains. Hlm. 102-107.
Arsip Kompas
Internet
Jurnal
  • Perserikatan Bangsa-Bangsa. (1997). Indonesia Forest Fires September-November 1997. United Nations Disaster Assesment and Coordinator Team.
  • Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian; Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional; Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2017). Grand Design: Pencegahan kebakaran hutan, kebun dan lahan 2017-2019. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional.