Paparan Topik | Banjir Informasi

Banjir Informasi: Ladang Subur Tumbuhnya Hoaks

Banjir informasi menarik segenap perhatian penerimanya. Dengan keterbatasan perhatian yang dapat diberikan, penerima informasi cenderung memilih informasi yang paling membuatnya nyaman sehingga rentan terhadap hoaks.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Para pemuda yang tergabung dalam Gerakan Pemuda Islam Indonesia menggelar aksi deklarasi Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 Damai di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, (25/3). Aksi tersebut mengajak masyarakat untuk mendukung Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 yang damai dengan menolak segala kampanye hitam, ujaran kebencian, dan berita bohong atau hoaks.

Fakta Singkat

Banjir Informasi

Situasi ketika pengguna informasi gagal memproses informasi lebih lanjut karena banyaknya informasi yang masuk, baik dari sisi jumlah maupun volume.

  • Hoaks: informasi bohong.
  • Disinformasi: informasi yang keliru, tetapi orang yang membagikan informasi tersebut meyakini bahwa informasi tersebut benar.
  • Disinformasi: informasi yang keliru dan orang yang membagikan informasi tersebut mengetahui bahwa informasi tersebut keliru dan dengan sengaja menyebarkannya.
  • Malinformasi: informasi yang benar dan berdasarkan realitas. Akan tetapi, informasi ini dibagikan dengan tujuan untuk segaja mencederai pihak lain, baik orang, organisasi, maupun suatu negara, bukan dengan maksud baik untuk kepentingan publik.

Internet Indonesia 2021

  • Pengguna: 202,6 juta (73,7%)
  • Pengguna medsos: 170 juta (61,8%)

Perkembangan internet tak hanya menempatkan penggunanya sebagai konsumen informasi, tetapi juga membawa serta kemudahan produksi informasi. Siapa pun dapat menjadi produsen informasi dan menerbitkannya melalui internet. Pada gilirannya, produksi informasi tersebut memunculkan fenomena banjir informasi.

Persoalan muncul ketika setiap informasi berkompetisi untuk mendapatkan perhatian penerimanya. Padahal, manusia sebagai penerima informasi memiliki keterbatasan dalam memberikan perhatian terhadap setiap informasi yang diterimanya. Oleh karena itu, dalam situasi banjir informasi, penerima informasi cenderung akan memilih informasi yang paling membuatnya nyaman.

Informasi yang nyaman bagi manusia dapat berupa informasi yang relevan dengan pekerjaan, dengan situasi yang sedang dihadapi, hingga informasi yang menegaskan hal yang sudah mereka yakini sebelumnya. Kenyamanan dalam mengonsumsi informasi tersebut semakin dipermudah dengan munculnya rekomendasi yang bersifat personal baik dari mesin pencari maupun media sosial yang digunakan.

Baik mesin pencari maupun media sosial memberikan layanan personal bagi pengguna berdasarkan data preferensi masa lalu penggunanya. Di satu pihak, hal tersebut memudahkan penggunanya mendapatkan rekomendasi informasi yang diinginkan. Di pihak, lain, hal tersebut mengotakkan pengguna dalam ruangan dengan informasi homogen sesuai dengan preferensi yang pernah diambil.

Selain menempatkan pengguna dengan preferensi homogen sesuai minat mereka, banjir informasi juga memunculkan informasi yang disebut sebagai hoaks, fake news, atau berita bohong. Dalam hal ini, istilah hoaks digunakan untuk merujuk pada merujuk pada fenomena penyebaran informasi keliru secara luas, terlepas dari apakah orang dengan sengaja atau tidak dalam membagikan informasi tersebut.

Baca juga: Badai Hoaks di Era Banjir Informasi

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Maraknya berita bohong (hoaks) di media sosial menjadi keprihatinan warga yang dituangkan melalui mural di kolong jembatan di kawasan Rawa Buntu, Tangerang Selatan, Banten, Minggu (20/6/2021). Selain merevisi Pasal 27, 28, 29, dan 36, pemerintah mengusulkan penambahan satu pasal baru dalam Undang Undang Informasi Transaksi Elektronik, yakni Pasal 45C yang mengatur terkait penyebaran berita bohong.

Definisi dan penyebab banjir informasi

Penggunaan istilah banjir informasi (information overload) di abad 20 dapat ditelusuri salah satunya dari karya Bertram Gross, seorang profesor ilmu politik pada tahun 1964. Gross mendefinisikan banjir informasi dalam tulisannya The Managing of Organization sebagai situasi saat “jumlah input suatu sistem melebihi kapasitas pemrosesannya”. Konsekuensi dari situasi banjir informasi adalah menurunnya kualitas suatu keputusan.

Istilah tersebut kemudian dipopulerkan oleh Alvin Tofler, seorang penulis dan futuris, dalam bukunya Future Shock pada tahun 1970. Menurutnya, banjir informasi akan membuat seseorang kesulitan untuk mengambil keputusan.

Secara umum, banjir informasi dapat dipahami sebagai sebuah situasi ketika pengguna informasi gagal memproses informasi lebih lanjut karena banyaknya informasi yang masuk, baik dari sisi jumlah maupun volume.

Kedua tokoh tersebut menghubungkan istilah banjir informasi dengan kemampuan pengguna dalam memproses suatu informasi dan menghasilkan suatu keputusan. Dengan sedikit atau tanpa informasi, seseorang tak memiliki bahan untuk diproses sehingga menghasilkan suatu keputusan yang terbatas. Sebaliknya, ketika informasi yang diperoleh meningkat, meningkat pula kemampuan memproses informasi dan kualitas keputusan yang dihasilkan.

Akan tetapi, sampai dengan batas tertentu, seorang penerima informasi dapat kewalahan dalam memproses informasi karena banyaknya informasi yang diterima.  Akibatnya, akan berkurang pula kemampuanya dalam memutuskan sesuatu. Oleh sebab itu, informasi yang diterima di luar kemampuan seseorang untuk memprosesnya akan berakibat buruk bagi penerima. Akibat buruk tersebut antara lain membuat seseorang kebingungan hingga membuat seseorang tidak dapat menentukan prioritas.

Martin J. Eppler dan Jeanne Mengis, dalam penelitiannya yang diterbitkan dalam jurnal The Information Society, menganalisis lima penyebab banjir informasi. Kelima penyebab tersebut dapat disederhanakan sebagai banyaknya sumber informasi, terlalu banyak jenis dan karakter informasi, kesulitan dalam menata informasi, informasi  yang tidak relevan atau tidak penting, serta kurangnya waktu untuk memahami informasi. Kelima penyebab tersebut tidak berdiri sebagai faktor tunggal, tetapi seringkali hadir berbarengan menghasilkan banjir informasi.

Banjir informasi yang terjadi dapat menimbulkan berbagai hal bagi penerimanya, mulai dari sedikitnya informasi yang dipahami, kelelahan, kecanduan informasi, memendeknya rentang perhatian, kurangnya berpikir jangka panjang, keputusan yang salah, hingga kurang perhatian terhadap saat ini.

Salah satu dampak banjir informasi, yakni keputusan yang salah, dapat terjadi akibat kontaminasi informasi yang diterima. Hal tersebut dapat berupa disinformasi, misinformasi, maupun malinformasi.

Istilah misinformasi merujuk pada informasi yang keliru, tetapi orang yang membagikan informasi tersebut meyakini bahwa informasi tersebut benar. Sementara itu, istilah disinformasi merujuk pada informasi yang keliru dan orang yang yang membagikan informasi tersebut mengetahui bahwa informasi tersebut keliru. Dalam disinformasi, terjadi kesengajaan untuk membohongi atau memberikan informasi yang keliru tersebut kepada orang lain.

Istilah ketiga ialah malinformasi. Berbeda dengan dua istilah sebelumnya, malinformasi merujuk pada suatu informasi yang benar dan berdasarkan realitas. Akan tetapi, informasi ini dibagikan dengan tujuan untuk sengaja mencederai pihak lain, baik orang, organisasi, maupun suatu negara, bukan dengan maksud baik untuk kepentingan publik. Contoh dari malinformasi adalah pemberian informasi pribadi seseorang yang dibagikan kepada publik tanpa izin pribadi tersebut dan tanpa justifikasi kepentingan publik yang jelas. Malinformasi seperti itu melanggar standar dan etika jurnalisme.

Bentuk dan sifat berita bohong

Berangkat dari ketiga definisi di atas, suatu berita bohong dapat dikelompokkan dalam tujuh bentuk atau gabungan dari ketujuhnya.

  1. Satir atau Parodi
    Informasi disajikan dalam bahasa yang dilebih-lebihkan dengan maksud secara ironis dan lucu mengkritik pihak tertentu. Satir atau parodi ini mungkin awalnya tidak dimaksudkan untuk mencederai citra pihak yang digambarkan dengan satir atau parodi tersebut, tetapi potensi pencederaan tersebut tetap ada.
  1. Konten Menyesatkan
    Suatu informasi tertentu yang benar dibagikan dan menghasilkan kesimpulan yang keliru.
  1. Salah Menghubungkan Info
    Menghubungkan info yang tidak sepenuhnya berkaitan dapat terjadi secara sengaja ataupun tidak sengaja. Secara sengaja, misalnya suatu berita menggunakan judul yang sensasional (clickbait atau umpan klik), gambar, maupun kutipan yang tidak sepenuhnya beriatan dengan hal yang sedang diberitakan dengan maksud memang untuk menimbulkan sensasi atau menyudutkan pihak tertentu.
  1. Konteks Keliru
    Informasi yang diberikan memang tidak sepenuhnya keliru, tetapi penggalan informasi tersebut dibagikan dengan konteks yang keliru atau dibuat-buat guna mencederai pihak tertentu.
  1. Konten Dimanipulasi
    Berita jenis ini mengandung sepenggal informasi yang benar atau foto yang benar tetapi lalu dibungkus dengan informasi lain yang dibuat-buat untuk membohongi pihak tertentu atau mencederai pihak tertentu.
  1. Konten Gadungan
    Dalam hal ini, berita dibuat seolah-olah resmi mewakili sumber tertentu yang secara umum dipercaya oleh masyarakat. Hal ini tentu saja merupakan bentuk kesengajaan. Konten gadungan seperti ini bisa membuat logo atau tampilan yang mirip dengan sumber resmi tersebut.
  1. Berita Rekaan
    Berita bohong jenis ini sepenuhnya dibuat-buat dan dengan sengaja dimaksudkan untuk menipu pihak lain atau mencederai pihak tertentu.

Di Indonesia, terdapat beragam bentuk berita bohong yang sering diterima masyarakat. Survei Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) 2019 menunjukkan bahwa hoaks yang sering diterima masyarakat sebagian besar berkaitan dengan persoalan sosial-politik (dipilih 93,2% responden) dan isu SARA (dipilih oleh 76,2% responden). Tema berita bohong lain yang juga banyak diterima para responden adalah berita kesehatan (dipilih oleh 40,7% responden) dan makanan-minuman (dipilih oleh 30% responden). Angka tersebut konsisten dari survei serupa yang dilakukan pada tahun 2017 dan mengkonfirmasi validitas data tentang tema berita bohong yang sering diterima masyarakat.

Berita bohong pada dasarnya mudah meluas di masyarakat karena informasi hoaks umumnya bersifat mengagumkan atau sensasional hingga membuat penerimanya merasa perlu untuk menyebarkan kembali informasi tersebut kepada orang lain tanpa terlebih dulu melakukan konfirmasi atas kebenarannya. Faktor lain yang penting dan sering terjadi juga adalah karena informasi tersebut merupakan terusan dari orang terdekat atau orang yang dapat dipercaya sehingga para penerima informasi hoaks langsung berasumsi bahwa kabar tersebut benar adanya.

Sifat berita bohong di atas juga dikonfirmasi oleh hasil survei wabah hoaks yang diselenggarakan Mastel di tahun 2019. Ketika ditanya mengapa mereka meneruskan berita heboh, sebagian besar responden mengatakan bahwa berita tersebut diperoleh dari orang yang dapat dipercaya (43,5%). Selebihnya, sebesar 29,3 persen responden mengira bahwa informasi tersebut bermanfaat, sebesar 18,9 persen mengira berita tersebut benar, 3,7 persen menyebutkan ingin menjadi orang yang pertama memberitahu informasi heboh tersebut, dan ada pula sebesar 4,6 persen yang mengatakan bahwa mereka iseng meneruskan berita agar menjadi heboh.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Kaos sebagai sarana kampanye antihoaks atau berita bohong dikenakan jajaran pejabat Polda Metro Jaya saat mendeklarasikan gerakan antihoaks di Markas Polda Metro Jaya, Jakarta, beberapa waktu lalu (12/03/2018).

Dampak berita bohong

Berita bohong yang ikut berkembang bersama dengan informasi yang membanjir berdampak signifikan pada berbagai bidang.

Pada bidang politik, masyarakat bisa terpolarisasi ke dalam pandangan-pandangan politis yang saling berlawanan terutama pada momen-momen politik penting seperti pemilu. Hoaks dengan isu politik dapat menciptakan fanatisme dalam diri seseorang terhadap tokoh atau pihak yang didukung, seakan-akan pihak yang ia dukung tidak memiliki cela. Sementara, pihak lain atau oposisi amat buruk dan pantas dicaci. Nyatanya, disinformasi memang dijadikan sarana untuk memengaruhi pandangan politis masyarakat.

Potensi polarisasi masyarakat juga disebabkan karena efek filter bubble serta fenomena echo chamber. Efek filter bubble terjadi karena mekanisme algoritma media sosial yang mengarahkan pembaca pada konten yang serupa atau sejalan dengan minat mereka. Sedangkan echo chamber merujuk pada cara pengguna mendapatkan informasi dari orang-orang yang berpikiran sama. Situasi tersebut memperkuat munculnya bias dan memperkuat polarisasi dalam masyarakat.

Selain bidang politik, Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menjelaskan bahwa maraknya hoaks dapat membawa dampak ekonomi yang buruk. Dalam hal ini, hoaks dapat memengaruhi ekspektasi dan perilaku investasi yang bisa mengganggu kondusivitas ekonomi nasional sekaligus minat investor untuk berinvestasi di Indonesia.

Media sosial disinyalir memiliki peran kuat dalam fluktuasi atau naik-turunnya nilai pasar. Hoaks bisa menyebabkan anjloknya harga saham dan dapat pula menghancurkan reputasi bisnis perusahaan atau sektor tertentu.

Dalam bidang sosial dan media massa, berita bohong, entah itu misinformasi maupun disinformasi, bisa memunculkan rasa bimbang publik terhadap fakta-fakta dasar dari suatu peristiwa yang sedang marak terjadi yang pada gilirannya mengakibatkan penurunan kepercayaan masyarakat terhadap pemberitaan media. Hal tersebut dapat terjadi terutama ketika pandangan yang disajikan media tidak sesuai dengan pandangan pribadi atau preferensi pembaca. Lebih parah lagi, hoaks yang mengandung unsur SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) dapat menimbulkan perpecahan dalam masyarakat.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Warga melintasi mural berisi anjuran warga untuk hati-hati dengan hoaks di jalan layang Rawa Panjang, Kota Bekasi, Minggu (11/6/2021). Penyebaran berita hoaks dan perundungan siber yang tinggi menyebabkan Indonesia menjadi salah satu negara dengan tingkat keadaban yang rendah di dunia maya.

Internet di Indonesia 2021

Perkembangan pengguna internet dapat menggambarkan sekaligus konsumen dan produsen informasi. Semakin besar pengguna internet, semakin besar pula potensi informasi yang diproduksi dan informasi yang dikonsumsi.

DataRepoltal menyebutkan bahwa pada Januari 2021, pengguna internet di Indonesia mencapai 202,6 juta orang, meningkat sebesar 15,5 persen dibanding Januari 2020. Dengan total populasi sebesar 274,9 juta orang, penetrasi internet di Indonesia mencapai 73,7 persen.

Sedangkan, pengguna aktif media sosial di Indonesia mencapai 170 juta pada Januari 2021, meningkat 6,3 persen dari dibanding Januari 2020. Namun, penghitungan berdasarkan akun media sosial tidak menghilangkan kemungkinan kepemilikian seseorang terhadap lebih dari satu akun.

Di samping itu, DataReportal juga mencatat bahwa pada Januari 2021 terdapat 345,3 juta koneksi seluler di Indonesia, meningkat sebesar 1,2 persen dari Januari 2020. Dibanding dengan total penduduk Indonesia pada Januari 2021, data ini menunjukkan bahwa koneksi seluler di Indonesia mencapai 125,6 persen persen dari total penduduk. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa orang memiliki lebih dari satu koneksi seluler.

Data angka penggunaan internet dan sosial media serta koneksi seluler di Indonesia di atas secara tidak langsung menunjukkan tingginya potensi produsen dan konsumen informasi, termasuk produksi dan konsumsi berita bohong.  Pada saat yang sama, angka tersebut menunjukkan kerentanan terhadap dampak-dampak penyebaran berita bohong, baik itu di bidang politik, kebijakan publik, ekonomi, maupun sosial, sebagaimana telah dijelaskan di atas.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Warga membubuhkan cap tangan saat sosialisasi dan deklarasi Masyarakat Indonesia Anti Hoax di Hari Bebas Kendaraan Bermotor di Jakarta, Minggu (8/1/2017). Deklarasi yang juga dilakukan di lima kota lainnya di Indonesia itu bertujuan untuk membersihkan media sosial dari berita bohong alias hoaks.

Melawan berita bohong

Pemerintah di berbagai negara mengupayakan kebijakan yang beragam untuk mengatasi persoalan penyebaran berita, mulai dari pendirian lembaga pengamat penyebaran berita, penerbitan peraturan khusus terkait hoaks, hingga kebijakan edukasi terkait perlawanan terhadap berita bohong.

Sebagai contoh, Pemerintah Amerika Serikat mendirikan Global Engagement Center yang bertugas untuk mengenali, memahami, membongkar, sekaligus melawan disinformasi maupun propaganda dari negara asing maupun aktor nonpemerintah lainnya yang bermaksud merusak dan memengaruhi pengambilan kebijakan, keamanan dan stabilitas di Amerika Serikat, sekutunya, serta negara kerja sama lainnya. Sementara itu, Uni Eropa juga mendirikan Disinformation Review yang merupakan jaringan lebih dari 400 ahli, jurnalis, pejabat pemerintahan, organisasi nonpemerintah, dan thinktanks dari 30 negara dalam Uni Eropa. Organisasi ini bertugas melaporkan disinformasi kepada Uni Eropa dan publik.

Selain pendirian lembaga khusus yang bertugas menjaga arus informasi bersih dari berita bohong, kebijakan publik lain yang diterapkan di beberapa negara adalah pemberlakuan peraturan hukum khusus untuk mencegah beredarnya konten-konten ilegal. Di Jerman misalnya, terdapat German Network Enforcement Act. Peraturan perundang-undangan ini mengatur pemberian hukuman kepada pihak-pihak yang terlibat dalam konten-konten ilegal, bukan hanya pembuat konten melainkan juga penyebar konten tersebut. Hukum ini dimaksudkan untuk membuat perusahaan media sosial bertanggung jawab atas informasi yang disebarkan melalui media digital mereka dan tidak tinggal diam saja.

Solusi lain yang secara tidak langsung dapat digunakan untuk mengatasi penyebaran berita bohong adalah dengan membanjiri arus informasi dengan berita-berita yang benar atau berita-berita yang memberikan informasi lebih jelas, pendapat alternatif lain, serta konteks lebih luas dari isu-isu penting yang beredar. Dengan jalan itu, media sosial menyajikan lingkungan pemberitaan yang lebih luas dan kaya terhadap pemberitaan suatu isu. Model ini diterapkan oleh Facebook sejak 2017 melalui fitur atau “Artikel Terkait” yang disandingkan pada narasi-narasi yang kontroversial atau diperdebatkan.

Sementara itu, beberapa negara seperti Kanada, Italia, dan Taiwan (RRT) memerangi berita bohong dengan memperkenalkan kurikulum sekolah yang mengajarkan murid untuk membedakan sumber informasi palsu dari yang kredibel. Menteri Digital Taiwan, Audrey Tang yang merancang kebijakan ini di tahun 2017, menjelaskan bahwa situs-situs pelaporan berita bohong tidak cukup untuk membendung berita bohong dan media sosial tidak dapat diandalkan untuk mengelola arus informasi yang sangat cepat. Menurutnya, upaya perlawanan terhadap berita bohong memerlukan kemampuan setiap pribadi untuk membedakan sumber berita dan dengan segera mengidentifikasi apakah berita tersebut dapat dipercaya atau tidak. Kurikulum untuk anak lantas menjadi solusi pentingnya. Menteri Audrey Tang melihat kebijakan pendidikan antiberita bohong pertama di Asia ini amat penting bagi Taiwan karena maraknya disinformasi yang dimaksudkan untuk merusak tatanan demokrasi Taiwan.

Sementara di Indonesia sendiri, pemerintah bekerja sama dengan perusahaan raksasa teknologi seperti Facebook untuk melakukan pemblokiran dan pencabutan berita bohong. Menerima laporan dari masyarakat maupun langsung dari pemerintah, perusahaan media sosial seperti Facebook lantas memeriksa pemberitaan tersebut dan melakukan pencabutan atau bahkan pemblokiran terhadap akun terkait.

Di samping kerja sama tersebut, pemerintah juga telah menetapkan UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) (yang telah diubah oleh UU 19/2016) yang mengatur larangan penyebaran berita bohong dan hukuman pidana terkait. Selain itu, aturan terkait hoaks dan hukuman pidana atasnya dapat juga dilihat di Pasal 390 Pasal 390 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 14-15 UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, serta UU 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Di samping kebijakan-kebijakan pemerintah, gerakan-gerakan sosial melawan hoaks juga muncul dari masyarakat. Gerakan sosial tersebut menyediakan platform digital untuk memeriksa kebenaran berita, misalnya Forum Anti Fitnah, Hasut dan Hoax (FAFHH) di Facebook yang bergerak untuk saling memeriksa kebenaran fakta dari suatu berita. Gerakan tersebut dimotori oleh Mafindo (mafindo.or.id). Forum ini lantas mendirikan situs turnbackhoax.id yang merupakan arsip hasil diskusi pada FAFHH di Facebook.

Selain itu, Mafindo dalam kolaborasi bersama beberapa media daring yang tergabung di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), serta didukung oleh Google News Initiative, Internews, dan FirstDraft, mendirikan platform cekfakta.com pada tahun 2018. Situs ini menyediakan informasi hasil cek fakta terhadap pemberitaan-pemberitaan  media digital.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Warga melintasi mural yang dibuat untuk melawan penyebaran informasi palsu di masyarakat atau hoaks di Jalan KH Hasyim Ashari, Tangerang, Banten, Senin (22/2/2021).

Memerangi hoaks di level individu

Beberapa hal dapat dilakukan untuk memerangi berita bohong di level individu menurut Kominfo.

  1. Hati-hati dengan judul provokatif. Berita hoaks sering menggunakan judul yang sensasional. Oleh karena itu, setiap menjumpai berita dengan judul provokatif, pembaca perlu segera mencari referensi berita serupa dari situs daring yang resmi dan membandingkan isi pemberitaannya.
  2. Cermati alamat situs sumber berita. Sumber berita bisa jadi gadungan, meski alamat situs seakan-akan mirip. Akan tetapi bisa juga tautan membawa pada sumber berita resmi, tetapi isi berita yang dikutip telah dimanipulasi atau bisa juga diterjemahkan secara terbalik untuk sumber dari bahasa asing. Dewan Pers sendiri menyebutkan, di Indonesia terdapat sekitar 43.000 situs yang mengklaim sebagai portal berita, tetapi hanya 1.607 yang sudah terverifikasi oleh Dewan Pers sebagai situs berita resmi.
  3. Periksa fakta dan keberimbangan sumber berita. Jika hanya mendapat informasi dari satu sumber, terutama untuk isu yang penting, pembaca tidak bisa mendapatkan gambaran yang utuh, alih-alih malah mendapatkan perspektif yang bias. Selain itu, distingsi antara fakta dan opini juga penting. Fakta adalah peristiwa yang terjadi dengan kesaksian dan bukti. Sementara, opini adalah pendapat, penilaian, dan kesan dari penulis berita sehingga cenderung subjektif.
  4. Cek keaslian foto atau video. Selain judul yang provokatif, cara jitu hoaks dalam penyebarannya adalah menggunakan foto atau video yang seolah nyata dan betul menunjukkan hal yang sedang diberitakan. Secara praktis, cara untuk mengecek keaslian foto dapat dilakukan dengan menggunakan mesin pencari Google Images. Hal pencarian akan menyajikan gambar serupa dengan deskripsi terkait berdasar beragam sumber berbeda sehingga keaslian foto atau video dan ketepatan deskripsinya dapat diperiksa.
  5. Ikuti grup diskusi antihoaks. Pada grup diskusi antihoaks, masyarakat dapat ikut bertanya apakah suatu informasi benar atau keliru lalu menunggu klarifikasi dari orang lain. Dapat pula orang membagikan klarifikasi atas suatu berita bohong. Grup semacam ini berfungsi sebagai crowdsourcing dalam upaya melawan penyebaran hoaks.
  6. Laporkan berita atau informasi hoaks kepada otoritas media terkait. Untuk media sosial seperti Facebook, terdapat fitur Report Status yang dapat digunakan untuk melaporkan suatu informasi karena kontennya yang bersifat ujaran kebencian, pelecehan, intimidasi, disinformasi, misinformasi, dan kategori lainnya. Fitur feedback serupa dapat ditemukan pada media sosial lain, seperti Twitter dan Instagram, juga pada Google. Selain itu, warganet dapat pula mengadukan konten negatif langsung kepada Kemenkominfo melalui email [email protected].

Keenam hal di atas merupakan kontribusi yang dapat dibuat oleh tiap individu mengiringi kebijakan publik dari pemerintah untuk mengatasi peredaran hoaks dari arus informasi digital. (LITBANG KOMPAS)

Baca juga: Ironi Banjir Informasi di Mata Publik

KOMPAS/ HENDRA A SETYAWAN

Berita palsu atau bohong (hoaks) kini banyak bertebaran di dunia maya. Masyarakat diimbau dapat memilah berita asli dan berita hoaks dengan memverifikasi melalui sumber-sumber tepercaya.

Catatan Akhir

Perbuatan yang dilarang terkait penyebaran berita bohong dalam bab VII UU 11/2008

Perbuatan yang dilarang terkait penyebaran berita bohong dalam bab VII UU 11/2008

  1. Pasal 27 Ayat 1
    Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
  1. Pasal 27 Ayat 3
    Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
  1. Pasal 27 Ayat 4
    Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.
  1. Pasal 28 Ayat 1
    Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.
  1. Pasal 28 Ayat 2
    Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Referensi

Internet
Jurnal, Buku

Artikel Jurnal

  • Alemanno, A. 2018. “How to counter fake news? A taxonomy of anti-fake news approaches”. European Journal of Risk Regulation, 9(1), 1–5. https://doi.org/10.1017/err.2018.12

Buku

  • Ireton, C., & Posetti, J. (Eds.). 2018. Journalism, “fake news” and disinformation: A handbook for journalism education and training [E-book]. UNESCO. https://en.unesco.org/node/295874