Kronologi

Musisi dan Penyanyi Legendaris Indonesia

Nama besar musisi dan penyanyi Indonesia didapat karena kecintaannya pada musik dan kesetiaannya pada profesi yang digelutinya seiring dengan perkembangan musik Indonesia.

KOMPAS/NINOK LEKSONO

Acara mengenang Gesang diselenggarakan oleh Himpunan Artis Musik Keroncong Indonesia (Hamkri) di Gedung Kesenian Jakarta, Minggu (30/5/2010) malam. Pada acara itu tampil sejumlah artis keroncong, seperti Sundari Soekotjo dan kalangan remaja yang mulai mencintai keroncong.

Popularitas yang didapat para musisi dan penyanyi legendaris Indonesia tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sebagian besar dari mereka sudah memiliki darah seni sejak lahir yang diwarisi dari orang tuanya. Ada kalanya juga berawal dari hobi dan berlanjut dengan ketekunan berlatih dan kerja keras menggali ilmu di bidang musik. Ada juga yang awalnya dari keadaan ekonomi keluarga. Almarhum Didi Kempot, misalnya, berasal dari keluarga sederhana, dia bercita-cita ingin bisa menciptakan lagu seperti Bengawan Solo ciptaan sang maestro Gesang yang sangat terkenal dan mendunia. Didi menjual sepeda untuk membeli gitar yang ia pergunakan untuk mengamen dan mencipta lagu.

Lain lagi kisah Waldjinah, yang sedari kecil selalu bersenandung di saat sedang di kamar mandi. Waldjinah kecil juga selalu mendengar tembang macapat sebagai pengantar tidur yang dialunkan oleh sang ibu. Kebiasaan inilah yang menjadikan kakaknya mengajak Waldjinah untuk berlatih menyanyi hingga bisa tampil di tempat umum dan suaranya yang merdu digemari khalayak luas.

Ketekunan dan kerja keras dalam berlatih menyanyi dan memainkan alat musik membuahkan hasil dan dapat diterima penikmat musik Indonesia. Sejumlah festival dan lomba menjadi ajang untuk mengukur kualitas dan keterampilan yang sudah dimiliki. Tidak puas sampai di situ, dapur rekaman adalah langkah selanjutnya yang dituju. Album rekaman dibuat dan diedarkan ke pasar, lagi-lagi untuk mengukur seberapa banyak karyanya laku di pasaran.

Perjalanan karier bermusik, konsistensi, integritas, dan kesetiaannya pada profesi bidang musik, sudah sepantasnya kalau sebutan sang maestro, sang legenda musik melekat pada para pelaku seni ini. Karyanya dikenang sepanjang masa, bahkan ketika usia sudah tidak lagi muda, seperti halnya Waldjinah dan Titiek Puspa. Titiek Puspa tetap terus berkarya di tengah keterbatasan situasi pandemi dengan mencipta lagu dan aktivitas ringan di rumah.

Sang maestro berserta karya-karya musiknya akan tetap mendapat tempat di hati penggemar, walaupun kelak mereka sudah tiada.

Berikut beberapa catatan yang dirangkum dari Arsip Kompas tentang perjalanan karier bermusik Sang Maestro.

KOMPAS/JB SURATNO

  • Jack Lesmana (Jember, 18 Oktober 1930 — Jakarta, 17 Juli 1988)

Karier:

  • 1940 Jack Lesmana mulai belajar memainkan alat musik gitar klasik dengan seorang guru musik.
  • 1942 Jack Lesmana mulai berkecimpung dalam musik jazz dengan bermain “banjo” untuk kelompok jazz Dixieland Group di Jember.
  • 1946 Jack Lesmana mempunyai acara musik di RRI Surabaya bernama Jack Lesmana Quintet.
  • 1951 Jack Lesmana bersama dengan musisi jazz yang lain masuk Angkatan Laut yang bertugas untuk menghibur sesuai keahliannya bermain musik jazz.
  • 1967 Jack Lesmana bersama musisi lain yang tergabung dalam Indonesian All Stars mengadakan jazz tour ke beberapa negara Eropa.
  • 1969–1979 Jack Lesmana mengasuh acara Nada dan Improvisasi di TVRI. Selain itu juga mendirikan Sunday Jazz Club.

Jack Lesmana mendirikan Yayasan Forum Musik Jack & Indra Lesmana yang bertujuan untuk mengembangkan musik jazz di Indonesia. Untuk mendukung tujuan tersebut, Jack juga menulis buku Impro I dan Impro II yang dilengkapi dengan rekaman kaset. Buku ini diperuntukkan khusus bagi musisi dan peminat musik jazz dalam berimprovisasi dengan benar.

Sumber:

  • “Jack Lesmana” (Kompas, 17 Juni 1979 halaman 1)
  • “Jack “Jazz” Lesmana: Dedengkot Jazz Indonesia Telah Tiada” (Kompas, 18 Juli 1988 halaman 1)

THEODORE KS

Kwartet Jack Lesmana (bass), James Marrison (tiup), Karim (drum) dan Indra Lesmana (piano), dibantu Embong (flute) ketika membawakan Venus ciptaan Indra Lesmana di Teater Terbuka TIM Minggu malam (19/4/1981).

KOMPAS/HASANUDDIN ASSEGAFF

  • A Riyanto (Solo, 23 November 1943 — Jakarta, 17 Juni 1994)

Karier:

Karier A Riyanto sebagai pencipta lagu berawal pada 1966, pada saat penyanyi dan juga adik sepupunya, Tetty Kadi, membutuhkan lagu untuk rekaman piringan hitam perusahaan Remaco. Lagu ciptaannya, Si Kancil, Pulau Seribu, Teringat Selalu, dan Kura-kura ternyata sukses di pasaran. Sejak saat itu, A Riyanto memutuskan untuk total terjun di bidang musik.

Tahun 1967, A Riyanto membentuk grup band Empat Nada, yang bertahan selama empat tahun. Setelah itu, membentuk Favourites Group. Data yang tercatat di Yayasan Karya Cipta Indonesia ada sekitar 200 judul lagu ciptaan A Riyanto yang terdaftar. Dengan demikian A Riyanto berhak mendapatkan royalti setiap tahun atas lagu-lagunya tersebut. Ciri khas karya-karya A Riyanto adalah karakter dan harmoninya yang kuat, apapun tema lagu yang dibuatnya. Konsistensi dan integritasnya tercermin juga dari gigihnya A Riyanto melawan pembajakan lagu. Kecintaan akan musik dan profesinya itulah yang membuat A Riyanto dikenang sepanjang masa.

Penghargaan: BASF Award Legend (1993)

Sumber: “In Memoriam A. Riyanto: Perginya “Mawar Berduri” Bersama Angin …” (Kompas, 18 Juni 1994 halaman 20)

KOMPAS/SUMOHADI MARSIS

Kelompok musik pimpinan A Riyanto, Favourite’s Group dalam sebuah konsernya di Taman Ismail Marzuki, April 1973. Terlihat, paling depan adalah Mus Mulyadi gitaris sekaligus penyanyinya, dan di belakangnya A Riyanto di keyboards.

KOMPAS/NINOK LEKSONO

  • Pranawengrum Katamsi (Yogyakarta, 28 Maret 1943 — Jakarta, 4 September 2006)

Karier:

Pada masa kecilnya, Pranawengrum Katamsi justru awalnya menekuni tari dan belajar menari kepada koreografer Sasmito Mardowo. Sasmito juga mengajarkan Pranawengrum menabuh gamelan, gerongan dan belajar bowo (menyanyi lagu Jawa). Bakat menyanyinya ditemukan oleh Nathanael Daldjoeni, Kepala SMA BOPKRI II Yogyakarta, yang kemudian membimbingnya mengikuti lomba menyanyi jenis seriosa pelajar se-Indonesia dan mengantarkannya sebagai juara. Namanya semakin terkenal karena prestasinya beberapa kali menjadi juara Pemilihan Bintang Radio dan Televisi Nasional. Prawanengrum juga aktif  mengajar vokal dan melatih paduan suara. Bagi Pranawengrum, seorang penyanyi seriosa harus menguasai teknik pernapasan dan membutuhkan kekhasan suara. Pranawengrum dijuluki sebagai “Ibu Seriosa Indonesia”.

Penghargaan:

  • Penghargaan seni dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (1955)
  • Juara Lomba Bintang Pelajar se-Indonesia (1961)
  • Juara I Pemilihan Bintang Radio dan Televisi Nasional mewakili Yogyakarta  (1964, 1965, 1966, 1968)
  • Juara I Pemilihan Bintang Radio dan Televisi Nasional mewakili Jakarta (1974, 1975, 1980)
  • Piala WR Supratman

Sumber:

  • “Pranawengrum Katamsi: Penghargaan kepada Seorang Penyanyi Seriosa * Box” (Kompas, 5 Mei 1995 halaman 20)
  • “Obituari: Ibu Seriosa Indonesia Itu Telah Tiada” (Kompas, 5 September 2006 halaman 1)

KOMPAS/JOHNNY TG

Penyanyi Pranawengrum Katamsi (kiri) bersama putrinya Aning Katamsi di Pagelaran Konser 60 Tahun Titiek Puspa dengan judul ” Citra Karya Titiek Puspa” oleh RCTI di JHCC Jakarta. Diiringi oleh Orkes Fantasi Indonesia OFI yang diperkuat 74 orang pemusik dibawah arahan Dwiki Dharmawan (18/11/1997). Sebanyak 30 lagu ciptaan Titiek Puspa ditampilkan dengan berbagai irama.

KOMPAS/JOHNNY TG

  • Melky Goeslaw (Morotai, Maluku Utara, 7 Mei 1947 — Jakarta, 20 Desember 2006)

Karier:

Melky Goeslaw dikenal sebagai penyanyi dan penggubah lagu. Karya populer Melky pada 1970-an, antara lain, Hiroshima-Nagasaki dan Selamat Jalan Bang Ali. Pada awal 1980-an, lagu Melky yang sangat populer, yaitu Dansa Reggae yang dibawakan oleh Nola Tilaar. Melky juga menggubah lagu berbahasa Maluku, Gepe-Gepe dan Sio Mama. Pada 1987 Melky Goeslaw menjadi manajer petinju Ellyas Pical.

Penghargaan:

  • Melky Goeslaw menjadi juara Festival Lagu Pop Nasional (FLPN) dengan membawakan lagu Pergi Untuk Kembali (1975)
  • Tampil bersama Diana Nasution membawakan lagu Bila Cengkeh Berbunga dan Malam Yang Dingin di Festival Lagu Pop Nasional (FLPN) dan menjadi juara II (1977)

Sumber: “Obituari: Melky Goeslaw Telah Tiada” (Kompas, 21 Desember 2006 halaman 13).

KOMPAS/JIMMY S HARIANTO

 Suasana latihan terakhir di Balai Sidang, menjelang final Festival Pop Sabtu (24/September/1977) malam nanti. Dalam gambar, nampak duet Diana Nasution dan Melky Goeslaw.

KOMPAS/M CLARA WRESTI

  • Chrisye (Jakarta, 16 September 1949 — Jakarta, 30 Maret 2007)

Karier:

  • 1969 — Awal mula Chrisye menjadi penyanyi dengan bergabung kelompok band Gipsy. Chrisye bernyanyi tanpa ciri khas karena lebih sering memainkan lagu-lagu Barat sehingga semakin mirip dengan penyanyi asli dan dinilai semakin baik.
  • 1975 — Dalam album eksperimental Guruh Gipsy, Chrisye mulai sebebas-bebasnya melepaskan naluri bernyanyinya.
  • 1976–1982 — Chrisye menyanyikan lagu Lilin-Lilin Kecil ciptaan James F Sundah, dilanjutkan dengan merilis album rekaman, di antaranya Jurang Pemisah (1977), Badai Pasti Berlalu (1977), dan Sabda Alam (1978). Di semua albumnya, Chrisye selalu mempertahankan karakter dan ciri khasnya dalam bernyanyi.
  • 1983 — Chrisye mulai bersiasat berkompromi dengan mengikuti tren bermusik saat itu setelah album Pantulan Cinta (1981) tidak sesukses album-album sebelumnya.
  • 1986 — Keteguhan Chrisye mempertahankan karakter bernyanyinya menimbulkan masalah. Ada tuntutan untuk sedikit mengubah gaya bernyanyinya yang “diam” tanpa bergoyang sedikit pun. Chrisye mencoba melakukan sedikit perubahan saat tampil dalam video klip Aku Cinta Dia, Hip Hip Hura, dan Nona Lisa.
  • 1989 — Chrisye terus melakukan adaptasi sesuai perkembangan musik Indonesia dengan menggarap album Pergilah Kasih bersama Younky Soewarno.
  • 1993–2002 — Sejak 1993 hingga album terakhirnya Chrisye, digarap Erwin Gutawa. Erwin mempelajari gaya bernyanyi Chrisye untuk meluaskan kemungkinan musikalitas Chrisye. Lahirlah album seperti AkustiChrisye (1996), Kala Cinta Menggoda (1997), Badai Pasti Berlalu-Re Record (1999), sampai Dekade (2002).
  • 2004 — Chrisye merilis album rekaman Senyawa.

Penghargaan:

  • HDX dan BASF Award untuk penjualan kaset terbanyak album Aku Cinta Dia, Hip Hip Hura, Kisah Cintaku, dan Pergilah Kasih (1985, 1987, 1989)
  • HDX dan BASF Award untuk penjualan kaset terbanyak album Cintamu Tlah Berlalu (1992)
  • Penghargaan MTV Asia video klip Kala Cinta Menggoda (1998)
  • Penghargaan dari Anugerah Musik Indonesia (1998)

Sumber:

  • “Chrisye * Menjadi Penyanyi Bukan Pilihannya” (Kompas, 17 Oktober 1993 halaman 7)
  • “Obituari: Chrisye: Dari Lilin Kecil ke Badai: (Kompas, 1 April 2007 halaman 1).
  • “Mengenang Chrisye: Musisi Kaya Diskografi” (Kompas, 30 April 2007 halaman 40).

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG

Chrisye dan Sophia Latjuba berduet dalam Konser Dekade di Jakarta Convention Center, Sabtu (12 Juli 2003) malam. Mereka menyanyikan lagu Setangkai Anggrek Bulan.

KOMPAS/PRIYOMBODO

  • Gesang Martohartono (Solo, 1 Oktober 1917 – Solo, 20 Mei 2010)

Karier: Gesang adalah seorang penyanyi dan pencipta lagu. Lagu pertama yang diciptakannya berjudul Si Piatu (1938). Pada 1940, Gesang menciptakan lagu Bengawan Solo yang membesarkan namanya sebagai maestro musik keroncong Indonesia. Lagu Gesang lainnya di antaranya Sapu Tangan (1941), Tirtonadi (1942), Keroncong Pemuda Dewasa (1942), Jembatan Merah (1943), dan Sebelum Aku Mati (1962). Pada setiap kesempatan, Gesang berpesan kepada siapa saja untuk selalu melestarikan musik keroncong. Lagu Bengawan Solo menjadi lagu yang sangat populer hingga saat ini dan telah dialihbahasakan ke 13 bahasa asing, di antaranya Jepang, Mandarin, Inggris, dan Belanda.

Penghargaan:

  • Warga Kota Teladan dari Pemerintah Kota Surakarta (1973)
  • Piagam dari Komando Wilayah Pertahanan II (1976)
  • Piagam Hadiah Seni dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1977)
  • Penghargaan dari Stasiun TVRI Yogyakarta (1978)
  • Piagam penghargaan dari OISCA Internasional Indonesia (1978)
  • Jepang mendirikan Taman Gesang di dekat Bengawan Solo yang pengelolaannya didanai oleh Dana Gesang, yaitu sebuah lembaga yang didirikan untuk Gesang di Jepang (1983)
  • Penghargaan HUT PWI ke-39 dan HUT Museum Pers Nasional ke-6 (1985)
  • Penghargaan Wali Kota Surakarta dalam rangka Fespic Games IV (1986)
  • Bintang penghargaan dari Kaisar Akihito Jepang (1992)
  • Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma dari Presiden RI (1992)
  • Penghargaan khusus The Legend dalam Anugerah Musik Indonesia Samsung Awards (2004)
  • Penghargaan Spesial Achievement for a Lifetime dalam acara 1st Bali Music Award (2005)
  • Anugerah Solopos Award (2006)
  • Piala Metronome dari Persatuan Artis Penyanyi Pencipta Lagu dan Penata Musik Indonesia (2008)

Sumber:

  • “Senantiasa Hidup di Hati * Pesan untuk Terus Melestarikan Keroncong” (Kompas, 22 Mei 2010 halaman 1)
  • “Obituari: Gesang, Keroncong Pencatat Zaman” (Kompas, 21 Mei 2010 halaman 1)

KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR

Pada perayaan Hari Ulang Tahun ke-91 pencipta lagu Bengawan Solo, Jumat (3/10/08) di Solo, Gesang Martohartono bersama PT Gema Nada Pertiwi (GNP) meluncurkan album terbaru “Karya Emas Gesang” yang berisi lagu ciptaan Gesang yang juga dinyanyikan langsung Gesang. Tampak Gesang bersama Presiden Direktur GNP Hendarmin Susilo memegang foto cover VCD-DVD album Gesang.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

  • Elfa Secioria (Garut, 20 Februari 1959 — Jakarta, 8 Januari 2011)

Karier:

Elfa belajar piano sejak umur lima tahun, dan membentuk Trio Ivade pada umur sekitar 12 tahun. Pada 1976 bergabung dengan Jazz Band Sonata 47, berasal dari nama radio Sonata 47 Bandung tempat band itu berinduk. Semasa remaja, Elfa sering bermain musik di klub malam yang menjadikan kemampuan dan keterapilannya bermusiknya semakin terasah. Elfa menggarap komposisi dan aransemen untuk acara Telerama dan Chandra Kirana di TVRI. Grup Vokal Elfa’s Singer dibentuk Elfa pada 1978, menjadi grup yang sangat terkenal berkat asuhannya. Pada 1983, Elfa merambah ke festival lagu internasional di Budokan Hall,Tokyo, Jepang. Pada 1981, Elfa mendirikan Elfa Music Studio (EMS) di Bandung, yang kemudian berkembang ke Yogyakarta, Garut, Jakarta, Surabaya, dan Denpasar. Nama Elfa Secioria berkibar sebagai pembuat lagu, perancang aransemen, konduktor, dan pengarah musik, dengan mengantungi berbagai penghargaan di festival dalam dan luar negeri.

Penghargaan:

  • Penghargaan untuk lagu terbaik Seandainya Kita Selalu Satu dan Ayun Langkahmu pada Festival Lagu Pop (1986)
  • Elfa Music Studio sebagai duta Indonesia menjadi juara umum dalam Linz 2000 Choir Olympic di Austria (2000)

Sumber:

  • “Elfa Secioria * Melangkah ke Gerbang Internasional” (Kompas, 7 Februari 1993 halaman 7)
  • “Obituari: Elfa Secioria dalam Kenangan” (Kompas, 9 Januari 2011 halaman 15)

KOMPAS/RAKARYAN SUKARJAPUTRA

Tampil di Jamz, Jakarta, merupakan salah satu cara Elfa untuk mengukur diri sebelum tampil di North Sea Jazz Festival, Belanda, tanggal 14 Juli 1995 mendatang. Meskipun hanya sempat berlatih selama tiga minggu, duta jazz Indonesia itu menyajikan sesuatu yang baru untuk para penggemar jazz.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

  • Bubi Chen (Surabaya, 9 Februari 1938 — Semarang, 16 Februari 2012)

Sejak Kecil Bubi Chen sudah mengenal musik jazz walaupun sebenarnya Bubi menekuni musik klasik. Ayahnya, Tan Khing Hoo, adalah seorang pemain biola. Bubi adalah pianis yang berperan besar di dalam perkembangan musik jazz di Indonesia.

Karier:

  • 1950 Bubi Chen mendirikan kelompok musik Chen Trio.
  • 1955-1957 Bubi Chen mengikuti kursus musik tertulis pada Wesco School of Music di New York, Amerika Serikat.
  • 1967 Bubi Chen bersama musisi jazz lain yang tergabung dalam Indonesia All Stars mengadakan Jazz Tour ke beberapa negara di Eropa. Indonesian All Stars yang  tampil di Berlin Jazz Festival merupakan grup musik jazz pertama Indonesia yang tampil di kancah jazz internasional.

Penghargaan:

  • Majalah musik terkemuka Down Beat menjuluki Bubi Chen sebagai “Pianis jazz terbaik di Asia” (1967)
  • Bubi Chen mendapat penghargaan Diamond Achievement Awards 1995 dari De Beers, lembaga nirlaba untuk promosi berlian sedunia (1996)

Sumber: “Obituari : Dunia Musik Jazz Kehilangan Bubi Chen” (Kompas, 17 Februari 2012 halaman 15)

KOMPAS/PRIYOMBODO

Bubi Chen (kiri) dan Benny Likumahuwa memainkan lagu “Kota Ambon” di Ambon Jazz Plus Festival, Minggu (11/10/2009) di Ambon.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

  • Idris Sardi (Jakarta, 6 Juni 1939 — Depok, 28 April 2014)

Idris Sardi merupakan maestro biola Indonesia. Sejak usia 5 tahun, Idris sudah dididik keras oleh sang ayah, Mas Sardi, yang juga seorang violis. Idris menimba ilmu di Orkes Studio Djakarta dan merupakan lulusan Akademi Musik Indonesia.

Karier:

  • 1953 Idris Sardi menjadi concert master Orkes Studio Jakarta RRI Jakarta.
  • 1955 Idris bersama pianis Sudharnoto membentuk grup Sapta Nada yang memainkan lagu-lagu seriosa dan daerah dengan orkes gesek.
  • 1993 Konser khusus Idris Sardi dalam rangka HUT Harian Kompas ke-29. Saat itu Idris mengumumkan pengunduran dirinya dari panggung musik, yang mengundang reaksi menyesalkan atas keputusannya.
  • 1994 Idris menggelar Konser Gelar Pamit
  • 1996 Idris menerima tawaran menjadi pelatih satuan musik militer untuk 10 komando daerah militer (kodam) dan melatih sekitar 700 personel TNI AD. Bersamaan itu ia juga diangkat menjadi pemimpin Orkestra TNI AD dengan pangkat Letnan Kolonel CAJ.
  • 2003 Idris Sardi mengadakan konser besar di Jakarta sebagai perayaan ulang tahunnya ke-65 dan 50 tahun Idris berkarier sebagai violis profesional.
  • 2013 Idris tampil di hadapan publik terakhir kali pada “Konser Tunggal Maestro Biola Idris Sardi”, di Theater Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

Penghargaan:

  • Piala Citra untuk penata musik terbaik sebanyak  tujuh kali (1971-1985)
  • Penghargaan ilustrasi musik terbaik Pekan Apresiasi Film Nasional (1967)
  • Ilustrasi musik terbaik Festival Film Asia (1970)
  • Satyalancana Kebudayaan dari Pemerintah (2014)

Sumber:

  • “Idris Sardi dan Renaisans di Usia 65 * Box” (Kompas, 16 Juni 2003, halaman 12)
  • “Obituari: Maestro Biola Itu Telah Berpulang” (Kompas SIANG, 28 April 2014, halaman 2)
  • “Maestro Biola Berpulang * Idris Sardi Perfek dalam Bermusik” (Kompas, 29 April 2014, halaman 15).

KOMPAS/PRIYOMBODO

Biola milik WR Supratman yang dimainkan saat pencetusan Sumpah Pemuda pertama 28 oktober 1928 kembali dimainkan oleh Idris Sardi pada peringatan Hari Sumpah Pemuda di Museum Sumpah Pemuda Jakarta, jumat (28/10/2005). Peringatan tersebut dihadiri wakil presiden Jusuf Kalla.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

  • Didi Kempot (Solo, 31 Desember 1966 — Solo, 5 Mei 2020)

Karier:

Terlahir dengan nama Didi Prasetyo, karier Didi berawal pada akhir era 1980-an di Solo sebagai musisi jalanan. Didi bergabung dengan grup musik bernama Kelompok Pengamen Trotoar. Akronim dari kelompok itulah yang dijadikan Didi nama panggungnya, Didi Kempot.

Akhir 1985, Didi bersama teman-temannya mengadu nasib ke Jakarta. Baru pada 1989 Didi berkesempatan merekam karyanya dalam bentuk rekaman dengan lagu Cidro, We Cen Yu, dan Moblong-Moblong. Albumnya justru lebih sukses di luar negeri daripada di Indonesia setelah warga Suriname di Belanda membeli album Didi.

Pada tahun 1997, dengan modal sekitar R 6 juta, Didi merintis dengan merekam album yang diproduseri sendiri tetapi album tersebut lagi-lagi kurang laku di pasaran. Didi akhirnya bertemu produser yang bersedia membuat dan mengedarkan kaset berikut VCD. Didi dibayar flat sekitar Rp30 juta. VCD tersebut, antara lain, berisi lagu Stasiun Balapan yang akhirnya mempopulerkan nama Didi Kempot.

Pertengahan 2019, video aksi Didi di Taman Balekambang, Solo, menjadi viral. Sebulan kemudian, muncul lagi video Didi saat manggung di acara Ngobam (Ngobrol Bareng Musisi) di kanal Youtube Gofar Hilman yang juga viral. Ratusan lagu telah Didi ciptakan dan dapat diterima oleh masyarakat luas lintas generasi. Didi dijuluki “The Godfather of Broken Heart” atau Bapak Patah Hati Nasional oleh penggemar generasi baru yang menamakan diri sad bois, sad girls, dan Sobyat Ambyar. Popularitas Didi menjadikan Didi sebagai maestro musik campursari Indonesia.

Penghargaan:

  • Medali Emas dari Presiden Suriname, Wyden Bosch, berkat lagu Angin Paramaribo yang menjadi sangat terkenal di Suriname (1996)
  • Penghargaan Penyanyi Jawa Teladan dari masyarakat Jawa di Amsterdam, Belanda (1997)
  • Penyanyi Rekaman Lagu Dangdut Bergaya Etnik dengan lagu Nagih Janji pada Anugerah Dangdut Televisi Pendidikan Indonesia (2003)
  • Penghargaan seniman yang loyal terhadap kesenian tradisional dari Pemprov Jawa Tengah dan Komunitas Wartawan Hiburan (2005)

Sumber:

  • “Figur: ”Lord Didi” Kembali Muda” (Kompas, 29 September 2019 halaman 10)
  • “Stasiun Akhir Sang Maestro” (Kompas, 6 Mei 2020 halaman 1)

KOMPAS/HERLAMBANG JALUARDI

Konser Amal dari Rumah besutan penyanyi campursari Didi Kempot dan Kompas TV disiarkan secara langsung pada Sabtu (11/4/2020). Konser itu menguatkan imbauan untuk tidak mudik Lebaran demi mencegah meluasnya penularan Covid-19. Konser juga membuka donasi bagi kelompok masyarakat yang terdampak pembatasan aktivitas warga.

KOMPAS/SRI REJEKI 

  • Waldjinah (Solo, 7 November 1945)

Awal mula Waldjinah terjun ke dunia musik keroncong adalah karena hobinya yang selalu bernyanyi jika sedang mandi. Pada masa kecilnya, Waldjinah juga sudah terbiasa dengan tembang-tembang macapat yang dinyanyikan sang ibu sebagai pengantar tidur. Kakaknya, Munadi, seorang penyanyi keroncong, kemudian mengajak Waldjinah untuk latihan menyanyi dari kampung ke kampung yang mempunyai kelompok orkes keroncong. Berkat bimbingan kakaknya itu, Waldjinah sudah menjadi penyanyi pada usia 12 tahun.

Karier:

  • 1959 Waldjinah terlibat dalam rekaman lagu untuk yang pertama kalinya dalam sebuah album kompilasi. Dalam album produksi perusahaan rekaman Lokananta, Solo tersebut Waldjinah membawakan lagu Kembang Katjang.
  • 1964 Waldjinah membuat album rekaman kembali bersama Lokananta dan membawakan lagu Yen Ing Tawang Ana Lintang. Lagu tersebut menjadi sangat terkenal dan merupakan lagu standar langgam Jawa.
  • 1967 Wadjinah mempunyai album rekaman atas namanya sendiri, yaitu album Ngelam-lami dengan salah satu lagunya berjudul Langensari.
  • 1968 Waldjinah tampil menyanyi di Hotel Indonesia dan suaranya didengar oleh Suyoso atau Mas Yos, pemilik Elshinta. Waldjinah ditawari rekaman dan dibuatlah rekaman lagu Walang Kekek oleh perusahaan rekaman Elshinta.
  • 1969 Lagu Walang Kekek meledak dan terkenal di mana-mana, seiring dengan bermunculannya radio-radio swasta.

Sejak saat itu, Waldjinah semakin produktif membuat lagu, di antaranya Jangkrik Genggong (1968), Ayo Ngguyu (1969), O Sarinah, Mathuk Thok, Pak-e Thole, Tanjung Perak (1970), Enthit, E Jamune, (1971), Sugeng Riyadi (1972).

Penghargaan: 

  • Bintang Radio Jenis Keroncong Tingkat Kota Surakarta (1965)
  • Bintang Radio Jenis Keroncong Tingkat Nasional (1965)
  • Penghargaan Putri Solo dari Paku Buwono XII (2003)
  • Hadiah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (2006)

Sumber: “Lebih jauh dengan: Waldjinah” (Kompas, 16 Juni 1985 halaman 2)

KOMPAS/RIZA FATHONI

Sejumlah pemain pendukung bersama legenda keroncong Indonesia, Waldjinah (tengah) saat bermain dalam pentas “Keroncong Pesona Indonesia: Sinden Republik” di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (1/4/2016).

KOMPAS/ELOK DYAH MESSWATI

  • Titiek Puspa (Tanjung, Kalimantan Selatan, 1 November 1937)

Sebagai penyanyi dan pencipta lagu, Titiek Puspa hingga kini masih terus aktif berkreasi. Juni 2021 merilis lagu baru berjudul Dua Sejoli. Lagu-lagu Titiek yang sampai sekarang masih sering dinyanyikan baik oleh Titiek sendiri maupun oleh penyanyi lain di antaranya Kupu-Kupu Malam, Gang Kelinci, Marilah Kemari, Apanya Dong, Jatuh Cinta, dan Bimbi. Lagu-lagu tersebut seakan tak lekang oleh zaman.

Karier:

  • 1955 Titiek Puspa membuat album rekaman di perusahaan rekaman Lokananta, Semarang dengan menyanyikan lagu Dian Nan Tak Kunjung Padam dan Papaya Cha Cha.
  • 1956 Album rekaman kedua dibuat di sebuah studio di Jakarta dengan lagunya You Free To Go, sebuah lagu Melayu, dan lagu hiburan Indonesia.
  • 1959 Album rekaman ketiga direkam di RRI Jakarta untuk di perusahaan rekaman Lokananta dengan lagu Kasih di Antara Remaja dan Oh, Angin.
  • 1960 Titiek Puspa menetap sebagai satu dari beberapa penyanyi Orkes Studio Djakarta pimpinan Sjaiful Bachri.
  • 1963 Titiek mulai mencoba menulis lagu dan menghasilkan lagu Kisah Hidup tetapi tidak begitu terkenal.
  • 1964 Titiek semakin produktif menulis lagu, salah satunya lagu Marilah Kemari. Selain dibawakan sendiri, lagu-lagu ciptaan Titiek juga dibawakan oleh penyanyi lain.
  • 1965 Titiek terjun ke dunia film dengan membintangi film Di Balik Cahaya  Gemerlapan.
  • 1972 Titiek membuat suatu pertunjukan hiburan di televisi berupa operet Bawang Merah Bawang Putih.
  • 1974 Operet Ketupat Lebaran muncul di televisi dan kemudian menjadi hiburan tahunan yang selalu ditunggu penonton televisi.
  • 1976 Film Inem Pelayan Sexy yang dibintangi Titiek Puspa meledak di pasaran dan berlanjut dengan film Koboi Sutra Ungu (1982).

Penghargaan:

  • Juara II Bintang Radio Jenis Hiburan tingkat Jawa Tengah (1954)
  • Penghargaan pengabdian panjang di dunia musik BASF Award (1994)
  • Anugerah tanda kehormatan Satyalancana Wira Karya (1997)
  • Penghargaan artis tiga zaman pada peringatan Hari Jadi Ikatan Pembauran Perempuan Indonesia (2008)
  • Penghargaan Bintang Budaya Parama Dharma dari Pemerintah (2011)
  • Penghargaan dari Asosiasi Industri Rekaman Indonesia karena album Duta Cinta dan Titiek Puspa terjual lebih dari 150.000 keping CD (2017)

Sumber: “40 Tahun Karier Titiek Puspa: Titiek Puspa, Sang Legenda” (Kompas, 4 Juli 1993 halaman 6).

KOMPAS/LASTI KURNIA

Luapan rasa haru dan gembira tercurah dari rona Titiek Puspa (68) saat tampil dengan dukungan berbagai artis seperti; Inul, Candil, Titi DJ, Dorce, Peterpan, AB Three, Delon, dan Project Pop dalam drama musikal Kupu-kupu di Jakarta Convention Centre, Jakarta, Kamis (18/5/2006).