Foto

Rekonstruksi dan Ekspedisi Kapal Borobudur

Kapal hasil rekonstruksi berdasarkan relief yang ada di Candi Borobudur berhasil melakukan napak tilas mengikuti Jalur Kayu Manis sampai ke Ghana di Afrika. Kapal kuno asli Indonesia menarik perhatian bagi sebagian orang, terlebih bagi para peneliti asing yang penasaran dengan teknik pembuatan dan kemampuannya  mengarungi samudera luas.

Repro Buku Borobudur karya Jean-Louis Nou

Salah satu kapal yang tergambar di relief Candi Borobudur. Kapal-kapal kuno asli Indonesia sering menjadi obyek penelitian orang asing karena teknik pembuatan dan kemampuannya berlayar mengarungi samudera.

KOMPAS/Amir Sodikin

Erik Petersen, peneliti asal Denmark yang lama tinggal di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, sedang menyelesaikan rekonstruksi kapal Borobudur, seperti yang ditemukan pada relief Candi Borobudur (7/5/2003).

KOMPAS/Dahono Fitrianto

Philip Beale, peneliti dan mantan Angkatan Laut Kerajaan Inggris ini adalah tokoh  utama di balik proyek ambisius Ekspedisi Kapal Borobudur: Indonesia to Africa 2003. Dialah penggagas pertama, penggarap, dan menjadi pemimpin ekspedisi untuk membangun dan mencoba melayarkan Kapal Borobudur, sebuah replika kapal tradisional masyarakat Indonesia pada abad ke- 9 yang gambarnya tercetak di relief Candi Borobudur.

Pada tahun 2003, Philip Beale seorang peneliti budaya kelautan dan mantan tentara Angkatan Laut Kerajaan Inggris berhasil mewujudkan mimpinya yang selama 20 tahun, yaitu merekonstruksi kapal dagang bercadik yang bentuknya berdasarkan pada relief di Candi Borobudur.

Sebelumnya, dibantu dengan Nick Burnigham, seorang pembuat replika kapal dari Fremantle, Australia, Kapal Borobudur abad ke-9 itu berhasil didesain. Pembuatan kapal dikerjakan oleh As’ad Abdullah, pembuat perahu tradisional berpengalaman  dari Pulau Kangean, Desa Pagerungan Kecil, Kabupaten Sumenep, Madura. Dibantu oleh 25 pekerja lainnya, perahu yang terbuat dari 125 meter kubik kayu itu selesai dalam waktu empat bulan enam hari.

Kapal yang sepintas mirip dengan perahu penangkap ikan yang kerap melintas di perairan Bali–Jawa itu memiliki panjang 18,29 meter, lebar 4,25 meter dan tinggi 2,25 meter. Terbuat dari tujuh kayu lokal pilihan, seperti kayu ulin, kayu bungor, kayu jati, kayu kalimpapa dan kayu bintagor, sementara tiang layarnya terbuat dari bambu pilihan. Tidak ada satu pun paku dan besi digunakan dalam pembuatan kapal ini.

Tidak hanya berhasil merekonstruksi kapal berdasar relief candi peninggalan Dinasti Sailendera itu saja, kapal tersebut juga diuji dalam sebuah ekspedisi napak tilas sejarah. Berlayar menyusuri jalur perdangangan rempah-rempah yang pernah dilakukan para pelaut dari Kepulauan Indonesia menuju Afrika pada era milenium pertama. Rute Kayu Manis (The Cinnamon Route), demikian istilahnya, akan ditempuh dalam beberapa bulan pelayaran. Mulai dari Jakarta-Kepulauan Maladewa-Madagaskar-Cape Town-Tanjung Harapan dan berakhir di Accra, ibu kota Ghana di pesisir barat Afrika.

Pada 15 Agustus 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri berkesempatan melepas Ekspedisi Kapal Borobudur di FIS Water Sports Club, Marina Ancol, Jakarta Utara. Namun karena beberapa peralatan belum terpasang, kapal yang dinakhodai Kapten (L) IG Putu Ngurah Sedana dari TNI AL itu baru angkat jangkar pada tanggal 17 Agustus.

Dalam pelayarannya, Kapal Borobudur hanya dilengkapi peralatan modern berupa GPS, telepon satelit dan mesin tempel 22 PK untuk bermanuver. Berawak 16 orang, selain dari Indonesia, mereka berasal dari  Amerika Serikat, Swiss, Australia, Inggris, Selandia Baru, Afrika Selatan. Di setiap pemberhentian sebagian awak kapal diganti, kecuali di Madagaskar karena jarak Seychelles–Madagaskar yang relatif dekat.

Setelah menempuh 11.000 mil laut (20.372 kilometer) melintasi Samudra Hindia dan Atlantik, Kapal Borobudur tiba di tujuan akhir Pelabuhan Tema, Accra, ibu kota Ghana, Afrika pada 23 Februari 2004. Karena ganasnya alam, terutama saat menempuh tahapan berat Madagaskar–Cape Town yang harus memutari Tanjung Harapan, pelayaran yang dijadwalkan selama empat bulan akhirnya ditempuh dengan waktu enam bulan. Selama pelayaran, tidak satu pun papan ataupun kayu pada kapal yang bergeser dari posisi selama perjalanan.

Awalnya banyak orang yang menganggap rencana pelayaran itu tidak masuk akal. Keraguan terutama oleh orang Indonesia sendiri terhadap kemampuan kapal dan krunya tercermin dari minimnya liputan media yang saat persiapan dan menjelang keberangkatan Kapal Borobudur.

Sponsor dari Indonesia untuk mendukung kesuksesan ekspedisi ini juga minim. Dari 30 sponsor yang disebut dalam situs resmi Ekspedisi Kapal Borobudur, hanya dua sponsor yang berasal dari Indonesia.

Kini Kapal Borobudur tersimpan di Museum Samuderaraksa di kawasan Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Di museum yang diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2005 itu, selain Kapal Borobudur sebagai koleksi utama juga tersimpan peralatan-peralatan yang digunakan selama pelayaran bersejarah tersebut.

KOMPAS/Dahono Fitrianto

Kapal Borobudur sedang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang (30/7/2003), sebelum meneruskan perjalanan ke Jakarta. Tanggal 15 Agustus 2003, kapal itu akan berangkat menuju Ghana di Afrika.

KOMPAS/Dahono Fitrianto

Para awak Kapal Borobudur sedang berlatih mengenakan jaket pelampung penyelamat dalam sebuah latihan bahaya darurat, (28/7/2003). Tampak dari kanan kapten kapal Kapten (L) I Gusti Putu Ngurah Sedana, Reg Hill, Philip Beale (di atas memakai kacamata hitam), Alan Campbell (di bawah), dan Niken Maharani (kiri).

KOMPAS/Dahono Fitrianto

Meski hampir seluruhnya dibuat dengan teknologi abad ke-9, Kapal Borobudur dilengkapi dengan peralatan canggih, seperti sonder, telepon satelit InmarSat, NavTex, dan perangkat GPS untuk keperluan navigasi dan telekomunikasi.

KOMPAS/Julian Sihombing

Presiden Megawati Soekarnoputri, disaksikan para awak kapal, menekan tombol tanda dilepasnya Tim Ekspedisi Kapal Borobudur yang membawa Kapal Samudraraksa, Jumat (15/8/2003), di FIS Water Sports Club, Marina Ancol, Jakarta Utara. Tim ekspedisi tersebut akan melakukan pelayaran napak tilas menuju Afrika, seperti yang dilakukan pelaut-pelaut Indonesia pada masa silam.

KOMPAS, 26 Februari 2004

Rute perjalanan Kapal Borobudur dari Jakarta menuju Ghana, Afrika

KOMPAS/Retno Bintarti

Kapal Borobudur tiba di Pelabuhan Tema, Accra (23/2/2004), setelah menempuh perjalanan sekitar enam bulan. Rencananya, kapal ini akan dijadikan monumen di kawasan Borobudur agar masyarakat tahu bahwa kapal kayu ini telah berhasil mengarungi samudra sejauh 11.000 mil. 

KOMPAS/Dahono Fitrianto

Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik (kiri) didampingi Direktur Utama PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, & Ratu Boko (TWCBPRB) Wagiman sedang memberikan keterangan pers mengenai persiapan peresmian Museum Kapal Samudra Raksa atau Kapal Borobudur di Kantor Depbudpar, Jakarta, (24/8/2005). Museum yang  terletak di pelataran Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah itu rencananya akan diremikan pada 31 Agustus 2005 oleh Presien Susilo Bambang Yudhoyono.

KOMPAS/Heru Sri Kumoro

Wisatawan mengunjungi Museum Kapal Samudraraksa Borobudur (25/9/2005). Kapal tersebut menjadi daya tarik karena dibuat dengan berpedoman pada relief di Candi Borobudur. Sebelumnya kapal tersebut menjalani ekspedisi Rute Kayu Manis dari Jakarta menuju Ghana di Afrika pada bulan Februari 2004 lalu.

Referensi

“Menyusuri Kembali Jalur Kayu Manis”. Kompas, 4 Juli 2003.

“Menjajal Ketanggujan Teknologi Abad ke-9”. Kompas 3 Agustus 2003. 

“Mencoba Merasakan Jadi “Nenek Moyang”. Kompas, 10 Agustus 2003. 

“Melepas Samudraraksa”. Kompas, 16 Agustus 2003. 

“Perahu Zig-zag Melawan Angin”. Kompas, 30 Oktober 2003. 

Jejak Maritim Dinasti Sailendra”. Kompas, 11 Januari 2014. 

Foto lainnya dapat diakses melalui https://www.kompasdata.id/
Klik foto untuk melihat sumber.