Foto

Pelabuhan Tanjung Priok: Sejarah dan Saksi Kerasnya Kehidupan

Pelabuhan Tanjung Priok memiliki sejarah panjang. Berawal dari menjadi pelabuhan pembantu pada masa kolonial Belanda, lalu menjelma menjadi salah satu pelabuhan terbesar dan tersibuk di Indonesia. Di tempat ini terjadi berbagai kegiatan. Mulai dari pengiriman barang hingga antrean penumpang yang bejubel naik ke kapal. Pemerintah terus mengembangkan berbagai fasilitas di pelabuhan ini. Namun sayang, di tengah berbagai pengembangan yang dilakukan, para penumpang masih menerima pelayanan yang memprihatinkan, seperti maraknya calo dan pungutan liar. Berikut foto dan cerita lama di Pelabuhan Tanjung Priok yang dihimpun dari Arsip Kompas.

KOMPAS/DJ Pamoedji

Kapal bersandar di Pelabuhan Tanjung Priok tahun 1973.

KOMPAS/Pat Hendranto

Kawasan Pelabuhan Tanjung Priok tahun 1974.

Pelabuhan Tanjung Priok merupakan pelabuhan terbesar di Jakarta. Memiliki letak yang strategis dan terhubung dengan berbagai pelabuhan lain membuat Tanjung Priok menjadi gerbang utama distribusi ekspor-impor di Indonesia. Tanjung Priok juga menjadi pelabuhan andalan bagi para penumpang untuk pergi ke berbagai tujuan. Saat ini terdapat tiga terminal di Tanjung Priok yang melayani berbagai kebutuhan, yaitu terminal peti kemas, terminal penumpang, dan terminal kendaraan. Suasana ramai dari penumpang dan awak kapal yang nyaris tak pernah berhenti ditambah crane-crane dan tumpukan peti kemas di setiap sudut pelabuhan membuat Tanjung Priok disebut sebagai pelabuhan tersibuk.

Namun, siapa sangka awalnya pelabuhan Tanjung Priok hanyalah pelabuhan pembantu akibat pelabuhan Pasar Ikan sudah tidak mampu menampung ramainya lalulintas perdagangan akibat dibukanya terusan Suez pada tahun 1819. Frekuensi perdagangan yang terus meningkat khususnya perdagangan dunia timur (Asia) dan barat (Eropa), akhirnya membuat pemerintah Kolonial Belanda memutuskan daerah Tanjung Priok sebagai pelabuhan baru.

Pelabuhan Tanjung Priok mulai dibangun oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada 1877 dan selesai pada 1883. Namun, pelabuhan baru resmi beroperasi pada tahun 1886. Tak berselang lama, pelabuhan dengan luas 20 hektar dengan panjang 1,2 kilometer ini membutuhkan perluasan lagi karena semakin ramainya perdagangan kala itu. Perluasan Tanjung Priok atau yang disebut dengan Pembangunan II Tanjung Priok mulai dilakukan pada tahun 1910. Selain melakukan perluasan, didirikan pula stasiun kereta api Tanjung Priok untuk melayani rute Batavia–Buitenzorg (sekarang Bogor). Setelah tujuh tahun, perluasan pelabuhan Tanjung Priok selesai pada 1917.

KOMPAS/DJ Pamoedji

Bongkar Muat Kapal di dermaga Pelabuhan Tanjung Priok tahun 1974.

KOMPAS/DJ Pamoedji

Buruh bongkar muat barang dari kapal di Pelabuhan Tanjung Priok tahun 1981

KOMPAS/DJ Pamoedji

Derek petikemas yang pertama dan terbesar dari Jepang  terpasang di dermaga pelabuhan III Timur, Tanjungpriok, Agustus 1977. Panjangnya sekitar 60 meter, lebar 35 meter dan tinggi 60 meter. 

KOMPAS/Kartono Ryadi

Penumpang kapal laut berjubel di ruang embarkasi pelabuhan Tanjung Priok (13/6/1984). Karena langkanya tiket, banyak calon penumpang tertipu kata-kata manis oknum yang menyatakan sanggup membelikan tiket..

Pada era Pemerintahan Soeharto, pelabuhan Tanjung Priok semakin padat akibat dikeluarkannya paket kebijakan untuk meningkatkan ekspor di sektor nonmigas melalui Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1982. Kebijakan ini membuat penggunaan peti kemas di pelabuhan Tanjung Priok meningkat pesat, serta terjadi hambatan dalam bongkar muat akibat peralatan dan fasilitas pelabuhan yang masih konvensional.

Mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah bekerja sama dengan swasta untuk mengembangkan pelabuhan Tanjung Priok menjadi pelabuhan yang lebih modern. Pemerintah juga menambah fasilitas yang dapat menunjang penumpang dan truk angkut seperti memfungsikan kembali jalur kereta api, pembangunan jalan tol Cawang–Tanjung Priok, dan pembangunan jalan non-tol. Pada tahun 2017, pemerintah kembali menambah fasilitas jalan tol yang diberi nama jalan tol Tanjung Priok untuk mempercepat arus distribusi barang dan mengurai kemacetan yang terjadi.

Namun, di tengah berbagai fasilitas dan pengembangan yang dilakukan di Pelabuhan Tanjung Priok, para penumpang harus menerima pelayanan yang memprihatinkan. Kesulitan memperoleh tiket akibat banyaknya calo dan preman, maraknya pungutan liar, kapal yang bejubel dan fasilitas kapal yang kurang memadai harus diterima oleh para penumpang demi sampai ke tempat tujuan. Reini (45) seorang penumpang tujuan Makassar yang membeli tiket dari calo seharga Rp250.000 pada tahun 2001, menceritakan pengalamannya kepada Kompas bahwa tidak ada tempat untuknya di atas kapal, “Kami sangat sengsara. Sudah harga tiket mahal, ternyata tidak ada tempat dalam kapal.”

Tak hanya penumpang, pengemudi truk yang bertugas membawa barang untuk  distribusikan juga mengalami pengalaman tidak mengenakkan. Salim, seorang pengemudi yang harus membayar kepada operator untuk bongkar muat menceritakan kisahnya kepada Kompas pada tahun 2000 “Yang jelas, kalau kita enggak mau kasih Rp2.000 atau Rp3.000 kepada operator alat bongkar muat untuk peti kemas ukuran 20 feet, bukan hanya setengah sampai satu jam saja didiam’in. Malah bisa sampai seharian kita nongkrong di pelabuhan.” Pengemudi lain juga mengisahkan, jika enggan memberikan uang, peti kemas mereka akan terus tertahan dengan berbagai alasan.

Dengan kemajuan teknologi kini, tiket sudah dapat dipesan secara online, sehingga dapat meminimalisir adanya calo. Bongkar muat juga dilakukan dengan peralatan yang lebih modern sehingga tidak membutuhkan banyak operator dan waktu yang lama. Namun, untuk kapal yang lengang dengan fasilitas yang nyaman, para penumpang harus lebih bersabar.

KOMPAS/DJ Pamoedji

Papan pengumuman larangan memberi apapun kepada petugas pelabuhan pada tahun 1975. Namun, hingga tahun 2000an calo dan pungutan liar masih marak ditemui di area pelabuhan Tanjung Priok.

KOMPAS/DJ Pamoedji

Seorang pemuda berambut gondrong yang mengaku sebagai karyawan EMKL PT “KM” nampak tengah digiring oleh petugas Kamsus dan KP3/Polri dari halaman kantor Bea dan Cukai. Pemuda tersebut tidak memiliki pas dan kartu kerja, tetapi berusaha menyelesaikan dokumen.

KOMPAS/Iwan

Antrean truk memasuki Terminal Peti Kemas Pelabuhan Tanjung Priok, tahun 2000

KOMPAS/Agus Susanto

Penumpang KM Sinabung di pelabuhan Tanjung Priok. Foto Januari 2001

Referensi

KOMPAS, 23 Januari 1982. “Paket Ekspor Januari 1982” .

KOMPAS, 2 Mei 1982.“Penggunaan Peti Kemas Meningkat Terus”

KOMPAS, 24 Oktober 1987.“Ditingkatkan Fasilitas di Lima Pelabuhan”

KOMPAS, 10 Maret 1990.“Presiden Resmikan Jalan Tol Cawang-Tanjungpriok: Diberi Nama Jl. Ir. Wiyoto Wiyono, Msc”

KOMPAS, 12 April 1991.“Pelabuhan Tanjung Priok Diperluas oleh Swasta”

KOMPAS, 11 Maret 1994.“TanjungPriok Menggeliat, Pemukiman Terpaksa Disikat”,

KOMPAS, 4 Desember 2001.“Mudik Lewat Laut Semrawut”

KOMPAS, 18 Agustus 2002.“Tanjung Priok: Pelabuhan Terbesar, Punglinya juga Besar”

KOMPAS 19 Juni 2015. “Tol Tanjung Priok selesai pada 2017”

KOMPAS, 15 April 2017.“Jokowi Resmikan Tol Akses Tanjung Priok Setelah Mangkrak 5 Tahun” .

KOMPAS, 23 Januari 2020. “Riwayat Tanjung Priok, Pelabuhan Pembantu yang Pesat Menjadi Besar” .

Foto lainnya dapat diakses melalui http://www.kompasdata.id/
Klik foto untuk melihat sumber.