Fakta Singkat
Nama Lengkap
Burhanudin Muhammad Diah
Lahir :
Kutaraja, Banda Aceh, 7 April 1917
Almamater:
Ksaatrian Institut, Midelbare Journalisten School di Bandung
Jabatan:
Menteri Penerangan 1966–1968
Sebagai seorang jurnalis di masa penjajahan Belanda dan Jepang, BM Diah adalah seorang notulen yang handal. Dia mampu merekam semangat para pemuda melepaskan diri dari kolonialisme sekaligus terlibat dalam perjuangan tersebut.
Kedewasaan dan pengalaman menjadikannya dihormati di kalangan pemuda hingga dipercaya menjadi ketua Gerakan Angkatan Baru Indonesia. Dia juga dianggap sebagai sosok yang menghubungkan angkatan muda, yaitu Sukarni dan kawan-kawan, dengan angkatan tua, Soekarno dan Hatta.
Sejak remaja, Bur begitu nama panggilan masa kecilnya, sudah tertarik dalam bidang tulis menulis dengan membuat majalah sekolah. Bakatnya kemudian berkembang dengan menjadi wartawan di berbagai media hingga akhirnya membuat harian sendiri yang diberi nama Merdeka. Kemudian bersama istrinya Herawati Diah, membuat koran berbahasa Inggris yakni Indonesia Observer. Dia juga terlibat dalam kepengurusan Persatuan Wartawan Indonesia dan Dewan Pers selama beberapa periode.
Selain dunia jurnalistik, ia juga pernah menduduki sejumlah jabatan di birokrasi, mulai dari duta besar di beberapa negara, hingga Menteri Penerangan. Dunia usaha pun dia geluti di usia tuanya dengan mendirikan Hotel Hyatt Aryaduta dan Hotel Prapatan di Jakarta.
Putra Aceh
Burhanuddin Muhammad Diah atau lebih dikenal BM Diah lahir di Banda Aceh pada 17 April 1917. Ayahnya bernama Muhammad Diah dan ibunya bernama Siti Saidah. Satu minggu setelah kelahirannya, sang ayah meninggal sehingga ibunya yang sebelumnya merupakan ibu rumah tangga harus bekerja sebagai pedagang perhiasan untuk menghidupi delapan orang anaknya.
Ibunya meninggal saat Burhanudin berusia delapan tahun, kemudian dia diasuh oleh kakak-kakaknya. Anak bungsu dari delapan bersaudara ini awalnya berada di bawah asuhan kakak laki-lakinya yang bernama Awaludin, kemudian berpindah pada kakak perempuan Siti Hafsyah. Kondisi tersebut membuatnya terbiasa dengan pekerjaan, mengambil air, mencuci pakaian kotor keponakan, dan bersepeda ke pasar untuk membeli sarapan.
Burhanuddin memulai pendidikan di sekolah dasar HIS Kutaraja (kini disebut Banda Aceh) tahun 1929. Di sekolah dasar tersebut, dia mulai mendengar kisah-kisah heroik melawan penjajahan Belanda. Seperti dikisahkah Herawati Diah dalam Catatan BM Diah, ketika kelas 5 SD, usia 11 tahun, BM Diah menangis mendengar kisah gurunya tentang Pangeran Diponegoro yang dibohongi oleh pemerintah Belanda.
Setelah lulus dari HIS, ia disarankan kakaknya untuk melanjutkan ke MULO di Kutaraja, tetapi dia menolak karena tidak mau bersekolah di lembaga milik Belanda. Akhirnya, dia memutuskan berangkat ke Medan dan bersekolah di Taman Siswa (setingkat SMP). Di kota tersebut jiwa nasionalismenya makin kuat karena bergabung dengan pemuda aktivis.
Setelah itu, dia melanjutkan studi formal di Middelbare Journalisten School di Kesatrian Instituut Bandung yang dikelola Douwes Dekker yang kelak berganti nama menjadi Setiabudi.
Diah sadar dia tidak punya kemampuan untuk membiayai sekolahnya maka dia hendak mengundurkan diri. Namun, Douwes Dekker memberinya pekerjaan sebagai sekretaris di sekretariat sekolah dagang agar dia mampu membiayai sekolahnya. Dia pun menyelesaikan pendidikan jurnalistiknya pada tahun 1937.
BM Diah, Tokoh Pers Nasional
Karier
Setelah menyelesaikan studi jurnalistik di Bandung, BM Diah kembali ke Medan dan bekerja di harian Sinar Deli. Ia tidak lama bekerja di harian tersebut, hanya sekitar 1,5 tahun, kemudian kembali ke Jakarta dan bekerja pada harian Melayu-Cina Sinpo sebagai penulis lepas selama beberapa bulan.
Pada saat Jepang menduduki Indonesia, BM Diah menjadi redaktur pelaksana dan wakil pemimpin redaksi surat kabar Asia Raya. Posisinya sebagai jurnalis, membuat BM Diah banyak mengetahui informasi, baik di dalam maupun luar negeri.
Surat kabar Asia Raya ditutup ketika Jepang kalah perang dari pasukan sekutu tahun 1945. Setelah Jepang menyerah, pada September 1945, BM Diah bersama rekan-rekannya kemudian merebut dan mengambil alih percetakan milik Jepang yang bernama Djawa Shimbun. BM Diah berinisiatif untuk membuat koran Indonesia yang bernama ‘Merdeka’ pada Oktober 1945. BM Diah mengambil peran sebagai pemimpin redaksi.
Bersama istrinya, Herawati Diah, ia juga mendirikan koran berbahasa Inggris, Indonesian Observer tahun 1945.
Setelah Indonesia merdeka, BM Diah diberi kepercayaan sebagai Duta Besar RI untuk Chekoslovakia dan Hungaria pada tahun 1959. Kemudian tahun 1962 menjadi Dubes di Inggris selama kurang lebih dua tahun. Setelah itu, dia ditugaskan menjadi Dubes di Thailand selama dua tahun.
Setelah kembali ke Indonesia, BM Diah ditunjuk menjadi Menteri Penerangan pada Kabinet Ampera 1966–1968. Saat menjadi menteri, BM Diah menerapkan kebijakan penerangan yang harus diberikan kepada rakyat adalah penerangan mengenai cita-cita, perjuangan dan kemenangan revolusi. Jabatan menteri diembannya hingga tahun 1968.
Setelah bebas dari jabatan menteri, BM Diah melanjutkan aktivitasnya sebagai jurnalis. Tahun 1970, BM Diah menjadi ketua umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang diakui Pemerintah, sementara PWI hasil kongres di Palembang memilih Rosihan Anwar sebagai ketuanya.
Setelah kedua PWI tersebut rujuk, ia terpilih menjadi Dewan Pembina PWI Pusat selama dua periode (1973–1983). Kemudian, ia menjadi Ketua Harian Dewan Pers (1981) dan Penasihat PWI Pusat (1983–1988).
Sebagai seorang wartawan, yang paling berkesan bagi Diah adalah berhasil mewawancarai Sekretaris Jenderal Partai Komunis Uni Soviet, Mikhail Gorbachev, di Rusia tahun 1987. Saat wawancara itu usia BM Diah persis 70 tahun.
BM Diah meninggal dunia pada Senin dini hari tanggal 10 Juni 1996 di Jakarta. Ia meninggal pada usia 79 tahun akibat stroke dan penyakit ginjal yang telah lama dideritanya. Jenazahnya dikebumikan di TMP Kalibata dengan upacara militer dan Menteri Penerangan Harmoko bertindak sebagai inspektur upacara.
Penghargaan
Berkat perjuangan dan jasa-jasanya bagi negara, BM Diah dianugerahi tanda jasa dan penghargaan Bintang Mahaputra kelas III (Bintang Utama) dari Presiden Soeharto (21 Mei 1973). BM Diah juga mendapat Piagam Penghargaan dan Medali Perjuangan Angkatan 45 dari Dewan Harian Nasional Angkatan 45 (17 Agustus 1995)
Naskah asli Proklamasi
BM Diah sering berdiskusi dengan Chairul Saleh dan Sukarni terkait gagasan kemerdekaan. Diah memiliki prinsip tidak mau bergabung dalam kelompok atau gerakan bentukan Jepang. Berkat profesinya sebagai jurnalis, ia paham betul kondisi masyarakat yang memberikan beras dan berbagai kebutuhan hidup pada pihak Jepang dengan alasan untuk mendukung kemerdekaan. Padahal faktanya, masyarakat di desa-desa harus memakai karung goni dan makan gaplek.
Dalam pengantar Catatan BM Diah, Sudiro yang ikut terlibat gerakan praproklamasi berkisah, BM Diah memiliki pesona bagi aktivis kaum muda. Mudah saja bagi BM Diah membawa kelompok muda menjadi radikal, tapi hal itu tidak dilakukan. Justru BM Diah mengajak pemuda untuk berinisiatif memikirkan gagasan Indonesia merdeka.
Untuk mewujudkan gagasan itu, BM Diah bersama kaum muda melakukan pertemuan rahasia pada Mei 1945. Kelompok muda yang hadir antara lain Chaerul Saleh, Sukarni, Wikana, Harsono, Cokroaminoto, dan Syarif Thayeb. Mereka berdiskusi serius hingga larut malam, membentuk Gerakan ‘Poetra’ yaitu sebuah kesadaran untuk menapai cita-cita pemuda. Gerakan itu murni inisiatif para pemuda dan tanpa sepengetahuan pihak Jepang
Selanjutnya di bulan Mei, di bawah pimpinan BM Diah, sejumlah pemuda Indonesia berkumpul di gedung surat kabar Asia Raya demi menentukan sikap pemuda. Hanya saja dalam pertemuan tersebut, para pemuda belum membawa mandat resmi dari kelompok masing-masing.
Pada bulan berikutnya, tepatnya pada 3 Juni 1945, diadakan kembali pertemuan resmi di Gedung Jawa Hokokau dengan surat resmi dari kelompok yang mengutus mereka.
Dalam pertemuan ini, para pemuda menetapkan bagian mereka dalam revolusi bersejarah untuk melepaskan diri dari penjajahan di saat imperialisme menghadapi kehancuran. Pertemuan ini juga untuk mengkristalkan pemikiran para pemuda yang bukan “bikinan Jepang”.
Para pemuda menyatukan prinsip, bahwa mereka tidak hanya sebagai pekerja kasar saja tetapi juga turut duduk dalam pimpinan dan ikut bertanggung jawab dalam sebuah keputusan. Para pemuda juga menghendaki kekuasaan politik agar dapat melaksanakan cita-cita kemerdekaan. Kemudian, terbentuklah Gerakan Angkatan Baru Indonesia yang bertugas merencanakan Anggaran Dasar dan Pedoman Kerja. Gerakan itu juga menyusun rencana perjuangan pemuda dengan membuat musyawarah besar.
Pada tanggal 8 juni 1945, BM Diah bersama perwakilan Gerakan Angkatan Baru Indonesia menemui Soekarno di Gedung Hookookai di depan Lapangan Banteng. Di satu sisi, Bung Karno tetap berpesan untuk tetap memperhitungkan kekuatan lawan yaitu Jepang. Di sisi lain, kaum muda menghendaki gerakan yang lebih dinamis
Pada 15 Juni 1945, keluar putusan yang menetapkan BM Diah sebagai Ketua Gerakan Angkatan Baru Indonesia dengan anggota Sukarni, Sudiro (bekas Indonesia Muda dan tokoh Partindo), Syarif Thayeb, Harsono Tjokroaminoto, Wikana, Chaerul Saleh) Gultom, Supeno (Baperpi), dan Asmara Hadi.
Aktivitas kaum muda itu dinilai Jepang membahayakan. Pada 7 Agustus, BM Diah pun ditangkap dan ditahan di Jakarta setelah seluruh rumahnya digeledah. Tak hanya itu, keesokan harinya tentara Jepang datang lagi dan menggeledah rumah itu kembali.
Tanggal 15 Agustus 1945, BM Diah dibebaskan dari tahanan atas permintaan dan jaminan dari keluarga besar istrinya. Setelah menemui keluarganya, ia bergegas mencari Sukarni di rumahnya tapi tidak bertemu dengannya. Kabarnya Sukarni bersembunyi dari tentara Jepang. Kemudian Diah mengunjungi Asrama Menteng 31, markas tempat para pemuda, namun ia juga tidak menemukan rekan-rekannya di Angkatan Baru Indonesia. Selama BM Diah ditahan, ternyata banyak rekan-rekannya yang juga ditahan atau bersembunyi dari kejaran polisi Jepang.
Selagi sibuk mencari teman-temannya yang bersembunyi menghindari polisi Jepang, BM Diah justru bertemu Nishijima seorang pegawai swasta yang kemudian menceritakan tentang bom di Hiroshima dan Nagasaki. Saat itu Diah mengkhawatirkan nasib Indonesia jika Sekutu masuk Indonesia.
Diah kemudian melanjutkan berjalan kaki dari Kebon Sirih ke rumah Soebardjo di Cikini. Dia bertemu dengan Soebardjo, Iwa Kusumasumantri dan Gatot Tanumiharja dan Husin. Belakangan baru dia tahu bahwa Husin adalah Tan Malaka.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Pengunjung mengamati contoh naskah proklamasi yang disusun Soekarno-Hatta, di Museum Penyusunan Naskah Proklamasi di kawasan Menteng, Jakarta, Minggu (26/8/2012). Museum tersebut memiliki koleksi dan dokumentasi saksi bisu sejarah Kemerdekaan Indonesia yang diperingati setiap 17 Agustus.
Tanggal 15 Agustus 1945 malam, Diah bertemu dengan Sukarni dan Chairul Saleh di rumah Soebardjo. Mereka bersama-sama menuju kediaman Soekarno di Pegangsaan Timur untuk berdiskusi dengan Soekarno danHatta serta pemimpin lainnya.
Dalam pertemuan yang juga dihadiri kelompok muda itu, Wikana yang tampil mewakili kelompok muda mengatakan, “Bung, kami diutus oleh pemuda dan rakyat untuk meminta Bung Karno supaya menentukan sikap sekarang, Bung tahu Jepang sudah kalah dan sudah meminta damai”. Wikana juga menjelaskan bahwa rakyat, petani, dan buruh sudah siap dan menunggu perintah untuk melakukan revolusi.
Meski demikian, baik Soekarno maupun Hatta menolak jalan revolusi karena khawatir rakyat jadi korban. Bahkan, ketika Wikana memuncak emosinya dan berkata bahwa bisa saja pemuda akan membinasakan siapa saja yang menghalangi, Soekarno tetap tidak mau menyatakan kemerdekaan. Desakan kaum muda tak membuahkan hasil dan akhirnya malam itu para pemuda termasuk Diah kembali ke rumah masing masing dengan kecewa.
Keesokan harinya tanggal 16 Agustus 1945, BM Diah mendapat kabar bahwa Soekarno dan Hatta telah dibawa ke Rengasdengklok, tetapi Subardjo meminta agar malam harinya mereka dibawa kembali ke Jakarta.
Pada 16 Agustus malam, Sukarno-Hatta tiba di Jakarta dan mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh PPKI untuk menyusun rumusan naskah proklamasi di rumah Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Meiji Dori (kini Jalan Imam Bonjol No 1 Jakarta Pusat). BM Diah menjadi saksi proses perumusan naskah tersebut hingga dini hari dan kemudian mengabarkan peristiwa itu.
Naskah proklamasi itu awalnya ditulis pada selembar kertas berwarna putih yang ditulis tangan oleh Soekarno pada dini hari, Jumat 17 Agustus 1945. Naskah proklamasi tulisan tangan Soekarno sempat dibuang ke keranjang sampah karena dianggap tidak diperlukan lagi setelah diketik dengan mesin ketik oleh Sayoeti Melik.
Naluri wartawan BM Diah pun muncul. Ia langsung mengambil kembali naskah tulisan tangan tersebut dan menyimpannya. Naskah asli tulisan tangan Bung Karno menjadi dokumen pribadi setelah rapat perumusan naskah proklamasi itu berakhir. Ia segera saja menuju kantor stasiun radio untuk menyiarkan kabar berita tersebut.
Di belakang teks tersebut diberi catatan tulisan tangan BM Diah, “Berita istimewa, berita istimewa. Pada hari ini, tanggal 17 bulan 8, 1945 di Djakarta telah dioemoemkan proklamasi kemerdekaan Indonesia jang boenjinya: Proklamasi, Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan, kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan dllnja, diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnya. Djakarta, 17-8-1945″.
Kemudian BM Diah diperintah oleh Hatta untuk mencetak teks proklamasi itu di percetakan Siliwangi. Sebelumnya, teks proklamasi itu sudah diedarkan termasuk disampaikan kepada kantor berita Antara dan Radio untuk diberitakan (Kompas, 20/5/1992).
Saat menjadi Menteri Penerangan, pada Agustus 1967, dia mengakui bahwa naskah asli Proklamasi berupa tulisan tangan dan penuh coret-coretan itu disimpan olehnya sendiri. Naskah proklamasi yang dibacakan pada upacara kenegaraan di Istana Negara adalah salinan dari naskah asli yang disimpannya itu (Kompas, 19/8/1967).
BM Diah kemudian menyerahkan naskah proklamasi yang ditulis tangan dengan pensil oleh Bung Karno kepada Presiden Soeharto pada Mei 1992. Ketika menerima naskah itu, Presiden Soeharto mengatakan naskah teks Proklamasi yang ditulis tangan itu adalah dokumen penting yang merupakan bagian dari sejarah perjuangan Bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Kepala Negara menginstruksikan agar dokumen tersebut disimpan dan dipelihara di Arsip Nasional.
Naskah proklamasi asli yang ditulis tangan Soekarno itu hingga kini disimpan di Gedung Arsip Nasional di Jalan Ampera Raya, Cilandak, Jakarta.
Presiden Soeharto didampingi Mensesneg Moerdiono Selasa (19/5/1992) menerima BM Diah, Tjokropranolo dan Kepala Arsip Nasional Dr. Noerhadi Magetsari, di Bina Graha. Kepala Negara menerima naskah konsep “Proklamasi” tulisan tangan dengan pensil mantan Presiden Soekarno dari BM Diah disaksikan Mensesneg Moerdiono, Kepala Arsip Nasional Dr Noerhadi Magetsari dan Tjokropranolo.
Referensi
- Kompas, 19 Agustus 1967, Teks Proklamasi Asli Disimpan BM Diah
- Kompas, 20 Mei 1992, Teks Proklamasi Diserahkan pada Presiden
- Kompas, 11 Juni 1996, Burhanuddin Muhammad Diah: Rajawali Pemberani Selalu Mengambil Sikap link kompasdata.id/Search/NewsDetail/18386163
- Kompas, 11 Juni 1996, BM Diah Meninggal Dunia link kompasdata.id/Search/NewsDetail/18504503
- “Kisah Kecil di Rumah Laksamana Maeda”,
- “Naskah Proklamasi Kemerdekaan Pernah Dibuang di Keranjang Sampah”
- Catatan BM Diah, ed Dasman Djamaluddin, Yayasan Obor, 2018
- Menteng 31, AM Hanafi, Pustaka Sinar Harapan, 1996
- Sukarni, ed Sumono Mustoffa, Pustaka Sinar Harapan, 1986
Biodata
Nama
Burhanudin Muhammad Diah
Lahir
Kutaraja (Banda Aceh), 7 April 1917
Pendidikan
- HIS Kutaraja
- Taman Siswa Medan
- Ksaatrian Institut, Midelbare Journalisten School di Bandung
Karier
- Wartawan Harian Sinar Deli
- Jurnalis di harian Asia Raya,
- Penyiar Radio Hosokyoku
- Duta besar luar biasa dan berkuasa penuh di Muangthai
- Duta Besar Indonesia untuk Her Majesty’s Government
- Duta Besar untuk Singapura
- Menteri Penerangan
Kiprah Organisasi
- Ketua Indonesia Muda cabang Medan
- Persatuan Murid Taman Siswa, Medan
- Persatuan Wartawan Indonesia
- Pengurus Harian PHRI
Penghargaan
Penghargaan Bintang Mahaputra kelas III (Bintang Utama) (21 Mei 1973),
Piagam penghargaan Medali Perjuangan Angkatan 45 dari Dewan Harian Nasional Angkatan 45 (17 Agustus 1995)
Keluarga
Istri
Herawati Diah
Anak
- Adyaniwati Tribuana Said
- Aditya Teja Nurman
- Nurdianiwati W Rohde
Sumber
Litbang Kompas