Paparan Topik | Lingkungan

Jejak Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia

Sejak bencana besar kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada 1982-1983, bencana ini semakin sering terjadi. Intervensi manusia menjadi faktor penyebab utama yang berdampak pada rusaknya keseimbangan alam.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Api yang masih menyala terlihat di kawasan hutan dan lahan Gunung Arjuno di Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan, Selasa (5/9/2023). Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di kawasan Gunung Arjuno meluas hingga 1.300 hektare. Selain secara manual, pemadaman menggunakan metode water bombing dengan helikopter milik Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Penyebab kebakaran disebabkan oleh pemburu yang membakar lahan untuk melihat pergerakan buruannya. Kebakaran juga merembet ke Gunung Welirang.

Fakta Singkat

  • Kebakaran hutan dan lahan terbagi atas tiga jenis, yakni kebakaran bawah (ground fire), kebakaran permukaan (surface fire) dan kebakaran tajuk (crown fire). Dibedakan berdasarkan titik dan sifat kebakarannya.
  • El Nino menjadi faktor alam paling utama penyebab karhutla. Namun, faktor manusia adalah yang paling determinan. Pada karhutla 2019, BNPB melaporkan 99 persen penyebab karhutla berasal dari campur tangan manusia.
  • Bencana karhutla dengan jumlah luas hingga jutaan hektar terjadi pada 1982, 1994, 1997, 2006, 2015, dan 2019.
  • Pada tahun ini, hingga Agustus 2023 luasan kebakaran telah mencapai 405 hektar. Tercatat 499 kasus karhutla dan melepaskan 5,9 juta ton karbon.
  • Asap karhutla mengandung partikel halus berukuran 2,5 mikron yang akan masuk ke saluran pernafasan dan menyebabkan berbagai penyakit, seperti infeksi pernapasan akut (Ispa), asma, dan bronkitis.
  • Mengacu pada UU Nomor 18 Tahun 2014, maka pelaku karhutla dapat dihukum penjara maksimal 10 tahun dengan denda hingga Rp10 miliar rupiah.

“Bromo sebelum terbakar.” Demikian bunyi kalimat yang menarik atensi publik untuk berlomba menunjukkan foto-foto keadaan Gunung Bromo sebelum kebakaran melalui futir story Instagram.

Pertanyaan (atau prompt) pemantik tersebut berhasil memperoleh perhatian luas, yang hingga Sabtu (16/9/2023) sudah lebih dari 85,7 ribu lebih akun meresponnya. Mayoritas dari mereka menunjukkan foto diri di hadapan Gunung Bromo yang tampak masih hijau alami.

Tren tersebut merupakan respon masyarakat digital atau warganet terhadap peristiwa besar yang mengejutkan, yakni terbakarnya hutan dan lahan di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), Jawa Timur. Lahan seluas 1.200 hektar terbakar, memaksa penutupan sebagian akses sejak Minggu (3/9/2023) untuk memudahkan pemadaman kebakaran (Kompas, 5/9/2023, Asap Perburuk Kualitas Udara dan Picu Akses ke Bromo Ditutup).

Kebakaran di wilayah TNBTS menjadi satu dari sekian peristiwa kebakaran hutan yang telah terjadi pada tahun 2023 ini. Hingga Agustus 2023 saja, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kalimantan Barat telah melaporkan 34.910 titik panas di daerahnya.

Hingga Juli 2023, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat bahwa luas kebakaran hutan dan lahan di Indonesia telah mencapai total luas 90.405 hektar. Jumlah ini bahkan meningkat 2,54 persen dari periode yang sama pada 2022 lalu, yang mencapai 88.167 hektar (Kompas.id, 3/9/2023, Lahan Terbakar Meluas, Waspadai Bencana Asap).

KOMPAS/JUMARTO YULIANUS

Kebakaran lahan gambut di Kecamatan Liang Anggang, Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Kamis (21/9/2023). Selama September ini, lahan gambut di Kalsel semakin mudah terbakar dan sulit dipadamkan.

Sekilas Tentang Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan dan lahan, atau karhutla, merupakan fenomena kerusakan lingkungan yang terjadi di wilayah dengan tutupan hutan. Dalam publikasi Indonesia Forest Fires September-November 1997, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan kebakaran hutan sebagai pembakaran tanaman yang tidak terkendali yang melanggar peraturan dan terjadi di lingkungan alami dengan dampak luas.

Sementara secara legal, Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 membagi kawasan hutan menjadi tiga jenis berbeda yang didasarkan pada fungsi hutan itu sendiri. Yang pertama adalah hutan konservasi. Jenis ini didefinisikan sebagai hutan yang berfungsi sebagai area pelestarian keanekaragaman flora, fauna, maupun ekosistemnya dari ancaman kepunahan.

UU Nomor 41 Tahun 1999 membagi hutan konservasi menjadi tiga jenis, yakni kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa), kawasan pelestarian alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam), dan taman buru.

Kedua, hutan lindung adalah jenis hutan yang memiliki fungsi utama sebagai pelindung dan penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengatasi erosi, mencegah intrusi air laut, dan kesuburan tanah. Perannya penting dalam menjaga ekosistem, baik tingkat global maupun lokal. Dengan peran vitalnya terhadap lingkungan hidup, hutan lindung mempunyai payung hukum yang kuat.

Sementara yang ketiga adalah hutan produksi. Jenis ketiga ini memiliki fungsi utama sebagai kawasan produksi hasil hutan. Secara lebih rinci hutan produksi dibagi lagi menjadi tiga kawasan yaitu Hutan Produksi Tetap (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT), dan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK). Hutan produksi secara khusus digunakan sebagai area untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dari proses jual beli hasil hutan tanpa merusak dari tujuan penting seperti hutan konservasi dan hutan lindung.

Pada titik ini, kebakaran hutan dapat terjadi di ketiga jenis fungsi hutan tersebut. Meski begitu, hutan produksi menjadi kawasan yang paling rawan mengalami kebakaran disebabkan oleh tingginya tingkat intervensi manusia terhadap keaslian dalam ekosistem di dalamnya.

Sementara untuk jenis karhutla sendiri, Encyclopedia of Wildfires and Wildland-Urban Interface (WUI) mengelompokannya ke dalam kebakaran hutan dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe yaitu kebakaran bawah (ground fire), kebakaran permukaan (surface fire) dan kebakaran tajuk (crown fire). Perbedaan ketiga tipe kebakaran tersebut didasarkan pada titik yang terbakar dan sifat pembakarannya.

Kebakaran bawah (ground fire) merupakan kebakaran yang disebabkan oleh api yang menjalar ke segala arah. Kebakaran bawah dipengaruhi oleh kadar air pada permukaan tanah yang sedikit, sehingga oleh karenanya juga tidak dipengaruhi oleh kecepatan angin yang mamput membuat api semakin menjalar luas. Tipe kebakaran ini terjadi dengan terbakarnya rumput-rumput halus yang membuat api merembet dengan cepat.

Kebakaran permukaan (surface fire) merupakan kebakaran yang disebabkan oleh api yang bergerak di atas permukaan tanah dan sangat dipengaruhi oleh kondisi kecepatan angin yang dapat membawa api menjalar di permukaan dengan cepat. Tipe ini acap ditemukan dalam pergerakan api yang mulai membakar semak-semak belukar dan tanaman-tanaman pendek.

Sementara kebakaran tajuk (crown fire) adalah tipe kebakaran hutan yang menjadi konsekuensi dari kebakaran permukaan. Ketika api di kebakaran permukaan terus menyala, maka api tersebut akan terus merembet bahkan hingga naik ke pepohonan yang membuatnya identik dengan kebakaran pada pohon-pohon besar. Meluasnya kebakaran juga sangat dipengaruhi oleh kecepatan angin yang tinggi.

KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Tim gabungan pemadam kebakaran hutan dan lahan di Kota Palangkaraya berjibaku memadamkan api di lahan bergambut yang diduga dibakar orang di Jalan Hiu Putih, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, pada Minggu (30/7/2023). Musim kemarau dengan paparan suhu tinggi rawan menimbulkan kebakaran.

Penyebab Karhutla

Dalam perjalanan waktu, kebakaran hutan dan lahan kian rutin terjadi di Indonesia. Secara garis besar, penyebab karhutla berasal dari faktor alam dan buatan. Dari alam, datangnya El Nino yang menghadirkan kemarau kerap menjadi faktor alam yang dipersalahkan. Selain itu, ada juga faktor kelembaban tanah, curah hujan, dan kecepatan angin yang menyebarkan bibit api. Meski begitu, intervensi manusia terhadap keasrian alam terbukti menjadi penyebab utamanya.

Mengacu pada situs resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) (bnpb.co.id), 99 persen penyebab karhutla Indonesia tahun 2019 berasal dari campur tangan manusia. Hanya 1 persen sisanya yang merupakan faktor alam. Pembukaan hutan dan lahan untuk berladang diprakarsai sebagai pendorong utama manusia untuk melakukan pembakaran lahan. Area hutan dibakar untuk menyingkirkan vegetasi liar, menggantinya dengan akses transportasi dan vegetasi perkebunan.

Salah satu aktor penting yang bertanggungjawab atas kebakaran hutan di Indonesia adalah kehadiran korporasi. Pada bencana karhutla tahun 2015 dan 2019, setidaknya 50 korporasi diselidiki penegak hukum. Namun dari jumlah tersebut, hanya 15 korporasi yang telah divonis oleh pengadilan, sembilan kasus atas nama korporasi dan enam lainnya disebabkan oleh direktur/manajer korporasi (Kompas.id, 15/11/2022, Korporasi Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan Minim Vonis Pengadilan).

Konflik tenurial juga menjadi alasan dari terjadi nya kebakaran hutan. Konflik tenurial merupakan konflik penguasaan tanah antara korporasi/pemerintah dengan masyarakat adat setempat. Penelitian Andhika Silva Yunianto dalam artikel akademik Pemetaan Permasalahan Kebakaran Hutan dan Lahan Kasus di Provinsi Riau menunjukkan bahwa banyak titik api yang berada di kawasan konsesi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan tanaman industri (IUPHHK-HTI). Temuan ini menyiratkan adanya hubungan antara kejadian kebakaran hutan dengan konflik antara masyarakat adat dengan korporasi.

Penyebab lain dari kebakaran hutan adalah faktor alam, terkhusus El Nino. El Nino mengurangi curah hujan yang terjadi di kawasan Indonesia. Akibat adanya pengurangan curah hujan secara signifikan menyebabkan musim kemarau dan kekeringan dalam periode waktu tertentu. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya musim kemarau yang panjang di Indonesia (Kompas.id, 22/8/2023, El Nino Menyebabkan Kekeringan Hingga Oktober).

BNPB melalui Deputi Bidang Pencegahan Prasinta Dewi mengatakan bahwa telah menyiapkan upaya dalam menghadapi El Nino yang berkepanjangan. Modifikasi cuaca dan water bombing menjadi langkah dalam mencegah potensi kebakaran hutan alami di Indonesia karena El Nino tersebut.

Terdapat enam provinsi di Indonesia dengan potensi besar kebakaran hutan dan lahan yaitu Jambi, Riau, Sumtera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Keenam Provinsi tersebut berada pada efek El Nino yang cukup parah dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia.

KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Seorang anggota tim Barisan Pemadam Kebakaran (BPK) Palangkaraya sedang memantau kebakaran lahan yang terjadi pada Minggu (11/9/2016) malam di Jalan Mahir-Mahar, Palangkaraya. Kebakaran mulai terjadi pada pukul 17.00 WIB baru bisa dipadamkan pada pukul 21.30 WIB karena tim pemadam baru datang pada pukul 21.05 WIB.

Sejarah Singkat Karhutla Besar di Indonesia

Bencana karhutla telah terjadi rutin dan berulang kali di Indonesia, terutama di waktu kemarau. Dari ribuan kasus kebakaran tersebut, sejarah mencatat adanya tahun-tahun tertentu dengan tingkat karhutla yang begitu luas dan masif. Salah satu indikator besarnya karhutla tersebut adalah dari luasan hutan dan lahan yang terbakar. Bila diakumulasi, tercapai jumlah jutaan hektar yang terbakar dalam periode satu tahun.

Laporan Grand Design Pencegahan Kebakaran Hutan, Kebun Dan Lahan 2017–2019 oleh KLHK menunjukkan bahwa karhutla besar pertama kali terjadi pada era Orde Baru, tepatnya tahun 1982/83, dan terjadi kembali pada 1994 dan 1997. Sementara di era Reformasi, bencana karhutla besar dengan jumlah jutaan hektar terjadi tiga kali, dimana yang terakhir adalah 2019.

Grafik:

Infografik: Albertus Erwin Susanto

Dari diagram di atas, tampak bahwa era Orde Baru tidak hanya menjadi saksi bencana karhutla pertama kali, melainkan juga tiga karhutla terbesar dalam sejarah Indonesia. Selain itu, Indonesia juga telah mengalami lima kali bencana karhutla besar dengan capaian luas terbakar hingga jutaan hektar.

Pada bencana karhutla besar pertama, yakni 1982/1983, tercapai kerugian hingga Rp 6 triliun. Bencana ini terjadi dalam konteks fenomena El Nino yang ditandai pada waktu itu oleh musim kering berkepanjangan selama 10 bulan berturut-turut. Akibatnya hutan yang telah dieksploitasi sehingga tajuknya relatif lebih terbuka mengalami kekeringan dan mudah terbakar.

Menurut laporan Kebakaran Hutan dan Lahan oleh World Resources Institute Indonesia (WRI), karhutla di tahun ini menghabisi 2,7 juta hektar hutan di Kalimantan Timur, dengan mayoritas di antaranya merupakan jenis hutan hujan tropis. Kerugian yang ditimbulkan dari kebakaran hutan ini mencapai Rp 6 triliun rupiah.

Kebakaran tahun 1982/1983 juga menjadi pintu bagi bencana-bencana karhutla berikutnya. Secara berturut-turut, terjadi karhutla pada tahun 1987 dan 1991. Masing-masing karhutla di tahun tersebut mencapai jumlah luas ribuan hektar. Sementara pada 1994/1995, kebakaran yang lebih luas kembali terjadi.

Karhutla besar kembali terjadi dan mencapai jumlah luasan terbesar pada tahun 1997/1998. Dengan luas mencapai 10 juta hektar hutan, kerugian yang diderita mencapai Rp711 triliun rupiah. Lagi-lagi, siklus iklim El Nino dan kekeringan ekstrim yang ditimbulkannya dinilai menjadi penyebabnya. Kebakaran terjadi di beberapa wilayah, termasuk Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua Barat.

Mengacu laporan Kebakaran Hutan Di Indonesia: Penyebab, Biaya, Dan Implikasinya oleh Center for International Forestry Research (CIFOR) terdapat beberapa tipe vegetasi yang terbakar yaitu hutan pegunungan, hutan dataran rendah, hutan payau dan gambut, semak dan rumput kering, HTI, perkebunan, dan pertanian untuk beberapa wilayah yang mengalami kebakaran yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua Barat. Wilayah Kalimantan menempati peringkat pertama jumlah kawasan pertanian yang mengalami kebakaran yaitu 2,8 juta hektar.

Kondisi atmosfer diselimuti kabut pekat dari asap pembakaran yang menimbulkan buruknya kualitas udara. Air Pollution Index (API) mencatat buruknya kualitas udara mencapai 849. Kebakaran hutan pada tahun tersebut merupakan bencana kebakaran hutan terburuk di dunia pada kala itu yang berdampak di negara tetangga, Singapura dan Malaysia. Terpaksa, turut dilakukan penutupan transportasi laut, darat, maupun udara.

Kebakaran hutan besar selanjutnya terjadi pada periode 2006-2008. Bulan Juli 2006 menjadi salah satu waktu kebakaran hutan terburuk di periode tersebut, terutama di Pulau Sumatera. Provinsi Jambi mencatatkan jumlah titik api tertinggi di Juli 2006, dengan mencapai 1.419 titik api.

Kebakaran hutan pada tahun 2006 ini tidak disebabkan karena efek kekeringan dari El Nino yang kebetulan tengah mengalami siklus yang rendah. Penyebab utamanya adalah peningkatan pembakaran lahan oleh pemilik perkebunan, yang mengakibatkan karhutla masih di Kalimantan dan Sumatera dengan tingkat deforestasi tertinggi, mencapai 7,4 juta hektar.

Kabut asap juga menyebar luas hingga ke negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Selain itu, konsekuensi lainnya adalah diberhentikannya penerbangan udara karena bahaya risiko jarak pandang yang rendah.

Kebakaran besar berikutnya terjadi pada 2015, menyerupai kebakaran tahun 1997. Data KLHK mencatat bahwa total area yang terbakar mencapai 2,6 juta hektar dengan 0,4 jta hektar di antaranya merupakan area berhutan. Wilayah dengan area terbakar tertinggi adalah Sumatera Selatan (646.299 hektar), disusul Kalimantan Tengah (583.833 hektar), dan Papua (350.005 hektar).

Laporan Bank Dunia menyebutkan bahwa kerugian negara atas kebakaran hutan 2015 sebesar Rp 211 triliun. Kondisi demikian menyebabkan berkurangnya anggaran negara untuk menangani bencana tersebut (Kompas.id, 17/10/2022, Mana yang Lebih Parah, Kebakaran Hutan dan Lahan Tahun 2015 atau 2019?).

Kebakaran besar berikutnya terjadi pada 2019. Wilayah yang paling terdampak pada kebakaran hutan 2019 ini adalah Sumatera Selatan (328.475 hektar), Kalimantan Tengah (303.881 hektar), dan Kalimantan Barat (151.070 hektar). Laporan Bank Dunia menyebutkan bahwa kerugian negara atas kebakaran hutan 2019 mencapai Rp 72,91 triliun atau setara dengan 0,5 persen dari total anggaran Pendapatan Domestik Bruto (PDB) 2019 (Kompas.id, 8/1/2020, Darurat Pengelolaan Hutan Indonesia).

Pada rentang tahun 2014-2019, Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah menjadi wilayah yang paling sering mengalami bencana karhutla. Kondisi demikian dipengaruhi oleh area hutan dan lahan gambut yang sangat produktif untuk dialihfungsikan sebagai perkebunan atau lahan.

Pada 2023, karhutla masih terjadi sampai bulan Oktober ini. Dilansir dari situs resmi BNPB, sepanjang Januari-Agustus 2023 telah terdapat 499 kejadian karhutla. Selain itu, KLHK juga mencatatkan bahwa sepanjang Januari-Agustus 2023, karhutla telah mencapai luas 90.405 hektar dengan emisi CO2 dari pembakaran sebesar 5,9 juta ton.

KOMPAS/C WAHYU HARYO PS

Presiden Joko Widodo Rabu (23/9/2015) sore, seorang diri menyusuri kembali lahan gambut yang bekas terbakar di Desa Guntung Damar, Kecamatan Landasan Ulin, Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Meski lima jam sebelumnya Presiden menyaksikan pemadaman di lokasi itu, ia sengaja kembali ke lokasi itu secara mendadak untuk memastikan upaya pemadaman berjalan secara tuntas.

Dampak Kebakaran Hutan

Akibat berbagai jejak kebakaran yang telah terjadi, keseimbangan alam dan manusia sendiri harus menerima dampaknya. Bagi alam, karhutla menghancurkan keseimbangan melalui hilangnya vegetasi khas lokal, penurunan kualitas tanah, dan meningkatkan pemanasan global.

Sementara manusia, sebagai aktor utama penyebab karhutla, harus mengalami kerugian secara sosial, ekonomi, maupun kesehatan. Tak hanya itu, berbagai kerusakan yang diderita alam juga dirasakan oleh manusia.

Hilangnya Vegetasi Khas Wilayah

Kebakaran hutan berdampak pada kerusakan sampai pada hilangnya ribuan jenis vetegasi, baik kayu maupun non-kayu. Vegetasi kayu merupakan jenis tumbuhan yang terdiri dari pohon-pohon besar yang mempunyai nilai ekonomis untuk dimanfaatkan menjadi bahan baku produksi barang seperti pohon jati, sedangkan vegetasi non-kayu merupakan keanekaragaman seperti bunga maupun sifat khusus seperti rotan dan bambu.

Seperti yang terjadi pada kebakaran di TNBTS, beragam jenis vegetasi endemik seperti rumput mlelo, bunga edelwais, dan anggrek tosari hangus terbakar. TNBTS mencatat bahwa kebakaran mengancam 1.025 jenis flora yang berada di wilahnya, dimana di antaranya termasuk 40 anggrek langka dan edelweis.

Hancurnya vegetasi khas wilayah juga diakibatkan oleh karhutla di Kabupaten Pelalawan pada Desember 2017. Kematian vegetasi hutan dan tanaman obat yang menjadi ciri khas mencapai tingkat kematian hingga 100 persen. Semua vegetasi hutan, termasuk tanaman obat, hangus terbakar dan masuk dalam kerusakan yang tidak dapat dipulihkan (irreversible).

Penurunan Kualitas Tanah

Kondisi kualitas tanah dapat dilihat berdasarkan pada sifat fisik, sifat kimia, dan sifat biologis suatu kawasan tertentu. Indikator untuk melihat kualitas tanah tersebut secara langsung menunjukkan gambaran baik/buruknya.

Sifat fisik merujuk pada kadar air dan porositas (kemampuan penyerapan) yang dikandung tanah. Sifat kimia merujuk pada tingkat keasaman (pH), kandungan C-Organik, dan kandungan kimia lain seperti magnesium, natrium, dan kalsium. Sementara sifat biologis ditunjukkan oleh mikroorganisme yang menetap.

Secara tidak langsung, karhutla yang menghancurkan kehadiran vegetasi akan menurunkan kualitas tanah. Hadirnya vegetasi, khususnya pohon-pohon besar, memiliki fungsi pendukung simpanan unsur hara yang diperoleh dari tumbuh-tumbuhan sekitar. Hadirnya akar tumbuhan dan ekosistem fauna juga mendukung mikroorganisme tanah – yang akan turut hilang akibat kebakaran.

Pemanasan Global Akibat Emisi Karbon

Kebakaran hutan berdampak pada peningkatan emisi karbon, senyawa yang dominan diakibatkan dari terbakarnya tumbuh-tumbuhan di hutan. Konsekuensi dari hal tersebut adalah efek rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global. Karhutla pun menjadi penyumbang peningkatan gas karbondioksida (CO2) terbesar selain emisi dari kendaraan dan industri berskala besar.

Mengacu pada Kompaspedia (20/9/2023, Potret Lahan Gambut di Indonesia), karhutla di wilayah gambut menjadi bencana yang paling rentan melepaskan karbon ke udara. Gambut memiliki kapasitas sebagai penyimpan karbon. Ketika terbakar, maka kapasitas tersebut hilang dan membuat gambut melepaskan kandungan karbon yang disimpannya.

Pada periode kebakaran September dan Oktober 2015 saja, sebanyak 1.164 juta ton karbon dilepaskan dari lahan gambut yang hancur. Jumlah tersebut setara dengan 84 persen emisi tahunan Indonesia yang dilaporkan pada tahun 2002.

Sebagai salah satu dampak jangka panjang, suhu bumi pun konsisten bergerak naik secara signifikan. Tiap tahunnya, terjadi peningkatan suhu hingga tiga derajat celcius. Sementara dalam 20 tahun terakhir, amplitudo perubahan iklim mengalami perubahan secara ekstrem. Secara praktis dapat dilihat dari fenomena La Nina yang menjadi lebih basah dan El Nino yang kian kering (Kompas.id, 13/8/2023, El Nino, Karhutla, dan Kesehatan Masyarakat).

KOMPAS/PRIYOMBODO

Warga berdoa meminta turun hujan saat melaksanakan sholat istisqa di halaman Masjid Agung An-Nur, Pekanbaru, Riau, Senin (7/9/2015). Sholat yang diikuti oleh sekitar 1000 orang warga, pegawai, serta anak sekolah itu bertujuan meminta hujan guna mengurangi kabut asap yang kondisinya sudah memprihatinkan.

Dampak Masyarakat (Sosial, Ekonomi, Kesehatan)

Karhutla secara langsung juga berdampak pada dimensi kehidupan masyarakat, terutama sosial, ekonomi, dan kesehatan. Secara sosial kebakaran hutan mengakibatkan terganggunya aktivitas dan interaksi sosial karena kabut asap di luar ruangan. Bahkan hal ini dapat berdampak secara makro, salah satunya dengan dihentikannya penerbangan internasional akibat kabut asap dalam karhutla tahun 1997 dan 2006 lalu.

Secara ekonomi, masyarakat mengalami kerugian akibat terhambatnya  produktivitas. Dari sektor pariwisata, kehadiran wisatawan sebagai sumber pemasukan terhambat. Sementara masyarakat dan pemerintah juga harus mengeluarkan anggaran untuk perbaikan atau pemulihan.

Sebagai contoh, kebakaran di kawasan TNBTS memberikan kerugian hingga Rp 5,4 miliar kepada pihak pengelola dan pemerintah. Di Aceh, kerugian sebesar Rp 2,7 miliar tercatat setelah bencana karhutla pada tahun 2019 yang lalu (Kompas.id, 1/3/2021, Api Masih Membakar Hutan dan Lahan di Aceh, Kerugian Capai Miliaran Rupiah).

Sementara di sektor kesehatan, masyarakat terdampak terancam mengidap berbagai penyakit pernapasan. Asap hasil karhutla mengandung partikel halus berukuran 2,5 mikron yang akan masuk ke saluran pernapasan ketika seseorang menghirup udara tercemar. Pada jumlah yang besar, akumulasi partikel halus tersebut memicu infeksi pernapasan akut (Ispa), asma, dan bronkitis (Kompas.id, 13/8/2023, El Nino, Karhutla, dan Kesehatan Masyarakat).

KOMPAS/IRENE SARWINDANINGRUM

Kabut asap terlihat pekat di salah satu ruas jalan di Kota Palembang, Sumatera Selatan, Minggu (6/9/2015). Setelah sempat mereda sehari sebelumnya, kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan kembali pekat melanda Palembang di pagi hari. Upaya pemadaman terus dilakukan dari darat dan udara.

Penegakan Hukum Kebakaran Hutan

Dengan kerusakan lingkungan hidup dan berbagai risiko masyarakat yang terjadi, kesadaran dan respon konkret terhadap kualitas hutan dan lahan semakin memperoleh perhatian. Pemerintah dengan lembaga kemasyarakatan lainnya telah memberikan tindakan nyata dengan berbagai program dan mitigasi karhutla.

Salah satunya tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.32/Menlhk/Setjen/Kum.1/3/2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Disebutkan bahwa dibentuk regu pengendalian kebakaran hutan sebagai sarana mitigasi dan penyelesaian kebakaran hutan agar tidak berdampak secara meluas dalam kawasan hutan tertentu.

Masih dalam upaya mitigasi, Pasal 48 Ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2014 menetapkan bahwa pelaku karhutla dihukum dengan penjara sampai dengan 10 tahun serta denda maksimal 10 miliar rupiah. Seperti yang terjadi pada kasus karhutla di TNBTS lalu, pelaku Andrie Wibowo Eka Wardhana telah ditetapkan sebagai tersangka dengan penjara lima tahun dan denda sebesar Rp 3,5 miliar.

Upaya penegakan hukum lainnya yaitu penyidikan kepada korporasi sebagai aktor kunci terhadap kejadian pembakaran hutan. Berdasarkan kejadian pembakaran hutan yang terjadi antara 2014-2015 sebanyak 50 korporasi diselidiki terkait dengan itu.

Secara rinci pengadilan telah memberikan vonis kepada 15 kasus, satu kasus dalam proses penyidikan, satu dalam tahap penuntutan, 14 kasus tidak ada kejelasan, dan 19 kasus sisanya diberhentikan penyidikannya (Kompas.id, 15/11/2022, Korporasi Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan Minim Vonis Pengadilan).

Penegakan kasus terus berjalan, namun vonis dan denda kepada pelaku yang dijatuhkan cenderung ringan. Terutama seperti yang terjadi pada rentang 2014-2019, dimana 19 kasus diberhentikan karena ketidakjelasan perkembangan. Selain itu, kejadian pembakaran hutan secara sengaja untuk pembukaan lahan produktif masih terus terjadi dan berulang.

Penegakan hukum akan membuahkan hasil efektif jika dilakukan oleh seluruh komponen masyarakat termasuk lembaga non-pemerintah seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM). Contohnya adalah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dalam memberikan advokasi penegakan hukum kepada pelaku.

Belajar pada pengalaman yang sudah terjadi, WALHI bekerja sama dengan masyarakat untuk mengajukan gugatan CLS Asap 2016 di Provinsi Riau (Walhi.or.id). Presiden dan para tergutan bersedia memenuhi permintaan yang dilayangkan kepada pengadilan. Namun demikian tiga tahun berselang, pertanggungjawaban kasus belum mendapatkan konsistensi keseriusan.

Upaya penegakan hukum melalui berbagai cara dengan peraturan perundang-undangan sebagai instrumennya secara substantif harus lebih berpihak pada keberlanjutan secara sosial maupun ekologisnya. Berbagai instrumen hukum sampai hari ini nampaknya tidak berfungsi dengan baik sejalan dengan peristiwa kebakaran hutan yang masih terjadi karena faktor manusianya. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Syaufina, L., Saharjo, B. H., Nurhayat, A. D., Nurhayat, A. D., Waldi, R. D., & Wardana. (2018). Mari Belajar Kebakaran Hutan. Bandung: IPB Press
Artikel Akademik
  • Endrawati, Purwanto, J., Nugroho, S., & S, R. A. (2017). Identifikasi Areal Bekas Kebakaran Hutan dan Lahan Menggunakan Analisis Semi Otomatis Citra Satelit Landsat. Seminar Nasional Geomatika 2017: Inovasi Teknologi Penyediaan Informasi Geospasial untuk Pembangunan Berkelanjutan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
  • Sumatrana, J. P. (2019). Pemetaan Permasalahan Kebakaran Hutan dan Lahan Kasus di Provinsi Riau. Jurnal Penelitian Kehutanan Sumatrana, 1-13.
  • Tacconi, L. (2003). Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya, dan Implikasinya. Bogor: Center for International Forestry Research (CIFOR).
  • Wasis, B., Saharjo, B. H., & Waldi, R. D. (2019). Impact of Forest Fire on Flora and Mineral Soil Properties in Forest Area of Pelalawan District, Riau Province. Jurnal Silvikultur Tropika, 40-44.
Arsip Kompas

• Kompas.id. (2022, November 15). Korporasi Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan Minim Vonis Pengadilan: https://www.kompas.id/baca/humaniora/2022/11/15/korporasi-penyebab-kebakaran-hutan-dan-lahan-minim-vonis-pengadilan
• Kompas.id. (2019, Oktober 17). Mana yang Lebih Parah, Kebakaran Hutan dan Lahan Tahun 2015 atau 2019?: https://www.kompas.id/baca/utama/2019/10/17/bencana-berulang-itu-membunuhmu-kelak-mana-yang-lebih-parah-2015-atau-2019
• Kompas.id. (2023, Agustus 3). El Nino, Karhutla, dan Kesehatan Masyarakat: https://www.kompas.id/baca/opini/2023/08/11/el-nino-karhutla-dan-kesehatan-masyarakat
• Kompas.id. (2021, Maret 1). Api Masih Membakar Hutan dan Lahan di Aceh, Kerugian Capai Miliaran Rupiah: https://www.kompas.id/baca/nusantara/2021/03/01/api-masih-membakar-hutan-dan-lahan-di-aceh-kerugian-capai-miliaran-rupiah
• Kompas.id. (2020, Januari 8). Darurat Pengelolaan Hutan Indonesia: https://www.kompas.id/baca/utama/2020/01/08/darurat-pengelolaan-hutan-indonesia
• Kompas.id. (2023, Agustus 22). El Nino Menyebabkan Kekeringan hingga Oktober: https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/08/22/el-nino-menyebabkan-kekeringan-hingga-oktober
• Kompas. (2023, September 5). Asap Perburuk Kualitas Udara dan Picu Akses ke Bromo Ditutup. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 11.
• Kompas.id. (2023, September 9). Lahan Terbakar Meluas, Waspadai Bencana Asap. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/09/03/luas-lahan-terbakar-meningkat-waspadai-bencana-asap

Internet

• WALHI. (2019, September 18). Retrieved from Penegakan Hukum Semu di balik Penyegelan Lokasi Kebakaran: https://www.walhi.or.id/penegakan-hukum-semu-di-balik-penyegelan-lokasi-kebakaran
• BNPB. (2023, September 25). Retrieved from Laporan Kebencanaan Indonesia: https://dibi.bnpb.go.id/xdibi2
• KLHK. (2023, September 23). Retrieved from Pusat Dokumentasi dan Informasi: https://ppid.menlhk.go.id/

Jurnal
  • Perserikatan Bangsa-Bangsa. (1997). Indonesia Forest Fires September-November 1997. United Nations Disaster Assesment and Coordinator Team.
  • Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian; Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional; Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2017). Grand Design: Pencegahan kebakaran hutan, kebun dan lahan 2017-2019. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional.