Paparan Topik | Hari Lahir Pancasila

Pancasila dalam Dinamika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Para pendiri bangsa mewariskan Pancasila untuk menjadi pedoman sikap dan kelakuan berbangsa dan bernegara. Sebagai pedoman, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan hasil rumusan nilai-nilai luhur yang digali dari budaya bangsa.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Warga berfoto di depan tulisan Pancasila yang terpasang di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (31/5/2012). Setiap tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahir Pancasila, mengacu pada pidato Bung Karno dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan pada tanggal 1 Juni 1945 tentang rumusan awal Pancasila sebagai dasar negara.

Fakta Singkat

  • Tema Hari Lahir Pancasila 2023 adalah “Gotong Royong Membangun Peradaban dan Pertumbuhan Global”.
  • Pancasila lahir melalui perumusan dan persetujuan kolektif.
  • Berdasarkan pendekatan historis, proses konseptualisasi perumusan Pancasila ke dalam tiga babak, yakni: fase pembuahan, fase perumusan, dan fase pengesahan.
  • Terdapat tiga ancaman Pancasila, yakni intoleransi, ketidakadilan sosial, dan korupsi.

Rumusan Pancasila pertama kali dikemukakan Soekarno pada 1 Juni 1945. Gagasan falsafah negara tersebut dilontarkan dalam pidatonya di depan sidang Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) di Gedung Tyuuoo Sangi-In (kini Gedung Pancasila di lingkungan Kementerian Luar Negeri), Jalan Pejambon, Jakarta.

Oleh Soekarno, Pancasila dimaksudkan menjadi Weltanschauung dan sekaligus sebagai Philosophische Grondslag yang menjiwai dan menuntun ke arah mana bangsa dan negara Indonesia bergerak. Menurut Soekarno, konsepsi falsafah negara dalam Pancasila tidak mengekor ideologi-ideologi dominan yang ada, melainkan “dari pengalaman kami sendiri dan dari sejarah kami sendiri tumbuhlah sesuatu yang lain, sesuatu yang jauh lebih sesuai, sesuatu yang jauh lebih cocok”.

Berdasarkan laman resmi BPIP, peringatan Hari Lahir Pancasila 2023 mengusung tema “Gotong Royong Membangun Peradaban dan Pertumbuhan Global” dan tagline “Aktualisasi Pancasila, Energi Pertumbuhan Indonesia”. Untuk memperingati Hari Lahir Pancasila, BPIP mengimbau dilaksanakan upacara di seluruh wilayah Republik Indonesia dan kantor perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Aktivis Masyarakat Cinta Republik memperingati Hari Lahir Pancasila dengan menggelar aksi teatrikal di perempatan Tugu Yogyakarta, Selasa (1/6/2010). Mereka mengajak masyarakat kembali mengutamakan penerapan ideologi Pancasila dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari. 

Karya Pendiri Bangsa

Pancasila merupakan warisan dan karya bersama para pendiri bangsa. Secara konseptualisasi, merujuk tulisan Yudi Latif dalam buku berjudul Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualisasi Pancasila, sebagai prinsip dasar negara, Pancasila lahir melalui perumusan dan persetujuan kolektif. Meski demikian, tidak bisa dipungkiri, bahwa dalam karya bersama itu terdapat individu dengan peranan penting dan menojol, yakni Soekarno.

Berdasarkan pendekatan historis, kesejarahan Pancasila tidaklah bermula dan berakhir pada momen 1 Juni 1945. Lima sila yang disampaikan Soekarno ketika itu berbeda rumusannya dengan yang kita kenal hari ini. Sebab, gagasan tersebut telah dirumuskan ulang dalam sejumlah diskusi yang melibatkan banyak tokoh,  sehingga akhirnya melahirkan rumusan final sebagaimana yang kita kenal pada hari ini (“Pancasila Milik Bersama”, Kompas, 16 April 2021).

Yudi Latif membagi proses konseptualisasi Pancasila ke dalam tiga babak, yakni: fase pembuahan, fase perumusan, dan fase pengesahan. Setiap fase melibatkan partisipasi berbagai unsur dan golongan.

Fase pembuahan setidaknya dimulai pada 1920-an, di mana pergerakan Indonesia mulai membentuk rintisan-rintisan gagasan untuk mencari sintesis antarideologi dan gerakan seiring dengan proses “penemuan” Indonesia sebagai kode kebangsaan bersama (civic nationalism), yang kemudian menemukan momentumnya lewat Sumpah Pemuda.

Pada fase pembuahan ini, terjadi proses pertukaran pemikiran, secara horizontal antar-ideologi, dan secara vertikal antargenerasi. Pemikiran Soekarno sendiri tentang pergerakan Indonesia, misalnya pada awalnya mulai dibentuk ketika dia tinggal di Surabaya pada 1916, mondok di rumah Tjokroaminoto. Di sana, Soekarno (saat itu usia 15 tahun, sedang menempuh sekolah menengah Hoogere Burger School) bersinggungan dengan berbagai pemikiran mulai dari islamis, nasionalis sampai marxis, melalui pertemuan dengan para tokoh intelektual, antara lain, Muso, Tan Malaka, SM Kartosuwirjo, dan Abikusno Tjokrosoejoso.

Selanjutnya, fase perumusan, dimulai pada masa persidangan pertama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) pada 29 Mei — 1 Juni 1945. BPUPKI sendiri dibentuk oleh pemerintah pendudukan Jepang pada 29 April 1945. Keanggotaan badan ini berjumlah 63, dan lalu berubah menjadi 69 orang, yang dibagi menjadi lima golongan: golongan pergerakan, Islam, birokrat (kepala jawatan), wakil kerajaan (kooti), pangreh praja (residen/wakil residen, bupati, walikota), peranakan Tionghoa, Arab, dan Belanda.

Perlu dicatat, dalam keanggotaan terdapat dua orang wanita, yaitu Maria Ulfa Santoso dan Siti Sukaptinah Soenarjo Mangoenpoespito. Keduanya telah aktif dalam pergerakan sejak 1920-an, sehingga menurut Yudi Latif tidak tepat kiranya penggunaan istilah founding fathers.

Dalam Kongres BPUPKI ini mulai dibahas rencana pembentukan suatu negara modern, salah satu pembahasannya adalah terkait rumusan dasar negara. Dalam rapat-rapat, beberapa anggota menyumbang pandangan tentang elemen-elemen fundamental dasar kehidupan bernegara.

Pentingnya nilai keutuhan sebagai fundamen kenegaraaan, antara lain, dikemukakan oleh Muhammad Yamin, Wiranatakoesoema, Soerio, Soesanto Tirtoprodjo, Dasaad, Agoes Salim, Abdoelrachim Pratalykrama, Abdul Kadir, KH. Sanoesi, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Soepomo, dan Mohammad Hatta.

Pentingnya nilai kemanusiaan sebagai fundamen kenegaraan dikemukakan oleh Radjiman Wedyodiningrat, Muhammad Yamin, Wiranatakoesoema, Woerjaningrat, Soesanto Tirtoprodjo, Wongsonagoro, Soepomo, Liem Koen Hian, dan Ki Bagoes Hadikoesoemo.

Pentingnya nilai persatuan sebagai fundamen kenegaraan dikemukakan oleh Muhammad Yamin, Sosrodiningrat, Wiranatakoesoema, Woerjaningrat, Soerio, Soesanto Tirtoprodjo, Abdoelrachim Pratalykrama dam Soekiman, Aboel Kadir, Soepomo, PF Dahler, dan Ki Bagoes Hadikoesoemo.

Pentingnya nilai-nilai demokrasi permusyawaratan seagai fundamen kenegaraaan, antara lain, dikemukakan oleh Mohammad Yamin, Woerjaningrat, Soesanto Tirtoprodjo, Abdoelrachim Pratalykrama, Ki Bagoes Hadikoesoemo, dan Soepomo.

Pentingnya nilai-nilai keadilan/kesejahteraan sosial sebagai fundemen kenegaraan dikemukakan, antara lain, oleh Mohammad Yamin, Soerio, Abdoelrahcim Pratalykrama, Abdul Kadir, Soepomo, dan Ki Bagoes Hadikoesoemo.   

Pandangan-pandangan tersebut menjadi masukan penting, dan kemudian dikombinasikan oleh Soekarno dengan gagasan-gagasan ideologis dan refleksi historisnya yang mengkristal dalam pidatonya pada 1 Juni 1945. Dalam pidatonya ketika itu, Soekarno menyampaikan lima prinsip dasar negara. Prinsip pertama adalah “kebangsaan”, kedua “internasionalisme” atau “perikemanusiaan”, ketiga “mufak atau demokrasi, keempat “kesejahteraan sosial”. Terakhir, Soekarno menutup dengan prinsip “ketuhanan yang berkebudayaan”. Konsepsinya tentang dasar negara itu disebut Soekarno dengan Pancasila.

Namun, untuk menjadi dasar falsafah negara, ideologi negara dan pandangan hidup. Pancasila konsepsi Soekarno itu masih harus melewati pergulatan diskursus dalam berbagai sidang dan pertemuan untuk mencapai konsensus bersama. Pada proses itulah, prinsip-prinsip Pancasila dari pidato Soekarno tersebut mengalami perubahan dan penyempurnaan untuk memayungi semua perbedaan yang ada di Indonesia.

Sehingga pada fase pengesahan pada 18 Agustus 1945 dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), terjadi perubahan dalam tata urut dan bunyi sila-sila Pancasila dari susunan awal yang disebutkan Soekarno.

Prinsip Ketuhanan dipindah dari sila terakhir ke sila pertama. Dengan bunyi Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila internasionalisme atau perikemanusiaan tetap berada di sila kedua, tetapi berubah kalimatnya menjadi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Kebangsaan Indonesia berubah posisi dari sila pertama menjadi ketiga dan berubah penyebutannya menjadi Persatuan Indonesia.

Selain itu, sila mufakat menjadi sila keempat dan mengalami penyempurnaan kalimat menjadi Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Prinsip kesejahteraan dari sila keempat menjadi kelima, serta diubah kalimatnya menjadi Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Sejak saat itu, Pancasila dapat dikatakan telah menjadi dasar negara. Dalam pengertian Soekarno, menjadi Weltanschauung dan sekaligus sebagai Philosophische Grondslag, yang menjiwai dan menuntun ke arah mana bangsa dan negara Indonesia bergerak.

Pancasila Kunci Keutuhan Bangsa

Franz Magnis-Suseno dalam artikelnya di Kompas (19/9/2021) berjudul “Perwujudan Nyata Pancasila” menekankan bahwa kelima sila dalam Pancasila merupakan pedoman sikap dan kelakuan bangsa Indonesia. Dalam hal ini, apabila diterapkan akan mempunyai dampak sangat positif bagi kehidupan bersama bangsa dan bagi kestabilan negara Indonesia yang majemuk. Terlebih, nilai-nilai tersebut berakar dari dalam tradisi-tradisi dan budaya-budaya bangsa Indonesia.

Merujuk buku Demokrasi, Agama, dan Pancasila: Catatan Sekitar Perpolitikan Indonesia Now karya Franz Magnis-Suseno dan laman Kompaspedia (1/6/2022, “Hari Lahir Pancasila: Ideologi Negara di Tengah Pusaran Zaman”), Pancasila telah terbukti menjadi landasan etis yang kokoh dari masa ke masa, menjadi unsur hakiki dalam sejarah Indonesia yang berkali-kali terancam keutuhannya sebagai bangsa dan negara yang multikultural.

Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, menyatakan secara eksplisit bahwa salah satu fondasi negara adalah Ketuhanan. Masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu merupakan masyarakat relgius, memiliki beragam sistem kepercayaan yang turut mempengaruhi kehidupan sehari-hari.

Menurut Franz Magnis-Suseno, sila pertama menaungi dan melindungi semua agama atau kepercayaan, sekaligus memuat anjuran kesediaan untuk saling menerima dan menghormati dalam identitas agama dan kepercayaan masing-masing. Ini terlihat dari penggunaan istilah “Ketuhanan” yang dipilih, bukan “Allah” atau “Tuhan”, yang mencerminkan penerimaan segala orientasi religius. 

Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, merupakan arahan untuk selalu saling memperlakukan orang lain sesuai dengan martabat sebagai manusia, dan itu berarti, selalu dengan adil dan beradab. Magnis-Suseno menerjemahkan adil sebagai “sikap tidak mendahulukan kelompok atau golongan tertentu, tidak mendahulukan mayoritas terhadap minoritas, yang berpengaruh terhadap yang tidak berpengaruh”. Sedangkan beradab diartikan “penolakan secara prinsip terhadap kekerasan dalam menyelesaikan konflik”, mengharamkan kekerasan.

Sila ketiga, Persatuan Indonesia, merupakan cerminan dari bangsa Indonesia yang terdiri dari begitu banyak dan beragam perbedaan, baik secara agama, kultur, bahasa, hingga karakter dan pandangan. Namun, kebersamaan sebagai bangsa Indonesia merupakan hal yang utama. Persatuan, kesatuan, serta keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan.

Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, merupakan landasan yang dikonsepkan para pendiri bangsa sebagai sistem bernegara dan bermasyarakat Indonesia. Sila ini mengandung tuntunan untuk memecahkan masalah-masalah secara demokratis dengan bersedia untuk saling mendengarkan dan bicara bersama dan mencari pemecahan bersama.

Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, memuat arahan menjunjung perlakuan adil dalam setiap bidang kehidupan. Dalam konteks ini, Pancasila menurut Magnis menekankan, bahwa kita tidak boleh puas dengan segala kemajuan dan hasil pembangunan selama keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia belum terwujud. Oleh karena itu, kita tidak boleh membiarkan mereka yang lemah, miskin, dan terpojok menjadi tertinggal.

Adapun inti dari Pancasila, menurut Soekarno adalah semangat “gotong royong”. Gotong royong adalah semangat dinamis menggambarkan suatu usaha, suatu pekerjaan secara bersama-sama untuk kebahagiaan bersama. “Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama!”.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Wakil Presiden Boediono menyampaikan pidato kebangsaan saat peringatan pidato Bung Karno 1 Juni 1945 di Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Jumat (1/6/2012). Acara tersebut juga dihadiri Presiden ketiga RI, BJ Habiebie, Presiden kelima RI, Megawati Soekarnoputri, Wakil Presiden keenam RI, Try Sutrisno, Wakil Presiden kesembilan, Hamzah Haz, dan Wakil Presiden kesepuluh, Jusuf Kalla

Tantangan Nilai Pancasila

Pancasila telah menjadi landasan dan pondasi utama bangsa Indonesia dalam menata unsur-unsur kehidupan berbangsa serta bernegara. Namun, dalam upaya menjalankan nilai-nilai Pancasila, seringkali mengalami berbagai tantangan. Kondisi ini tentu tidak terlepas dari sejumlah kondisi dalam kehidupan berbangsa yang tak selaras dengan semangat para pendiri bangsa.

Magnis-Suseno menyebut setidaknya ada tiga tantangan nyata yang perlu menjadi perhatian masyarakat, yang didasarkan oleh berbagai fenomena yang muncul di masyarakat. Pertama, intoleransi dan kepicikan. Sikap menolak adanya perbedaan di masyarakat.

Merujuk Kompas (3/6/2021), masih adanya sikap intoleran terekam dari jajak pendapat Litbang Kompas 17–19 Mei 2021. Dari 511 responden yang berhasil diwawancara dari 34 provinsi. Ada sekitar 19,3 persen responden yang pernah punya pengalaman diperlakukan intoleran.

Intoleransi beragama masih menjadi salah satu yang paling mencemaskan karena masih bertumbuhnya sikap diskriminatif di lingkungan sosial. Kasus-kasus yang menyinggung kemerdekaan memeluk agama tertentu masih terjadi di lingkup kecil perseorangan maupun melibatkan kelompok.

Lebih mengkhawatirkan lagi, sikap intoleransi kini tidak hanya terjadi di dunia nyata, tetapi juga ruang digital. Lebih dari separuh responden mengaku sering mendapati perlakuan intoleran pengguna media sosial. Sebanyak 15,7 persen responden lain juga mengaku banyak melihat tindakan intoleran di media arus utama.

Kedua, ketidakadilan sosial. Terjadinya ketidakadilan merupakan ancaman bagi persatuan bangsa. Terkait hal ini, yang paling terasa adalah terjadinya kesenjangan dalam ekonomi. Berdasarkan data World Inequality Report (WIR) 2022, ketimpangan pendapatan di tanah air semakin melebar.

Laporan World Inequality Report 2022 (WIR) yang dilansir oleh World Inequality Lab pada 7 Desember 2021 menyebutkan, 50 persen kelompok terbawah yang berarti jumlahnya sekitar 135 juta penduduk Indonesia, memiliki kekayaan rata-rata hanya Rp 8,3 juta atau setara dengan 5,5 persen dari total kekayaan nasional. Sedangkan kekayaan 10 persen teratas teratas rata-rata adalah Rp 450 juta, menguasai pangsa kekayaan 80 persen.

Ketiadakadilan tidak bisa dianggap sepele. Jika keadaan ketidakadilan ini terus berlanjut, masalah yang berakar pada adanya ketimpangan sosial akibat pengimplementasian keadilan sosial yang tidak sempurna ini akan menimbulkan kecemburuan. Dampaknya, hilangnya perasaan senasib dan tekad bersama untuk bersatu sebagai satu bangsa.

Ketiga, adalah korupsi. Berdasarkan data ICW, ada 579 kasus korupsi yang telah ditindak di Indonesia sepanjang 2022. Jumlah itu meningkat 8,63 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 533 kasus. Memburuknya kondisi korupsi di Indonesia juga tergambar dari rilis terbaru yang dikeluarkan oleh Transparency International Indonesia (TII) tentang Indeks Persepsi Korupsi. Hasil survei menunjukkan bahwa pada tahun 2022 Indonesia mengalami penurunan skor yang sangat drastis yakni dari 38 menjadi 34.

Menurut Magnis-Suseno, korupsi menjadi ancaman terbesar yang dihadapi Indonesia saat ini, menjadi “kanker” yang menggerogoti substansi kebangsaan. Menghancurkan akar solidaritas, keadilan sosial ekonomi, etos kerja keras, dan kompetensi-kompetensi positif yang bangsa Indonesia miliki.

Penerapan Pancasila

Secara aktualisasi, harus diakui bahwa penerapan nilai-nilai Pancasila masih jauh dari ideal. Meski demikian, upaya mengaktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan nyata terus dilakukan.  

Sikap solidaritas dan saling membantu sesama di tengah pandemi Covid-19 bisa menjadi contoh dari upaya mengaktualisasikan Pancasila tersebut. Keberhasilan keluar dari situasi krisis karena pandemi, jika direfleksikan merupakan hasil dari penerapan nilai-nilai Pancasila oleh masyarakat Indonesia.

Selama badai Covid-19, solidaritas sosial yang telah menjadi identitas bangsa Indonesia sejak lama kian tumbuh dalam keseharian. Hal ini tercermin dari semangat gotong royong yang dilakukan oleh masyarakat dalam situasi krisis tersebut.

Jajak pendapat Kompas pada tanggal 20–24 April 2020 merekam tingginya antusias masyarakat dalam meringankan beban sesama melalui beragam bentuk bantuan. Dari 1.659 responden dari 34 provinsi yang berpartisipasi, lebih dari separuhnya pernah memberikan bantuan terhadap warga yang terdampak pandemi. Sebanyak 40,6 persen menyatakan bahwa memberikan bantuan terhadap sesama yang kesusahan merupakan merupakan kewajiban sebagai manusia.

Secara kultural dan historis, solidaritas sosial ini telah berakar dan menjiwai kehidupan masyarakat Indonesia sejak lama. Setiap ada bencana alam di Indonesia misalnya, aksi penggalangan bantuan selalu dilakukan, baik oleh perorangan, komunitas masyarakat, maupun lembaga. Tanpa menunggu negara hadir, inisiatif masyarakat selalu menjadi benteng terdepan sebagai aksi tanggap bencana maupun krisis.

Hidup berbagi dan gotong royong bangsa Indonesia ini bahkan diakui dunia internasional. Pada 2022, Indonesia kembali tercatat sebagai negara paling dermawan di dunia oleh Charity Aid Foundation melalui World Giving Index 2022. Peringkat ini disandang Indonesia selama lima tahun berturut-turut. Tercatat, skor Indonesia pada WGI 2022 adalah 68 persen.

Skor tersebut diukur berdasar tiga indikator, yaitu menyumbang uang dengan skor 84 persen (rata-rata dunia 35 persen), berpartisipasi dalam kegiatan kesukarelawanan 63 persen (rata-rata dunia 23 persen), dan menyumbang pada orang asing 58 persen (rata-rata dunia 62 persen). Menurut sosiolog Universitas Gadjah Mada, Derajad S Widhyharto, kedermawanan orang Indonesia dibentuk dari nilai budaya, agama, sosial, dan politik.

Dengan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila, seperti gotong royong, solidaritas sosial, persatuan, dan empati. Terbukti, Indonesia bisa keluar dari tantangan dan kesulitan selama pandemi. Bukan tidak mungkin juga akan bangkit lebih kuat.  

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Bendera Merah Putih sepanjang 1.000 meter dibentangkan mengelilingi Candi Borobudur dan dikirab menuju Balkondes Kembanglimus di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Rabu (1/6/2022). Kegiatan ini digelar untuk memperingati Hari Kelahiran Pancasila sekaligus meningkatkan semangat kebangsaan masyarakat di kawasan Borobudur.

Pancasila dan Pemilu

Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyebutkan bahwa pemilihan umum adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sebagaimana yang disebutkan di atas, pelaksanaan pemilu sudah seharusnya berpegang teguh pada nilai-nilai Pancasila, yaitu nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, serta nilai keadilan. Namun, dalam praktik dan proses tahapan penyelenggaraan pemilu, nilai-nilai Pancasila yang seharusnya menjadi pedoman, justru kerap diabaikan dan dilanggar.

Berdasarkan pengalaman beberapa pemilu yang lalu, implementasi Pancasila dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia seringkali rapuh dan goyah. Setidaknya dari dua pilpres terakhir, tahun 2014 dan 2019, dan sejumlah pemilu kepala daerah (pilkada) langsung, kita dapat melihat terjadinya banyak pelanggaran nilai-nilai Pancasila yang memicu keterbelahan masyarakat.

Sejumlah pemilu kepala daerah (pilkada) langsung, konflik yang berujung pada keterbelahan masyarakat sangat terasa. Bahkan, sampai saat ini masih terasa fragmentasi dalam masyarakat akibat perbedaan pilihan politik itu.

Sejak proses tahapan pemilu hingga pemilu, panggung politik riuh dengan “saling serang” antarkubu. Masalahnya, keriuhan tersebut bukan didominasi adu gagasan dan ide demi kemajuan bangsa dan negara yang menjadi aspek penting pesta demokrasi tersebut, melainkan kampanye negatif, utamanya politik identitas, untuk mempengaruhi opini publik.

Politik identitas merupakan politik penciptaan perbedaan. Ada dua isu politik identitas yang sering digunakan dalam kampanye pemilu 2014 dan 2019, yaitu isu agama dan isu ras dan etnis. Kedua isu tersebut sering dimanfaatkan sebagai materi kampanye untuk mempromosikan calon sekaligus menyerang lawan politik, sebab merupakan cara yang paling mudah dan murah untuk menggalang dukungan.

Merujuk kembali Yudi Latif, politik semacam ini harus diwaspadai, sebab memungkinkan munculnya keyakinan atavistik bahwa identitas hanya bisa dipertahankan dan diamankan dengan cara menghabisi perbedaan dan keberlainan (otherness). Dalam situasi seperti itu, eksistensi persatuan Indonesia yang multietnis, multikultural dan multi-agama menjadi terancam.

Sentimen yang ditimbulkan dari politik identitas dapat berefek panjang di akar rumput, sekalipun di tingkat elit tekah terjadi rekonsiliasi politik. Titik paling ekstremnya dapat berakibat pada perseteruan fisik. Amartya Sen dalam bukunya berjudul Kekerasan dan Identitas menyebutkan bahwa identitas bisa memicu pembunuhan. Hal ini telah terjadi berulang kali di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Oleh sebab itu, politisasi identitas yang menciptakan kebencian harus dihentikan dalam kontestasi politik.

Para kontestan harus memperagakan politik yang kondusif bagi demokrasi, misalnya melalui adu ide, adu gagasan, serta adu program yang mengutamakan kepentingan rakyat. Nilai-nilai Pancasila yang termaktub dalam kelima sila Pancasila sudah semestinya diamalkan dalam penyelenggaraan pemilu.

Ketua Bawaslu Tulungagung, Fayakun, dalam artikel berjudul “Hak Pilih Pemilu 2024 dan Filosofi Nilai-Nilai Pancasila”, menyebutkan bahwa sila-sila dalam Pancasila telah memberikan pedoman bagi para peserta pemilu sekaligus masyarakat sebagai pengguna hak pilih maupun pihak penyelenggara pemilu.

Sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa” memberikan kebebasan untuk menentukan preferensi pilihannya atas partai politik atau calon berdasarkan keyakinan hati nurani masing-masing, termasuk keyakinan agamanya, tanpa memaksakan keyakinan itu kepada orang lain, melainkan harus saling hormat menghormati atas keyakinan orang lain dalam menjatuhkan pilihan politiknya.

Sila kedua, “Kerakyatan yang Adil dan Beradab” mengamanatkan perhelatan pemilu yang adil dan berkontestasi secara beradab. Sila ketiga, “Persatuan Indonesia” merupakan pedoman bagi pemilih dan kontestan dalam pemilu agar menjaga persatuan dan kerukunan dalam menggunakan hak pilih dan berkompetisi.

Sila keempat Pancasila, “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan” adalah dasar adanya pemilu dan demokrasi. Terakhir, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” menjadi acuan bagi peserta, pemilih, dan penyelenggara pemilu untuk menjunjung keadilan. 

Melalui komitmen bersama untuk mengimplementasikan Pancasila dalam pelaksanaan pemilu, peluang dihasilkannya pemimpin yang berintegritas bukan tidak mungkin dapat lebih cepat terwujud. (LITBANG KOMPAS)

 

Referensi

Buku
  • Latief, Yudi. 2011. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  • Suseno, Franz Magnis. 2021. Demokrasi, Agama, Pancasila: Catatan Sekitar Perpolitikan Indonesia Now. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
  • Sen, Amartya. 2016. Kekerasan dan Identitas. Jakarta: Marjin Kiri
  • Sagala, Christo Sumurung Tua dan Mirza Nasution. 2022. “Implementasi Pancasila di Tahun Politik.” Jurnal Adhyasta Pemilu5, no. 2 (2022): 113-126.
Laporan
  • Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2022. Diakeses dari ti.or.id
  • World Giving Index 2022. Diakses dari cafonline.org
Arsip Kompas
  • “Solidaritas Menguat di Masa Pandemi”, Kompas, 14 Juni 2020.
  • “Solidaritas Sosial, Buah Manis dari Sejarah Indonesia”, Kompas, 18 Mei 2020.
  • “Pancasila Milik Bersama”, Kompas, 16 April 2021.
  • “Jalan Panjang Merawat Toleransi”, Kompas, 3 Juni 2021.
  • “Memosisikan Pancasila”, Kompas, 18 Juni 2021.
  • “Perwujudan Nyata Pancasila”, Kompas, 19 September 2021.
  • “Kesenjangan Menjalankan Nilai Pancasila”, Kompas, 1 Juni 2022.
  • “Politik Identitas, Kekhawatiran KPU dan Kita Semua Jelang Pemilu 2024”, Kompas, 16 Oktober 2022.
  • “Lebih Separuh Penduduk Indonesia Tak Mampu Makan Bergizi”, Kompas, 9 Desember 2022.
  • “Komitmen Elite Politik Diperlukan Atasi Politisasi Identitas Jelang Pemilu 2024”, Kompas, 17 Mei 2023.
  • Internet:
  • “Hak pilih Pemilu 2024 dan filosofi nilai-nilai Pancasila”, diakses dari tunglungagung.bawaslu.go.id.