KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Lambang Garuda Pancasila dibawa saat Kirab Pancasila 2023 di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Minggu (28/5/2023). Kirab untuk menyambut Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni ini digelar oleh Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP). Berbagai atraksi budaya seperti marching band dan tanjidor memeriahkan acara ini. Para peserta kirab berjalan di sepanjang area kawasan bebas kendaraan bermotor di Jalan Sudirman dan MH Thamrin.
Fakta Singkat
- Wacana dan pemaknaan Pancasila perlu rutin dilakukan, termasuk dalam upaya membaca relevansinya pada era kontemporer.
- Pancasila adalah merupakan wujud sari-sari filsafat Nusantara yang telah hidup ratusan tahun di tengah kebudayaan masyarakat Indonesia.
- Filsafat Nusantara pertama kali menjadi kajian akademik yang otonom pada tahun 1960-an, dimana ia tidak tergolong filsafat Barat maupun Timur.
- Perumusan Pancasila berlangsung berjilid-jilid, dengan pertama kali dilakukan lewat sidang BPUPKI yang dimulai pada 29 Mei 1945.
- Meski perumusannya seolah baru dilakukan menjelang kemerdekaan Indonesia, namun fase pembuahan Pancasila telah dimulai bahkan sejak tahun 1920-an melalui berbagai gerakan dan gagasan para tokoh.
- Pemaknaan atas masing-masing sila dapat mendorong pengembangsan bangsa Indonesia yang adil, beradab, bersatu, demokratis, dan berkeadilan sosial.
- Sebagai ideologi terbuka, tiap sila dalam Pancasila terus relevan lewat pemaknaan yang dinamis dan kreatif sesuai dengan hakikat nilai moralnya.
Telah menjadi pengetahuan publik bahwa Pancasila memegang status sebagai dasar atau landasan ideologi bangsa. Perjalanan sejarah dalam proses perumusan Pancasila juga melekat dalam pengetahuan tersebut, dimana ia dirumuskan oleh para bapak bangsa pada tahun 1945. Peristiwa bersejarah itulah yang lantas diperingati secara nasional setiap tanggal 1 Juni.
Namun lebih daripada itu, Pancasila juga menjadi wujud atas fondasi falsafah bangsa Indonesia. Kehadirannya terbentuk dari sari-sari filsafat Nusantara yakni filsafat asli masyarakat Indonesia yang telah mengakar sejak pra-kemerdekaan dan tanpa pengaruh dari aliran pengetahuan Barat. Nilai-nilai luhur yang dikandung tidak hanya menunjukkan karakter bangsa, namun juga menjadi arah gerak masyarakat.
Dalam konteks era digital, kehadiran Pancasila justru seolah menghadapi tantangan. Dunia baru yang serba maya menghadirkan gaya hidup dan keteraturan yang serba baru. Menurut Magnis-Suseno, Pancasila justru begitu dibutuhkan dalam kondisi dimana relevansinya mungkin dipertanyakan atau bahkan tidak terwujud lagi. Wacana dan pemaknaan Pancasila perlu rutin dilakukan, termasuk dalam upaya membaca relevansinya pada era kontemporer.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Bendera Merah Putih sepanjang 1.000 meter dibentangkan mengelilingi Candi Borobudur dan dikirab menuju Balkondes Kembanglimus di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Rabu (1/6/2022). Kegiatan ini digelar untuk memperingati Hari Kelahiran Pancasila sekaligus meningkatkan semangat kebangsaan masyarakat di kawasan Borobudur.
Identitas Filosofis Pancasila
Sebagai sari dari filsafat Nusantara, artikel Kompaspedia (6/7/2022, Pancasila dan Filsafat Bangsa) menarik pembahasan Pancasila dari hakikat filsafat itu sendiri. Disadur dari berbagai sumber, filsafat pada hakiaktnya bukan kajian akademik oleh golongan intelektual semata. Justru sebaliknya, filsafat sejatinya adalah cara-cara hidup yang selaras dengan kosmos atau alam.
Dengan hakikat demikian, implemetansi atas filsafat justru melampaui ruang-ruang kelas dan sekolah. Ia hidup di tengah masyarakat dalam praktik di ruang-ruang publik. Penghidupannya dilakukan lewat pertukaran antara keutamaan nilai-nilai baik, yang tidak hanya dipikirkan, tapi juga dihimati dan diterapkan. Keutamaan nilai yang dimaksud termasuk sikap kesederhanaan, welas asih, kesalehan, keadilan, dan keberanian.
Kandungan atas keutamaan-keutamaan demikianlah yang lantas turut dapat ditemukan dalam Pancasila. Lebih daripada poin-poin ideologis semata, Pancasila merupakan suatu wujud pandangan atau laku hidup (way of life) bagi manusia. Bahan material dari Pancasila terdiri atas butiran dan ajaran kebijaksanaan dalam budaya etnik maupun agama yang ada di Indonesia.
Jauh sebelum Indonesia merdeka, nilai-nilai itu telah terkandung dalam kehidupan masyarakat Nusantara. Artinya, Pancasila adalah bunga rampai dari filsafat Nusantara yang kemudian disusun dan dirumuskan oleh para bapak bangsa Indonesia.
Hingga titik ini, dapat disadari pula bahwa sejatinya Indonesia telah memiliki aliran filsafatnya sendiri yang otonom dan berbeda dari aliran filsafat Timur lainnya dan Barat yang saat ini mendominasi diskusi kefilsafatan.
Filsafat Nusantara sendiri pertama kali baru menjadi kajian akademik yang otonom pada tahun 1960-an. Salah satu buku yang merintis diskusi ini adalah Falsafah Indonesia yang dituliskan oleh Guru Besar Luar Biasa Filsafat di Universitas Indonesia, M. Nasroen, pada tahun 1967.
Dalam buku tersebut, Nasroen menulis bahwa tradisi filsafat Nusantara sejatinya telah muncul sejak era Neolitikum, sekitar tahun 3500–2500 SM dalam wujud pemikiran abstrak. Dengan usianya yang kuno, Nasroen menegaskan bahwa filsafat Nusantara berkembang sebagai cabang kefilsafatan sendiri yang khas, tidak tergolong filsafat Barat maupun Timur.
Identitas utama dari filsafat Nusantara adalah perwujudannya lewat berbagai rupa, seperti falsafah mufakat, pantun, hukum adat, nilai ketuhanan, gotong-royong, hingga relasi kekeluargaan yang menunjukkan bahwa filsafat Nusantara terkandung dalam produk-produk kebudayaan. Artinya, dalam pluralisme di Indonesia, masing-masing kebudayaan memiliki fondasi kefilsafatannya sendiri.
Sebagai contoh, masyarakat Bali yang memiliki nilai kebudayaan Tri Hita Karana. Nilai ini menjadi pedoman bagi kehidupan harmonis bagi tiga macam relasi, yakni manusia dengan sesama manusia, manusia dengan alam semesta, dan manusia dengan Sang Pencipta. Harmonisme tersebut dicapai untuk mewujudkan sikap positif seperti kehidupan demokratis, gotong-royong, sopan-santun, dan sikap religius.
Selain itu, masyarakat Jawa juga memiliki filsafat hidup yang menempatkan kekuasaan negara dari sosok pemimpin yang berkuasa (raja), rakyat sebagai pendukung pemerintahan, dan kehadiran Tuhan yang maha kuasa. Ketiga sumber kekuasaan negara ini tidak dapat dipisahkan dalam bagaimana masyarakat Jawa kuno menghidupi diri sebagai bagian dari penduduk negara.
Seiring kemerdekaan Indonesia, filsafat Nusanatara masih bertahan lewat para tokoh-tokoh filsafat nasional. Mereka dapat ditemukan dalam tiap periodisasi negara Indonesia dan pemikirannya berdampak nyata bagi gerak kultural dan kemasyarakatan. Termasuk dalam tokoh-tokoh tersebut adalah Ki Jajar Dewantara, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Soekarno, Pramoedya Ananta Toer, Wiji Thukul, K. H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Soedjatmoko, dan Mochtar Lubis.
Lebih lanjut, kehadiran filsafat Nusantara yang sudah hidup selama berabad-abad tersebut disarikan ke dalam lima poin Pancasila. Hadirnya Pancasila dengan demikian menjadi perwujudan dari filsafat dan pandangan hidup masyarakat Indonesia. Pancasila adalah sintesis dari pokok-pokok filsafat bangsa yang menjadikannya Philosophische Grondslag (filsafat negara) sekaligus Weltanschauung (pandangan hidup) bangsa.
Penelitian yang dilakukan Sunoto, yang dibukukan dalam buku Menuju Filsafat Indonesia, merumuskan bahwa Pancasila hadir dari proses historis panjang bangsa Indonesia. Proses historis dimaknai Sunoto sebagai “beribu peristiwa yang pernah terjadi dan dialami oleh bangsa Indonesia”.
Sekilas Sejarah Pancasila
Pembacaan atas sejarah Pancasila dapat didalami melalui artikel Kompaspedia (30/5/2021, Pancasila: Sejarah Perumusan Sebagai Dasar Negara, Pandangan Hidup, dan Upaya Pelestarian Ideologi). Meski sejatinya telah hidup selama ratusan tahun di tengah masyarakat Nusantara, filsafat Nusantara baru disarikan dan dilembagakan secara nasional melalui proses perumusan Pancasila oleh para bapak bangsa.
Perumusan Pancasila tidak dapat dilepaskan dari proses persiapan kemerdekaan Republik Indonesia. Perumusannya sebagai dasar negara menjadi bagian integral dalam pembentukkan suatu negara baru yang merdeka.
Pada 1 Maret 1945, pemerintah kolonial Jepang secara resmi membentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sebagai bentuk upaya menunjukkan itikad baik pada masyarakat Indonesia. BPUPKI memperoleh tugas untuk mempelajari dan memeriksa hal-hal yang krusial dalam pembentukan negara Indonesia yang merdeka.
Sidang pertama BPUPKI berlangsung dari tanggal 29 Mei 1945 hingga 1 Juni 1945. Pembahasan terkait persiapan kemerdekaan Indonesia mencakup syarat-syarat hukum berdirinya suatu negara, bentuk negara, pemerintahan negara, dan juga dasar negara.
Yang terakhir disebutkan digagas dan disampaikan oleh tiga anggota, yakni Muhammad Yamin (sidang 29 Mei 1945), Soepomo (31 Mei 1945), dan Soekarno (1 Juni 1945). Masing-masing mencoba menyampaikan rumusan dasar negara ke pada forum melalui pidato.
Pidato terakhir, yang disampaikan oleh Soekarno tentang dasar negara, terdiri atas 6.480 kata. Termasuk dalam poin-poin yang ia sampaikan adalah makna arti merdeka dalam konsep philosophische grondslag, yaitu fundamen, filsafat, jiwa, dan hasrat sedalam-dalamnya untuk mendirikan negara Indonesia yang kekal dan abadi.
Penyampaian tentang dasar negara juga dibawa Soekarno dalam konseptualisasi weltanschauung. Dijelaskan olehnya, weltanschauung adalah orientasi dan dasar kognitif yang mencakup seluruh pengetahuan dan sudut pandang individu atau masyarakat.
Terakhir, Soekarno meneruskan dengan merumuskan lima dasar negara Indonesia merdeka. Awalnya, kelimanya ia namai sebagai “Panca Dharma”. Namun hal ini lantas dinilai tidak tepat karena “dharma” sendiri berarti kewajiban, sedangkan pembahasan rapat adalah soal “dasar”. Maka itu, munculah istilah “Panca Sila”, dimana sila sendiri memiliki arti “dasar”.
Lebih lanjut, perumusan dasar negara kembali diangkat melalui Panitia Delapan. Kelompok panitian ini mengadakan rapat pada masa reses sidang BPUPKI pada 22 Juni 1945 di gedung Kantor Besar Jawa Hokokai, Lapangan Banteng. Menjadi topik pembahasan adalah rancangan pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD), mengelompokan usulan anggota sidang, dan menyepakati pembentukan panitia sembilan untuk menyusun rumusan dasar negara.
Panitia Sembilan lantas mengadakan pertemuan di rumah Soekarno, di Jl. Pegangsaan Timur, Jakarta. Pertemuan tersebut berhasil merumuskan pembukaan UUD yang dikenal dengan Piagam Jakarta (Jakarta Charter) dan memuat rumusan kolektif dasar negara Indonesia, yaitu:
- Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
- Kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pembahasan atas Pancasila masih berlanjut dalam masa persidangan kedua BPUPKI yang berlangsung 10 Juli hingga 13 Juli 1945. Pada sidang kedua ini, Soekarno menyampaikan laporan hasil kerja selama masa reses. Untuk itu, tujuan dari sidang kedua ini adalah menghasilkan keputusan tentang bentuk negara republik bagi Indonesia merdeka dan perumusan terakhir draf dasar negara.
Pada sidang ini juga, J. Latuharhary menyampaikan keberatannya terhadap sila pertama, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, karena berakibat besar terhadap pemeluk agama lain.
Setelah melalui beberapa proses persidangan lain, Pancasila akhirnya disahkan secara final dalam sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Tiap-tiap silanya disepakati sebagaimana tampak dan bertahan hingga saat ini. Sidang tersebut juga menyepakati agar Pancasila dicantumkan dalam Mukadimah UUD 1945 sebagai dasar negara Indonesia yang sah.
Pemaknaan Sila dalam Pancasila
Artikel Kompaspedia (1/6/2023, Pancasila dalam Dinamika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara) menuliskan bagaimana tiap-tiap poin dalam Pancasila dihidupi secara nyata. Sebelumnya, juga ditunjukkan bahwa proses perumusan Pancasila tidak terjadi hanya dalam kontes bulan-bulan menjelang kemerdekaan. Perumusannya berlangsung begitu lama, bahkan sejak tahun 1920.
Mengutip tulisan Yudi Latif, proses konseptualisasi Pancasila dapat dibagi ke dalam tiga fase, yakni pembuahan, perumusan, dan pengesahan. Masing-masing fase tersebut melibatkan berbagai unsur dan golongan masyarakat.
Fase pembuahan, sekitar tahun 1920-an, terwujud melalui pergerakan masyarakat Indonesia dalam mengembangkan gagasan untuk mencari sintesis antar-ideologi dan filosofis. Hal ini terjadi seiring dengan penemuan identitas kebangsaan Indonesia yang kala itu hidup melalui Sumpah Pemuda.
Tokoh-tokoh nasional seperti Soekarno, Muso, Tan Malaka, SM Kartosuwirjo, dan Abikusno Tjokrosoejoso bertemu dan melakukan tukar pikiran antarideologi dan antargenerasi. Nama-nama tersebut adalah tokoh intelektual dari berbagai bidang pemikiran berbeda, mulai dari islamis, nasionalis hingga marxis.
Sementara itu, fase perumusan dimulai pada persidangan pertama BPUPKI. Dalam proses perumusan ini sendiri, terdapat berbagai golongan masyarakat. anggotanya yang berjumlah 69 orang terdiri atas golongan pergerakan, Islam, birokrat, wakil kerajaan, dan perwakilan Tionghoa, Arab, serta Belanda.
Di fase pengesahan, terjadi pertukaran wacana dan kompromi atas tata urut dan bunyi sila-sila Pancasila. Antar tokoh saling menerima masukan, tidak hanya untuk mengesahkan dasar negara yang terbaik, namun juga untuk menjaga keutuhan bangsa. Akhirnya, fase pengesahan mencapai puncaknya pada 18 Agustus 1945 dalam sidang PPKI.
Dengan deretan babak panjang tersebut, Pancasila telah menjadi produk upaya terbaik dalam melakukan sintesis atas ideologi, nilai, dan pengetahuan bangsa. Untuk itu, sepatutnya warga negara Indonesia juga melakukan upaya terbaik dalam mengaktualisasikan nilai-nilai pada tiap silanya.
Secara garis besar, Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, menawarkan panduan moral dan etika lewat kelima silanya. Meski begitu, masing-masing sila tersebut juga mengandung pemaknaannya masing-masing. Pemaknaan ini bisa didalami melalui kutipan tulisan Franz Magnis-Suseno.
Sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, menjamin kebebasan beragama dengan menggunakan istilah “Ketuhanan” yang inklusif. Para tokoh bangsa tidak menggunakan konsep Tuhan yang merujuk pada satu agama tertentu, sehingga mencerminkan universalitas iman dan penerimaan terhadap semua kepercayaan.
Sila kedua, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, menekankan perlakuan adil dan beradab terhadap sesama manusia. Magnis-Suseno mendefinisikan keadilan sebagai sikap yang tidak memprioritaskan kelompok mayoritas atas minoritas tertentu dan berpijak pada kebenaran. Sementara beradab berarti menolak kekerasan sebagai solusi konflik.
Sila ketiga, “Persatuan Indonesia”, menekankan pentingnya kesatuan nasional di tengah keragaman agama, budaya, bahasa, dan pandangan. Keberagaman sendiri menjadi gradasi masif yang mewarnai komposisi bangsa Indonesia. untuk itu, persatuan dan keselamatan bangsa harus diutamakan di atas kepentingan pribadi atau golongan.
Sila keempat, “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”, menggarisbawahi demokrasi sebagai sistem terbaik yang diusung oleh bangsa Indonesia, khususnya bagi penyelesaian masalah, baik pada tingkat penyelenggaraan negara hingga antar tetangga. Para pendiri bangsa mendorong diskusi, saling mendengarkan, dan mencari solusi bersama secara bijaksana sebagai jalan terbaik.
Sila kelima, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, mendorong pelaksanaan berlaku adil dalam semua aspek kehidupan. Dalam hal ini, keadilan juga dapat menjadi tolak ukur bagi kemajuan pembangunan negara, terutama lewat ketercapaian atas keadilan sosial bagi seluruh lapisan rakyat, termasuk yang lemah, miskin, dan tertinggal.
Pemaknaan atas masing-masing sila dapat mendorong pengembangsan bangsa Indonesia yang adil, beradab, bersatu, demokratis, dan berkeadilan sosial.
KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN
Para tahanan kasus terorisme melakukan teatrikal setelah pembacaan ikrar setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di Lapas Narkotika Kelas IIA Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Kamis (1/6/2023). Sebanyak 76 tahanan kasus terorisme yang berasal dari Lapas Narkotika Kelas IIA Gunung Sindur, Lapas Khusus Kelas IIA Gunung Sindur, dan Lapas Banceuy Kota Bandung melakukan ikrar setia kepada NKRI. Acara ini digelar dalam rangka Hari Lahir Pancasila yang diselenggarakan setiap 1 Juni.
Pancasila di Tengah Arus Zaman
Budi Hardiman dalam buku Aku Klik Maka Aku Ada: Manusia dalam Revolusi Digital menuliskan beragam perubahan dalam era digital. Perubahan besar dalam komunikasi tidak hanya berdampak pada cara komunikasi itu sendiri, melainkan juga kehidupan dan realitas manusia. Algoritma media sosial bahkan menciptakan sosok manusia baru, yang oleh Hardiman disebut sebagai “homo digitalis”.
Pada satu sisi, algoritma menghadirkan kebebasan baru. Manusia dapat dengan bebas berekspresi tanpa batas, menjadi bagian dalam sejarah lewat ketikan di layar telefon pintar yang akan menggapai masyarakat di seluruh dunia.
Kesempatan ekspresi ini, sepintas, menggugurkan konsep stratifikasi kelas dan perbedaan budaya sehingga menghadirkan keadilan dan kesamarataan. Demikian juga konsep demokrasi, yang seolah terusung oleh kebebasan berbicara semua orang.
Namun di saat bersamaan, Hardiman menyebutkan bahwa “dalam keadaan itu, adil dan tidak adil tidak dikenali”. Kecanggihan teknologi membuat semua orang dapat menjadi sosok hakim atas orang lain. Penilaian, keputusan, dan pandangan dapat dengan cepat dikonstruksikkan oleh narasi yang beredar. Indikator adil pun menjadi begitu subtil dalam batas-batas yang tidak jelas.
Selain itu, Hardiman juga menuliskan bahwa ruang baru digital menghadirkan kuasa-kuasa baru. Negara cenderung gagal untuk menghadirkan batasan norma-norma moral. Sebaliknya, ruang baru ini menjadi negara sendiri, sebuah negara digital (digital state of nature) dengan masyrakat mayanya sendiri. Mereka hidup dalam ekosistem informasi yang deras dan tanpa konfirmasi kebenaran.
Dalam berbagai kondisi demikian, moralitas dan nilai-nilai klasik seperti Pancasila jelas mendapat tantangan. Tidak hanya soal aktualitasnya saja, namun bagaimana menghadirkannya dalam ruang dan masyarakat yang sama sekali baru tersebut. Sejumlah pihak bahkan menilai Pancasila sebagai ideologi usang yang membutuhkan kebaharuan.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Setelah upacara untuk merayakan Hari Lahir Pancasila diteruskan dengan Kirab Gunungan Lima dan diikuti oleh Gunungan yang dibuat oleh Kelurahan dan Kecamatan di Kota Blitar menuju Makam Bung Karno. Gunungan yang dibuat dari hasil bumi tersebut kemudian diperebutkan oleh warga.
Artikel Kompaspedia (1/6/2022, Hari Lahir Pancasila: Ideologi Negara di Tengah Perubahan Zaman), merumuskan bagaimana Pancasila justru pada hakikatnya dapat terus hidup pada berbagai ruang dan konteks yang berbeda. Meski menganut status sebagai dasar ideologi negara, Pancasila merupakan ideologi terbuka. Artinya, pemaknaan dan penghidupan atasnya justru mensyaratkan pembacaan dinamis dan kreatif yang sesuai dengan hakikat nilai moralnya.
Keterbukaan Pancasila memungkinkan penyesuaian dan pengembangan ideologi ini sesuai konsensus nasional, menjadikannya relevan untuk berbagai tantangan zaman. Pancasila tidak bisa dipandang secara statis seperti pada konteks 1945 karena itu justru akan menghambat relevansinya dalam menjawab tantangan modern.
Namun, keterbukaan ini tidak berarti nilai-nilai dasar Pancasila bisa diubah sewenang-wenang. Sebaliknya, nilai-nilai tersebut yakni ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan akan tetap menjadi landasan yang harus diterapkan secara fleksibel sesuai perkembangan aspirasi, kebutuhan, dan tuntutan masyarakat.
Keterbukaan ini tidak lepas dari tiga nilai yang dikandung oleh Pancasila, yakni nilai dasar, instrumental, dan praksis. Nilai dasar adalah prinsip esensial dan universal seperti ketuhanan dan kemanusiaan yang tidak bisa berubah. Nilai instrumental adalah implementasi dari nilai dasar dalam bentuk hukum dan norma negara yang dapat beradaptasi dengan zaman, asalkan tetap mengacu pada prinsip dasarnya.
Sementara nilai praksis adalah penerapan nilai instrumental dalam situasi konkret, berinteraksi langsung dengan kondisi spesifik masyarakat. Nilai praksis inilah yang terus berkembang seiring dengan kemajuan zaman, ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebutuhan masyarakat.
Artikel terkait
Sila pertama, menjadi relevan dengan mengacu pada situasi keagamaan dan intoleransi di Indonesia yang mewarnai tidak hanya dunia nyata, namun juga ruang digital.
Setara Institute mengungkapkan bahwa intoleransi dan konflik agama merupakan bentuk diskriminasi paling mengkhawatirkan di Indonesia. Dari pemantauan Setara Institute, periode 2007-2014 penuh dengan pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia. Bahkan pada 2008, terjadi 265 kasus.
Dalam konteks demikian, sila pertama memiliki relevansi penting sebagai pedoman orientasi keagamaan bagi masyarakat Indonesia. Fungsinya mencakup dua aspek, yakni menjaga kepercayaan pada Tuhan dan mendorong toleransi beragama. Sebab, sila pertama Pancasila berfungsi untuk menolak ateisme juga sekaligus fanatisme agama.
Pancasila menolak peniadaan kepercayaan pada Tuhan, serta menolak pandangan fanatisme yang berusaha memaksakan keyakinan keagamaan satu kelompok pada orang lain. Dengan demikian, sila pertama berperan penting dalam mempromosikan sikap agamis yang toleran di tengah masyarakat Indonesia, membantu mengatasi tantangan intoleransi dan konflik agama.
Sila kedua, relevan dengan nilai kemanusiaan yang menjadi prinsip fundamental yang diakui secara internasional melalui hak asasi manusia. Meski demikian, Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam kesopanan literasi digital. Masyarakatnya bahkan menempati posisi terendah di Asia Tenggara dalam skor Digital Civility Index (DCI) sebesar 76 poin.
Tingkat kesantunan masyarakat Indonesia di media sosial mencerminkan etika komunikasi yang diharapkan oleh sila kedua Pancasila. Namun, penerapan konkret sila ini masih menghadapi banyak tantangan. Meskipun demikian, jelas terlihat bahwa sila kedua sangat relevan sebagai acuan komunikasi digital.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Warga berebut hasil bumi yang ada di gunungan di Komplek Makam Bung Karno saat prosesi Grebeg Pancasila, Kota Blitar, Jawa Timur, Rabu (1/6/2022). Setelah upacara untuk merayakan Hari Lahir Pancasila diteruskan dengan Kirab Gunungan Lima dan diikuti oleh Gunungan yang dibuat oleh Kelurahan dan Kecamatan di Kota Blitar menuju Makam Bung Karno. Gunungan yang dibuat dari hasil bumi tersebut kemudian diperebutkan oleh warga.
Artikel terkait
Artikel terkait
Sila ketiga, bertahan penting sebagai penjaga persatuan Indonesia. Dalam konteks kebebasan berekspresi, arus wacana ideologi dan gagasan konflik hilir-mudik mengancam kesatuan Indonesia.
Melalui sila ketiga, ditekankan bahwa segala upaya dekonstruksi negara atas nama ideologi atau ajaran tertentu harus ditolak, dengan mengutamakan persatuan bangsa. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia harus saling menghormati budaya lain dan menghindari menjatuhkan budaya lain demi mengagungkan budaya sendiri. Prinsip ini harus diterapkan dalam komunikasi digital dan kehidupan sehari-hari, memperkuat kebersamaan sebagai bangsa.
Sila keempat, hingga kini masih hidup secara nyata dalam sistem dan pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Demokrasi yang berlandaskan Pancasila didasarkan pada empat prinsip utama, yakni pengakuan dan perlindungan menyeluruh terhadap hak asasi manusia, sistem pengadilan yang otonom dan adil, dan jaminan kepastian hukum.
Selain itu, demokrasi yang sehat haruslah berlandaskan tanggung jawab kepada Tuhan dan sesama manusia, sehingga tidak hanya menekankan kebebasan dan hak, tetapi juga tanggung jawab etis. Sila keempat akan terus menjadi pedoman bagi masyarakat untuk menganut demokrasi, dan lebih lagi kebebasan berekspresi yang sehat dan berkeadilan, pada ruang-ruang sosial seperti media sosial.
Terakhir, sila kelima, dapat dilihat secara relevan lewat masih tingginya angka kemiskinan di Indonesia. Lebih dari 9 persen penduduk Indonesia masih hidup dalam kemiskinan––setara dengan jumlah 30 juta orang. Selain itu, lebih dari setengah populasi juga belum mencapai tingkat sejahtera. Di saat bersamaan, masalah kesenjangan dan korupsi semakin memperumit pembangunan Indonesia.
Dalam situasi seperti ini, keadilan yang ditekankan oleh sila kelima masih begitu jauh dari aktualitasnya. Konsep “keadilan sosial” dengan demikian akan tetap relevan sebagai panduan pembangunan. Melalui sila kelima, Indonesia diarahkan untuk menghindari pragmatisme pembangunan yang hanya mengutamakan angka-angka makro tanpa memperhatikan manfaat dan kemanusiaan. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Hardiman, F. B. (2021). Aku Klik Maka Aku Ada: Manusia dalam Revolusi Digital. Yogyakarta: Kanisius.
- Kompaspedia. (2022, Juli 6). Pancasila dan Filsafat Bangsa. Diambil kembali dari Kompaspedia.Kompas.id: https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/pancasila-dan-filsafat-bangsa
- Kompaspedia. (2021, Mei 30). Pancasila: Sejarah Perumusan Sebagai Dasar Negara, Pandangan Hidup, dan Upaya Pelestarian Ideologi. Diambil kembali dari Kompaspedia.Kompas.id: https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/sejarah-perumusan-pancasila-sebagai-dasar-negara-dan-pandangan-hidup-bangsa
- Kompaspedia. (2023, Juni 1). Pancasila dalam Dinamika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara . Diambil kembali dari Kompaspedia.Kompas.id: https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/pancasila-dalam-dinamika-kehidupan-berbangsa-dan-bernegara
- Kompaspedia. (2022, Juni 1). Hari Lahir Pancasila: Ideologi Negara di Tengah Perubahan Zaman. Diambil kembali dari Kompaspedia.Kompas.id: https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/hari-lahir-pancasila-ideologi-negara-di-tengah-perubahan-zaman