Paparan Topik | Hari Lahir Pancasila

Hari Lahir Pancasila: Ideologi Negara di Tengah Perubahan Zaman

Kehadiran Pancasila sejak 1 Juni 1945 telah mencapai lebih dari tujuh dekade. Sebagai dasar ideologi negara, Pancasila tetap kokoh menyatukan bangsa di tengah tantangan dan perubahan zaman.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Presiden Joko Widodo menetapkan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila dalam acara Peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 di Gedung Merdeka, Bandung, Jawa Barat, Rabu (1/6/2016). Penetapan tersebut dengan ditandatanganinya Keputusan Presiden serta menetapkan 1 Juni menjadi hari libur nasional untuk memperingati lahirnya Dasar Negara Republik Indonesia ini.

Fakta Singkat

  • Hari Kelahiran Pancasila pada 1 Juni 1945 ditetapkan pada 2016 oleh Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2016
  • Upacara 77 tahun Pancasila akan dilaksanakan di Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara
  • Perumusan Pancasila dilakukan secara bertahap mulai dari BPUPKI, Panitia Sembilan, hingga disahkan oleh PPKI.
  • Perumusan Pancasila melalui musyawarah yang menemui perdebatan dan pertentangan.
  • Sebagai ideologi terbuka, esensi Pancasila tidak dapat berubah namun pemaknaannya mengikuti perubahan zaman.
  • Sebagai ideologi terbuka, Pancasila memiliki 3 nilai: nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksis.

Melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila, tanggal 1 Juni 1945 ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila. Bersamaan dengan itu pula, setiap momen 1 Juni dijadikan hari libur nasional. Sebagaimana tertulis dalam Keppres tersebut, peringatan 1 Juni pun diputuskan untuk digunakan oleh segenap komponen masyarakat Indonesia untuk secara sungguh memperingati kelahiran Pancasila.

Badan Pembinaan Ideologi Pancasila dalam laman bpip.go.id menuliskan bahwa penetapan Hari Lahir Pancasila sebagai libur nasional juga menjadi bagian dari memperkuat “pengarusutamaan” Pancasila sebagai pedoman terhadap seluruh bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia.

Pada 1 Juni 2022 Upacara Peringatan Hari Lahir Pancasila dilakukan secara nasional. Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur dipilih sebagai lokasi upacara Hari Lahir Pancasila tahun ini yang dihadiri oleh Presiden Joko Widodo dan terbuka untuk diikuti secara umum melalui kanal-kanal elektronik.

Pemilihan Kabupaten Ende berangkat dari latar belakangnya yang menyimpan catatan historis penting Indonesia. Dalam lokasinya di pesisir selatan Pulau Flores, Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur pernah menjadi saksi bisu momentum pengasingan Presiden Soekarno sebagai penggali Pancasila dan menjadi tempat perenungannya.

Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi menyampaikan bahwa masyarakat Nusa Tenggara Timur memiliki banyak wujud tradisi budaya dan pemikiran tokoh yang menunjukkan nilai harmoni dan kesatuan bangsa. Nilai-nilai luhur tersebut menjadi pengejawantahan konkret dari Pancasila. Pesan tersebut disampaikan Wahyudi dalam kuliah umum “Menggali Nilai-Nilai Pancasila di Bumi Cendana” di Universitas Nusa Cendana dan Universitas Katolik Widya Mandira, Nusa Tenggara Timur pada Desember 2021 lalu.

Dalam kesempatan yang sama, Rektor Universitas Nusa Cendana, Maxs Sanam menambahkan bahwa Pembinaan Ideologi Pancasila sebagaimana yang dilakukan BPIP memberikan potensi besar bagi penciptaan generasi yang cakap dalam koridor sosial-emosional selaras dengan tujuan pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila. Ia melanjutkan bahwa, “Tantangan ke depan adalah bagaimana menghindarkan pengajaran Pancasila secara monolog dan sesuai dengan tantangan zaman.”

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila di Taman Kebhinnekaan di pintu air Kanal TImur di Duren Sawit, Jakarta Timur, Sabtu (7/7/2018). Pengenalan dan peneguhan kembali nilai-nilai Pancasila serta kebihnnekaan, kini ditampilkan di ruang publik.

Sejarah singkat Pancasila

Aris Hardinanto dalam Autentisitas Sumber Sejarah Pancasila dalam Masa Sidang Pertama Badan untuk Menyelidiki Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Tanggal 29 Mei — 1 Juni 1945, merunut sejarah kelahiran Pancasila mulai dari kekalahan Jepang pada Perang Pasifik pada 1945. Pihak penjajah Jepang pun berusaha menarik hati masyarakat Indonesia dengan menjanjikan kemerdekaan yang diwujudkan dalam pembentukan lembaga Dokuritsu Junbi Cosakai. Bagi masyarakat Indonesia, lembaga ini kemudian diterjemahkan sebagai Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dengan tujuan kehadirannya adalah untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.

Pada tanggal 29 Mei 1945, digelarlah sidang perdana BPUPKI. Sidang tersebut dilaksanakan di Gedung Chuo Sangi In (kini Gedung Pancasila yang terletak di Jakarta). Dalam kesempatan tersebut, selama lima hari para anggota BPUPKI membahas tema terkait dasar negara. Dalam sidang pertama tersebut, terjadi usaha-usaha formulasi dasar negara secara bertahap. Secara keseluruhan terdapat tiga produk formulasi dalam sidang pertama BPUPKI tersebut.

Formulasi pertama berasal dari pemikiran Muhammad Yamin pada 29 Mei 1945. Yamin mengemukakan lima gagasan dasar negara, di antaranya adalah:

  1. Peri Kebangsaan
  2. Peri Kemanusiaan
  3. Peri Ketuhanan
  4. Peri Kerakyatan
  5. Kesejahteraan Sosial

Formulasi kedua gagasan dasar negara diusulkan oleh Soepomo pada tanggal 31 Mei 1945. Gagasan yang ia sampaikan, antara lain:

  1. Persatuan
  2. Kekeluargaan
  3. Keseimbangan lahir dan batin
  4. Musyawarah
  5. Keadilan rakyat

Yang ketiga, adalah formulasi oleh Soekarno pada 1 Juni 1945. Gagasan dasar negara oleh Soekarno juga berisi lima poin dan di saat bersamaan ia namai sebagai “Pancasila”. Isinya terdiri atas:

  1. Kebangsaan Indonesia
  2. Internasionalisme atau Perikemanusiaan
  3. Mufakat atau Demokrasi
  4. Kesejahteraan sosial
  5. Ketuhanan yang Berkebudayaan

Mengacu pada Keppres Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila, hari di mana Soekarno menyampaikan rumusan dasar negara berikut penamaannya tersebut diperhitungkan sebagai Hari Lahir Pancasila. Sebab pada tanggal tersebut, untuk pertama kalinya “Pancasila” sebagai dasar negara diperkenalkan oleh Soekarno sebagai Anggota BPUPKI di hadapan sidang BPUPKI. Meski begitu, semenjak 1 Juni 1945, draft Pancasila dari Soekarno tersebut pun terus mengalami perkembangan.

Meski begitu, pada waktu ketika sidang pertama BPUPKI tersebut berakhir, dasar negara masih belum ditentukan. Selanjutnya, Ketua BPUPKI membentuk panitia kecil untuk menyempurnakan dan merumuskan dasar negara secara final dengan mengacu pada pidato Soekarno 1 Juni 1945. Panitia kecil tersebut dinamakan Panitia Sembilan dengan anggota yang terdiri atas: Soekarno, Mohammad Hatta, AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, Agus Salim, Achmad Soebardjo, Wahid Hasjim, dan Mohammad Yamin.

Panitia Sembilan pun berhasil melahirkan Piagam Jakarta, yang di dalamnya terkandung rumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan lima sila dasar negara. Dibandingkan dengan pidato Soekarno pada 1 Juni 1945, rumusan Pancasila oleh Panitia Sembilan mengalami berbagai perubahan dan penyempurnaan, baik dari segi urutan maupun kata yang termuat.

Hieronymus Purwanta dalam artikel akademik “Pancasila dalam Konteks Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia” juga menuliskan bahwa sila pertama dari hasil “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Sejak sidang BPUPKI kedua pada 10 – 17 Juli 1945, tokoh-tokoh, seperti Johanes Latuharhary, Wongsonegoro, dan Hoesin Djajadiningrat menyampaikan keberatan mereka terkait konteks agama yang berpotensi menimbulkan fanatisme dan mengekslusi umat beragama lain. Hingga sidang kedua BPUPKI selesai, polemik Sila-1 masih belum selesai.

Akhirnya, melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), permasalahan tersebut terselesaikan. Mohammad Hatta selaku salah satu pimpinan PPKI, berkomunikasi dengan para tokoh Islam. Hatta mengajukan agar sila pertama berubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” demi persatuan bangsa. Pengajuan ini pun akhirnya diterima oleh para tokoh-tokoh terkait, antara lain Teuku Mohammad Hasan, Kasman Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo.

Seiring dengan penerimaan itu, pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI menetapkan rumusan Pancasila yang telah dimusyawarahkan secara terus menerus tersebut sebagai dasar negara. Keppres Nomor 24 Tahun 2016 pun menggarisbawahi bahwa sejak pidato Soekarno pada 1 Juni 1945, perumusan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, hingga finalisasi tanggal 18 Agustus 1945 merupakan satu kesatuan proses lahirnya Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.

Pancasila, Ideologi Terbuka

Pada 1 Juni 2022, kehadiran dasar negara Pancasila akan memasuki usianya yang ke-77 tahun. Setelah melalui lebih dari tujuh dekade, Pancasila telah melalui berbagai perubahan zaman dan waktu. Sebagaimana disampaikan Rektor Universitas Nusa Cendana, Maxs Sanam di atas, bahwa yang menjadi tantangan dasar negara ke depannya adalah menjaga pelaksanan dan pengajarannya agar sesuai tantangan zaman. Bukan lagi pada masalah perumusan, melainkan pada relevansinya.

Pancasila sendiri menduduki posisi sebagai dasar ideologi negara. Ideologi, sebagaimana mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai “kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup.” Dalam porsinya yang demikian, Pancasila memiliki wujud sebagai ideologi terbuka.

Ketua Tim Penasihat Presiden Mengenai Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, Sudharmono dalam artikel “Pancasila sebagai Ideologi Terbuka” menuliskan bahwa hakikat Pancasila sebagai ideologi terbuka pertama kali dikemukakan oleh Presiden Soeharto pada 1985. Hakekat Pancasila sebagai ideologi terbuka pertama kali dikemukakan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1985. Dikemukakan, ideologi terbuka dipandang sebagai wujud ideologi yang harus dikembangkan secara kreatif dan dinamis.

Sifat keterbukaan ideologis Pancasila itu diterjemahkan dalam wujud pemberian kesempatan kepada semua warga negara Indonesia untuk menyesuaikan dan mengembangkan Pancasila dengan konsensus nasional yang berlaku. Menurut Sudharmono, demikianlah cara terbaik dalam pelaksanaan atau pengamalan hakekat keterbukaan idcologi Pancasila. Sejatinya, Pancasila memiliki kapasitas untuk memenuhi tujuan pembuatannya sebagai wujud cita-cita hidup berbangsa menuju martabat kemanusiaan.

Apabila pembacaan dan penafsiran Pancasila dipandang secara tertutup dalam konteks 1945, maka Pancasila tidak dapat menjawab tantangan zaman yang terus berubah dan bertambah maju. Meski begitu, terbuka dalam artian ini bukanlah berarti nilai-nilai dasar Pancasila dapat seenaknya berubah. Lebih dalam lagi, keterbukaan itu menyangku pelaksanaan ideologi Pancasila yang senantiasa berkembang yang dapat disesuaikan seiring dengan perkembangan aspirasi, kebutuhan, dan  tuntutan nyata yang dihadapi dalam tiap kurun waktu masyarakat Indonesia.

Pancasila dapat menjadi ideologi terbuka karena mengandung nilai-nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksis. Nilai dasar didefinisikan sebagai konsep nilai yang kehadirannya bersifat hakiki dan tidak perlu dipertanyakan lagi. Nilai dasar Pancasila, antara lain, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan. Nilai-nilai ini merupakan esensi daripada tiap sila Pancasila. Sifatnya bersifat universal sehingga secara esensi terkandung cita-cita, tujuan, serta nilai-nilai baik/benar.

Nilai instrumental sendiri diterjemahkan sebagai pelaksanaan umum dari nilai-nilai dasar tersebut. Nilai instrumental Pancasila diterjemahkan ke dalam norma dan mekanisme hukum dalam negara Indonesia. Dalam nilai instrumental, Pancasila secara nyata menunjukkan keterbukaannya. Produk instrumental seperti hukum, norma, dan mekanisme lembaga negara dapat berubah untuk beradaptasi pada zaman. Namun, perubahan yang terjadi harus selalu mengacu pada prinsip dasarnya.

Terakhir, nilai praksis adalah nilai-nilai Pancasila yang pelaksanaannya berada dalam taraf paling konkret dan empiris. Nilai praksis Pancasila terletak pada nilai moral kemanusiaan. Nilai praksis diwujudkan dalam penerjemahan nilai instrumental yang berinteraksi langsung dengan situasi konkret pada tempat dan situasi spesifik. Oleh karenanya, nilai-nilai praksis Pancasila akan terus mengalami perkembangan dan perbaikan dalam adaptasinya pada perkembangan zaman, ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebutuhan masyarakat.

Baca juga: Pancasila dan Tugas Sejarah Kita

KOMPAS/RONNY ARIYANTO NUGROHO

Presiden Joko Widodo berjalan kaki bersama Presiden RI kelima Megawati Soekarnoputri, Ketua MPR Zulkifli Hasan, dan Wallikota Bandung Ridwan Kamil berjalan kaki di depan Gedung Merdeka, Bandung, Jawa Barat, menuju situs sel Bung Karno di Penjara Banceuy seusai acara Peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945, Rabu (1/6/2016). Dalam acara tersebut presiden menandatangani Keputusan Presiden menetapkan 1 Juni menjadi Hari Lahir Pancasila dan juga menjadi hari libur nasional untuk memperingati lahirnya Dasar Negara Republik Indonesia ini.

Memaknai Pancasila dalam konteks kontemporer

Seiring kejatuhan Orde Baru yang lekat dengan paradigma “ultra-nasionalis” dan jamak memproduksi diskursus Pancasila, relevansi Pancasila kian dipertanyakan. Dalam buku Demokrasi, Agama, Pancasila: Catatan Sekitar Perpolitikan Indonesia Now, Franz Magnis-Suseno dengan tegas menjawab skeptisme tersebut. Ia menuliskan, Pancasila tak hanya masih relevan, tetapi juga adalah mutlak bagi keberlanjutan Indonesia yang merdeka. Untuk mempertahankan fungsi-fungsinya yang sesungguhnya relevan tersebut, Pancasila tidak dapat dimaknai semata sebagai nilai kuno dan harus dibaca dalam konteks kontemporer yang aktual. “Pancasila bisa menggigit apabila dilihat sebagai program etika politik untuk abad ke-21,” tulis Magnis-Suseno.

Sila 1: Ketuhanan Yang Maha Esa

Dalam sila ini, dinyatakan secara eksplisit bahwa salah satu fondasi negara Indonesia adalah keagamaan. Oleh karenanya, masyarakat Indonesia pun merupakan masyarakat religius. Dalam pemahaman demikian, Magnis-Suseno menyoroti dua fungsi relevan sila pertama; di satu sisi menolak negasi atau peniadaan kepercayaan pada Tuhan dalam bentuk ateisme, dan di sisi lain menolak pandangan fanatisme agama yang berupaya memaksakan pandangan keTuhanan suatu kelompok sendiri.

Oleh karena itu, Pancasila memiliki relevansi fungsi sebagai pedoman bagi orientasi keagamaan masyarakat Indonesia. Kedua fungsinya akan prinsip Tuhan dan agama menjadi pegangan masyarakat Indonesia dalam bersikap agamis sekaligus toleran.

Setara Institute menunjukkan bahwa permasalahan intoleran dan konflik agama menjadi bentuk diskriminasi yang paling mengkhawatirkan di Indonesia. Berdasarkan pantauan Setara Institute dalam periode tahun 2007 sampai dengan 2014, jumlah peristiwa pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia terus menunjukkan tren yang fluktuatif. Angka tertinggi tercatat pada tahun 2008 dengan jumlah mencapai 265 kasus. Sementara angka terendah adalah pada tahun 2007 dengan jumlah 135 kasus.

Riset yang dipublikasi oleh TheConversation.com pada 2020 lalu menunjukkan tren serupa. Dari grafik, terlihat secara begitu jelas bahwa tingkat diskriminasi negara dan diskriminasi sosial bagi masyarakat beragama minoritas di Indonesia begitu tinggi. Bahkan tingkatnya jauh lebih tinggi sampai 15 hingga 20 poin di atas rata-rata kebanyakan negara Muslim lainnya. Riset ini merumuskan bahwa di dunia Islam, Indonesia menjadi salah satu negara dan masyarakat yang paling membatasi kelompok agama minoritas.

Pada akhir tulisannya, disampaikan bahwa dengan melupakan data demikian, para elit dan masyarakat Indonesia acap mengaku diri toleran. Oleh karenanya, sudah saatnya kelompok-kelompok tersebut berhenti sekadar mengaku toleran dan mulai belajar untuk secara sungguhan bersikap toleran. Titik inilah yang terkandung secara spesifik dalam sila pertama.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Pesepeda melintas di depan Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Senin (1/6/2020). Ditahun-tahun sebelumnya, Gedung Pancasila digunakan sebagai pusat peringatan Hari Lahir Pancasila. Dikarenakan ada pandemi Covid-19, maka Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menggelar acara peringatan Hari Lahir Pancasila secara virtual.

Sila 2: Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab

Pada sila kedua ini, manusia Indonesia didorong untuk  bersikap adil dan beradab dalam segala keputusan. Magnis-Suseno menerjemahkan adil sebagai “sikap tidak mendahulukan kelompok atau golongan tertentu, tidak mendahulukan mayoritas terhadap minoritas”. Sementara konsep beradab diterjemahkannya sebagai “penolakan secara prinsip terhadap kekerasan dalam menyelesaikan suatu konflik”. Entitas yang paling adil dan beradab adalah nilai kemanusiaan – yang oleh dunia internasional kemudian diterjemahkan dalam hak-hak asasi manusia.

BPIP pun juga menerjemahkan sila kedua ini dalam bentuk perlakuan adil kepada sesama manusia, mengembangkan sikap saling menghormati segala bentuk perbedaan dengan adab dan etika yang baik. Dalam tataran empiris, relevansi sila kedua ini diterjemahkan BPIP dalam konteks kehidupan bermedia sosial masyarakat Indonesia.

Pada Februari 2021, perusahaan Microsoft memaparkan hasil riset tahunannya yang menimbulkan keramaian di khalayak media sosial Indonesia. Microsoft melakukan riset mengenai yang bertujuan untuk mengukur tingkat kesopanan digital dari pengguna internet dunia saat berkomunikasi di dunia maya. Riset dilakukan di 32 wilayah internasional dan mencakup wilayah Asia-Pasifik (APAC) seperti Australia, India, Indonesia, hingga Vietnam.

Dari hasil riser tersebut, diperoleh bahwa Indonesia menduduki posisi terendah dalam perihal kesopanan literasi daring. Indonesia memperoleh skor Digital Civility Index (DCI) sebesar 76 poin. Angka ini menjadi yang tertinggi di negara-negara Asia Tenggara. Di posisi kedua, ada Vietnam dengan 72 poin.

Tingkat kesantunan bermedia sosial masyarakat Indonesia menjadi pengejawantahan dari etika komunikasi yang beradab dan berkeadilan. Dalam taraf ini, penerjamahan dan perwujudan konkret dari sila kedua di Indonesia masih harus mendapatkan tantangan. Meskipun begitu, tampak bagaimana sila kedua memiliki tancapan gigi dalam permasalahan masyarakat Indonesia kontemporer.

Baca juga: Organisasi Pemuda Indonesia, Sumbu Pemersatu Bangsa

Sila 3: Persatuan Indonesia

Kehadiran Indonesia sebagai sebuah negara teritorial diisi oleh begitu banyak dan beragam perbedaan. Tidak hanya secara agama, kultur, dan bahasa, tetapi dalam tingkat paling mikro, oleh pandangan dan karakter tiap-tiap manusia yang berbeda. Meski begitu, Indonesia sebagai sebuah bangsa dapat terus berdiri di atas segala perbedaan tersebut.

Hal ini tak lepas dari spirit sila ketiga sendiri yang telah dimaknai secara konkret oleh para pendiri bangsa. Sejak momentum historis Sumpah Pemuda pada 1928, para pendiri bangsa telah melihat dan membuktikkan pentingnya konsep persatuan se-Tanah Air.

Magnis-Suseno menuliskan bahwa melalui sila ketiga, masyarakat Indonesia belajar bahwa Indonesia tak dapat hanya dipandang sebagai sebuah bentuk organisasi politik. Lebih daripada itu, Indonesia adalah entitas yang harus mengakar dalam hati warganya. Dengan dasar sila ketiga ini, segala wujud dekonstruksi negara dan bangsa Indonesia atas nama ideologi atau ajaran tertentu harus ditolak. Kebersamaan sebagai bangsa Indonesia adalah yang utama.

Secara spesifik, penerapan ini diterjemahkan oleh BPIP dalam paham Indonesia yang terdiri atas berbagai macam suku bangsa dengan kebudayaan dan adat istiadat yang beraneka ragam. Dengan hal tersebut, masyarakat Indonesia secara konkret harus saling menghormati budaya lain dan menghindarkan diri dari mengagungkan budaya sendiri dengan cara-cara menjatuhkan budaya yang lain. Kembali, hal ini diterapkan melalui komunikasi digital dan keseharian.

Baca juga: Sejarah Lahirnya Budi Utomo dan Kongres 1908

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Presiden Joko Widodo  di Istana Bogor memimpin Upacara peringatan Hari Lahir Pancasila secara virtual dan disiarkan langsung melalui akun Youtube Sekretariat Presiden, Senin (1/6/2020). Dalam pidatonya, Jokowi mengatakan bahwa pandemi Covid-19 yang melanda saat ini menguji daya juang, pengorbanan, dan kedisiplinan bangsa Indonesia. Presiden menyampaikan Pancasila ibarat bintang yang menjadi pemersatu bangsa dalam melewati ujian pandemi ini.

Sila 4: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmak Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan

Sila keempat menjadi landasan yang dikonsepkan para pendiri bangsa sebagai sistem bernegara dan bermasyarakat Indonesia: Indonesia harus demokratis. Menurut Magnis-Suseno, sila keempat menjadi gigi bagi demokrasi Indonesia yang baik dan benar. Perwujudan demokratisasi di Indonesia adalah usaha konkret dalam merefeodalkan Indonesia, baik dalam sektor sipil maupun pemerintahan militer.

Miriam Budiardjo dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Politik dengan berdasarkan pada sila keempat Pancasila ini, Indonesia memiliki wujud demokrasi yang berbeda dengan jenis demokrasi dunia lainnya. Demokrasi di Indonesia bukanlah bentuk demokrasi konstitusionil, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin,  maupun demokrasi kerakyatan – melainkan demokrasi Pancasila.

Meski telah spesifik secara definisi nama, rumusan demokrasi Pancasila masihlah begitu luas dan subjektif. Budiardo menuliskan telah terdapat banyak usaha dalam merumuskan kembali bentuk demokrasi demikian, termasuk salah satunya adalah Musyawarah Nasional III Persahi: The Rule of Law pada Desember 1966.

Dalam kesempatan tersebut, demokrasi yang berlandaskan Pancasila dikonsepkan pada empat prinsip, antara lain: 1) pengakuan dan perlindungan secara menyeluruh pada hak asasi manusia dalam berbagai dimensi, 2) sistem pengadilan yang otonom dan bekeradilan, dan 3) jaminan jaminan kepastian hukum.

Lebih jauh lagi, Budiardjo menyoroti bahwa demokrasi Pancasila harus menjamin kebebasan politik yang sebesar-besarnya bagi masyarakat Indonesia. Untuk itu, pemerintah yang menjabat harus memiliki wibawa dan kekuasaan dalam menjaga stabilitas politik. Bentuk demokrasi Indonesia haruslah demokrasi yang dijiwai rasa tanggung jawab terhadap Tuhan dan sesama manusia. Jadi, demokrasi tidak hanya semata persoalan kebebasan dan hak, tetapi juga tanggung jawab secara etis. Akhirnya, sila keempat akan terus menjadi pedoman dan patokan bahwa Indonesia harus terus menganut demokrasi yang sehat, dalam rupa demokrasi Pancasila.

Sila 5: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Terkait sila terkahir ini, Magnis-Suseno menuliskan bahwa tidak pernah terjadi kontroversi akannya. Keadilan dalam artian ini lekat dipahami dalam konteks pembangunan nasional. Secara keseluruhan, kondisi perekonomian Indonesia dipandang stabil terutama pasca krisis 1998 yang mencapai inflasi hingga 80 persen dengan pertumbuhan ekonomi minus. Statistik menunjukkan bahwa sejak 2000 hingga 2017 Produk Domestik Bruto Indonesia (PDB) per kapita meningkat rata-rata 4 persen setiap tahun, menjadi yang terbesar ketiga di antara negara-negara G20, hanya kalah dari Cina dan India dengan masing-masing tumbuh 9 persen dan 5,5 persen per tahun.

Meski begitu, saat ini, seperti disampaikan Magnis-Suseno, lebih dari 9 persen masyarakat Indonesia masih berada dalam jurang kemiskinan. Angka tersebut setara dengan 30 juta manusia Indonesia. Selain itu, lebih dari setengah populasi Indonesia masih belum berada dalam level sejahtera. Belum lagi permasalahan kesenjangan dan korupsi yang memperparah kualitas pembangunan Indonesia. Dalam kondisi kontemporer demikian, kehadiran sila kelima masih begitu relevan sebagai pedoman pembangunan di Indonesia. Melalui sila kelima, Indonesia dapat terhindarkan pada pragmatisme pembangunan – bentuk pembangunan yang hanya menargetkan angka-angka makro tanpa mengindahkan manfaat dan kemanusiaan.

Pada akhirnya, Magnis-Suseno kembali menyimpulkan bahwa Pancasila memiliki daya aktualitas yang tinggi. Sebagaimana ditegaskan Soekarno, Pancasila adalah filsafat dasar negara Indonesia yang mampu melintas dan tetap kuat menghadapi perkembangan zaman. (LITBANG KOMPAS)

Baca juga: Lagu Kebangsaan Indonesia Raya

KOMPAS/ALIF ICHWAN

Warga memandang lukisan mural lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila, yang terpampang di daerah Pasar Minggu, Jakarta (2/2/2020). Mural ini mengingatkan kita sebagai bangsa Indonesia harus dapat menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Referensi

Buku
  • Budiardjo, M. (1995). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  • Suseno, F. M. (2021). Demokrasi, Agama, Pancila: Catatan Sekitar Perpolitikan Indonesia Now. Jakarta: PT Gramedia.
  • Rindu Pancasila (2010), Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
  • Abdulgani, Roeslan, 1998, Pancasila Perjalanan Sebuah Ideologi. Jakarta: PT Grasindo.
  • Swie Ling, Tan. 2014, Masa Gelap Pancasila: Wajah Nasionalisme Indonesia. Jakarta: Ruas
Jurnal
  • Hardinanto, A. (2017). Autentisitas Sumber Sejarah Pancasila dalam Masa Sidang Pertama Badan untuk Menyelidiki Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Tanggal 29 Mei-1 Juni 1945. Jurnal Veritas et Justitia Vol. 3 No. 1, 43-64.
  • Purwanta, H. (2018). Pancasila dalam Konteks Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia . Jurnal Candi Vol. 18 No. 2, 124-137.
  • Sudharmono. (1995). Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka. Jurnal FIlsafat UGM Sri 22 Agustus 1995.
Internet