Paparan Topik | Hari Lahir Pancasila

Pancasila dan Filsafat Bangsa

Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) mendefinisikan Pancasila sebagai wujud dasar dari filsafat negara Indonesia. Sebagai dasar filsafat negara, kelahiran Pancasila berangkat dari konseptualisasi para pendiri bangsa Indonesia dalam merumuskan nilai-nilai filsafat masyarakat Indonesia. Upaya ini bahkan dilakukan sebelum kemerdekaan negara ini.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Warga melintasi mural bertema Keberagaman Indonesia di Kampung Pancasila, Desa Harapan Jaya, Kecamatan Bekasi Utara, Kota Bekasi, Jawa Barat, Jumat (13/5/2022). Kampung Pancasila adalah sebuah kampung bernuasa Bali di Bekasi yang berdiri sejak 1987. Mural yang dilombakan tersebut merupakan rangkaian kegiatan Tentara Manunggal Masuk Desa ke-113 Kodim 0507/Bekasi.

Fakta Singkat

  • Pancasila merupakan wujud dasar dari filsafat bangsa Indonesia.
  • Tiap sila dalam Pancasila merupakan keselarasan nilai falsafah bangsa Indonesia
  • Pada hakikatnya, filsafat merujuk pada laku hidup dan nilai-nilai etika universal bagi manusia.
  • Pancasila menjadi wujud cabang filsafat asli Indonesia yang disarikan dan berbeda dengan cabang filsafat Barat dan Timur
  • Kehadiran filsafat Nusantara telah ada sejak masa kerajaan kuno dalam kegiatan kebudayaan dan ritual tradisional
  • Studi spesifik mengenai filsafat Nusantara pertama kali dilakukan oleh Guru Besar Luar Biasa pada Jurusan Filsafat di Universitas Indonesia, M. Nasroen pada 1967

Filsafat tidak hanya dipahami semata sebagai ilmu pengetahuan akademis belaka. Sebagaimana dinyatakan Franz Magnis-Suseno dalam Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, filsafat tidak dapat dipahami semata hanya sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan. Kehadiran filsafat masa kini, memang cenderung kian menyempit pada koridor akademik semata. Fungsi lamanya yang universal pun telah diambil alih oleh berbagai ilmu pengetahuan baru yang lebih spesifik.

Magnis-Suseno menyoroti bahwa filsafat memiliki jangkauan yang lebih luas. Pada hakikatnya, filsafat juga merujuk pada “bagaimana manusia harus bersikap”. Pada tataran ini, terkandung nilai-nilai etika bagi arah kehidupan manusia yang kemudian disebut pula sebagai “filsafat etika”.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Bendera Merah Putih sepanjang 1.000 meter dibentangkan mengelilingi Candi Borobudur dan dikirab menuju Balkondes Kembanglimus di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Rabu (1/6/2022). Kegiatan ini digelar untuk memperingati Hari Kelahiran Pancasila sekaligus meningkatkan semangat kebangsaan masyarakat di kawasan Borobudur.

Hakikat Filsafat

Dalam buku Kritik Ideologi oleh Francisco Budi Hardiman disebutkan fungsi filsafat telah secara nyata diaplikasikan dalam ranah kehidupan oleh masyarakat Yunani lampau. Filsafat sebagai bidang kajian yang tak semata berkutat pada akvititas akademik, namun diterjemahkan sebagai cara-cara hidup yang selaras dengan kosmos atau alam. Pada tataran masyarakat ini, filsafat tidak dipahami sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang lepas dan terbang dalam alam akademiknya sendiri. Filsafat diwujudkan secara konkret melalui praksis hidup sehari-hari.

Sementara itu, Setyo Wibowo melalui buku terjemahannya Platon: Lakhes (tentang Keberanian), menuliskan bahwa universalitas filsafat ditunjukkan dalam ruang-ruang terjadinya dan komunikasi yang dilakukan dalamnya. Socrates, sebagai seorang tokoh filsafat Yunani kuno, menekankan tempat publik sebagai tempat dipraktikannya filsafat. Sementara dalam praktiknya tersebut, berfilsafat berarti proses pertukaran antara keutamaan nilai-nilai baik yang dihikmati dan dipikirkan. Di dalamnya, terkandung keutamaan seperti kesederhanaan, kesalehan, dan keberanian.

Dalam buku Filosofi Teras, di bagian Pegantar, Setyo Wibowo menuliskan bahwa filsafat adalah jalan hidup atau way of life. Berbagai aliran-aliran dalam filsafat hadir sebagai aliran yang mengajarkan jalan hidup. Bagi Henry Manampiring selaku penulis buku tersebut, kehadiran dari filsafat adalah mengandung kebijaksanaan universal, sehingga dapat dipraktikkan tanpa terbentur oleh batasan kultural dan agama.

Arah filsafat sendiri adalah upaya menuju kebahagiaan atau diterjemahkan sebagai untuk mencapai Ataraxia. Istilah terakhir merujuk pada suatu kondisi kebahagiaan yang hadir dalam situasi damai dengan terbebas dari belenggu gangguan oleh perasaan takut, cemas, gelisah, dan lainnya.

Henry Manampiring secara spesifik mengangkat aliran filsafat Stoisisme dalam bukunya. Melalui aliran filsafat tersebut, ia menunjukkan bahwa Stoisisme hadir untuk membantu manusia dalam menjalani hidup sehari-hari dengan lebih tenteram dan tidak mudah terjerumus oleh hal-hal negatif yang menganggu kebahagiaan. Oleh karenanya, tujuan utama dari menghidupi Stoisisme adalah “Hidup bebas dari emosi negatif” dan “Hidup mengasah kebajikan”. Setidaknya empat bentuk kebajikan yang harus dicapai adalah kebijaksanaan, keadilan, keberanian, dan menahan diri.

Dengan nilai-nilai universal yang hadir dalam hakikat bidang filsafat demikian, tampak bahwa filsafat sejatinya merujuk pada jalan hidup kebaikan. Pada pemahaman demikian, maka hakikat dari filsafat tersebut selaras dengan kehadiran dan tujuan dari ideologi Pancasila. Syahrul Kirom dalam artikel akademik “Filsafat Ilmu dan Arah Pengembangan Pancasila: Relevansinya dalam Mengatasi Persoalan Kebangsaan” menekankan bahwa Pancasila memanglah merupakan suatu wujud pandangan atau laku hidup (way of life).

Dituliskan oleh Kirom, Pancasila merupakan perwujudan dari filsafat bangsa Indonesia. Oleh karenanya, kehadiran Pancasila sesungguhnya selaras dan bersinggungan dengan jiwa masyarakat Indonesia. Pada tataran yang demikian, kehadirannya merujuk pada kapasitas pengetahuan bangsa, terutama yang terkait dengan masalah hakiki kenyataan dan kebenaran. Oleh karenanya, Pancasila telah menujukkan diri sebagai sebuah percabangan filsafat otentik dari bangsa Indonesia sendiri.

Merujuk pada hakikat kenyataan dan kebenaran yang disebutkan barusan, Kirom menekankan perlunya eksplorasi lebih lanjut terhadap aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi dalam filsafat Pancasila. Di dalamnya, terkandung nilai-nilai filsafat yang menjadi acuan intelektual kognitif bagi cara berpikir bangsa. Melalui eksplorasi aspek-aspek tersebut melalui tradisi pemikiran filsafat ilmu, Pancasila dapat dikembangkan ke dalam sistem filsafat otonom yang kredibel.

Penulisan oleh Kirom menunjukkan bahwa filsafat Pancasila merupakan cabang otonom filsafat yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Bahan material dari Pancasila terdiri atas berbagai butir dan ajaran kebijaksanaan dalam budaya etnik maupun agama. Kehadiran Pancasila menunjukkan bahwa bangsa Indonesia sejatinya telah memiliki aliran filsafatnya sendiri akan ajaran tentang potensi dan martabat manusia yang merupakan anugerah. Kehadirannya menjadi bunga rampai dari nilai-nilai filsafat bangsa yang telah tertanam sejak lama dan mengakar dalam kehidupan masyarakat Nusantara jauh sebelum Indonesia merdeka.

Sejarah cabang kefilsafatan Indonesia

Ahmad Sulton dalam artikel akademik “Filsafah Nusantara Sebagai Jalan Ketiga Antara Falsafah Barat dan Falsafah Timur” menuliskan bahwa setiap bangsa tercipta dari tempaan budaya dan keadaan sosial yang berbeda. Hal ini berujung pada hadirnya falsafah hidup yang berbeda-beda pula. Oleh karenanya, melalui penalaran filosofis dapat dilakukan proses refleksi untuk memotret lingkaran pemikiran filosofis yang berkembang secara otentik yang berkembang di bangsa Indonesia.

Berbeda dengan dikotomi filsafat Barat dan filsafat Timur yang telah tersusun secara sistematik dalam koriodor ilmu pengetahuan, filsafat asli Indonesia masuk belum memiliki struktur yang sistematis untuk dapat diidentifikasi secara gambang dan jelas. Sulton menuliskan bahwa banyak pakar beranggapan, filsafat Indonesia yang sejatinya telah hadir sejak era Nusantara masih belum memiliki batasan yang jelas. Sebabnya, selain karena kelangkaan studi, juga karena kehadirannya yang terkandung lewat simbol dan ritus-ritus kebudayaan. Oleh karena itu, untuk dapat mengetahui dan menyelidiki filsafat asli Indonesia, haruslah menyelidiki adat dan produk kesenian tradisional Indonesia.

Kehadiran “Nusantara” sebagai satu konsep sendiri telah hadir sejak abad ke-14. Dalam kebahasaan Jawa kuno, dituliskan Nusa berarti “pulau” dan antara berarti “lain/seberang”. Dalam kitab Negara Kertagama, telah digariskan batas-batas wilayah Nusantara yang terdiri atas pulau-pulau terpisah – dari Sumatera, Brunai, hingga Papua Barat. Istilah ini kemudian diangkut kembali oleh Ki Hajar Dewantara sekitar tahun 1920-an untuk menyebut wilayah Hindia Belanda.

Studi spesifik mengenai filsafat Nusantara pertama kali diperkenalkan oleh Guru Besar Luar Biasa pada Jurusan Filsafat di Universitas Indonesia, M. Nasroen, dalam buku Falsafah Indonesia pada 1967. Melalui buku tersebut, Nasroen menyoroti bahwa sejatinya tradisi kefilsafatan Indonesia telah dimulai sejak era Neolitikum, sekitar tahun 3500–2500 SM dalam wujud pemikiran abstrak. Namun, sebagai bidang akademik, kehadirannya baru muncul dan berkembang pada era 1960-an.

Nasroen juga menuliskan bahwa filsafat Nusantara merupakan cabang kefilsafatan sendiri yang khas, tidak tergolong filsafat Barat maupun Timur. Hal demikian karena filsafat Nusantara diwujudkan dalam rupa semacam falsafah mufakat, pantun, hukum adat, nilai ketuhanan, gotong-royong, hingga nilai kekeluargaan – di mana kemudian tersarikan dalam Pancasila. Produk nyata dari filsafat Nusantara ada pada kebudayaan. Oleh karenanya, dalam pluralisme kebudayaan di Indonesia, masing-masingnya memiliki ciri kefilsafatannya sendiri.

Salah satu kebudayaan yang memiliki nilai filsafat otonom adalah kebudayaan Bali. Masyarakat Bali memiliki nilai kebudayaan Tri Hita Karana yang diartikan sebagai kehidupan harmonis antara: 1) manusia dengan sesama manusia; 2) manusia dengan alam semesta; dan 3) manusia dengan Sang Pencipta. Harmonisme tersebut patut dicapai untuk melahirkan perwujudan sikap yang positif seperti kehidupan demokratis, gotong-royong, sopan-santun, dan sikap religius.

Baca juga: Pancasila dan Tugas Sejarah Kita

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Petugas yang membawa Gunungan Limo melintasi Jalan Panglima Sudirman untuk menuju Komplek Makam Bung Karno saat prosesi Grebeg Pancasila, Kota Blitar, Jawa Timur, Rabu (1/6/2022). Setelah upacara untuk merayakan Hari Lahir Pancasila diteruskan dengan Kirab Gunungan Lima dan diikuti oleh Gunungan yang dibuat oleh Kelurahan dan Kecamatan di Kota Blitar menuju Makam Bung Karno. Gunungan yang dibuat dari hasil bumi tersebut kemudian diperebutkan oleh warga.

Pancasila dalam dimensi kepemimpinan

Mengacu pada penelitian Sunoto yang ia bukukan dalam Menuju Filsafat Indonesia, dituliskan bahwa Pancasila hadir dari proses historis panjang bangsa Indonesia. Proses historis dimaknai Sunoto sebagai “beribu peristiwa yang pernah terjadi dan dialami oleh bangsa Indonesia, termasuk Jawa sepanjang masa”. Melalui proses historis tersebut, tampak lukisan filsafat yang telah dimiliki oleh wujud negara-negara kuno pada masa sebelum penjajahan.

Pemerintahan dalam konsep negara tersebut hadir secara konkret dengan kehadiran kerajaan-kerajaan kuno di seluruh Indonesia – seperti kerajaan Mataram Kuno, Kahuripan, Daha dan Jenggala, Singasari, Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram. Telah sejak lama bangsa Indonesia memiliki konsep negara dan pemerintahannya sendiri yang teratur. Dalam keteraturan tersebut, terkandung nilai-nilai luhur kenegaraan dan bermasyarakat yang menjaga keberlangsungannya. Sunoto menuliskan bahwa kehadiran kerajaan-kerajaan kuno ini, sekaligus menunjukkan bahwa filsafat negara telah lama terkandung dalam tradisi pemikiran Nusantara, tidak hanya di dunia Barat.

Salah satu aliran kefilsafatan negara tersebut adalah pandangan dan penghidupan terhadap kehadiran kekuasaan dalam keberlangsungan negara. Filsafat hidup masyarakat Jawa (sebagai konteks spasial, historis, dan sosial yang diteliti Sunoto), menempatkan kekuasaan negara berasal dari sosok pemimpin yang berkuasa (raja), rakyat sebagai pendukung pemerintahan, dan kehadiran Tuhan yang maha kuasa. Ketiga sumber kekuasaan negara ini tidak dapat dipisahkan dalam bagaimana masyarakat Jawa kuno menghidupi diri sebagai bagian dari penduduk negara.

Pemimpin yang Berkualitas

Kehadiran sosok raja dipandang sebagai seorang manusia yang bukan sembarangan, melainkan dipilih oleh Tuhan karena catatan kehebatannya. Dalam tradisi filsafat Jawa, para penduduk harus tunduk dan taat kepada raja mereka. Rakyat yang tidak patuh dianggap dapat menerima hukuman atau akibat yang buruk.

Sebaliknya, seorang raja juga harus memenuhi kualitas kebajikan tertentu untuk dapat dipercaya dan didukung oleh rakyatnya. Beberapa kebajikan tersebut adalah: 1) melakukan tapa; 2) mati raga dan mengendalikan hawa nafsu; 3) mendekatkan diri pada Tuhan; dan 4) mesu budi atau melatih budi. Pentingnya kekuasaan raja untuk menjaga wibawa dan kepercayaan rakyat berujung pada ungkapan filosofis Jawa: sabda pandhita ratu, idu geni – bahwa ucapan seorang raja mustilah terjadi. Oleh karenanya, baiklah ucapkannya agar berbuah positif pula.

Legitimasi yang diperoleh oleh sosok pemimpin dalam negara kuno tidak dapat semata sebagai sebuah pencapaian yang diberikan. Sang pemimpin harus melalui proses panjang untuk menunjukkan kualitas dirinya. Hal ini ditunjukkan secara konkret oleh Ken Arok yang menjadi pemimpin pertama bagi Singasari. Ken Arok mampu menunjukkan dirinya sebagai seorang dengan kemauan keras, gigih, dan berkeadilan. Hal serupa juga ditunjukkan Jaka Tingkir yang tekun, ulet, dan tidak mengenal lelah dalam bekerja sehingga dapat memimpin memimpin Kerajaan Pajang.

Kekuasaan dari Rakyat

Seperti telah disebutkan sebelumnya, seorang raja akan mendapatkan kepercayaan dari rakyat bilamana ia menunjukkan kewibawaan dan kualitas diri. Dengan penunjukkan tersebut, rakyat pun dapat yakin dan percaya kepada pemimpinnya. Oleh karena itu, Sunoto menuliskan bahwa rakyatlah yang memberikan kekuasaan kepada raja.

Pengangkatan pemimpin dalam konteks negara-kerajaan kuno juga dilalui oleh perwakilan rakyat. Hanya saja, bentuknya bukan melalui lembaga perwakilan seperti dalam konteks pemerintahan modern, melainkan oleh para tokoh masyarakat dan keagamaan. Sebagai orang yang bertaqwa kepada Tuhan, mereka dipercaya dapat memilih pemimpin secara masak.

Hal demikian ditunjukkan oleh Erlangga, menantu raja Darmawangsa di Kahuripan yang terpaksa melarikan diri ke hutan akibat kehancuran kerajaan asalnya. Di dalam hutan, Erlangga ternyata bertemu dengan para pertapa dan masyarakat, dan ia berbuat baik kepada mereka. Akhirnya, Erlangga pun dinobatkan sebagai raja atas mereka di Kahuripan dan dibantu untuk mengalahkan musuhnya.

Sebaliknya, ketiadaan dukungan rakyat dapat berdampak bagi kejatuhan legitimasi raja. Hal ini ditunjukkan oleh Raja Tohjaya yang secara semena-mena dan keras kerap berusaha menyingkirkan orang yang ia tidak sukai. Ia pun tidak disukai oleh rakyatnya. Puncaknya adalah ketika Ranggawuni, yang menjadi target pembunuhan Tohjaya, justru berbalik menyerangnya dengan dukungan dari rakyat.

Kekuasan Tertinggi pada Tuhan

Masyarakat kuno Jawa memiliki kepercayaan bahwa seseorang dapat menjadi pemimpin bilamana ia memperoleh wahyu kraton atau pulung. Pulung sendiri dimaknai masyarakat Jawa sebagai wujud yang melayang di angkasa sebagai tanda gaib suatu kejadian. Ia hadir dalam wujud bola api atau pancaran sinar dengan menyimpan kekuatan gaib yang akan menunjukkan kepantasan seseorang untuk menduduki kursi kekuasaan. Pulung ibarat wahyu yang dengannya seseorang memperoleh restu dari Yang Kuasa. Filsafat hidup masyarakat Jawa menempatkan kekuasaan Tuhan sebagai yang paling tinggi dan agung.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Setelah upacara untuk merayakan Hari Lahir Pancasila diteruskan dengan Kirab Gunungan Lima dan diikuti oleh Gunungan yang dibuat oleh Kelurahan dan Kecamatan di Kota Blitar menuju Makam Bung Karno. Gunungan yang dibuat dari hasil bumi tersebut kemudian diperebutkan oleh warga.

Filsafat Jawa menyoroti bagaimana kehidupan kolektif dalam negara harus mencapai ketertiban, keamanan, dan ketenteraman. Untuk mencapainya, diperlukanlah wujud kekuasaan. Filsafat Jawa menekankan Tuhan, Raja, dan Rakyat sebagai tiga sumber kekuasaan. Tuhan, sebagai sosok transendental, menjadi sosok kekuasaan paling tinggi dan padaNya-lah semua kebijakan mengacu. Meski begitu, hal ini tak berarti membuat suatu negara masuk dalam bentuk pemerintahan teokrasi.

Hadir pula kekuasaan oleh raja dan rakyat. Raja sebagai sosok yang mendapat restu dari Tuhan, bukanlah sosok yang terlepas dari rakyatnya. Ia dianggap bagian dari rakyat dan karenanya harus mewujudkan kebaikan pada rakyat yang telah percaya. Raja yang baik harus sadar bahwa tanpa dukungan rakyat, sebesar apapun kekuasaannya, maka pemerintahan tak bisa berjalan. Selain itu, raja dan rakyat sama-sama tahu bahwa tanpa restu Yang Maha Kuasa, kepemimpinan suatu pemerintahan tidak dapat berlangsung dengan baik.

Suku-suku di Maluku juga memiliki falsafah yang sarat dengan kearifan agung, seperti tur tur mas aminat ning dan vavoor bad bul bul inio. Keduanya mengajarkan pentingnya perdamaian. Sementara nilai filsafat uud antauk tavunat mengarahkan manusia untuk bersikap patuh kepada pemimpinnya. Kebudayaan masyarakat Kei juga memiliki peribahasa ulnit anvil arumud. Melalui falsafah tersebut, manusia diajarkan untuk memegang teguh nilai-nilai humanisme seperti perasaan kasih sayang dan tolong menolong.

Hampir semua suku-suku etnis di Nusantara memiliki kearifan lokal yang agung dan adiluhung. Kearifan filsafat lokal tersebut diwariskan secara turun-temurun kepada generasi berikut hingga akhirnya mereka bersentuhan dengan cabang dari filsafat-filsafat asing para pendatang dari negeri lain. Setelah masa-masa negara-kerajaan tersebut, filsafat Nusantara pun tetap berkembang. Zaman baru seperti masa penjajahan dan masa kemerdekaan Indonesia sama-sama melanjutkan lukisan kefilsafatan Indonesia.

Andreas Doweng Bolo dalam artikel akademik “Pemikiran Filosofis (di) Indonesia: Sebuah Telaah Hermeneutis” menuliskan bahwa minat pada filsafat telah begitu besar dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. Di antara para pendiri bangsa, hadir sosok-sosok filsuf nasional besar dengan karya besar mereka. Seperti Ki Jajar Dewantara dengan tulisannya “Als Ik Eens Nederlander Was” (“Andai Aku seorang Belanda”); Mohammad Hatta dengan Alam Pikiran Yunani; Tan Malaka dengan Madilog; Soekarno dengan buku Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme; dan Sutan Sjahrir dengan karya Indonesische Overpeinzingen.

Seluruh tokoh dan karya kefilsafatan yang disebutkan tersebut memiliki konteks kefilsafatan Indonesia yang bernas. Pada masa tersebut, filsafat menjadi tradisi pemikiran kritis yang digunakan sebagai alat melawan kekuasaan penjajah dan hegemoninya atas masyarakat Indonesia. Filsafat menjadi alat kritik sekaligus kebebasan dari monopoli kebenaran yang diproduksi oleh penguasa yang semena-mena. Tema filsafat Indonesia sejak zaman kolonial hingga era kemerdekaan berada pada perihal pembebasan manusia (humanisme).

Memasuki era Orde Baru, filsafat kembali menggaungkan fungsinya tersebut. Sosok-sosok seperti Pramoedya Ananta Toer dan Wiji Thukul hadir untuk menggoncang stabilitas rezim otoriter Soeharto. Melalui dongeng dan syair, mereka menggunakan filsafat sastra untuk menggugat kekuasaan pada masa itu. Dengan demikian, cendekiawan filsafat Indonesia juga tidak lepas dari perubahan pemikiran dan konteks sosial-politik pada masanya.

Memasuki masa reformasi yang cenderung lebih terbuka sekaligus demokratis, Bolo menyoroti kehadiran sosok-sosok seperti K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Soedjatmoko, dan Mochtar Lubis. Ketiganya menjadi tokoh refleksi bagi falsafah kemanusiaan, kebebasan, dan humanisme universal. Kehadiran nilai kemanusiaan melampaui sekat-sekat agama, suku, budaya, dan juga bangsa.

Baca juga: Organisasi Pemuda Indonesia, Sumbu Pemersatu Bangsa

Filsafat Pancasila sebagai Way of Life

Kini, filsafat bangsa yang telah hadir sejak ribuan tahun tersebut disarikan ke dalam Pancasila. Buku Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila oleh Yudi Latief menuliskan bahwa kehadiran Pancasila sendiri merupakan perwujudan dari filsafat dan pandangan hidup bangsa. Pancasila secara benar-benar adalah milik bangsa. Dalam wujudnya sebagai karya bersama tersebut, sosok Soekarno hadir untuk menyintesiskan pokok-pokok filsafat bangsa. Pandangan bangsa tersebut disintesiskan ke dalam lima pokok prinsip atau lima sila.

Yudi Latif menekankan bahwa kehadiran Pancasila kini telah memperoleh status sebagai Philosophische Gronslag (filsafat negara) sekaligus Weltanschauung (pandangan hidup) bangsa dan ideologi negara Indonesia. Dengan status demikian, Pancasila menjadi pemersatu sekaligus bintang penuntun bagi kelompok-kelompok yang memiliki ragam falsafah berbeda dalam masyarakat Indonesia. Pancasila menjadi sumber jati diri, patokan kepribadian, sumber moralitas, dan haluan bagi keselamatan bangsa. Kehadiran Pancasila dengan statusnya demikian adalah penting untuk menjadi pegangan cita-cita demi melalui arus zaman.

Dengan posisinya sebagai filsafat negara, Yudi Latief menekankan bahwa tiap sila memiliki landasan historis dan rasional yang selaras dengan peradaban adiluhung bangsa. Sila pertama menunjukkan bagaimana filsafat bangsa Indonesia mengakui kepercayaan terhadap kuasa sosok transendental dalam kehidupan privat dan kolektif mereka. Agama dan negara saling hadir dengan memahami batasnya masing-masing. Sila kedua, merujuk pada nilai-nilai kemanusiaan universal. Untuk mencapai solidaritas etik yang universal ini, terdapat landasan “adil” dan “beradab”.

Sila ketiga merujuk pada urgensi paham kebangsaan bagi para penduduk Indonesia. Di dalamnya terkandung wawasan pluralisme untuk menerima dan memberikan ruang perbedaan antar-budaya, bahasa, dan agama. Dalam pemahaman ini, sila ketiga mendorong terjadinya persatuan dengan juga menjaga keberlangsungan unsur-unsur lama kebangsaan.

Sila keempat, merujuk pada kekuasaan dan kedaulatan yang dimiliki oleh rakyat. Hikmat/kebijksanaan dalam keberlangsungan pemerintahan diperoleh melalui kesejatian rakyat yang berdaulat. Kehadiran pengakuan terhadap konsensus publik dan demokrasi pemusyawaratan tersebut bahkan telah mendahului konsep “demokrasi deliberatif” yang diperkenalkan Josep M. Bessette (1980) dan dipopulerkan Jurgen Habermas (1992). Sementara sila kelima merujuk pada keseimbangan bagi manusia dalam segala sektor hidupnya – baik sebagai mahluk individu yang harus menyeimbangkan hidup jasmani dan rohani, serta mahluk sosial dengan segala hak dan kewajibannya.

Intinya, Pancasila adalah titik keseimbangan antara ke-Tuhanan dan kemanusiaan, antara nasionalisme dan internasionalisme, antara kepemimpinan dan musyawarah/mufakat, serta antara pembangunan dan keadilan sosial. Pancasila menjadi wujud bunga rampai filsafat bangsa yang jernih dan hakiki bagi bangsa indonesia mengenai kehidupan di masa lalu, masa kini, dan masa mendatang.

Ajaran yang dikandung filsafat Pancasila ini bahkan memperoleh atensi seorang filsuf Inggris, Bertrand Russell. Russell menyoroti Pancasila sebagai sintesis yang kuat antara Declaration of American Independence (deklarasi kemerdekaan Amerika yang merepresentasikan ideologi liberal-kapitalis) dengan Manifesto Komunis (karangan Karl Marx yang merepresentasikan ideologi komunis). Pancasila dipandang mampu menjadi wujud filsafat alternatif yang menengahi segala kebaikan dan keburukan dari kedua ideologi besar dunia tersebut.

Baca juga: Sejarah Lahirnya Budi Utomo dan Kongres 1908

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Warga berebut hasil bumi yang ada di gunungan di Komplek Makam Bung Karno saat prosesi Grebeg Pancasila, Kota Blitar, Jawa Timur, Rabu (1/6/2022). Setelah upacara untuk merayakan Hari Lahir Pancasila diteruskan dengan Kirab Gunungan Lima dan diikuti oleh Gunungan yang dibuat oleh Kelurahan dan Kecamatan di Kota Blitar menuju Makam Bung Karno. Gunungan yang dibuat dari hasil bumi tersebut kemudian diperebutkan oleh warga.

Dominasi Asing dalam Filsafat Nusantara

Penjabaran terhadap filsafat Nusantara tidak mendapat atensi yang cukup dari publik akademik. Sebaliknya, konsep-konsep filsafat Barat lebih dianggap familiar bahkan bagi masyarakat akademik Indonesia sekalipun. Sebagaimana perbincangan akan konsep Aufklärung lebih jamak dibanding tema filsafat Indonesia sejak zaman kolonial yang sama-sama berkutat pada perihal pembebasan manusia.

Begitu juga pandangan komunisme Joseph Stalin yang lebih populer dibandingkan Tan Malaka, dan konsep demokrasi deliberatif yang dipopulerkan Habermas lebih disoroti daripada konsep musyawarah/mufakat pada Sila Keempat. Pemikiran Marcus Aurelius, Antonio Gramsci, dan Erich Fromm lebih dikenal daripada tokoh seperti Patih Gajah Mada, Soekarno, dan Ki Hajar Dewantara. Cabang filsafat Nusantara yang dikembangkan secara akademik oleh Fakultas Filsafat UGM tidak sepopuler mazhab pemikiran yang dikembangkan para cendekiawan Frankfurt School.

Sunoto mengakui bahwa dalam perbincangan terhadap sudut filsafat maupun pemikiran tata negara, yang biasanya dijadikan acuan adalah struktur kefilsafatan di dunia Barat, misalnya Inggris, Amerika Serikat, Jerman, dan lain-lain. Padahal, menurut Sulton, salah satu ciri kefilsafatan Barat adalah sekularisasi yang kental dan tidak diakomodirnya nilai-nilai keagamaan. Bagi dunia Barat, nilai kerohanian dan spiritualitas terdominasi oleh nilai-nilai yang bersifat indrawi. Hal ini membuat filsafat Barat tidak sepenuhnya sesuai dalam konteks masyarakat Nusantara. Pengakuan atas substansi spiritual dan alam metafisik menjadi bagian penting dalam masyarakat Indonesia.

Venti Wijayanti dalam artikel “Filsafat Nusantara Damardjati Supadjar: Reformasi Ke-Jawa-an” menuliskan bahwa proses penemuan filsafat Nusantara tidaklah mudah. Hal ini disebabkan oleh dominasi kuat peradaban Barat yang sudah melanggengkan diri dalam hegemoni atas budaya Timur. Hal ini berdampak pada dominasi pemikiran filsafat Barat yang dianggap seolah lebih mapan dan akhirnya lebih digunakan dalam diskursus akademik.

Lebih jauh, bentuk-bentuk kajian filsafat Indonesia pun akhirnya hanya ditempatkan sebagai studi kasus atau objek studi semata. Sebaliknya, digunakan pemikiran filsafat Barat sebagai subjek untuk membedah sisi-sisi historisitas ataupun epistemologi falsafah Indonesia. Perkembangan filsafat otentik Nusantara pun terus ternaungi oleh batasan normalitas yang telah ditentukan oleh hegemoni pemikiran Barat.

Kondisi demikian, adalah konsekuensi logis dari proyek Orientalisme pada bangsa Indonesia, sebagaimana terjadi pada para bangsa Timur lainnya. Orientalisme sendiri dipahami oleh Edward Said dalam buku Orientalism: Western Conception of The Orient sebagai konstruksi yang dilakukan oleh bangsa Barat terhadap dunia Timur dengan menggunakan landasan yang bersumber pada pengalaman hidup dan budaya Barat sendiri.

Dalam proses orientalisme, Taufiqqurahman dalam website LSF Cogito (lsfcogito.org) menuliskan bahwa intelektual Barat merepresentasikan kebiasaan, kebudayaan, sejarah, hingga ekostisme dan tradisi pemikiran orang Timur dalam wujud buku, catatan perjalanan, naskah drama, dan media karangan lain yang mereka buat. Dalam produk kreatif tersebut, pihak Timur distigmakan sebagai sosok yang inferior, tidak rasional, barbar, tidak beradab, terbelakang, penuh daya magis, dan lainnya.

Praktik orientalisme ini terjadi seiring dengan masuknya bangsa Barat dalam proyek kolonisasi terhadap Indonesia dan bangsa Timur lainnya. Seiring penguasaan secara spasial dan sumber daya tersebut, bangsa Barat juga menguasai wacana berpikir dan pengetahuan masyarakat Timur. Orientalisme menjadi wujud operasi hegemoni kekuasaan ekonomi, politik, dan akademik bangsa-bangsa Barat terhadap bangsa-bangsa Timur.

Penjajahan ratusan tahun oleh bangsa Barat memberikan bekas yang mendalam bagi kesadaran kolektif masyarakat Nusantara. Dalam momen penjajahan dan penguasaan segala aspek kehidupan tersebut, identitasnya bangsa Indonesia mengalami dinamika yang bergejolak. Masyarakat dan budaya Nusantara telah menunjukkan benih-benih pengetahuan dan kefilsafatan yang begitu otentik sekaligus mendalam yang penerapannya sangat konkret melalui filosofi yang terkandung dalam Pancasila. (LITBANG KOMPAS)

KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA

Sekolah Dasar Inpres Liliba Kota Kupang, Rabu (25/5/2022) menyelenggarakan kegiatan “‘Project Penguatan Profil Pelajar Pancasila” yang diikuti ratusan pelajardan disaksikan masyarakat setempat.

Referensi

Buku
  • Hardiman, F. B. (2009). Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Yogyakarta: Kanisius.
  • Latief, Y. (2011). Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila . Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  • Magnis-Suseno, F. (1994). Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  • Manampiring, H. (2019). Filosofi Teras. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
  • Wibowo, S. (2021). Platon: Lahkes (Tentang Keberanian). Yogyakarta: PT Kanisius.
Jurnal
  • Bolo, A. D. (2019). Pemikiran Filosofis (di) Indonesia: Sebuah Telaah Hermeneutis. Jurnal Melintas Vol. 35 No. 2, 159-173.
  • Kirom, S. (2011). Filsafat Ilmu dan Arah Pengembangan Pancasila: Relevansinya dalam Mengatasi Persoalan Kebangsaan. Jurnal Filsafat Vol.21, Nomor 2.
  • Sulton, A. (2016). Filsafah Nusantara Sebagai Jalan Ketiga Antara Falsafah Barat dan Falsafah Timur . Jurnal Esensia Vol. 17 No. 1, 17-29.
Internet