Paparan Topik | Perlindungan Perempuan dan Anak

Upaya Mencegah Perkawinan Anak

Perkawinan anak dapat menghambat capaian tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals 2015-2030. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya mendesak untuk menghentikan praktik pernikahan anak dibawah usia 19 tahun.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Mural berisi pesan untuk menghindari perkawinan usia dini dan lebih mengejar prestasi dan berkarya di Jalan Bekasi Timur Raya, Jakarta Utara, Kamis (20/2/2020). Menurut Undang-undang Momor 16 Tahun 2019 tentang perubahan UU No 1/1974 tentang Perkawinan bahwa batas minimal usia perkawinan adalah 19 tahun. Menurut data BPS tahun 2018, prevalensi atau jumlah keseluruhan nasional untuk pernikahan usia anak adalah 11,2 persen dengan 1,2 juta kasus pernikahan yang tercatat.

Fakta Singkat

  • Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 16 tahun 2019 disebutkan usia perkawinan minimal bagi laki-laki 21 tahun dan perempuan 19 tahun, tetapi ada dispensasi usia jika atas permohonan orang tua.
  • Pemerintah memberlakukan Sertifikasi Nikah 2020 yang wajib dimiliki pasangan yang ingin menikah untuk menurunkan angka perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga.
  • Indonesia termasuk salah satu dari sepuluh negara dengan prevalensi Perkawinan Anak tertinggi di dunia, dan kedua tertinggi di ASEAN setelah Kamboja.
  • Satu dari enam anak perempuan di Indonesia menikah pada usia muda.
  • UNICEF Global Database (2020) mencatat pernikahan dini merugikan minimal 1,7 persen pendapatan nasional suatu negara.

Anak menapaki usia remaja ketika berada dalam usia antara 10–18 tahun. Pada usia tersebut, terjadi perubahan sangat cepat secara fisik dan hormonal yang mengakibatkan perubahan pada emosi, psikologis, dan intelektual.   

Remaja adalah generasi penerus bangsa yang nantinya akan menentukan masa depan bangsa. Kemajuan suatu bangsa pada masa yang akan datang sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya.

Indonesia memiliki bonus demografi pada tahun 2045, yaitu jumlah penduduk Indonesia 70 persen berada dalam usia produktif. Sementara, 30 persennya adalah usia tidak produktif, yaitu di bawah 14 tahun dan di atas 65 tahun.

Untuk menunjang pembangunan berkelanjutan, saat ini harus dipersipkan remaja yang memiliki kapabilitas yang dapat diandalkan untuk meneruskan pembangunan bangsa pada kemudian hari.

Kapasitas remaja bukan hanya pendidikan formal, tetapi menjadi memiliki karakter jujur dan bermental baik, mampu menghargai perbedaan, berbudaya, dan memiliki lingkungan yang mendorong proses kreatif mereka.

Di sisi lain, tidak semua remaja Indonesia memiliki kesempatan pendidikan yang baik dan tidak selalu memiliki lingkungan yang mendukung perkembangannya. Beragam persoalan terjadi pada remaja Indonesia seperti bunuh diri, narkoba, hingga pergaulan bebas.

KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Lili Marlina (34) menunjukkan baju bertuliskan “Stop Perkawinan Anak”  di rumahnya di Desa Krasak, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Selasa (31/1/2023). Lili pernah menikah di usia 17 tahun. Namun, perkawinannya hanya bertahan tiga bulan.

Pernikahan di usia dini

Salah satu persoalan anak yang mengemuka adalah pernikahan di usia dini atau pernikahan muda. Indonesia termasuk satu dari sepuluh negara dengan perkawinan anak tertingi di dunia.

Data pengadilan agama atas permohonan dispensasi usia perkawinan anak tahun 2021 tercatat 65 ribu kasus dan tahun 2022 terjadi 52 ribu kasus pengajuan.

Padahal menikah tidak hanya menyatukan dua orang manusia, melainkan juga untuk membentuk satuan keluarga sebagai bagian dari masyarakat.

Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) usia ideal melakukan perkawinan pertama bagi wanita 21 tahun dan bagi pria 25 tahun. Pertimbangannya adalah kematangan biologis dan psikologis seseorang pada usia tersebut.

Terlebih lagi Indonesia mengejar target MDGs (Milenium Development Goals). Pada 2015, dari 67 indikator MDGs Indonesia baru memenuhi 49 indikator.

Indikator yang masih tertinggal adalah mengurangi angka kematian ibu melahirkan. Indikator lain yang masih menjadi persoalan di Indonesia, yaitu menurunkan angka kemiskinan nasional, peningkatan konsumsi minimum 1.400 kkal/perhari, penanggulangan HIV/AIDS, penyediaan air bersih dan sanitasi di daerah pedesaan serta target capaian antar provinsi yang masih lebar.

Maka dari itu, untuk mendukung target MDGs, Indonesia harus meningkatkan kesadaran keluarga mencegah perkawinan usia muda sehingga dapat melahirkan generasi unggul dan mengurangi angka kematian ibu saat melahirkan.

KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Sejumlah pelajar mengampanyekan isu penghentian perkawinan anak dalam acara peluncuran Gerakan Bersama Stok Perkawinan Anak di Pendopo Indramayu, Jawa Barat, Sabtu (18/11/2017). Angka perkawinan anak di Indonesia merupakan yang tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja dan tertinggi ketujuh di dunia.

Prevalensi Perkawinan Anak Indonesia

Perkawinan anak adalah perkawinan formal atau informal di mana salah satu atau kedua belah pihak berusia di bawah 18 tahun. Angka prevalensi perkawinan anak diperoleh dari Susenas 2018, yaitu perempuan usia 20–24 tahun yang menikah sebelum umur 18 tahun dibagi dengan jumlah total perempuan Indonesia usia 20–24 tahun.

Angka Prevalensi Nikah Muda di Indonesia

Tahun

2012

2013

2014

2015

2016

2017

2018

Usia sebelum15 thn

1,15

1,05

0,99

0,60

0,54

0,48

0,56

Usia sebelum 18 thn

14,02

13,59

13,55

12,14

11,11

11,54

11,21

Sumber: Susenas 2018

Berdasarkan data Susenas 2018, dalam 10 tahun perkawinan anak di daerah pedesaan berkurang 5,76 poin, ini mengindikasikan di perkotaan kasus perkawinan anak bergerak lambat dibanding pedesaan.   

Dari hasil Susenas 2018 terlihat Provinsi Sulawesi Barat memiliki prevalensi tertinggi, yaitu 19,43 persen. Sementara itu, Jawa Barat memiliki angka absolut tertinggi diperkirakan mencapai 273.300 perkawinan anak. Angka absolut ini didapatkan dengan mengalikan prevalensi perkawinan usia anak dengan proyeksi penduduk hasil SUPAS 2015.

Selanjutnya tahun 2018 diketahui 11 persen atau satu dari sembilan perempuan usia 20–24 tahun menikah di usia dibawah 18 tahun. Sedangkan, laki-laki hanya satu persen saja atau satu dari 100 laki-laki usia 20–24 tahun saat menikah berusia di bawah 18 tahun.

Melalui metode mengalikan prevalensi kawin muda tahun 2018 dengan SUPAS 2015, didapatkan angka perkiraan perempuan yang menikah pada usia di bawah 18 tahun ada 1.220.900 orang.

Angka tersebut menurut UNICEF menempatkan Indonesia berada pada posisi 10 besar negara dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi di dunia. Di ASEAN, posisi Indonesia adalah tertinggi kedua setelah Kamboja, diperkirakan satu dari lima anak perempuan Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun.

Sementara itu, data BPS pada tahun 2020 memperlihatkan perempuan berusia 20–24 tahun yang menikah pada usia sebelum 15 tahun ada sebanyak 0,5 persen.

Dalam UNICEF Global Database (2020), wanita usia subur di negara ASEAN yang menikah di bawah usia 15 tahun sebesar 8 persen dan yang menikah di bawah usia 18 tahun sebesar 29 persen.

KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA 

LA (jilbab hitam, kiri) yang baru berusia 17 tahun ditemani ibunya NR (48) menidurkan anaknya AAC (8 bulan) di ayunan dari kain yang digantung pada berugak (saung) di tempat tinggal mereka di salah satu desa di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Jumat (16/4/2021) lalu. Dalam usianya saat ini, LA sudah tiga kali menikah dan dua kali bercerai. Pernikahan pertamanya saat ia berusia 14 tahun. Kasus perkawinan anak seperti LA, merupakan salah satu persoalan utama di Nusa Tenggara Barat.

Penyebab Pernikahan Usia Muda

Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 ditetapkan usia perkawinan minimal 21 tahun, tetapi diberikan dispensasi usia jika atas permohonan orang tua. Penyebab pernikahan dini, antara lain, kondisi ekonomi keluarga, pendidikan rendah, interpretasi agama dan budaya, selain karena kehamilan tidak diinginkan.

Terjadinya perkawinan anak karena kasus hamil di luar nikah, hal itu diketahui dari hasil analisa Puskapa UI. Riset Puskapa UI melakukan analisa terhadap 255 putusan dispensasi perkawinan dari Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agama dalam kurun waktu 2020–2022, dilengkapi dengan kajian 40 publikasi ilmiah. Hasilnya adalah sepertiga dari 225 putusan dispensasi kawin muda karena sudah hamil terlebih dahulu.

Dari data tahun 2022, dari 52 ribu perkara dispensasi perkawinan yang masuk dalam peradilan agama sekitar 34 ribu didorong oleh faktor cinta sehingga orang tua meminta pengadilan agama segera menikahkan anak mereka. Ada sekitar 1.132 mengaku sudah melakukan hubungan intim suami-istri dan sekitar 13.547 pemohon menikah karena sudah hamil terlebih dahulu. Selain karena hamil lebih dulu, orang tua juga terkadang mendesak remaja mereka untuk segera menikah.

Berbagai faktor pendorong terjadinya pernikahan dini, antara lain, pendidikan, pengetahuan, pekerjaan, status ekonomi dan budaya, serta pergaulan bebas. Selain itu, orang tua mempunyai pengaruh yang besar dalam kasus pernikahan dini, seperti kemiskinan, pendidikan, tradisi dan agama serta adat istiadat.

Jika dilihat dari kataegori pedesaan dan perkotaan, tampak jelas di desa kemungkinan menikah usia muda dua kali lebih besar daripada di desa. Hal itu karena tingkat pendidikan dan wawasan masyarakat di perkotaan jauh lebih memadai daripada pedesaan.

Remaja perkotaan lebih memiliki peluang dan ekspektasi karir yang lebih besar daripada pedesaan. Sehingga remaja di kota cenderung memikirkan karir dan masa depan daripada perkawinan di usia muda. Sementara itu, di pedesaan seringkali pandangan kultural masyarakat yang terikat tradisi yang mengakibatkan masyarakat lebih cenderung menikahkan anak gadis mereka di usia muda.

Dalam Jurnal Kependudukan LIPI, disebutkan bahwa kemampuan finansial berpengaruh terhadap keputusan menikah usia muda. Ditemukan bahwa angka terbesar pernikahan dini terjadi pada keluarga yang masuk kategori sangat miskin, setelah itu, keluarga berstatus miskin kemudian keluarga berstatus menengah.

Hal itu disebabkan karena keterbatasan ekonomi untuk menyekolahkan anak sehingga anak perempuannya putus sekolah. Di keluarga sangat miskin terkadang mereka harus memprioritaskan anak laki-laki untuk memiliki pendidikan tinggi.

Anak perempuan yang dianggap tidak akan menjadi kepala keluarga harus mengalah putus sekolah. Dalam tekanan kemiskinan, menikahkan anak perempuan adalah pilihan rasional agar ada yang bertanggung jawab pada anak gadisnya meskipun masih di bawah umur. Sedangkan untuk keluarga kaya angka pernikahan muda sangat kecil.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO 

Mural berisi pesan untuk menghindari perkawinan usia dini dan lebih mengejar prestasi dan berkarya di Jalan Bekasi Timur Raya, Jakarta Utara, Kamis (20/2/2020). Menurut Undang-undang Momor 16 Tahun 2019 tentang perubahan UU No 1/1974 tentang Perkawinan bahwa batas minimal usia perkawinan adalah 19 tahun. Menurut data BPS tahun 2018, prevalensi atau jumlah keseluruhan nasional untuk pernikahan usia anak adalah 11,2 persen dengan 1,2 juta kasus pernikahan yang tercatat.

Nilai Sosial dan Pendidikan

Nilai-nilai patriarkal juga masih sangat berpengaruh dalam masyarakat Indonesia yang seringkali berpikir perempuan bukanlah kepala rumah tangga. Bahkan, hal itu masih terekam pada remaja saat ini, sehingga mereka berpikir perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi karena tidak perlu mencari nafkah. Pola pikir demikian membuat remaja putri kalah bersaing dalam pendidikan tinggi karena suaminya yang dianggap harus bertanggung jawab mencari nafkah.

Selain itu, seorang remaja putri yang memiliki calon pasangan yang sudah bekerja akan cenderung menikah muda 2–3 kali lebih cepat daripada remaja putri yang memiliki calon pasangan yang belum bekerja. Pernikahan usia muda bagi remaja putri dianggap cukup layak, jika calon suaminya sudah mampu memberi nafkah.

Sementara itu dari hasil penelitian yang dimuat dalam Jurnal Kependudukan tersebut menguraikan tingkat pendidikan sangat mempengaruhi pola pikir masyarakat, baik orang tua maupun anak-anak mereka.

Semakin rendah pendidikan perempuan, maka ia semakin mudah membuat keputusan menikah pada usia sebelum 18 tahun. Wanita yang berpendidikan SMP cenderung menikah dini sebesar 10 kali lebih cepat dibandingkan dengan wanita yang lulus SMA.

Sedangkan wanita yang hanya lulusan SD memiliki kecenderungan menikah dini sebesar 50 kali dibandingkan dengan wanita yang berpendidikan minimal SMA. Bahkan, wanita yang tidak pernah bersekolah memiliki kecenderungan menikah dini 94 kali dibandingkan dengan wanita yang berpendidikan minimal SMA.

Pendidikan sangat berpengaruh membentuk pola pikir dan peluang menjalani masa depan. Bagi wanita yang berpendidikan tinggi lebih cenderung memilih untuk bekerja dan meniti karir sehingga mengurangi peluang melakukan pernikahan usia muda.

Pada wanita yang berpendidikan rendah ataupun tidak bersekolah memilih untuk cepat menikah ketika sudah ada pria yang mendekatinya. Hal itu berlaku sama jika perempuan itu memiliki pasangan yang berpendidikan rendah maka rencana menikah muda lebih besar daripada ketika mereka memiliki pasangan pendidikan tinggi. 

Dalam segi pergaulan bebas, ketika orang tua mendapati anak mereka sudah melakukan hubungan seks di luar pernikahan maka secara sosial harus dinikahkan. Apalagi jika anak gadis mereka sudah hamil maka pilihan orang tua bukanlah mengugurkan kandungannya, tetapi segera menikahkan putri mereka. Dari sebuah hasil riset diketahui proporsi orang yang melakukan izin dispensasi menikah lebih banyak yang sudah berhubungan seksual daripada belum berhubungan seksual sebelum menikah. 

Perkawinan pada anak disebabkan oleh empat penyebab yaitu: (1) kesulitan hidup di keluarga yang tidak memiliki kapasitas pengasuhan yang baik; (2) anak tidak dapat dukungan positif dari keluarga, komunitas dan kelompok sebaya; (3) anak tidak memiliki kemampuan untuk menimbang resiko kehamilan; dan (4) anak memandang perkawinan sebagai cara menikmati masa remaja.

KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA

Seorang ibu menggendong anaknya usia kegiatan Peresmian Radio Sekolah Perempuan Darurat Siaga Covid-19″ Nina Bayan” di Desa Sukadana, Bayan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, Kamis (15/4/2021). Selain menyiarkan berbagai informasi tentang Covid-19, kehadiran radio itu juga sebagai salah satu media kampanye untuk mencegah perkawinan usia anak yang marak terjadi di Lombok Utara.

Dampak Perkawinan Anak

Pernikahan usia muda berdampak pada masalah kependudukan karena berpengaruh pada berbagai aspek kehidupan. Dari aspek pendidikan dapat mengakibatkan terhentinya pendidikan seseorang atau dengan katan lain hak anak untuk melanjutkan pendidikan terhenti. Hal itu dapat menimbulkan siklus kemiskinan baru. UNICEF Global Database (2020) mencatat pernikahan dini merugikan minimal 1,7 persen pendapatan nasional suatu negara.

Data tahun 2022 menunjukkan  angka kematian ibu (AKI) masih berkisar 305 per 100.000 Kelahiran Hidup, belum mencapai target yang ditentukan yaitu 183 per 100.000 KH di tahun 2024.

Salah satu penyumbang AKI adalah ketidaksiapan fisik dan mental ibu saat mengandung karena terlalu muda menikah atau hamil di usia muda. Menurut UNICEF perkawinan anak menimbulkan resiko kematian ibu dua kali lebih besar selama 28 hari pertama melahirkan dibandingkan dengan ibu yang melahirkan di usia 20-29 tahun.

Perkawinan anak menjadi salah satu ancaman bagi terpenuhinya hak anak karena akan berdampak secara fisik dan kejiwaan, selain memperparah kemiskinan. Perkawinan anak tentunya membuat anak putus sekolah dan menurunkan kemampuan membangun keluarga yang sehat mental spiritual.

Ibu yang terlalu muda mendorong resiko kematian ibu dan bayi, tidak siap mental membangun keluarga sehingga meningkatkan resiko KDRT dan perceraian. Pola asuh yang tidak tepat untuk bayinya selain berpotensi membesarkan anak stunting (tengkes).

Wanita yang dinikahkan terlalu muda dibawah usia 15 tahun biasanya harus putus sekolah dan tidak bekerja atau tidak memiliki penghasilan. Dengan pendidikan rendah tanpa ketrampilan yang dimiliki biasanya wanita menjadi sangat tergantung pada pasangannya atau bahkan mertuanya.

Hal itu mengakibatkan posisi tawar mereka sangat rendah terhadap pasangannya. Ditambah dengan minimnya pengetahuan termasuk kekuatan mental dalam menghadapi tekanan dalam perkawinan. Terkadang berakibat pada relasi hubungan yang tidak sehat sehingga cendrung mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Hal itu seringkali mendorong terjadinya perceraian, sehingga nasib anak-anak dari perkawinan tersebut terlantar ataupun tidak memiliki kehidupan yang ideal di usianya.

Dari segi medis dan kesehatan, pernikahan di usia muda sebelum 21 tahun berisiko pada kematian ibu dan anak, penularan infeksi menular seksual dan mendorong tingginya kekerasan dalam rumah tangga.

Resiko yang rentan dialami perempuan yang hamil di usia muda antara lain : resiko kematian saat melahirkan 5 kali lebih besar daripada usia di atas 20 tahun; kematian ibu hamil usia 15-19 tahun lebih sering terjadi di negara pendapatan rendah.

Bayi yang lahir dari wanita usia di bawah 18 tahun memiliki resiko mortilitas dan mobiditas 50 persen lebih besar daripada bayi yang lahir dari ibu usia di atas 18 tahun. Risiko yang banyak terjadi adalah bayi lahir prematur, bayi dengan berat badan rendah dan perdarahan saat persalinan.

KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA

Koordinator Pendampingan Kasus Yayasan Sapa, Sugih Hartini (dua dari kanan) memberikan penjelasan terkait perkawinan anak dalam pertemuan Bale Istri di RW 13, Desa Cipaku, Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung, Sabtu (17/4/2021). Bale Istri merupakan kelompok para ibu yang dibentuk Yayasan Sapa untuk memberikan edukasi terkait kesehatan, peran hingga pemberdayaan perempuan.

Upaya pencegahan

Perkawinan anak merupakan pelanggaran atas pemenuhan hak anak dan perlindungan anak seperti yang tercantum dalam Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Keputusan Presiden Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi.

Perlindungan Anak adalah segala upaya untuk menjamin dan melindungi hak-hak anak agar dapat hidup tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Perkawinan anak dapat menghambat capaian tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals) tahun 2015-2030 dalam tujuan kelima butir 5.3 yaitu menghapuskan  semua praktek-praktek yang membahayakan, seperti perkawinan anak, pernikahan dini, dan pernikahan paksa.

Berbagai upaya pemerintah untuk mencegah perkawinan usia muda antara lain pemberlakuan Sertifikasi Nikah 2020 yang wajib dimiliki pasangan yang ingin menikah untuk menurunkan angka perceraian dan KDRT.

Kementrian Agama  meluncurkan Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan seperti penyuluhan dalam rangkaian penyuluhan agama. Selain itu pembinaan dan sosialisasi pelajar melalui sekolah serta bimbingan perkawinan bagi mahasiswa.

Pemerintah menargetkan tidak ada lagi perkawinan usia muda di tahun 2030 dengan menjamin pelaksanaan serta penegakan regulasi dan meningkatkan kapasitas dan optimalisasi tata kelola kelembagaan, menjamin anak mendapat layanan dasar komprehensif.

Untuk mencegah perkawinan anak terus berlangsung, Kementrian  Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bersama dengan Puskapa (Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak) Universitas Indonesia dan Ikatan PIMTI Perempuan Indonesia serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyusun Risalah Kebijakan Pencegahan Perkawinan Anak untuk Perlindungan Berkelanjutan bagi anak.

Kebijakan risalah tersebut merupakan bagian dari Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) 2020-2024 dan upaya penurunan angka perkawinan anak dalam target RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional) menjadi 8,74 persen.

Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA) meluncurkan program Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM). Melalui PATBM menjadi ujung tombak perlindungan berbasis masyarakat untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak anak. Program PATBM ini membangun  konsepsi keluarga dan penguatan  peran serta anak dan masyarakat dalam upaya pencegahan perkawinan anak. PATB  dapat mendeteksi sekaligus mencegah perkawinan anak di tingkat masyarakat karena memberikan pemahaman yang benar tentang perkawinan.

KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU

Ilustrasi penjelasan tentang hak anak di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Kelurahan Cipinang Besar Utara, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur, Senin (8/10/2018). Perkawinan anak di wilayah tersebut masih kerap terjadi karena masyarakat terbelit persoalan sosial dan ekonomi.

Terkait dengan pencegahan perkawinan anak KemenPPA melakukan pencegahan dengan penyusunan beberapa kebijakan, penguatan peran serta anak dan masyarakat, penyusunan desain strategi penurunan kekerasan terhadap anak dan pekerja anak tahun 2020-2024, penguatan kelembagaan dan penyediaan layanan.

Pemerintah perlu melakukan upaya  pencegahan  perkawinan anak dengan meningkatkan kapasitas pengasuhan dan akses layanan, menyusun kebijakan kesehatan fisik termasuk kesehatan mental dan reproduksi, memperkuat ikatan sosial keluarga,  mengembangkan kemampuan anak, membuka dan menyetarakan akses, serta wajib pendidikan 12 tahun.

Dalam lingkup perundang-undangan, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UU No. 16/2019 tentang Perubahan Atas UU No. 1/1974 tentang Perkawinan yang  diharapkan mampu mencegah ataupun mengurangi  perkawinan usia anak. Dalam perubahannya batas usia dari 16 tahun untuk perempuan berubah menjadi 19 tahun, dan tidak dibolehkan kawin paksa karena dianggap sebagai bentuk kekerasan seksual.

Untuk mengurangi angka pernikahan muda adalah dengan mengedukasi masyarakat sehingga perempuan mampu menciptakan peluang bagi kebahagiaannya. Kementrian PPPA mengutarakan strategi untuk mencegah perkawinanan anak; yaitu optimalisasi kapasitas anak, menciptakan lingkungan yang mendukung pencegahan perjawinan anak, serta meningkatkan aksesibilitas dan perluasan layanan.

Selain itu dibutuhkan pemahaman tentang kesehatan reproduksi remaja karena menurut data hanya 35,3 persen remaja perempuan dan 31,2 persen remaja laki-laki yang mengerti kesehatan reproduksi remaja.

Pemahaman yang baik tentang kesehatan reproduksi akan membantu remaja untuk mempersiapkan masa depannya lebih baik. Salah satu contohnya adalah bahwa perempuan bisa hamil hanya dengan satu kali hubungan seksual dan penularan HIV/AIDS dapat dicegah dengan penggunaan kondom serta setia pada satu pasangan. Selain itu  remaja perlu tahu secara komprehensif seputar HIV/AIDS, oleh karena itu perlu adanya penyedia layanan jasa konseling kesehatan reproduksi.

Untuk mencegah terjadinya pernikahan dini salah satunya adalah melakukan evaluasi terhadap program wajib belajar 9 tahun. Perlunya penyediaan dan fasilitas sekolah yang menyebar hingga ke pedesaan sehingga menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Hal itu perlu ditambah dengan aktifnya perekonomian khususnya di wilayah pedesaan hingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.

Desa perlu mendapat perhatian khusus mengenai pendidikan seksual bagi remaja untuk menghindari terjadinya hubungan seksual di usia dini. Perlu diperbanyak kegiatan kursus di desa untuk menambah ketrampilan sehingga memudahkan mencari pekerjaan apabila tidak mampu menempuh pendidikan tinggi. Dalam hal ini peran orang tua sangat dibutuhkan untuk mendukung anaknya agar tidak terjebak pada pergaulan seks yang terlalu muda serta mendukung pendidikan anak-anak mereka.

KemenPPPA menegaskan bahwa untuk mewujudkan Generasi Emas Berkualitas 2045 dibutuhkan dukungan dari pihak yaitu pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha untuk melakukan pencegahan perkawinan anak. (LITBANG KOMPAS)

Strategi KemenPPPA dalam pencegahan perkawinan anak:
  • Penyusunan kebijakan nasional tentang Pencegahan Perkawinan Anak
  • Penyusunan Rencana Aksi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak
  • Inisiasi Perujudan Kabupaten/kota layak anak
  • Advokasi dan sosialisasi “Usia Perkawinan 21 Tahun sesuai Pasal 6 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
  • Mendorong Program Wajib Belajar 12 tahun dalam kebijakan
  • Mendorong Pemda untuk penyusunan kebijakan Pencegahan Perkawinan Anak dalam Peraturan daerah
  • Penyusunan Pedoman Pelatihan Pengasuhan Anak Berbasis Keluarga
  • Penyusunan Modul Pencegahan Perkawinan Anak bagi Fasilitator Anak dan Fasilitator Orang Tua
  • Pelatihan Pengasuhan berbasis Hak Anak dan Pencegahan Perkawinan Anak
  • Pembentukan Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) dengan tenaga profesional
  • Memberdayakan anak perempuan dengan informasi, ketampilan dan jaringan pendukung
  • Mendidik anak dan memobilisasi orang tua anggota komunitas untuk memberikan keteangan tentang bahaya perkawinan usia anak
  • Meningkatkan akses dan kualitas pendidikan formal pada anak perempuan
  • Melibatkan anak dan forum anak dalam “2P”, sebagai Pelopor dan Pelapor, Pelopor adalah agen perubahan dan Pelapor untuk melakukan pencegahan jika menemukan praktek perkawinan anak
  • Mendorong masyarakat untuk melakukan gerakan bersama melalui strategi perlindungan anak terpadu berbasis masyarakat dimulai dari tingkat kelurahan/desa. Kelurahan/desa Layak Anak disebut Dekela dan Kecamatan Layak Anak disebut Kelana.

Referensi

Jurnal
Internet