KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Ibu memberi makan bayinya dengan bubur sehat saat peluncuran Gebyar Lomba Balita Sehat di Halaman Balaikota Surabaya, Jawa Timur, Rabu (26/1/2022). Lomba yang akan berlangsung selama satu bulan untuk mewujudkan Kota Surabaya EMAS (Eleminasi Masalah Stunting). Selain melihat kondisi kesehatan dari anak, juga dilihat bagaimana ibu menyiapkan makanan pendamping yang bergizi.
Fakta singkat
Prevalensi stunting 2021:
24,4 persen (Studi Status Gizi Indonesia)
Penyebab Stunting:
- Praktek pengasuhan kurang baik
- Layanan kesehatan selama masa kehamilan
- Akses keluarga ke makanan bergizi terbatas
- Akses ke air bersih dan sanitasi terbatas
Kerangka Intervensi Stunting:
- Intervensi Gizi Spesifik
- Intervensi Gizi Sensitif
Pilar Penanganan Stunting:
- Komitmen dan visi pimpinan tertinggi negara
- Kampanye nasional berfokus pada pemahaman dan peribahan perilaku, komitmen politik dan akuntabilitas
- Konvergensi, koordinasi, dan konsolidasi program nasional, daerah dan masyarakat
- Mendorong kebijakan “nutrisional food security”
- Pemantauan dan evaluasi
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh yang terjadi pada anak berusia di bawah lima tahun (balita). Kondisi ini disebabkan oleh kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi tersebut dapat terjadi sejak bayi masih berada dalam kandungan hingga masa awal setelah bayi lahir. Namun kondisi stunting baru dapat dilihat ketika anak berusia dua tahun.
Kementerian kesehatan mendefinisikan anak balita dengan nilai z-score kurang dari -2SD (standar deviasi) sebagai stunted atau balita pendek. Sementara balita dengan nilai z-score kurang dari -3SD termasuk dalam kelompok severely stunted atau balita sangat pendek. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020 tentang Standar Antropometri Anak.
Stunting dapat mengakibatkan hilangnya Gross Domestic Products (GDP) hingga 11 persen. Selain itu, pendapatan pekerja dewasa dapat berkurang hingga 20 persen.
Tak berhenti di sana, stunting juga bisa menyebabkan kesenjangan semakin lebar, sebab 10 persen total pendapatan seumur hidup dapat berkurang. Akibat jangka panjangnya kemiskinan yang berlanjut antargenerasi.
Ibu rumah tangga mengajak anak balita mereka mengikuti kegiatan pembagian telur di posyandu Kampung Cinderejo Lor, Kelurahan Gilingan, Banjarsari, Solo, Jawa Tengah, Rabu (5/8/2020). Mengenalkan beragam makanan secara bertahap pada balita dapat mengurangi susah makan pada anak-anak. Kegiatan pembagian telur untuk ibu rumah tangga itu digelar oleh Ikatan Istri Dokter Indonesia cabang Solo untuk mengurangi risiko pertumbuhan anak stunting dan mengalami gizi buruk akibat perekonomian keluarga mereka terdampak pandemi.
Data Stunting Indonesia 2021
Menurut model perhitungan yang dilakukan UNICEF, WHO dan World Bank dalam laporannya di tahun 2021 memperkirakan angka prevalensi stunting di Indonesia berada di angka 31,8 persen pada tahun 2020. Jika dilihat dari skala WHO maka angka tersebut masih dalam kelompok kasus tinggi (high) sebab di atas 30 persen. Angka aman atau rendah kasus (low) menurut WHO adalah kurang dari 20 persen.
Sementara itu, pada akhir tahun 2021 Kemenkes merilis data hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) yang menunjukkan prevalensi stunting Indonesia berada di angka 24,4 persen. Angka ini menunjukkan penurunan jika dibandingan dengan angka prevalensi stunting Indonesia tahun 2019 yang berada di angka 27,7 persen.
Meskipun terjadi perbaikan di tahun 2021, namun nilai prevalensi stunting di Indonesia masih di atas beberapa negara tetangga, seperti Vietnam (23 persen), Malaysia (17 persen), Thailand (16 persen), dan Singapura (4 persen).
Jika kembali pada pengkategorian tinggi rendahnya kasus stunting oleh WHO, maka sebenarnya nilai prevalensi stunting nasional yang dirilis SSGI tahun 2021 di atas membuat posisi Indonesia berada dalam posisi medium (20-29 persen). Akan tetapi, jika dilihat angkanya dalam tingkat provinsi, maka masih ada enam provinsi yang berkasus stunting tinggi, yaitu Nusa Tenggara Timur (37,8), Sulawesi Barat (33,8), Aceh (33,2), Nusa Tenggara Barat (31,4), Sulawesi Tenggara (30,2) dan Kalimantan Selatan (30,0).
Sementara itu beberapa provinsi dengan kasus stunting tergolong rendah atau kurang dari 20 persen adalah Bali (10,9), DKI Jakarta (16,8), Yogyakarta (17,3), Kepualuan Riau (17,6), Lampung (18,5) Bangka Belitung (18,6)
Faktor Penyebab Stunting
Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi yang utamanya terjadi akibat gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun oleh balita. Selain gizi buruk, bagaimana lingkungan balita dibesarkan pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) menjadi faktor penentu seorang balita berpotensi terkena stunting atau tidak. Paling tidak ada empat faktor penyebab stunting selain gisi buruk. Pertama, praktek pengasuhan kurang baik. Kedua, terbatasnya layanan kesehatan selama masa kehamilan ibu. Ketiga, kurangnya akses keluarga ke makanan bergizi. Dan terakhir, terbatasnya akses ke air bersih dan sanitasi.
Salah satu penyebab praktek pengasuhan yang kurang baik adalah kurangnya pengetahuan ibu tentang kesehatan dan gizi sebelum kehamilan dan juga semasa proses kehamilan hingga melahirkan. Merujuk data yang diungkap oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) pada tahun 2017, tak kurang dari 60 persen anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif.
Selain itu, 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). MP-ASI semestinya diberikan pada balita yang menginjak usia 6 bulan. Tak hanya untuk mengenalkan jenis makan baru kepada balita, pemberian MP-ASI mulai usia 6 bulan juga dapat memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh bayi yang sudah tidak dapat diberikan oleh ASI
Terkait dengan faktor penyebab kedua, saat ini masih terbatas layanan kesehatan kepada ibu selama masa kehamilan dan juga pembelajaran dini yang berkualitas untuk mendampingi ibu sejak proses kehamilan hingga melahirkan. Di daerah-daerah dalam level desa, Posyandu dapat menjadi sarana untuk pelayanan ini.
Sayangnya, PPID Kemenkes tahun 2020 mencatat hanya 51 persen saja kabupaten/kota di Indonesia yang melakukan Posyandu secara aktif. Hal ini pun menyebabkan kurangnya akses balita terhadap imunisasi. Selain itu 2 dari 3 ibu hamil belum mengonsumsi zat besi secara memadai.
Selanjutnya berkaitan dengan akses kepada makanan bergizi, terbatasnya akses keluarga utamanya disebabkan oleh mahalnya harga makanan bergizi. Bahkan termasuk buah dan sayuran yang tergolong mahal membuat masyarakat tidak dapat dengan mudah mendapatkannya. Terbatasnya akses terhadap makanan bergizi ini membuat 1 dari 3 ibu hamil mengalami anemia.
Kampanye kesadaran terhadap penanganan anak balita yang mengalami tubuh pendek (stunting) terlihat di kawasan Pondok Pinang, Jakarta, Rabu (17/4/2019). Secara nasional, menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), ada 30,8 persen anak usia di bawah lima tahun (balita) mengalami tubuh pendek pada tahun 2018. Meskipun angka tersebut termasuk tinggi, jumlah kejadian anak balita bertubuh pendek sudah menurun dibandingkan dengan jumlah kejadian tahun 2007 hingga 2013 yang relatif stagnan, yaitu antara 36,8 persen dan 37,2 persen.
Artikel Terkait
Kerangka Intervensi Stunting
Melihat nilai prevalensi stunting Indonesia yang masih masuk kategori tinggi, pemerintah berusaha untuk mengurangi angka tersebut dengan melakukan intervensi. Adapun kerangka intervensi stunting yang dilakukan pemerintah terbagi menjadi dua yaitu Intervensi Gizi Spesifik dan Intervensi Gizi Sensitif.
Intervensi Gizi Spesifik merupakan intervensi yang ditujukan kepada balita dalam 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dengan proyeksi penurunan stunting 30 persen. Intervensi gizi spesifik secara umum dilakukan dalam sektor kesehatan dan bersifat jangka pendek. Dengan begitu hasilnya dapat dicatat pula dalam waktu yang relatif pendek.
Terdapat beberapa intervensi utama yang termasuk dalam intervensi gizi spesifik yang dilakukan mulai masa kehamilan hingga ibu melahirkan balita. Sasaran dari intervensi ini meliputi ibu hamil, ibu menyusui dan anak usia 0-6 bulan, serta ibu menyusui dan anak usia 7-23 bulan.
Dengan sasaran ibu hamil, intervensi yang dilakukan meliputi beberapa kegiatan terkait dengan peningkatan nutrisi. Ibu hamil perlu diberi makanan tambahan demi mengatasi kekurangan energi dan protein kronis, mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat, mengatasi kekurangan iodium, menanggulangi cacingan, serta melindungi ibu hamil dari ancaman malaria.
Berikutnya setelah ibu melahirkan balita, intervensi yang dilakukan adalah dengan mendorong inisiasi menyusui dini atau IMD. Sesaat ketika bayi lahir maka ia akan didekatkan ke tubuh ibu untuk segera mendapatkan ASI. Selain itu selama 0-6 bulan diharapkan bayi akan terus mendapatkan ASI eksklusif.
Dengan sasaran ibu menyusui dan anak usia 7-23 bulan, intervensi meliputi kegiatan untuk mendorong pemberian ASI secara terus menerus hingga balita berusia 23 bulan. Selain itu mulai usia di atas 6 bulan, intervensi dilakukan dengan cara pendampingan pemberian MP-ASI dan penyediaan obat cacing, suplementasi zink, fortifikasi zat besi ke dalam makanan, memberikan perlindungan terhadap malaria, memberikan imuniasi lengkap dan juga pencegahan serta pengobatan diare.
Kerangka intervensi kedua yang diusahakan oleh pemerintah adalah intervensi gizi sensitif. Berbeda dengan kerangka sebelumnya yang berfokus pada sektor kesehatan saja, kerangka intervensi gizi sensitif meliputi pembangunan di luar sektor kesehatan dengan proyeksi kontribusi sebesar 70 persen.
Tidak hanya menjadikan ibu hamil dan balita sebagai sasaran, intervensi gizi sensitif juga meliputi masyarakat umum. Terdapat 12 kegiatan yang termasuk dalam intervensi gizi sensitif, yaitu:
- Menyediakan dan memastikan akses terhadap air bersih.
- Menyediakan dan memastikan akses terhadap sanitasi.
- Melakukan fortifikasi bahan pangan.
- Menyediakan akses kepada layanan kesehatan dan Keluarga Berencana (KB).
- Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
- Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal).
- Memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua.
- Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Universal.
- Memberikan pendidikan gizi masyarakat.
- Memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi, serta gizi pada remaja.
- Menyediakan bantuan dan jaminan sosial bagi keluarga miskin.
- Meningkatkan ketahanan pangan dan gizi.
Artikel Terkait
Pilar Penanganan Stunting
Selain intervensi yang diusahakan dalam bagian sebelumnya, pemerintah juga mengupayakan penanganan stunting melalui lima pilar yang saling terkait dan melibatkan elemen dari pusat hingga bawah. Adapun kelima pilar tersebut meliputi:
- Komitmen dan visi pimpinan tertinggi negara
- Kampanye nasional berfokus pada pemahaman dan peribahan perilaku, komitmen politik dan akuntabilitas
- Konvergensi, koordinasi, dan konsolidasi program nasional, daerah dan masyarakat
- Mendorong kebijakan “nutrisional food security”
- Pemantauan dan evaluasi
Kelima pilar tersebut digawangi oleh sebuah lembaga bernama Tim Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (stunting) atau disingkat TP2AK. Lembaga ini berada di bawah koordinasi Kedeputian Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia, Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) Republik Indonesia. TP2AK bertugas memastikan sinkronisasi program-program nasional, lokal dan masyararakat bedasar pada lima pilar dia atas.
Secara praktis, jika dilihat sejak 2018 hingga direncanakan pada tahun 2022, TP2AK terus meningkatkan jumlah kabupaten/kota prioritas penanganan stunting. Pada tahun 2018 terdapat 100 kabupaten/kota yang menjadi proritas. Selanjutnya berangsur terjadi penambahan, yaitu sebesar 160 (2019), 260 (2020), 360 (2021), dan 514 (2022). Pada tahun 2024, Setwapres mencanangkan prevalensi stunting turun hingga 14 persen. (LITBANG KOMPAS)