KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Sivitas akademika Universitas Gadjah Mada yang tergabung dalam Mimbar Akademik menyampaikan Petisi Bulaksumur di Balairung UGM, Yogyakarta, Rabu (31/1/2024). Petisi yang disusun oleh sivitas akademika Universitas Gadjah Mada yang tergabung dalam Mimbar Akademik itu berisi keprihatinan yang mendalam terhadap tindakan sejumlah penyelenggara negara di berbagai lini dan tingkat yang menyimpang dari prinsip-prinsip moral demokrasi, kerakyatan, dan keadilan sosial.
Fakta Singkat
- Gelombang gerakan keresahan dan tuntutan sivitas akademika kian meluas setelah pembacaan petisi oleh sivitas akademika UGM pada 31 Januari 2024.
- Sivitas akademika adalah kelompok masyarakat akademik yang terdiri atas dosen dan mahasiswa.
- Sivitas akademika di Indonesia memiliki keunikan tersendiri, dengan mengemban tanggung jawab historis sebagai bagian dari perjuangan terhadap penindasan dan kekuasaan.
- Kehadiran sivitas akademika dinilai mampu membawa efek yang substansial ketika penyimpangan kekuasaan tengah berlangsung dalam dinamika politik-bernegara.
“Kami segenap sivitas akademika UGM, meminta, mendesak, dan menuntut segenap aparat penegak hukum dan semua pejabat negara dan aktor politik yang berada di belakang Presiden Joko Widodo, termasuk Presiden sendiri, untuk segera kembali pada koridor demokrasi, serta mengedepankan nilai-nilai kerakyatan dan keadilan sosial.”
Pernyataan tersebut lantang terdengar, dengan disampaikan oleh Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Koentjoro. Turut berdiri mengelilinginya, para dosen, alumni, mahasiswa, dan guru besar UGM lain, dalam agenda pembacaan Petisi Bulaksumur.
Agenda pembacaan petisi tersebut dilaksanakan pada tanggal 31 Januari 2024 oleh para sivitas akademika UGM di Balairung UGM, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Melalui pembacaan petisi yang dipimpin Koentjoro, sivitas akademika UGM meminta Presiden Jokowi dan jajarannya untuk kembali kepada koridor demokrasi.
Mereka mengaku begitu prihatin terhadap tindakan para penyelenggara negara yang menyimpang dari prinsip-prinsip moral demokrasi, kerakyatan, nilai-nilai Pancasila, juga jati diri UGM. Penyimpangan terjadi terutama dalam konteks situasi Pemilu 2024 beberapa waktu terakhir (Kompas.id, 31/1/2024, “Sivitas Akademika UGM Sampaikan Petisi, Minta Presiden Kembali ke Koridor Demokrasi”).
Lebih lanjut, suara vokal sivitas akademik UGM rupanya mendapat sambutan hangat dari masyarakat umum dan masyarakat akademik secara khusus. Petisi UGM mendorong berbagai sivitas akademik dari perguruan tinggi lain untuk ikut menyuarakan keresahan.
Satu demi satu sivitas akademik bersuara sejak awal bulan Februari 2024. Pada pekan awal Februari setelah pembacaan Petisi Bulaksumur, beberapa perguruan tinggi kemudian menyusul jejak sivitas akademika UGM.
Gerakan kolektif antar kampus memicu gelombang besar yang kompak mengkritisi jalannya demokrasi menjelang Pemilu 2024. Hingga minggu kedua bulan Februari saja, sudah lebih dari 20 sivitas akademik yang menyuarakan keresahan dan tuntutan mereka, dengan mayoritas lewat bentuk seruan moral. Meski begitu, pihak pemerintah justru cenderung menutup telinga, bahkan menolak, suara peringatan dari kelompok-kelompok akademik ini.
KOMPAS/REGINA RUKMORINI
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid (tengah) saat menyampaikan petisi bersama sivitas akademika di Kampus UII, Sleman, DI Yogyakarta, Kamis (1/2/2024). Sejumlah kampus menyampaikan seruan keprihatinan terkait kontestasi Pemilu 2024.
Konsep Sivitas Akademika
Konsep “sivitas akademika” sendiri secara formil tercantum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Dalam Pasal 1 ayat (13) dijelaskan bahwa konsep sivitas akademika merujuk pada kelompok masyarakat akademik yang terdiri atas dosen dan mahasiswa.
Dilengkapi oleh ayat (14), dosen dipahami sebagai pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Sementara ayat (15) mendefinisikan mahasiswa sebagai peserta didik pada jenjang pendidikan tinggi.
Ketiga definisi tersebut menunjukkan bagaimana konsep sivitas akademika begitu melekat dengan lingkungan intelektual, secara khusus di jenjang pendidikan tinggi. Berada dalam lingkungan demikian, komponen di dalamnya tidak hanya berdinamika dalam semangat intelektual, namun juga memiliki identitas sebagai aktor intelek.
Mengacu pada Kompaspedia (28/7/2022, “Seluk Beluk Pendidikan Tinggi di Indonesia”), semangat dan identitas demikian selaras dengan tiga fungsi dari kehadiran lembaga perguruan tinggi itu sendiri.
Pertama, mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kedua, perguruan tinggi berfungsi untuk mengembangkan sivitas akademika yang inovatif, responsif, kreatif, terampil, berdaya saing, dan kooperatif melalui pelaksanaan Tridharma. Sementara yang ketiga, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora.
Ketiganya menunjukkan bagaimana perguruan tinggi, berikut juga dengan sivitas akademika di dalamnya, memiliki fungsi besar untuk meningkatkan kualitas hidup bangsa dengan berpegang pada keseimbangan rasional dan mental.
Berbagai komponen identitas dan modalitas tersebut memapukan sivitas akademika untuk memberikan dampak tersendiri pada bangsa Indonesia. Sejarah menunjukkan bagaimana kelompok intelektual tersebut selalu lekat dengan penderitaan dan perjuangan masyarakat, terutama dari penderitaan dan kukungan penjajahan.
Sebagai contoh, Sekolah Tinggi Islam (STI) yang kini menjadi Universitas Islam Indonesia (UII). Pendiriannya diprakarsai oleh para tokoh perjuangan nasional, seperti Mohammad Hatta, Wahid Hasyim, dan Mohammad Natsir di Jakarta. Ada pula UGM, yang kehadirannya merupakan peleburan dari beberapa sekolah tinggi perjuangan, seperti Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada, Akademi Ilmu Politik Yogyakarta, dan Balai Pendidikan Ahli Hukum di Solo.
Hal-hal demikian menunjukkan bahwa pendidikan dan pengetahuan juga menjadi salah satu upaya perjuangan. Lewat koridor tersebut, sivitas akademik di Indonesia mengemban tanggung jawab historis untuk turut menyejahterakan rakyat, berada di tengah rakyat, dan terlibat aktif dalam dinamika di akar rumput.
Tanggung jawab demikian menjadi identitas dan keunikan tersendiri yang diemban sivitas akademik Indonesia. Di Eropa, hal serupa akan lebih sulit ditemukan – di mana banyak perguruan tinggi justru cenderung meyimpan sifat elitis karena berasal dari pemberian penguasa (Kompaspedia, 28/7/2022, “Perguruan Tinggi di Indonesia: Sejarah, Perkembangan, dan Aktualitasnya”).
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Para guru besar, alumni dan warga Universitas Indonesia (UI) menyampaikan deklarasi kebangsaan terkait kondisi terkini menjelang Pemilu 2024 di Kampus UI, Depok, Jawa Barat, Jumat (2/2/2024). Civitas akademika UI prihatin atas hancurnya tatanan hukum dan demokrasi, hilangnya etika bernegara dan bermasyarakat terutama korupsi, kolusi dan nepotisme.
Peran dan Pergerakan Sivitas Akademika
Atas dasar demikian, kehadiran dan peran serta sivitas akademika dalam konteks Pemilu 2024 dinilai relevan oleh banyak pihak. Kelompok intelektual diharapkan dapat hadir pada masa kritis untuk menyuarakan demokrasi, kerakyatan, dan keadilan sosial dengan berlandaskan pada rasionalitas.
Salah satu yang menyuarakan perlu “turunnya” sivitas akademika adalah Budiman Tanuredjo melalui tulisan di Kompas.id (25/11/2023, “Bulaksumur School”). Dalam situasi negeri yang memprihatinkan, kepemimpinan sains menjadi komponen yang begitu diperlukan. Kehadiran kepemimpinan sains mampu memberikan pembacaan dan penjelasan situasi akan apa yang terjadi pada bangsa dan menawarkan solusi bagi persoalan bangsa.
Harapan akan keterlibatan sivitas akademika disampaikan Budiman dengan merujuk pada contoh tokoh-tokoh Mazhab Frankfurt. Kala itu, pada periode tahun 1930-an, muncul tawaran teori-teori kritis yang diprakarsai oleh cendekiawan dari Institut Penelitian Sosial Frankfurt di Jerman. Sosok-sosok seperti Max Horkheimer, Theodor Adorno, dan Erich Fromm berupaya untuk memberikan teori kritis sebagai alat rasionalitas dan pembebasan manusia dari penindasan ideologis.
Sebagai konteks, mengacu pada Budi Hardiman dalam buku Kritik Ideologi, masyarakat pada periode tersebut disesaki dengan gempuran ideologi, terutama fasisme, komunisme, dan kapitalisme. Ketiganya sama-sama mengaburkan identitas personal diri dan memaksa masyarakat untuk menyerah pada dominasi kekuasaan ideologis.
Situasi tersebut mendorong para cendekiawan Frankfurt untuk bergerak merumuskan jalan pembebasan bagi masyarakat, dengan pertama sekali bergerak melalui teori sebagai pembangun kesadaran kritis. Akhirnya, tujuan besar daripada para Mazhab Frankfurt adalah membawa masyarakat menuju tahap Pencerahan (Aufklarung).
Tulisan Budiman menunjukkan kesadaran kritis sekaligus skeptis terhadap situasi kuasa politik yang tengah berlangsung di Indonesia. “Dunia memang sedang jungkir balik. Etika dan moral menjadi isu pinggiran yang seperti tak lagi jadi panduan,” tulisnya. Dalam kekacauan yang demikian masif dan terstruktur, Budiman meletakkan harapan pada kelompok akademisi.
Ia menekankan perlunya kehadiran akademisi dalam momen-momen seperti ini. Kelompok intelektual harus bangun, mengonsolidasikan diri, dan turun ke masyarakat untuk menawarkan jalan keluar. Baik itu mengenai gagasan masa depan demokrasi Indonesia hingga soal pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Gagasan Budiman selaras dengan tulisan Donald L. Robinson dengan judul Academics vs Politics: Reflections on a Vocational Crisis. Robinson juga menggarisbawahi signifikansi sosok akademik dalam ruang publik dan kebijakan bernegara. Kehadiran akademisi akan membawa efek yang begitu substansial, secara khusus ketika dinamika politik-bernegara tengah disesaki oleh penyimpangan kekuasaan dalam skala yang masif.
Meski begitu, Robinson juga mengingatkan risiko daripada konsolidasi politik kaum intelektual tersebut. Biaya perlawanan dan pergerakan begitu besar, di mana turut mensyarakatkan pengorbanan. Pertama, tekanan dan ancaman pasti muncul dari pihak kekuasaan yang dihadapi. Tidak hanya biaya, waktu, dan energi, namun juga nyawa yang menjadi taruhannya.
Kedua, mobilisasi politik kaum akademisi juga secara otomatis menggeser fungsionalitas kegiatan akademik itu sendiri yang tujuan utamanya adalah untuk belajar. Sebagai akademisi politik, Robinson mengingatkan risiko pikiran dan energi sivitas akademika yang justru dihabiskan pada gelora perlawanan daripada pembelajaran – apalagi ketika pengalaman berpolitik praktis tersebut justru jauh dari relevansi keilmuan dan tidak diikuti dengan keberlanjutan yang jelas.
Meski begitu, ia juga menunjukkan bahwa risiko ini dapat direduksi dengan menyatukan kedua giat tersebut secara bersamaan. Sebagai contoh, dengan melakukan riset dan seminar akademik terkait topik masalah atau protes yang tengah berlangsung. Dengan demikian, kesadaran politik dan praktik pembelajaran dapat terjadi sekaligus.
KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
Sejumlah guru besar Institut Teknologi Bandung melakukan Deklarasi Akademik terkait Mencegah Kemunduran Demokrasi di Sasana Budaya Ganesa ITB, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (5/2/2024). Para sivitas akademika ini bergabung dalam Komunitas Guru Besar dan Dosen ITB Peduli Demokrasi Berintegritas.
Dinamika dan Situasi Pemilu
Dalam konteks dinamika Pemilu 2024, kehadiran sivitas akademika menjadi kian signifikan. Publik menyaksikkan secara langsung bagaimana dosen, guru besar, hingga mahasiswa turun dan bersuara untuk menyuarakan situasi politik teraktual. Satu demi satu, sivitas akademika dari berbagai institusi melakukan pembacaan petisi hingga pernyataan sikap – menciptakan sebuah gelombang kesadaran kritis yang kian luas.
Tren akademik ini sendiri berangkat dari situasi carut marut dinamika Pemilu 2024. Kian mendekati waktu pencoblosan, publik semakin menyaksikkan polemik dan intrik politik yang terjadi, terutama dengan tujuan memenangkan salah satu paslon calon presiden dan calon wakil presiden. Beberapa rentetan kejadian turut serta mempertegas penyimpangan yang terjadi dengan semakin terang-terangan.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan kebijakan yang melanggengkan Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi calon wakil presiden bagi Prabowo Subianto. Keputusan peradilan tersebut begitu sarat unsur kepentingan politis mengingat Gibran merupakan keponakan dari Ketua MK Anwar Usman. Akhirnya, nama terakhir dicopot dari jabatannya sebagai Ketua MK karena terbukti melakukan pelanggaran etik berat.
Lebih lanjut, Presiden Jokowi mendadak mengeluarkan putusan bahwa pejabat negara setingkat menteri tidak lagi wajib mundur dari jabatannya bila tengah ikut berkompetisi dalam Pemilu 2024. Keputusan ini dituangkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2023.
Dalam Pemilu 2024 sendiri, terdapat dua pejabat menteri yang mengikuti kontestasi. Pertama adalah Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang mencalonkan diri sebagai calon presiden. Kedua adalah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD yang mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden.
Paling aktual, Presiden Jokowi secara terang-terangan menyatakan bahwa presiden memiliki hak untuk memihak kepada salah satu paslon. Pernyataan ini muncul di tengah kian jelasnya keberpihakkan dan restu Presiden terhadap salah satu paslon. “Yang penting, presiden itu boleh loh kampanye. Presiden itu boleh loh memihak. Boleh. Tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara,” katanya di Landasan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, pada 24 Januari 2024.
Pernyataan Jokowi tidak bisa dimaknai secara biasa, dan sebaliknya justru menyimpan dimensi relasi kuasa yang begitu kuat.
Pertama, pernyataan tersebut disampaikan di hadapan pesawat Super Hercules C-130J yang diikuti sejumlah prajurit TNI – menunjukkan simbolisme kekuasaan dan kekuatan.
Kedua, Gibran sebagai anak sulung Presiden Jokowi sendirilah yang tengah ikut berkompetisi dalam Pemilu 2024.
Ketiga, pernyataan tersebut disampaikan Presiden Jokowi dengan didampingi oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sebagai calon presiden nomor urut 02.
Dengan demikian, pernyataan Presiden jelas-jelas akan membuka ruang penyalahgunaan fasilitas negara untuk kepentingan politik dan pemenangan kandidat tertentu dalam Pemilu 2024. Penggunaan fasilitas negara untuk tujuan kepentingan politik menyalahi prinsip pemilu yang seharusnya berjalan secara jujur, adil, bebas, dan demokratis (Kompas.id, 25/1/2024, “Presiden Berpihak, Ruang Penyalahgunaan Fasilitas Negara Dikhawatirkan Makin Terbuka”).
KOMPAS/DAHLIA IRAWATI
Sivitas akademika Universitas Brawijaya (UB) mengeluarkan pernyataan sikap tentang penegakan hukum dan etika demokrasi Indonesia, Selasa (06/02/2024). Mereka menyerukan agar hukum tidak dijadikan instrumen politik sehingga alpa dari nilai-nilai etika dan moral.
Gelombang Protes Akademik sebagai Respon Politik
Rentetan kesewenangan politik tersebut membuat gerah masyarakat sipil. Apalagi, penyelewengan secara konsisten berlangsung selama periode Pemilu 2024. Hal-hal inilah yang kemudian memicu gelombang protes sivitas akademika.
Publik mengingat bahwa gelombang ini berangkat pertama kali dari pembacaan petisi sivitas akademika UGM. Namun rupanya, adalah sivitas akademika Universitas Paramadina, Jakarta yang pertama turun dan menyuarakan kegelisahan mereka mengenai situasi politik yang tengah berlangsung.
Momen tersebut terjadi pada 20 Desember 2023 melalui agenda pernyataan sikap “Suara Moral dari Kampus”. Pembacaan pernyataan sikap dipimpin oleh etua Institut Etika dan Peradaban, Universitas Paramadina, Pipip Achmad Rifai Hasan, dengan turut didampingi oleh total 43 orang mahasiswa dan pengajar lainnya. Secara garis besar, sivitas akademika Universitas Paramadina menggarisbawahi degradasi kualitas demokrasi di Indonesia, salah satunya dalam momen Pemilu 2024.
Pipip menyampaikan bahwa penyelenggaraan Pemilu 2024 kian diwarnai keraguan akan pengejawantahan demokratisasi. Padahal, pemilu seharusnya menjadi wadah penerapan nilai-nilai kejujuran, keadilan, kedamaian, dan martabat. Untuk itu, peserta pemilu harus dapat menjunjung tinggi komitmen pada demokrasi dan keadilan.
”Kami juga tidak membenarkan perilaku partai politik yang tidak memperjuangkan demokrasi. Partai politik harus menjadi teladan bagaimana demokrasi dipraktikkan,” tutur Pipip. Pernyataan sikap ditutup dengan ajakan untuk terus menyuarakan pesan demokrasi, keadilan dan anti korupsi, kolusi dan nepotisme (Kompas.id, 20/12/2023, “Mahasiswa dan Dosen Serukan Kegelisahan atas Ancaman Demokrasi dan Keadilan”).
Kegerahan dan kekhwatiran semakin menjadi dengan pernyataan Presiden Jokowi soal keberpihakkan presiden pada 24 Januari. Akibatnya, sivitas akademika UGM memutuskan untuk bersuara tujuh hari setelah pernyataan kontroversial tersebut. Mengacu situs resminya (ugm.ac.id), pembacaan petisi dilakukan setelah sivitas akademika UGM terus menyaksikan sikap Presiden Jokowi sebagai alumni yang menyimpang dari koridor demokrasi, moral, dan keadilan sosial selama beberapa waktu terakhir.
Segera setelah UGM, giliran sivitas akademika UII yang bersuara. Pada 1 Februari 2024, sivitas akademika UII menyampaikan pernyataan sikap yang menyatakan bahwa Indonesia tengah berada dalam kondisi “darurat kenegarawanan”. Mengacu pada situs resminya (uii.ac.id), pihak UII menilai bahwa Presiden telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan politik praktis, termasuk dengan penggunaan bantuan sosial (bansos).
Maka dari itu, sivitas akademika UII mendesak Presiden untuk kembali memberikan teladan kenegarawanan dengan tidak memanfaatkan institusi kepresidenan untuk memenuhi kepentingan politik keluarganya. Selain itu, pernyataan sikap juga memberikan peringatan kepada seluruh masyarakat Indonesia agar bersama-sama merawat cita-cita kemerdekaan dengan memperjuangkan terwujudnya iklim demokrasi yang sehat.
Rentetan pernyataan sikap sivitas akademika terhadap situasi Pemilu 2024 terus berlanjut dan membesar. Esok harinya, pada tanggal 2 Februari 2024, sebanyak tujuh sivitas akademika berbeda memutuskan untuk bersuara. Gelombang tidak hanya berlangsung di Pulau Jawa, namun juga daerah-daerah lainnya.
Dari luar Jawa hadir suara dari sivitas akademika Universitas Khairun Ternate (Maluku Utara), Universtias Hasanuddin (Sulawesi Selatan), Universitas Andalas (Sumatera Barat), Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung (Kepulauan Bangka Belitung), Universitas Lambung Mangkurat (Kalimanatan Selatan), dan Universitas Mulawarman (Kalimantan Timur). Sementara dari Jawa, muncul sivitas akademika Universitas Indonesia dan Universitas Katolik Atma Jaya.
Gelombang seruan terus membesar. Pada tanggal 3 Februari, sebanyak empat sivitas akademika menyampaikan seruan kritik. Keempatnya adalah Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Universitas Padjajaran, Institut Pertanian Bogor, dan Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik Indonesia. Nama terakhir merupakan persatuan dari 26 perguruan tinggi berbeda.
Esok harinya, pada tanggal 4 Februari, giliaran sivitas akademika dari Universitas Islam Malang. Pada 5 Februari, gelombang besar muncul dengan 19 sivitas akademika serentak menyampaikan pernyataan sikap dan seruan kritik. Pada 6 Februari, giliran sivitas akademika Universitas Brawijaya dan Universitas Negeri Jakarta yang muncul. Sementara pada 7 Februari, hadir sivitas akademika Universitas Trunojoyo Madura.
Hadirnya gelombang ini tidaklah bergolak tanpa penolakan. Sikap tidak terima ditunjukkan oleh berbagai pihak, terutama dari pemerintah. Salah satunya tampak dari pernyataan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia. Dirinya mengaku menghargai pandangan-pandangan sivitas akademika sebagai bentuk kebebasan berpendapat. Meski begitu, politikus Partai Golkar itu menaruh curiga pada motif gelombang kritik tersebut.
“Alah, ya sudahlah. Mana ada politik tidak ada yang ngatur-ngatur. Kita tahulah. Ini penciuman saya sebagai mantan ketua BEM. Ngerti betul barang ini,” kata Bahlil saat ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Senin, 5 Februari 2024.
Sebelum Bahlil, Jokowi telah terlebih dahulu mengomentari seruan sivitas akademika. Komentarnya disampaikan di sesi keterangan pers seusai membuka Kongres XVI GP Ansor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, pada 2 Februari 2024. ”Ya, itu hak demokrasi, setiap orang boleh berbicara, berpendapat. Silakan,” katanya.
Pernyataan ini dinilai terlalu normatif dan sama sekali tidak menunjukkan respon positif terhadap perjuangan moral yang dilakukan sivitas akademika. Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor berpendapat bahwa sikap tersebut menunjukkan insensitifitas Presiden Jokowi sebagai sosok utama yang dikritisi.
”Namun, sayangnya kita sulit mengharapkan ada pernyataan Presiden untuk menjawab dengan baik semua tuntutan yang disampaikan oleh kalangan sivitas akademika itu. Bahkan, saya melihat Presiden hanya memberikan tanggapan yang saya sebut ciri khasnya, seperti memberi pernyataan ’itu hak demokrasi’, seperti tidak terjadi apa-apa dan tidak sensitif,” ujar Firman pada 2 Feberuari 2024.
Padahal, Firman meyakini bahwa suara kegelisahan atau keprihatinan yang dikeluarkan sejumlah sivitas akademik dalam waktu-waktu belakangan justru melegitimasi adanya tindakan penyelenggara negara yang menyimpang. Penyampaian sivitas akademika lahir atas kajian akademis yang obyektif, bukan atas kepentingan sesaat ataupun kepentingan politik praktis (Kompas.id, 2/2/2024, “Respons Jokowi Menjawab Tuntutan Sivitas Akademika Dinanti Publik”).
KOMPAS/WILIBRORDUS MEGANDIKA
Sivitas akademika yang terdiri dari guru besar, dosen, mahasiswa, dan juga alumni Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto menggelar aksi “Laskar Poetra Soedirman Menggugat” di Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Rabu (7/2/2024).
Perjuangan Sivitas Akademik di Luar Negeri
Praktik seruan dan keterlibatan sivitas akademika di kancah politik bukan kali pertama ini terjadi. Sejarah telah menunjukkan bahwa kelompok dengan basis intelektual ini terbukti mampu “turun” dan terlibat aktif memberikan konstribusi signifikan dalam arena politik. Apalagi, ketika situasi yang terjadi tengah dipadati oleh kesewenangan kuasa.
Contoh sosok akademisi yang menorehkan kiprah besar pada dunia intelektual dan politik kengeraan adalah Ernesto Laclau dan Daniel Patrick Moynihan. Nama yang disebutkan pertama adalah seorang sosiolog dan filsuf sosial berdarah Argentina. Pada tahun 1958, Laclau bergabung ke dalam Partai Sosialis Argentina/Argentine Socialist Party. Lalu pada tahun 1963, ia menjadi salah satu pimpinan Partai Sosialis Nasional Kiri/Socialist Party of the National Left.
Karier intelektual Laclau meningkat tajam setelah memperoleh gelar PhD dari Universitas Essex pada tahun 1977. Pada tahun 1986, Laclau memperoleh gelar Profesor Teori Politik di universitas tersebut dan menelurkan program-program studi terkait ideologi dan analisis diskursus. Salah satu karya intelektualnya yang paling terkenal adalah buku On Populist Reason, diterbitkan pada tahun 2005.
Sementara Daniel Patrick Moynihan adalah akademisi dan politisi Amerika Serikat, penerima gelar Ph.D. di bidang sejarah dari Universitas Tufts. Pada kisaran tahun 1965, Moynihan melahirkan tulisan dengan judul “The Negro Family: The Case for National Action”. Artikel yang kemudian dikenal luas sebagai Moynihan Report dan mempopulerkan namanya ini berisikan elaborasi akan kebobrokan kualitas pendidikan di Amerika Serikat.
Pada tahun 1966, Moynihan menjadi Profesor di Universitas Harvard – di mana kemudian membuka karier politiknya yang cemerlang. Tak sampai empat tahun dari pengangkatannya sebagai Profesor, Moynihan menerima tawaran Presiden Richard Nixon untuk menjadi penasihatnya. Karier politik Moynihan berlanjut dengan menjadi senator sejak tahun 1977 hingga 2001.
Sementara gerakan kolektif sivitas akademika dicontohkan secara nyata dengan merujuk kembali pada artikel akademik Donald Robinson. Tulisannya berangkat dari protes kolektif yang dilakukan oleh mahasiswa dan para pengajar terhadap keputusan politik Presiden Nixon menerjunkan kekuatan militer Amerika Serikat ke Kamboja pada tahun 1970. Tujuan Nixon sendiri adalah memberantas penyebaran komunisme dari Vietnam Utara.
Pada Mei 1970, keputusan ini memperoleh protes keras dari kalangan akademisi. Berbagai gerakan demonstrasi, seminar, dan kajian serempak berlangsung dari komunitas intelektual. Robinson mencatat bahwa gerakan kolektif sivitas akademika ini mampu membawa dampak yang signifikan – meskipun penerjunan dan mobilisasi militer tetap dilangsungkan oleh Nixon.
Dampak yang berhasil dibawa adalah memaksa Presiden untuk lebih menerima opini publik. Nixon terdorong untuk lebih menerima batasan kebijakan yang ia buat dan tidak meneruskan penerjunan. Hal ini menjadi suatu pencapaian luar biasa, setelah sebelumnya, Preisden Nixon memilih untuk sama sekali mengisolasi diri dari opini publik dan mempertahankan kebijakannya di hadapan umum.
Keterlibatan sivitas akademika juga ditunjukkan dalam demontrasi besar di Iran pada 2022 lalu. Masyarakat menuntut pembebasan dan liberalisasi dari tekanan rezim Republik Islam Iran (Islamic Republic of Iran/IRI), salah satunya dengan kontrol-kontrol luar biasa dari institusi polisi moral.
Suara pembebasan menjadi kian masif dan menjalar ke jalan setelah Masha Amini, seorang perempuan yang dipaksa mengenakan hijab oleh polisi moral, ditemukan meninggal usai penangkapannya. Kematian Masha Amini terjadi pada 16 September 2022, dan menjadi titik awal dari demonstrasi besar-besaran di Iran.
Dalam tekanan yang sedemikan masif, demonstrasi yang memanas, dan korban yang terus berjatuhan, sivitas akademika terlibat dalam protes. Mengacu pada media Radio Free Europe/Radio Liberty (RFERL), mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi menunjukkan keberpihakkan pada Masha Amini dan kebebasan dengan melakukan demonstrasi damai. Sejumlah pengajar dan profesor mereka juga mendukung sikap ini dengan membiarkan perguruan tinggi sebagai ruang ekspresi perlawanan.
Meski begitu, sikap demikian memperoleh respon ekstrem dari rezim IRI. Profesor di berbagai perguruan tinggi lantas memperoleh tekanan dan ancaman secara simultan. Rezim berkuasa menuntut agar perguruan tinggi mengontrol sivitas akademikanya untuk tidak melakukan protes. Bahkan, RFERL melaporkan bahwa pada 29 Agustus 2023, sebanyak 10 orang profesor universitas dipecat karena dianggap mendukung pergerakan mahasiswa.
Pada akhirnya, besarnya penyimpangan dari kekuasaan memang menuntut gerakan kritis untuk melawan dan bersuara. Kehadiran sivitas akademika menjadi elemen kuat yang terbukti mampu memberikan dampak signifikan, bahkan menghadirkan kecemasan bagi pihak berkuasa. Meski begitu, sebagaimana disampaikan Robinson, ada pengorbanan yang harus dibayarkan dalam tiap perjuangan tersebut. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Hardiman, F. B. (2009). Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta: PT Kanisius.
- Robinson, D. L. (1971). “Academics vs. Politics: Reflections on a Vocational Crisis”. Soundings: An Interdisciplinary Journal, Vol. 54, No. 1,, 73-81.
- Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
- Kompaspedia. (2022, Juli 28). “Perguruan Tinggi di Indonesia: Sejarah, Perkembangan, dan Aktualitasnya” . Diambil kembali dari Kompaspedia: https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/perguruan-tinggi-di-indonesia-sejarah-perkembangan-dan-aktualitasnya
- Kompaspedia. (2021, Oktober 11). “Seluk Beluk Pendidikan Tinggi di Indonesia”. Diambil kembali dari kompaspedia.kompas.id: https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/seluk-beluk-pendidikan-tinggi-di-Indonesia.
- Kompas.id. (2024, Januari 25). “Presiden Berpihak, Ruang Penyalahgunaan Fasilitas Negara Dikhawatirkan Makin Terbuka”. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/polhuk/2024/01/25/presiden-berpihak-ruang-penyalahgunaan-fasilitas-negara-dikhawatirkan-makin-terbuka
- Kompas.id. (2023, Desember 20). “Mahasiswa dan Dosen Serukan Kegelisahan atas Ancaman Demokrasi dan Keadilan”. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/12/20/mahasiswa-dan-dosen-serukan-kegelisahan-atas-ancaman-demokrasi-dan-keadilan
- Kompas.id. (2024, Februari 2). “Respons Jokowi Menjawab Tuntutan Sivitas Akademika Dinanti Publik”. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/polhuk/2024/02/02/berpotensi-membesar-respons-jokowi-menjawab-tuntutan-sivitas-akademika-dinanti-publik
- Aliansi Mahasiswa Peduli Unand (AMPU). (2019, Mei 9). Kajian Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTNBH). Diambil kembali dari hmjip.fisip.unand.ac.id: http://hmjip.fisip.unand.ac.id/kajian-perguruan-tinggi-berbadan-hukum-ptnbh/
- Brodjonegoro, S. S. (2002). Higher Education Reform In Indonesia. Diambil kembali dari Task Force on Higher Education (tfhe.net): http://www.tfhe.net/about/about.htm
- Humas Universitas Gadjah Mada. (2020, Januari 16). Kemendikbud Dorong PTN Jadi PTN BH. Diambil kembali dari ugm.ac.id: https://ugm.ac.id/id/berita/18937-kemendikbud-dorong-ptn-jadi-ptn-bh/
- (2016). PTN-BH Pengaruhi Kenaikan UKT dan Penarikan SPI. Retrieved from manunggal.undip.ac.id: https://manunggal.undip.ac.id/ptn-bh-pengaruhi-kenaikan-ukt-dan-penarikan-spi/
- Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan. (2022, Agustus 1). 16 PTN-BH Peroleh Dana Abadi Perguruan Tinggi. Diambil kembali dari puslapdik.kemdikbud.go.id: https://puslapdik.kemdikbud.go.id/16-ptn-bh-peroleh-dana-abadi-perguruan-tinggi/