Paparan Topik | Perguruan Tinggi

Polemik Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum

Ditetapkannya status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum atau PTN-BH pada perguruan tinggi seharusnya menjadi solusi bagi mutu pendidikan, pengelolaan, dan pendanaan. Meski demikian, Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum turut membuka pintu lebar pada liberalisasi pendidikan yang mengancam idealisme ruang intelektual.

KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU

Peserta seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN) menyelesaikan soal ujian di Universitas Diponegoro, Kota Semarang, Jawa Tengah (12/6/2012). Biaya pendidikan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun membuat orangtua harus menyiapkan dana pendidikan jauh-jauh hari.

Fakta Singkat

  • Semangat dan tujuan utama mendorong Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum atau PTN-BH untuk berinovasi dan berkembang secara masif.
  • Dengan prinsip otonomi, perguruan tinggi dimungkinkan untuk menjaga keunikan lembaganya.
  • Kekhawatiran utama dari status PTN-BH adalah terbukanya liberalisasi pendidikan tinggi, di mana perguruan tinggi akan kian terfokus untuk mencari sumber-sumber pendapatan dan mengomodifikasi pendidikan.
  • Dikarenakan menjadi subjek pajak, pihak PTN-BH mengenakan penarikan pajak terhadap gaji dan uang perjalanan dinas para dosen.

Dalam arus peradaban, perguruan tinggi di Indonesia dinilai begitu jauh tertinggal. Secara institusional, salah satu ketertinggalan tampak dari minimnya capaian di akreditasi internasional.

Ditambah lagi, tingginya ketergantungan perguruan tinggi negeri (PTN) terhadap dukungan dana dari pemerintah. Sementara secara sumber daya, para dosen masih dihadapkan pada isu kesejahteraan dan kecilnya gaji.

Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum atau PTN-BH diyakini menjadi jawaban mutlak untuk menjawab tantangan yang ada. Perguruan tinggi, khususnya PTN, diharapkan mampu melaju dan berkembang pesat lewat otonomi pengelolaan sebagai semangat utama PTN-BH.

Pemerintah, rektor, dan para guru besar menjadi kelompok yang paling mendukung perubahan ini dan mendesak PTN-BH untuk semakin mandiri dalam mencari sumber-sumber pendanaan sendiri.

Meski begitu, dengan potensi positifnya, PTN-BH juga membuka peluang terhadap berbagai masalah. Kekhawatiran utama yang muncul adalah terkait berubahnya lembaga pendidikan menjadi ladang bisnis semata dan meninggalkan nilai-nilai luhur pendidikan inklusif.

Selain itu, kurangnya penerapan otonomi PTN-BH itu sendiri secara menyeluruh dan setengah-setengah juga menjadi masalah yang masih menghadirkan kuasa pemerintah terhadap urusan internal. Risiko-risiko ini membuat skeptis masyarakat, terutama mahasiswa sendiri.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Mahasiswa Universitas Gadjah Mada membentuk formasi lambang Perserikatan Bangsa-bangsa menggunakan caping yang mereka kenakan dalam acara penutupan Pelatihan Pembelajar Sukses Mahasiswa Baru (PPSMB) Palapa UGM di Lapangan Pancasila Grha Sabha Pramana UGM, Yogyakarta, Sabtu (6/8/2016). Kegiatan pengenalan lingkungan kampus tersebut berlangsung selama sepekan dan diikuti 8.745 mahasiswa baru.

Tujuan dan Manfaat PTN-BH

Otonomi Lembaga

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, kebermanfaatan yang paling utama dengan menyandang status PTN-BH adalah diperolehnya otonomi bagi perguruan tinggi untuk mengatur urusan akademik dan non-akademik lembaganya sendiri.

Mengacu pada buku Politik Pendidikan Tinggi Indonesia, otonomi di bidang akademik termasuk soal penetapan norma dan kebijakan operasional akademik, serta pelaksanaan Tri Dharma.

Sementara otonomi di bidang non-akademik meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan sejumlah hal berikut, yang diatur dalam Pasal 64 ayat 3 UU Dikti, antara lain:

  • Organisasi
  • Keuangan
  • Kemahasiswaan
  • Ketenagaan
  • Sarana Prasarana

Pentingnya pemberian otonomi ini terutama sekali disuarakan oleh para kepala lembaga dan guru besar perguruan tinggi. Dalam webinar “Quo Vadis Pendidikan Tinggi Pasca-Permenpan RB No 1/2023” oleh Fakultas Hukum (UI) pada Mei 2023 lalu, para pembicara menggarisbawahi prinsip otonomi yang membuka kebebasan karakter dan keunikan tiap-tiap perguruan tinggi.

Ketua Bidang Studi Hukum Masyarakat dan Pembangunan Fakultas Hukum UI Lidwina Inge Nurtjahyo mengatakan bahwa pemberian otonomi berdampak pada dinamika perguruan tinggi yang khas dan berbeda dengan lembaga lain. “Peran perguruan tinggi sebagai lembaga pengembangan riset dan ilmu pengetahuan serta karakter. Jadi, jangan diarahkan pada peran administratif,” katanya.

Apabila PTN masih terikat dalam penyeragaman aturan oleh pemerintah, akan mengancam kebebasan akademik dalam institusi perguruan tinggi yang unik. Selain itu, penyeragaman hanya akan menghilangkan pusat studi unggulan dari berbagai bidang yang beragam. Ketiadaan keragaman akan mematikan para calon mahasiswa untuk memilih program studi yang paling sesuai dengan mereka.

Salah satu pemberian otonomi PTN-BH ini adalah juga dengan tidak memberlakukan perguruan tinggi layaknya institusi jawatan atau birokrasi aparatur sipil negara (ASN), sehingga salah satunya juga harus melepaskan status pegawai negeri sipil (PNS) dari para dosen PTN.

Hal tersebut juga diperkuat oleh Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Satryo Soemantri Brodjonegoro. Ia menegaskan bahwa prinsip otonom dan akuntabel akan selalu menjadi kekhasan perguruan tinggi hingga kapan pun. Dengan pemberian otonomi, PTN-BH mampu menyejahterakan bangsa dan negara.

Selain itu, meski pengelolaannya berjalan secara otonom, Satryo menekankan bahwa pemerintah tetap wajib memberikan bantuan pendanaan. Adalah tugas pemerintah untuk menyejahterakan bangsa dan negara. “Otonomi akademik dan non-akademik harus utuh. Negara maju karena perguruan tingginya otonom dan akuntabel dan dibiayai negara. Hal ini hanya dapat dicapai dengan status perguruan tinggi sebagai badan hukum,” ujarnya.

Dengan manfaat demikian, negara Jepang sejak 2004 juga telah merubah status perguruan tinggi milik pemerintah menjadi badan hukum milik negara. Semua staf akademik berstatus PNS pun juga dialihkan menjadi non-PNS.

Meski begitu, berbagai pembiayaan tetap diberikan pemerintah melalui skema block grant atau hibah. Menurut Satryo, otonomi memurnikan perguruan tinggi dari pengaruh kekuasaan dalam pemerintahan, seperti politik dan ekonomi (Kompas, 8/5/2023, “Penyeragaman Menyalahi Otonomi dan Kebebasan Akademik”).

Ketergantungan Pendanaan

Mengacu pada buku Isu dan Agenda Pendidikan Tinggi di Indonesia oleh Dedi Supriadi, dituliskan bahwa PTN di Indonesia memiliki ketergantungan yang berlebih pada pemerintah. Masalah ini telah eksis sejak awal 2000-an, di mana untuk sumber dana penelitian saja lembaga perguruan tinggi dan para dosen harus bergantung hingga setidaknya 75 persen dari bantuan pemerintah.

Dengan bisa otonom/mandiri secara keuangan, maka PTN-BH pun dapat mengurangi ketergantungan terhadap pendanaan dari pemerintah. Diharapkannya, PTN-BH dapat membuka diri terhadap berbagai sumber pendanaan yang lebih bervariasi, baik itu melalui kerja sama antarlembaga pendidikan tinggi, pihak swasta, maupun asing. Dengan begitu, para dosen pun dapat memperoleh jaminan pendanaan yang lebih baik.

Selain itu, PTN-BH juga memperoleh hak atas Bantuan Operasional PTN-BH dan Dana Abadi Perguruan Tinggi dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Dengan akses dan otonomi pengelolaan terhadap Dana Abadi ini, PTN-BH bisa menggunakannya untuk membiayai kegiatan yang secara khusus diarahkan sesuai kebutuhan lembaganya, seperti kolaborasi riset dan seminar.

Terkait bantuan pemerintah, perubahan menjadi PTN-BH juga tidak berarti mengurangi subsidi pemerintah terhadap PTN. Bagaimanapun, PTN-BH tetaplah merupakan instansi pemerintah dan pemerintah harus terus memastikan peningkatan kualitas pendidikan melalui PTN.

Pada Maret 2022 lalu, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Kemendikbudristek Nizam menegaskan bahwa bentuk PTN-BH merupakan institusi nirlaba yang memiliki misi melayani masyarakat dan menyelenggarakan pendidikan berkualitas dengan memperhatikan kondisi ekonomi masyarakat (inklusif).

Namun memang, PTN-BH harus mengembangkan kreativitas dalam mencari dana dan tidak melulu bergantung sumber-sumber pendanaan konvensional seperti APBN atau uang SPP mahasiswa. Apalagi mengingat lamanya dana pemerintah yang turun dan kerap tidak sesuai dengan waktu kebutuhan PTN. “Jika membandingkan alokasi APBN dengan 127 PTN, perlu antrean sepuluh tahun bagi setiap PTN untuk melakukan investasi atau pengembangan PT,” kata Nizam (Kompas.id, 9/9/2022, Meraih Otonomi Perguruan Tinggi dengan Status PTN BH).

Berinovasi dan Berkembang

Dengan akses terhadap otonomi dan dukungan pendanaan tersebut, akhirnya tujuan utama yang diharapkan adalah tercapainya perkembangan pesat PTN-BH. Dengan mampu lebih cepat berkembang, terlebih dibandingkan perguruan tinggi yang bukan PTN-BH, diharapkan dapat tercapai kualitas yang tinggi dalam skala internasional.

Dalam laman resmi Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan, Direktur Kelembagaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Kemendikbudristek Lukman menyampaikan bahwa PTN-BH dapat menjadi pemacu dan pemicu untuk menjadikan perguruan tinggi berkelas dunia. Pemberian status PTN-BH akan memperluas ruang gerak PTN dalam mengembangkan potensi secara optimal.

Dikatakan Lukman, saat ini Indonesia memiliki kurang lebih 4.500 perguruan tinggi. Dari jumlah tersebut, hanya 20 perguruan tinggi yang dapat masuk dalam pemeringkatan dunia setiap tahunnya. Bahkan dari 20 perguruan tinggi tersebut, hanya lima saja yang mampu masuk dalam 500 perguruan tinggi terbaik dunia.

Melalui status PTN-BH, perguruan tinggi akan memiliki otoritas penuh dalam pengelolaan akademik maupun non akademik. Dengan demikian, kampus dapat secara penuh menjalankan visi, misi, dan programnya sehingga seharusnya dapat lebih cepat berkembang dan kaya inovasi – hingga akhirnya, kian diakui dunia dan dapat berkontribusi pada kesejahteraan bangsa Indonesia dan dunia (Kompaspedia, 20/7/2020, “Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH)”).

Penetapan PTN-BH sebagai pintu menuju peningkatan mutu pendidikan tinggi Indonesia juga menjadi pertimbangan dalam pembentukan UU Nomor 12 Tahun 2012. Pada pertimbangan poin D, dituliskan bahwa untuk mewujudkan keterjangkauan dan pemerataan yang berkeadilan dalam memperoleh pendidikan tinggi yang bermutu dan relevan dengan kepentingan masyarakat bagi kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan, diperlukan penataan pendidikan tinggi secara terencana, terarah, dan berkelanjutan.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO 

Mahasiswa UGM Termuda. Aldo Meyolla Geraldino (kanan) berjalan didampingi kakak tingkatnya saat mengikuti kegiatan Pelatihan Pembelajar Sukses Mahasiswa Baru di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Kamis (20/8/2015). Aldo tercatat sebagai mahasiswa baru angkatan tahun 2015 termuda dengan usia 14 tahun delapan bulan saat memulai studi di universitas itu.

Otonomi Semu

Dengan berbagai harapan luhur akan pengelolaan PTN-BH tersebut, nyatanya justru menyimpan perbedaan pada praktik di lapangan. Nyatanya, semangat otonomi yang digaungkan masih belum tampak dalam pengelolaan PTN.

Otonomi PTN-BH menjadi semu karena kebijakan perguruan tinggi tak dapat terlepas dari indikator kinerja utama (IKU) yang dibuat oleh Kemendikbudristek, termasuk dalam pendanaan. Pemerintah menetapkan kesesuaian program kampus dengan IKU sebagai satu dasar pemberian subsidi untuk PTNBH.

Pada satu sisi, hal ini dapat dipahami mengingat masih adanya ketergantungan PTN-BH terhadap sumber dana dari pemerintah. Sumber dana yang diberikan oleh pemerintah ini berasal dari alokasi Dana Abadi, APBN, maupun APBD. Meski begitu, pada sisi lain, IKU menjadi alat pemerintah untuk secara sepihak menilai dan memaksakan program kampus untuk sesuai dengan kehendaknya.

Hal ini sendiri justru sangat kontradiktif dengan privatisasi PTN untuk menjadi otonom dalam PTN-BH. Kehadiran IKU melanggengkan pengaruh kuat pemerintah dalam pengelolaan PTN-BH. Selain IKU, tak otonomnya PTN-BH juga tecermin dari ragam bentuk intervensi lain oleh pemerintah.

Intervensi lain tersebut termaksud adanya porsi suara menteri hingga 35 persen dalam pemilihan rektor perguruan tinggi. Dengan kondisi demikian, ada tradisi bahwa rektor terpilih adalah yang memiliki dukungan atau kedekatan dengan pihak Mendikbudristek.

Terkait hal ini, pemilihan rektor di UNS menjadi suatu hal yang teramat baru dan menarik. Dalam pemilihan rektor periode 2023–2027 pada 2022 lalu, terpilih Sajidan sebagai calon yang tidak didukung Mendikbudristek. Ini menjadi suatu catatan bersejarah di PTN/PTNBH bahwa suara menteri tidak menjadi determinan. Pemilihan rektor ini pun disebut sebagai bentuk ekspresi perlawanan akademis kampus terhadap kuasa pemerintah yang hegemonik.

Selain itu, otonomi semu PTN-BH juga tampak dari bentuk-bentuk intervensi langsung ke institusi kampus melalui produk kebijakan pemerintah. Yang terakhir disebutkan dialami oleh UI dengan lahirnya PP No. 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI sebagai pengganti PP No. 68 Tahun 2013. Statuta UI yang terdapat dalam PP No. 68 Tahun 2013 disusun oleh UI sendiri secara otonom. Sementara PP No. 75 Tahun 2021 yang menggantikannya disusun oleh Kemendikbudristek.

Suara Dewan Guru Besar UI yang lantang meminta agar PP No. 75 Tahun 2021 dicabut tidak digubris dan PP tersebut masih tetap dipertahankan. Padahal, UI termasuk dalam PTN dengan status badan hukum pertama (Kompas, 10/2/2023, “Lorong Gelap Pendidikan Nasional”).

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Rektor Universitas Airlangga Mohammad Nasih memberikan keterangan pers terkait jumlah mahasiswa baru yang diterima melalui jalur SBMPTN LTMPT 2022, Kota Surabaya, Jawa Timur, Kamis (23/6/2022). Mohammad Nasih mengungumkan sebanyak 1.925 peserta SBMPTN LTMPT 2022 diterima di Universitas Airlangga.

Orientasi Laba

Sejatinya pendidikan adalah sebuah usaha mulia yang harus diwujudkan oleh pemerintah. Bahkan hal ini telah teramanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 melalui kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Oleh karenanya, pemerintah harus bersungguh-sungguh untuk mendorong pelaksanaan pendidikan yang inklusif bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Meski begitu, peralihan menjadi PTN-BH telah membuka opsi untuk turut berubahnya lembaga pendidikan dari orientasi pada kualitas manusia yang nirlaba menjadi lembaga berorientasi laba. Apalagi, meski telah disampaikan bahwa bantuan dana dari pemerintah tidak akan berkurang, kenyataannya PTN-BH mengalami pengurangan dukungan pendanaan.

Hal ini disampaikan oleh Pembantu Rektor II Undip Darsono seperti dikutip Lembaga Pers Mahasiswa Undip, Manunggal. Darsono menjelaskan bahwa bantuan dana dari pemerintah sejak menjadi PTN-BH menurun signifikan, padahal kebutuhan semakin meningkat. Untuk itu, sejumlah fakultas di Undip pun memutuskan untuk menaikkan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Bahkan, Undip juga mulai menimbang untuk ditetapkannya biaya uang pangkal.

Tidak hanya Undip, PTN-BH lain juga akhirnya memutuskan untuk mengenakan UKT yang lebih tinggi kepada mahasiswanya. Pada April 2022 lalu, USU mengumumkan kenaikan UKT untuk mahasiswa baru angkatan 2022/2023. Untuk mahasiswa 2023/2024, UGM memunculkan wacana penetapan uang pangkal. Sementara lebih dahulu, pada 2021 UI telah menaikkan UKT. Bahkan terdapat salah satu kasus viral, di mana mahasiswa baru yang mengajukan keringanan UKT justru diminta pihak UI untuk melakukan pembayaran dengan cicilan.

Sebagai kontradiksi, berbagai pihak di pemerintahan menyebutkan bahwa PTN-BH tidak akan berdampak pada kenaikan UKT. Inspektur Jenderal Kemendikbudristek Jamal Wiwoho menampik korelasi kenaikan UKT dengan status PTN-BH. Bahkan Mendikbudristek Nadiem Makarim sendiri pada September 2022 menyebutkan PTN-BH justru dapat memperkecil Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang dibebankan pada mahasiswa.

Secara legal, seharusnya kenaikan UKT ini juga tidak dimungkinkan. Dalam Pasal 88 Ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2012 bahwa pemerintah masih memegang kendali dan tidak menyerahkan otonomi penetapan standar biaya pendidikan tinggi. Meski begitu, kenaikan nyatanya tetap terjadi.

Kekhawatiran tidak hanya muncul di kalangan mahasiswa dan calon mahasiswa yang menjadi sumber utama perasan dana melalui kenaikan UKT dan pengenaan uang pangkal. Kekhawatiran serupa juga muncul di kalangan dosen yang justru dihadapkan pada menurunnya penerimaan upah dari perguruan tinggi.

Sejumlah dosen UGM telah mengeluhkan keputusan pimpinan universitas terkait penarikan pajak yang tidak sesuai aturan sehingga merugikan dosen dan karyawan. Persoalan ini muncul tak lepas dari status PTN-BH sebagai pengusaha kena pajak (PKP). Hal ini diamini oleh Direktur Keuangan UGM Syaiful Ali yang mengatakan bahwa implikasi penetapan PKP terhadap PTN-BH adalah pengenaan pajak progresif terhadap penghasilan dosen dan karyawan.

Masalah lain yang juga muncul, tidak hanya upah bulanan yang mengalami perubahan, melainkan juga uang perjalanan dinas dosen dan karyawan UGM yang turut dikenaik pajak. Padahal seharusnya uang perjalanan dinas itu tidak dianggap bagian penghasilan.

“Ketika proses pemotongan pajak, terjadi kekacauan yang dilakukan pihak pemotong pajak, dalam hal ini pimpinan universitas,” kata Dekan Fakultas Hukum UGM Sigit Riyanto, Senin pada Juli 2019 lalu. Menurut Sigit, penetapan UGM sebagai PKP tidak tepat karena akan memperlakukan PTN layaknya perusahaan yang menjual jasa pendidikan (Kompas, 16/7/2019, “Dosen UGM Protes Penarikan Pajak”).

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Lulusan SLTA yang gagal SNMPTN, mendaftarkan dirinya mengikuti ujian penerimaan mahasiswa baru melalui jalur mandiri di Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (30/6/2011). Salah satu syarat mengikuti ujian masuk jalur mandiri adalah peserta bersedia membayar Sumbangan Peningkatan Pengembangan dan Pembangunan Pendidikan (SP3) yang bersarnya beragam, yang tertinggi adalah pendidikan Dokter sebesar 175 juta rupiah.

Pergeseran Hakikat Pendidikan

Dengan ragam polemik tersebut, ada ketakutan yang lebih luas bahwa PTN-BH akan menggeser hakikat pendidikan di Indonesia. Ketika perguruan tinggi fokus pada bagaimana cara memperoleh biaya untuk operasional PTN-BH, maka akan masuklah ragam kepentingan korporasi ke dalam ruang-ruang pendidikan.

Pada titik tersebut, perguruan tinggi – yang yang sejatinya merupakan tempat penanaman gagasan, ilmu, dan adab untuk membangun manusia yang berbudaya sehingga mampu mengatasi kesenjangan dan penindasan – pun berubah menjadi sebuah perusahaan yang memperlihatkan semangat korporasi, kompetitif, dan tanpa memperhatikan situasi dan kesenjangan yang terjadi disekitarnya.

Dalam salah satu esainya yang dirangkum dalam buku Menjadi Bangsa Terdidik Menurut Soedjatmoko, Soedjatmoko menuliskan bahwa peranan perguruan tinggi jauh melampaui fungsi pengajaran atau penggerak modernisasi semata. Begitupun juga fungsi menciptakan teknokrat-teknokrat yang dapat mendukung pembangunan serta pekerja-pekerja yang menggerakkan dunia usaha.

Melampaui itu semua, perguruan tinggi seharusnya mampu menjadi pusat penciptaan masyarakat baru, penciptaan manusia-manusia yang berbudaya. Menurut Soedjatmoko, perguruan tinggi, melalui kultur kritis, ilmu pengetahuan, dan keterbukaannya, harus mampu menjadi “alat pendewasaan bangsa”, bahkan “pembebasan bangsa”.

Pendidikan yang semata berorientasi pada industrialisasi dan pembangunan tidak akan menyelesaikan permasalahan-permasalahan dunia. Soedjatmoko menyatakan bahwa orientasi bisnis juga diperlukan untuk menjaga keberlangsungan dan kemandirian perguruan tinggi, namun tanpa melupakan fungsi pendidikan yang berorientasi pada masalah kemanusiaan, seperti overpopulasi dan kelayakhunian bumi.

Menurut Soedjatmoko, negara yang terfokus pada pengejaran industrialisasi dan pembangunan (biasanya negara dunia ketiga) cenderung memiliki kualitas pendidikan tinggi yang tidak mampu menjawab masalah kemanusiaan. Untuk itu, ia menawarkan solusi untuk meningkatkan kultur penelitian, membangun kedalaman persentuhan mahasiswa dengan kultur, dibukanya akses terhadap penelitian, kolaborasi antar-lembaga pendidikan tinggi, dan terbuka pada variasi dan kedalaman ilmu. Solusi-solusi inilah yang harus diejawantahkan oleh PTN-BH.

Akhirnya, polemik PTN-BH harus diikuti dengan kesadaran bahwa otonomi bukanlah tujuan, melainkan cara untuk mencapai pemenuhan hak asasi warga masyarakat terhadap pendidikan. Dengan semangat luhur yang sejatinya disimpan PTN-BH, negara harus tetap berkewajiban mendanai dan mengawasi PTN-BH. Otonomi dan kebebasan akademik juga harus tetap menjadi keutamaan dalam tata kelola perguruan tinggi di era liberal. Oleh karena telah diberlakukan, PTN-BH harus mampu mewujudkan keseimbangan antara kemurnian ruang intelektual dengan keberlanjutan pengelolaan lembaga. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Arifin, A. (2013). Politik Pendidikan Tinggi Indonesia. Jakarta: Pustaka Indonesia.
  • Darmaningtyas, Subkhan, E., & Panimbang, F. (2014). Melawan Liberalisme Pendidikan. Malang: Madani.
  • (2010). Menjadi Bangsa Terdidik Menurut Soedjatmoko. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
  • Supriadi, D. (1997). Isu Dan Agenda Pendidikan Tinggi Di Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya.
  • Tampubolon, D. P. (2001). Perguruan Tinggi Bermutu: Paradigma Baru Manajemen Pendidikan Tinggi Menghadapi Tantangan Abad ke-21. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Peraturan
  • UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Jakarta.
  • PP Nomor 8 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2015 Tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum. Jakarta
Arsip Kompas
  • Kompas. (2023, Mei 10). Polemik Gaji Rendah Dosen. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 5.
  • Kompas. (2023, Mei 3). Membuka Tabir Suram Profesi Dosen. Jakarta: Harian Kompas. Hlm B.
  • Kompas.id. (2022, September 9). Meraih Otonomi Perguruan Tinggi dengan Status PTN BH. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/humaniora/2022/09/08/meraih-otonomi-perguruan-tinggi-dengan-status-ptn-bh
  • Kompas. (2023, Mei 8). Penyeragaman Menyalahi Otonomi dan Kebebasan. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 5.
  • Kompas. (2023, Februari 10). Lorong Gelap Pendidikan Nasional. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 6.
  • Kompas. (2019, Juli 16). Dosen UGM Protes Penarikan Pajak. Jakarta: Harian Kompas. Hlm 5
Internet
  • Aliansi Mahasiswa Peduli Unand (AMPU). (2019, Mei 9). Kajian Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTNBH). Diambil kembali dari hmjip.fisip.unand.ac.id: http://hmjip.fisip.unand.ac.id/kajian-perguruan-tinggi-berbadan-hukum-ptnbh/
  • Brodjonegoro, S. S. (2002). Higher Education Reform In Indonesia. Diambil kembali dari Task Force on Higher Education (tfhe.net): http://www.tfhe.net/about/about.htm
  • Humas Universitas Gadjah Mada. (2020, Januari 16). Kemendikbud Dorong PTN Jadi PTN BH. Diambil kembali dari ugm.ac.id: https://ugm.ac.id/id/berita/18937-kemendikbud-dorong-ptn-jadi-ptn-bh/
  • (2016). PTN-BH Pengaruhi Kenaikan UKT dan Penarikan SPI. Retrieved from manunggal.undip.ac.id: https://manunggal.undip.ac.id/ptn-bh-pengaruhi-kenaikan-ukt-dan-penarikan-spi/
  • Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan. (2022, Agustus 1). 16 PTN-BH Peroleh Dana Abadi Perguruan Tinggi. Diambil kembali dari puslapdik.kemdikbud.go.id: https://puslapdik.kemdikbud.go.id/16-ptn-bh-peroleh-dana-abadi-perguruan-tinggi/